Budaya Sepeda: Apakah Kesadaran Lingkungan, Tren atau Adu Gengsi?
Berbincang mengenai fenomena bersepeda kala pandemi, ketersediaan infrastruktur yang memadai dan keberlangsungan “tren” dari olahraga ini.
Words by Emma Primastiwi
Teks: Hanindito Buwono
Pandemi memaksakan kita untuk bisa lebih kreatif dan adaptif dalam menanggapi situasi yang tidak menentu ini. Di tengah ketidakpastian, sebuah kultur muncul menyapa masyarakat yang ingin melepas rasa ketidakberdayaan yaitu dengan bersepeda. Kultur ini seperti menjadi penyelamat bagi masyarakat atas ketidaktahuan kapan pandemi ini akan berakhir. Namun, dari kultur ini juga ada masyarakat yang pro dan kontra mengenai sikap pengguna sepeda yang mengambil hak pengguna kendaraan lain. Sebenarnya, apa yang menyebabkan kultur ini terjadi dan bagaimana pemerintah bisa menyediakan infrastruktur yang memadai agar tidak terjadi polarisasi sikap. Mari kita simak sedikit sudut pandang beberapa tokoh, mulai dari musisi hingga ketua Bike To Work Indonesia atas fenomena ini.
Arie Dagienkz
Praktisi Radio
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Awal mula sepedaan itu tuh, awal 2008 atau 2009 gitu. Dulu baru mulai banyak yang bike-to-work dan gue ngiri. Nah, kebetulan gue baru pindah kantor dan ternyata kantor gue ada kamar mandi pakai air hangat. Yaudah deh, gue beli sepeda lipat. Abis beli, gue suruh supir gue pulang. Dia sampai tanya “yakin pak?!” dan gue jawab gue yakin. Alhasil? gobyos semua. Setelah 3 tahun gue pake sepeda lipat, gue sekarang pakai sepeda gede. Single speed gitu. Gue jadi menyenangi kemana-mana naik sepeda itu deh.
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Ya, bagus sih kalau menurut gue. Orang sepedaan untuk olahraga, jadi rame pada sepedaan. Gue sih seneng-seneng aja ngeliatnya.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Dari dulu waktu jaman sepedaan ke kantor, gue nggak pernah mikirin akan hak gue sebagai pesepeda atau pemakai jalan sih. Intinya gini, lo mau naik apapun di Jakarta tetap harus hati-hati dan waspada untuk diri lo. Udah berhati-hati aja nggak menutup kemungkinan bisa celaka karena orang lain, apalagi kalau nggak berhati-hati? Kalau bicara infrastruktur jalan yang kurang ideal, aduh jaman dulu gue nggak ada jalur sepedanya. Gue cuek-cuek aja tuh. Kalau dari gue to each and every one of us para pemakai jalan, kita harus inget kalo lo nggak sendirian di jalan. Lo nggak bisa jadi selfish di jalan. Intinya, kalau lo ada di jalan atau tempat umum ya harus memikirkan orang lain juga.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Haha, di Indonesia bersepeda sebenarnya juga bisa dinikmati oleh semua kok dari dulu.
Menurut gue, ini pasti gara-gara di kota-kota besar banyak yang pakai road bike yang kita tau sendiri lah ya, nggak ada yang murah. Sementara, fasilitas untuk balapan sepeda ya…jadinya pada di jalan raya. Jakarta memang kota yang besar dan ramai. Gue akui, ada beberapa ruas jalan yang memang enak untuk sepedaan (misal Sudirman, Thamrin, Kuningan, Gatot Subroto). Tapi perlu diingat bahwa saat weekdays, jalan raya tuh pasti ramai dari pagi karena banyak orang yang sibuk lalu-lalang cari nafkah. Kembali lagi ke prinsip sebelumnya, jalanan ya dipakai bersama. Lo mikirin diri lo sendiri dan hak lo sebagai pengguna jalan ya sah-sah aja, tapi jangan lupa hak orang lain juga.
