Angka Kematian Melonjak Tinggi, Hong Kong Berganti ke Peti Jenazah yang Lebih Ramah Lingkungan
Wabah virus corona paling mematikan di Hong Kong telah menelan sekitar 6.000 jiwa tahun ini — dan kota itu sekarang mulai kehabisan peti jenazah.
Teks: Jesslyn Sukamto
Foto: AP
Penumpukan mayat di rumah sakit, perjuangan krematorium-krematorium dalam mengatasinya dan kekurangan peti jenazah — kisah sukses respons Covid-19 di Hong Kong dengan cepat berubah menjadi kisah peringatan, dengan kematian akibat virus corona yang telah melonjak dengan cepat.
Sebelum 2022, Hong Kong dijadikan sebagai role model akan pengatasan pandemi, dengan strategi COVID “Nol Dinamis” — yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran dengan pelacakan kontak, pengujian dan isolasi — menjaga kehidupan tetap normal untuk 7.5 juta penduduknya.
Kemudian muncul varian Omicron, yang telah membuat Hong Kong lengah dan kewalahan akan sistem kesehatan dan rumah perawatannya, memicu lonjakan yang dramatis dalam kasus positif ataupun kematian — terutama di antara para lansia yang menolak untuk divaksinasi.
Dalam dua tahun pertama pandemi, Hong Kong mencatat 213 kematian akibat COVID-19. Sekarang, dalam kurun waktu dua bulan saja sudah ada lebih dari 6.000 kematian. Beban kasus virus corona Hong Kong pekan lalu melampaui satu juta, sementara rata-rata mortalitas dalam tujuh hari adalah 32 kematian per satu juta penduduknya — rekor tertinggi di dunia.
Jumlah infeksi yang berkembang pesat telah membanjiri rumah sakit di seluruh kota, sementara industri pemakaman Hong Kong memperingatkan kekurangan peti jenazah karena “mayat terus menumpuk”.
Untuk menanggulangi kelangkaan peti jenazah karena COVID-19, beberapa perusahaan menawarkan alternatif seperti peti jenazah yang terbuat dari karton yang ramah lingkungan.
LifeArt Asia memiliki peti jenazah karton yang terbuat dari serat kayu daur ulang yang dapat disesuaikan dengan desain pada eksteriornya. Pabriknya dapat memproduksi hingga 50 peti jenazah dalam sehari.
CEO Wilson Tong mengatakan masih ada beberapa yang sungkan untuk menggunakan peti jenazah yang terbuat dari karton. “(Orang-orang merasa) agak memalukan menggunakan apa yang disebut peti mati kertas. Mereka merasa ini kurang menghormati orang yang mereka cintai,” kata Tong.
Namun perusahaan tersebut mengupayakan desain yang dapat mencerminkan agama atau hobi dan bahkan dapat memiliki warna yang dipersonalisasi.
Ide tersebut memberi pilihan yang lebih dari cukup kepada orang-orang. Mereka juga dapat menyesuaikan pemakaman sesuai dengan preferensi mereka dan menawarkan perpisahan yang lebih terhormat tanpa rasa takut akan kematian.
Perusahaan mengatakan peti jenazah mereka yang terbuat dari karton, ketika dibakar dalam proses kremasi, mengeluarkan 87% lebih sedikit gas rumah kaca dibandingkan dengan peti jenazah yang terbuat dari kayu atau pengganti kayu.
Setiap peti jenazah LifeArt memiliki berat sekitar 10,5 kilogram, dan dapat membawa tubuh yang beratnya mencapai 200 kilogram.
Peti jenazah ramah lingkungan bukanlah inovasi yang baru — anyaman, makramé, dan karton semuanya ada di pasaran. Habis kremasi, jenazah juga dapat ditempatkan dalam kapsul untuk menumbuhkan pohon atau dibuat terumbu karang buatan.
Ini mungkin tampak sebagai solusi yang relatif mudah untuk Hong Kong. Namun tradisi, keraguan dan motif keuntungan sejauh ini telah menghentikan penggunaan peti jenazah ramah lingkungan menjadi meluas.
Penduduk Hong Kong mungkin enggan memilih peti jenazah dari karton karena dianggap itu lebih murah dan nampaknya kurang menghormati, meskipun peti jenazah dari karton lumayan susah dibedakan dari peti jenazah dari kayu.
Di Indonesia juga sama, masih sedikit usaha-usaha yang mengembangkan green coffin, karena alasan tradisi dan juga kesadaran lingkungan masih relatif rendah dibandingkan negara-negara seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Seorang wirausaha bernama Purwanto memiliki usaha bernama “Eco Green” — usaha pembuatan peti jenazah yang dibuat dari bahan-bahan ramah lingkungan seperti rotan, eceng gondok, mendong, rami, pelepah pisang, dan aneka bahan alam lainnya.
Usaha Purwanto mencapai kesuksesan dalam pasar luar negeri, tetapi tidak begitu dalam negeri. “Saya memulai bisnis ini pada tahun 2002. Permintaannya terus naik dari tahun ke tahun. Apalagi setelah kami mendapat pendampingan dan pembinaan, juga dibantu mencari pasar dan permodalan,” ujarnya atas menjadi member dari Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Indonesia (Apikri), dimana setiap bulan setidaknya 240 buah peti terjual ke luar negeri.
Perencanaan pemakaman merupakan topik yang sangat pribadi dan seringkali tidak menyenangkan, jadi alasan untuk merencanakan pemakaman yang ramah lingkungan ataupun tidak sangat bergantung kepada preferensi dan tradisi yang dianut masing-masing.
Tetapi bagi banyak orang yang memilih pemakaman hijau, itu bisa mengurangi biaya, dampak lingkungan, dan warisan.