Tentang New York, Figur Ibu, dan Di Antaranya Bersama Cast “Ali & Ratu Ratu Queens”
Kami berbincang dengan cast “Ali & Ratu Ratu Queens” serta sutradara Lucky Kuswandi, juga para produser Meiske Taurisia dan Muhammad “Eddy” Zaidy mengenai pengalaman proses pembuatan film ini hingga perubahan perspektif tentang sosok figur ibu.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Hanindito Buwono
Keluarga merupakan komponen penting bagi seorang anak untuk bisa tumbuh. Kehilangan salah satu sosok figur keluarga dalam hidup akan membuat seorang anak bertanya-tanya atas kehadirannya dan kasih sayangnya. Malangnya, itu yang harus dihadapi karakter Ali (Iqbaal Ramadhan) yang harus ditinggalkan oleh sosok Mia (Marissa Anita), ibu kandungnya sendiri. Dari sinilah kisah pencarian ibu dalam keluarga itu bisa didapatkan, dengan apakah harus dari sedarah atau tidak. Kami berbincang dengan cast film “Ali & Ratu Ratu Queens” serta sutradara Lucky Kuswandi juga para produser Meiske Taurisia dan Muhammad “Eddy” Zaidy tentang pengalaman proses dan tantangan pembuatan film yang dilakukan di dua negara yang berbeda, hingga perubahan perspektif tentang sosok figur ibu dalam sebuah keluarga.
Selamat atas rilisnya “Ali & Ratu Ratu Queens”, bagaimana rasanya saat film ini akhirnya bisa bertemu dengan penonton?
Tika Panggabean (T): Seneng banget! Lega ya?
Nirina Zubir (N): Lega kayak bayi yang ditunggu-tunggu ini lahir juga. Karena proses filmnya udah jalan dari..
Asri Welas (A): Sebelum pandemi!
N: Iya dari tahun 2019 udah persiapannya sudah lumayan lama. Dari script yang berubah-ubah sampai akhirnya syuting sampai akhirnya “tayangnya kapan?”
Happy Salma (H): Dari anakku yang masih bayi sampai udah bisa jalan sekarang.
N: Dari Asri Welas yang masih menabung susu ASI-nya waktu syuting sampai anaknya sekarang udah gede!
H: Jadi kebayang ya seneng banget ya!
N: Senang lah! Pengorbanannya Asri Welas paling luar biasa salah satunya ya disini. Karena waktu kita lagi mau syuting film ini dia harus menabung ASI karena harus berpisah dengan anaknya selama syuting saat di amerika itu kurang lebih sebulan kan….
A: Sampe dua kulkas tuh!
N: Hahaha sombong banget sih!
A: Makanya itu kerja keras kan!
H: Hahaha… Makanya bisa keluar filmnya kayak–
Iqbaal Ramadhan (I): Lega ya?
H: Iya! Karena dipikir apa keluar ga ya film ini–
I: Nah sempet-sempet sih punya pikiran kayak gitu juga–
H: Terus takutnya momennya keburu lewat gitu karena promonya cukup panjang. Tapi ternyata masih gemes dan malah makin relate.
N: Dan ada yang lebih keren lagi, karena tayangnya secara global di…
All cast: Netflix!
Bisa diceritakan inspirasi skenario film “Ali & Ratu Ratu Queens” dari mana?
Meiske Taurisia (M): Mungkin cerita ini awalnya dari Eddy, dia dulu sekolah di New York. Selama merantau, dia bertemu dengan imigran Indonesia di Queens yang punya karakter unik-unik. Kemudian saat di Palari, Eddy mengutarakan film drama keluarga. Salah satu film Palari yang belum pernah dilakukan adalah film drama keluarga. Nah jadi waktu Ide “Ali & Ratu Ratu Queens” ini kemudian dibahas internal oleh Palari karena kebetulan belum pernah melakukan film drama keluarga, menjadi salah satu challenge untuk Palari Films mau buat film drama keluarga seperti apa, dari situlah “Ali & Ratu Ratu Queens” mulai berproses dari menulis skenario hingga lanjut. Di “Ali & Ratu Ratu Queens”, kita punya tokoh anak yang mencari ibunya yang hilang kemudian bertemu dengan keluarga baru di empat ratu-ratu Queens, dan kita juga akan melihat empat orang imigran Indonesia yang tinggal di New York. Kita sering mendengar sebuah potret bagaimana orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, apakah sama seperti kita, apa sih pekerjaan mereka. Jadi ada banyak hal yang akan kita bahas, salah satunya pembahasan tentang New York itu kita akan potret bagian mana yang harus kita masak. Dengan Gina S. Noer sebagai penulis skenario, akhirnya filmnya bisa seperti ini.