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Ya bagus-bagus aja, ikut senang gitu. Kalo makin banyak kan, harga makin bersaing. Makin bersaing, jadi lebih murah. Ya kan?
Berkah Jaya Bike
Bengkel dan Warung Sepeda
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Kami mulai bersepeda sedari kecil, seperti anak-anak pada umumnya. bersepeda lagi sekitar tahun 2009-2010 pada saat demam sepeda fixed gear (fixie), kemudian lama berhenti dan karena pandemi di tahun 2020 mulai lagi bersepeda..
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Kita seneng banget sih melihat fenomena itu, kita pun begitu kok, akhirnya mulai bersepeda lagi, karena satu-satunya olahraga yang mungkin dilakukan sendiri atau hanya dengan beberapa teman.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Yang paling penting sebetulnya kita sendiri sebagai pesepeda harus menjaga keselamatan diri sendiri, hal yang paling dasar adalah mematuhi peraturan lalu lintas yang ada serta aware terhadap lingkungan sekitar saat bersepeda..
Kalau pemerintah, sebaiknya melakukan kajian terlebih dahulu sebelum membuat keputusan atau peraturan terhadap pesepeda sehingga hasil yang diraih lebih maksimal dan adil bagi seluruh pengguna jalan.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Sebetulnya gak juga kok, banyak diantara kita dan sebagian besar teman-teman yang lain sepedaan ya sepedaan aja, tanpa adu prestis.. Hehe. Pakai aja sepeda yang ada, mungkin ada sepeda di garasi yang terpakai, sepeda keluarga, atau sepeda teman.. Yang penting, Ride safe & have fun!
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Sepertinya (dan kami pun berharap) akan berlangsung cukup lama, karena banyak juga yang beralih moda transportasi dari mobil atau motor ke sepeda, dan disaat sekarang ini sudah sangat banyak pula pilihan sepeda mulai dari MTB, roadbike, trackbike/fixedgear, commuter bike, folding bike dan lainnya, sehingga banyak orang punya pilihan, ada yang hanya bersepeda di pagi hari atau akhir pekan untuk berolahraga hingga bersepeda untuk berkegiatan sehari-hari (commuting).
Iga Massardi
Musisi
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Setelah nyoba berbagai jenis olahraga, gue ngerasa sepeda yg paling cocok. Kebetulan gue gak tertarik olahraga tim atau yang sifatnya kompetisi kalah-menang. Dengan sepeda, gue bisa merasa rileks dan meditatif. Ada sense of adventure sekaligus rekreasi yang nggak bisa digantiin.
Sepeda pertama gue beli tahun 2010 pakai uang sendiri. Sejak itu, sepeda jadi sarana pelepas stress sampai sekarang. Sekarang lebih seru karena lebih ramai.
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Buat gue ini fenomena yg menarik. Ketika tujuannya memang untuk kesehatan, gue rasa itu hal yg baik.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Intinya, sebagai pesepeda kita mesti tau kalo jalan itu milik semua orang dengan keperluannya masing-masing. Jangan merasa benar sendiri atas kepentingan komunitas/golongan.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Soal prestis, gue rasa di mana-mana sama aja. Akan selalu ada orang yg beradu gengsi lewat harta benda. Gue gak mikirin itu, karena bukan urusan gue. Sebagian orang bisa beli sepeda mahal dan sebagian lagi bisa happy dengan sepeda yang biasa-biasa saja. It’s always about the ride, not the bike. Itu buat gue.
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Di masa pandemi banyak orang akhirnya alih profesi dan buka bengkel sepeda dan cafe. Ketika industri ini bisa bergerak dan menafkahi orang yang kehilangan pekerjaan menurut gue ini hal yang bagus. Terlepas dari tren atau nggak, ketika sebuah unit bisnis bisa menghasilkan berarti bisnis itu berhasil. Dan berbisnis dengan tren menurut gue hal yang sangat lumrah. Tinggal gimana kualitas produk dan jasanya saja.
Panji Indra
Fotografer
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Tahun 2009, sahabat gue ngajakin untuk main sepeda bareng. Dia juga yang bantuin gue untuk mencari sepeda. Asal-asalan aja nyarinya, yang penting jalan. Tahun 2009 akhir, gue diajakin sama temen gue yang satunya lagi buat nongkrong di salah satu toko sepeda gitu di Panglima Polim. Yaudah dari situ, jadi kenal sama beberapa teman-teman baru, anak-anak sepeda harian, dan banyak teman-teman komunitas juga. Jadi banyak yang saling kenal. Terus habis itu yaudah, sampai sekarang masih lanjut aja sepedaan.
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Menurut gue bagus sih, sekarang banyak orang yang ketularan demam sepeda. Memang bersepeda harus dimulai dari sesuatu dulu, entah itu ketularan temen atau karena gaya-gayaan. Apapun alasannya lah. Dari situ kita jadi bisa ngelihat dan ngerasain manfaat dan serunya bersepeda. Bagus-bagus kalau keterusan sampai nanti. Awalnya sepedaan juga buat main-main aja, tapi sekarang udah jadi alat transportasi juga.
Dulu gue ada mobil tapi sejak bersepeda gue jadi jarang pake mobil. Karena satu dan lain hal, mobilnya terpaksa dijual. Gue jadi ga terlalu masalah, soalnya udah lebih sering pake sepeda juga. Akhirnya, transportasi utama gue adalah sepeda sekarang. Terutama sekarang juga ada fasilitas MRT yang bisa digunakan oleh pesepeda juga.
Apapun alasan orang bersepeda, bisa jadi dia menemukan alasan yang baru. Baik itu untuk kesehatan, untuk transportasi, dan lain sebagainya. Ya semoga aja orang-orang bisa ngeliat ini sebagai alternatif baru lah ceritanya.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Pada dasarnya bersepeda di Jakarta memang tidak ideal. Gue bike-to-work sudah hampir 10 tahun. Jadi, udah ngerasain suka dukanya bersepeda di Jakarta. Bisa sih, tapi harus lebih ekstra hati-hati dan waspada. Ya seperti kita ketahui kan, angkot dan motor ada dimana-mana. Memang harus lebih ekstra deh kalo di Jakarta.
Perihal jalur sepeda. Gue pribadi sebenarnya dari dulu nggak terlalu masalah sih ada jalur sepeda atau nggak. Dengan nggak adanya jalur sepeda tuh, konflik-konflik yang terjadi sekarang itu jarang ada. Kalo gue ketemu motor di jalan ya, sejauh ini belum pernah tuh jadi masalah. Berbeda dengan sekarang yang ada gitu pengguna motor yang sebel sama pesepeda. Walaupun ada ya wajar sih. Yang paling utama adalah pesepeda tetap harus waspada, baik di jalur sepeda maupun nggak. Toh, jalur sepeda hanya ada di beberapa tempat. Ada juga beberapa lokasi yang tidak ada jalur sepeda sehingga mereka harus bergabung dengan pengguna jalan lainnya. Saran gue, tetap di jalur paling kiri deh. Udah paling aman lah itu.
Kalau soal Pemerintah sendiri, gue nggak menyalahkan sih kalau kedepannya akan ada sanksi untuk pesepeda. Dengan tersedianya fasilitas dan prasarana, ya akan timbul juga kewajiban-kewajiban yang harus ditaati. Gue sih lihat, pasti bentar lagi akan ada undang-undang atau peraturan untuk mengatur bersepeda. Sesuatu yang dari dulu memang tidak pernah ada.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Kalo gue lihat sih, di semua hobi pasti ada sih kecenderungan untuk adu prestis. Adu prestis kan bukan cuma mahal-mahalan apa yang dia punya, bisa juga prestasinya. Kalau sepeda mungkin lebih ke kecepatan atau kecanggihan.
Menurut gue sih wajar, selama tidak menimbulkan konflik dan kesenjangan antara sesama pesepeda, ya nggak apa-apa deh. Terutama di circle pertemanan yang dekat ya, karena olahraga sepeda ini cukup banyak peer pressure-nya. Misalkan “wah, temen gue baru upgrade ini nih, ya kali gue nggak upgrade juga” atau “wah, dia bisa bersepeda sejauh itu, ya kali gue juga nggak bisa”. Wajar sih tapi, biasa banget terjadi.