Bisa dijelaskan mengapa New York menjadi pilihan latar belakang di film ini? Dan seberapa penting latar New York untuk bangunan cerita film ini?
Lucky Kuswandi (L): Karena based on real characters ibu-ibu imigran Indonesia di Queens. Terus, kita semua jatuh cinta kepada New York karena punya energi tidak dimiliki oleh kota lain dan one of the most diverse city in the world. Jadi melting pot terbesar di dunia, semua orang bisa kesana lalu bisa berusaha menggapai mimpinya dan diterima. Jadi, kenapa pilih New York karena its diversity.
Dari dua kota dan negara yang berbeda itu, yakni Jakarta dan New York pasti mempunyai tantangan dan kesulitan produksinya sendiri. Apakah itu menjadi masalah yang cukup signifikan?
L: Tentunya challenging. Tapi untungnya kita bekerja sama dengan production company Tiny Giant, yang membantu keperluan logistik seperti pemilihan lokasi, extras, supporting cast, catering, sampai juga dengan crew, karena 70% crew kita disana adalah lokal. Jadi, koordinasinya tentu ribet karena meeting lewat online, kita tidak punya luxury untuk bolak balik ke sana, jadi semua banyak dilakukan secara online.
Dari perjalanannya, karya film dan web series Lucky Kuswandi bisa dibilang memuat isu sensitif yang sangat jarang yang berani ada yang buat. Dengan film “Ali & Ratu Ratu Queens” lebih bertemakan keluarga, apa yang membuat seorang Lucky Kuswandi berubah?
L: Sebenarnya, saya tidak pernah melihat isu-isunya sensitif. Maksudnya, ketika saya berkarya yang membuat saya mau mengerjakan sebuah proyek adalah karakter. Ini kita lagi ngomongin siapa di filmnya. Di “Ali & Ratu Ratu Queens” itu kita akan melihat kompleksitas tidak hanya dari Ali tapi perempuannya juga yang menolak di kotak-kotakan berdasarkan gender roles-nya mereka. Jadi, saya melihat karakter di film saya bukan sensitif ya istilahnya, they are human, Saya lebih tertarik ke karakter yang tidak harus baik atau buruk, tapi karakter yang human.
“Ali & Ratu Ratu Queens” dijadwalkan sebelumnya rilis pada tahun 2020. Namun, karena pandemi melanda, bagaimana proses memikirkan jalan keluarnya untuk bisa tayang kepada penonton?
E: Pandemi adalah one of the biggest obstacles, karena men-delay prosesnya. Tapi, kalau ambil silver lining-nya proses panjang di post production yang hampir satu tahun, disitu banyak ruang antara Lucky, editor dan producers untuk berdiskusi dan mencoba-coba menyempurnakan filmnya sendiri, termasuk juga dalam musik. Kadang-kadang kita ada pressure waktu ya, dimana memang kita dikejar atau diburu-buru. Nah, kita punya privilege itu sebenarnya. Tapi memang pandemi is the biggest obstacle, karena dari segi promosi sudah di announce film dan actors dari November 2019, lalu orang akan bertanya-tanya dimanakah filmnya. Dan akhirnya we found our home on Netflix. Thanks to Netflix, “Ali & Ratu Ratu Queens” bisa disaksikan tidak hanya Indonesia, but Netflix make it accessible to more than 190 countries.
Film “Ali & Ratu Ratu Queens” bercerita tentang ibu, apakah setelah film ini, ada perubahan perspektif mengenai sosok figur ibu?
I: Gue gatau sih perspektif itu adanya sebelum atau setelah kelar dari syuting film ini. Tapi yang gue rasain justru sebenarnya gue punya perspektif itu dulu, makanya di film ini gue bisa all out, ngerasa kalau tante-tante ini juga adalah ibu gue terlepas dari ibu gue yang asli di film itu. Gue jadi percaya banget kalau nggak harus selalu sedarah atau genetik, kadang-kadang ada hal-hal lain yang lu ga bisa ngejelasin tapi bisa connect dengan orang-orang tersebut. Mungkin itu adalah harapan gue untuk bisa setidaknya ngasih tau hal itu kepada penonton, terutama teman-teman seumuran gue tentang menjadi kita sendiri dan mendengar diri kita sendiri kalau at the end, keluarga adalah siapa yang lu pilih.