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Gue juga ngerasa, semua hobi pasti akan menimbulkan kesempatan-kesempatan dan/atau peluang-peluang baru. Sah-sah aja kan orang-orang mau buka bengkel atau kafe yang bisa ikut menunjang kegiatan bersepeda juga.
Asalkan, jangan sampai menyebabkan persaingan tidak sehat. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini banyak kita dengar fenomena banyak pedagang yang “menggoreng” harga agar dapat untung dari barang yang lagi banyak diincar para pesepeda. Sah-sah saja untuk cari untung namanya juga pedagang, tapi kalau kelewatan juga gak asik sih.
Gue ngerasain sih bangun sepeda asal-asalan. Seiring berjalannya waktu, gue belajar parts mana yang bagus. Gue jadi tau parts mana yang harus gue bela-belain beli walaupun mahal supaya umurnya lama. Dengan “penggorengan harga” yang terjadi ini, harga-harga yang sudah mahal tersebut kan jadi lebih tidak terjangkau. Sebel aja gitu, dengan harga sekian lo sebenarnya bisa dapat parts yang bagus tapi sekarang jadi nggak bisa. Kembali lagi, gue dukung kok adanya bengkel dan buka toko untuk persepedaan, tapi ya berdaganglah dengan harga yang masih masuk akal.
Poetoet Soedarjanto
Ketua Bike To Work Indonesia
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Awal mula bersepeda, sesungguhnya bersepeda telah saya lakukan sejak kecil, karena tidak memiliki sepeda sendiri maka hanya dapat bersepeda kalau sepeda di rumah (milik keluarga) tidak ada yang menggunakannya, lalu saat SMP dan SMA mendapat pinjaman dari kerabat untuk dipakai bersekolah bergantian dengan sepeda keluarga. Saat semester satu di masa perkuliahan di Malang, kalau kuliah juga menggunakan sepeda (lagi-lagi sepeda pinjaman, tetapi kali ini dari seorang teman yang baik hati), penggunaan sepeda berhenti karena berpindah kost dekat kampus sehingga cukup berjalan kaki. Selepas kuliah, bekerja dan menikah tidak pernah bersepeda lagi. Sekitar akhir tahun 2005 seorang tetangga “meracuni” saya untuk ikut olahraga sepeda, karena dasarnya suka bersepeda maka langsung mengiyakan dan beli sepeda semampu keuangan saat itu. Pada Maret 2006 melihat tayangan sebuah stasiun TV yg berupa kegiatan sebuah komunitas yang mengajak orang bersepeda ke kantor, (belakangan saya ketahui bernama Bike to Work Indonesia), merasa tertarik seketika saya menelepon Ketua saat itu juga menanyakan apa dan bagaimana bersepeda ke kantor, dan tidak pakai lama alias beberapa hari berikutnya saya bersepeda ke kantor saya dan terbiasa lebih sering menggunakan sepeda untuk mobilitas saya pada hari hari berikutnya hingga saat ini.
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Tentu menggembirakan bahwa semakin banyak orang “melirik” sepeda untuk berkegiatan, entah olahraga, rekreasi, menuju ke tempat kerja, bekerja dan kegiatan lainnya. Minat warga untuk bersepeda tidak lepas dari kejenuhan karena kelamaan stay at home (mari flashback saat mulai pandemi: PSBB dan berbagai hal yang terkait pandemic).Selama pandemi Corona, olahraga hanya boleh dilakukan di kawasan rumah saja. Ketika berlaku new normal, orang-orang ingin beraktivitas di luar rumah tetapi tetap ingin aman dari risiko penularan virus corona. Bersepeda menjadi salah satu pilihan yang paling sehat.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Keselamatan Jalan, untuk pemerintah, kami melakukan Advokasi dalam rangka pemenuhan hak rasa aman bagi pengguna sepeda di jalan raya, kami mendorong dilaksanakannya UULAJ 22/2009, PP 79/2013, Permenhub 59/2020 dan SE Kemen PUPR Dirjen Bina Marga no 5/2021, sedangkan untuk masyarakat kami melakukan berbagai cara edukasi seperti seminar, talkshow, media massa, radio, TV juga pemanfaatan media sosial untuk berbagi pengetahuan soal keselamatan jalan, seperti pentingnya memahami RULE – SKILL – ATTITUDE saat berkendara dijalan raya khususnya dengan sepeda.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemangku kebijakan memenuhi amanat Undang-Undang atau peraturan baik pemenuhan infrastruktur maupun penegakan hukumnya, juga dari sisi warga masyarakat seyogyanya memahami dan mengikuti aturan dengan baik, serta mengerti yang saya sampaikan pada poin 3 yang salah satunya adalah soal “attitude”.
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Geliat ekonomi terkait “booming” sepeda tentu menggembirakan, hal ini juga dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk “mempertahankan” tren bersepeda, dengan kemudahan untuk perbaikan sepeda lalu juga kenyamanan untuk kongkow dlsb, maka berharap besar adanya pusat-pusat kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan sepeda dan bersepeda dapat terus tumbuh pun juga aktifitas bersepedanya itu sendiri.
Rio Simatupang
Wirausahawan Kuliner dan Kreatif
Boleh ceritakan awal mula Anda mulai bersepeda?
Waktu kecil, di antara teman-teman sebaya, saya anak yang paling terakhir bisa naik sepeda. Karena terlambat bisa, saya hampir berfikir untuk “yaudah lah, gak bisa sepeda gapapa”. Eh, akhirnya bisa juga.
Lompat ke sekarang, saya pesepeda ikutan musim. Karena pandemi, kemudian di lingkungan rumah banyak yang main sepeda, akhirnya ikutan. Tapi gak pengen beli, kebetulan saja istri punya sepeda nganggur. Sepeda itulah yang saya perbaiki, sekedar bisa jalan aja dulu. Hitung-hitung buat ke warung dekat rumah.
Sejak pandemi, semakin banyak orang yang memilih bersepeda sebagai metode olahraga utama, bagaimana Anda melihat fenomena tersebut?
Sebuah pilihan yang tepat menurut saya. Saya pun salah satu dari mereka yang sepedaan karena pandemi. Jalan jalan dapat, olahraga dapat.
Baru-baru ini, hak pesepeda sedang ramai dibicarakan. Melihat infrastruktur jalan yang masih kurang ideal bagi pesepeda, bagaimana pemerintah juga para pesepeda dapat memastikan keselamatan diri juga pengendara lain di jalan?
Yah intinya hati hati di jalan aja sih. Mau jalan bagus atau rusak, berhati-hati dapat menolong diri kita sendiri untuk jauh dari kecelakaan. Berlaku juga dengan apapun moda transportasi-nya. Sekarang saja karena ketambahan sepeda di jalanan, jadi sedang genit dibicarakan. Itupun sepeda rame kalau weekend doang sih.
Di luar negeri, bersepeda merupakan aktivitas yang dapat dinikmati oleh semua. Namun di Indonesia kini ada kecenderungan untuk adu prestis, bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Yah gapapa juga untuk adu prestasi. Toh itupun setelah kita semua dapat menikmati sepeda sebagai aktivitas yang dapat dinikmati semua orang. Di luar negri malah lebih ngeri adu prestasi nya, disana banyak kompetisi kompetisi yang lebih advance.
Kemunculan bengkel, toko, juga cafe khusus sepeda semakin banyak di Jakarta, bagaimana Anda melihat keberlangsungan “tren” sepeda ini?
Ini positif. Tren sepeda memantik eksplorasi lain yang mendukung. Membuka lapangan pekerjaan baru untuk mekanik, desainer, engineer, supplier, dan bahkan saya sendiri pun juga jualan ‘nasi kuning cakalang’ pakai sepeda. Kini sepeda sudah next level menurut saya, kalau kemarin adalah tren, sekarang sudah jadi ekosistem.