Tekanan Sosial Memiliki Pasangan dan Problema Menjadi “Single” di Indonesia
Berbincang dengan beberapa figur, mulai dari pre-marital counselor hingga organisasi kesehatan mental tentang tekanan sosial dalam mencari pasangan hingga stigma yang dihadapi ketika masih “single”.
Words by Emma Primastiwi
Ilustrasi: Max Suriaganda
Desain: Mardhi Lu
Dalam budaya tradisional, pernikahan merupakan tujuan utama dalam hidup seseorang. Terutama di Indonesia, mendapatkan pasangan dilihat sebagai salah satu kriteria dalam mencapai kesuksesan hidup. Niat orang-orang yang memilih untuk tetap lajang, atau mereka yang belum menemukan pasangan, selalu ditemui dengan kata-kata dorongan untuk “tetap semangat” atau “jangan putus asa!”. Tidak perlu melihat keluar, tekanan paling besar untuk mendapatkan pasangan kerap datang dari keluarga sendiri. Menariknya, di sisi lain semakin banyak orang yang menggunakan waktu lajang untuk merintis karier, juga sebagai kesempatan untuk mengenal diri sendiri. Hari ini, kami berbincang dengan beberapa figur, mulai dari organisasi kesehatan mental, hingga pre-marital counselor tentang tekanan sosial dalam mencari pasangan, stigma-stigma yang kerap dihadapi ketika masih “single”, hingga menggunakan waktu lajang sebagai kesempatan untuk mencari jati diri.
Emily Jasmine
Co-Founder Ubah Stigma
Untuk banyak orang, mendapatkan pasangan atau menikah masih merupakan cita-cita terbesar dalam hidup. Bagaimana Anda menanggapi pemikiran ini?
Menurut saya, cita-cita untuk menikah adalah sebuah mindset yang dibentuk oleh budaya sekitar kita, terutama untuk wanita. Untuk banyak wanita, mereka lebih sering diajarkan oleh orang-orang disekitarnya untuk menikah dengan seorang lelaki yang mapan dan berkepenuhan supaya bisa mempunyai masa depan yang baik. Walaupun dengan berjalannya waktu, mindset itu mulai berubah dan wanita juga dianjurkan untuk bekerja, berkarir dan mempunyai prestasi sendiri, masih banyak yang mempunyai pemikiran bahwa karir mereka itu hanya sementara sampai saatnya mereka menikah.
Sebaliknya, semakin banyak pula masyarakat yang memilih untuk tetap single lebih lama untuk fokus ke aspek hidup lain seperti karier atau self-growth. Secara pribadi, bagaimana Anda melihat situasi ini?
Saya melihat self-growth sebagai hal yang berlanjut selama hidup kita. Menurut saya, kita sebagai manusia harus terus belajar dan memperbaiki diri kita selamanya, karena self-growth tidak kenal umur. Dan menurut saya, momen di hidup kita di mana self-growth itu paling penting adalah sebelum kita menikah. Kenapa? Karena menikah adalah sebuah komitmen yang besar, bukan hanya ke pasangan Anda tapi juga ke keluarga Anda nantinya. Jadi sebenarnya mau kita single ataupun mempunyai pasangan, kita masih tetap bisa fokus kepada self-growth kita.
Melihat kerabat dalam satu kelompok pertemanan yang satu-persatu mulai membangun keluarga memberikan tekanan bagi kita yang belum menemukan pasangan atau tidak menginginkan hal tersebut. Bagaimana kita dapat merasa secure dalam fase hidup ini tanpa harus memenuhi ekspektasi eksternal?
Kita harus selalu ingat bahwa semua orang mempunyai timeline mereka sendiri. Ada orang yang mungkin menikah muda atau ada orang yang mungkin menikah nya lebih tua atau mungkin ada yang memilih untuk tidak menikah sama sekali, dan menurut saya itu semua tergantung timeline kita masing-masing. Sebenarnya tidak ada waktu spesifik di mana hal-hal seperti menikah ataupun lulus sekolah atau sukses di karir harus terjadi. Rasa tekanan yang ada tentang menikah di umur tertentu itu semuanya karena budaya dan orang-orang sekeliling kita. Saat kita dapat menerima bahwa semua orang mempunyai jalan mereka masing-masing, tekanan-tekanan seperti itu tidak akan mengganggu kita lagi.
Masyarakat Indonesia, terutama perempuan, mempunyai tekanan yang lebih banyak untuk mencari pasangan. Jika belum menikah di umur yang “pantas”, dapat dipandang rendah oleh keluarga, rekan ataupun masyarakat. Apa opini Anda terhadap hal tersebut? Apakah statement tersebut masih relevan dalam era modern ini?
Statement ini masih sangat relevan dalam era modern ini, karena walaupun sudah banyak millennials dan generation Z yang lebih terbuka dengan mindset bahwa menjadi wanita itu lebih dari sekedar menjadi seorang istri dan ibu, masih banyak orang-orang yang masih mempunyai mindset seperti itu. Menurut saya, tekanan seperti itu pasti selalu datang di dunia patriarki ini, dan butuh diingat, apalagi kepada wanita bahwa, entah Anda ingin menikah atau tidak adalah pilihan Anda. Jika Anda memilih untuk fokus kepada karir, maka fokuslah kepada karir Anda. Jika Anda memilih untuk menikah, maka menikahlah.
Realitanya, tidak ada peraturan dan jalan yang pasti terkait kapan saatnya menikah dan kapan saatnya menjadi ibu, itu semua adalah konsep yang diciptakan masyarakat untuk meletakkan wanita ke dalam sebuah kotak. Saat Anda menyadari bahwa ini adalah bentuk hasil dari patriarki, Anda dapat mengabaikannya dan merangkul kekuatan yang datang dari menjadi seorang wanita.
Dewasa ini, pelajaran-pelajaran penting apa yang telah Anda temukan selama menjalani masa sendiri?
Saya belajar untuk menjadi sahabat bagi diri saya sendiri, dan untuk menjadi lebih mandiri. Di saat saya suka bersendiri dan merasa bahwa itu cukup, saya tidak lagi berekspektasi kepada orang lain untuk memenuhi saya. Membuat saya senang bukanlah tanggung jawab orang lain, itu adalah tanggung jawab diri saya sendiri. Terkadang, kita harus terpaksa untuk bersendiri untuk menyadari hal itu.
Akan tetapi, saya mempelajari itu semua sebenarnya dengan mempunyai hubungan LDR. Dengan adanya jarak antara saya dan pasangan saya, saya perlahan-lahan mempelajari itu semua. Setelah itu, ekspektasi saya terhadap pasangan saya jadi mengurang dan kita bisa lebih menikmati waktu kita bersama karena itu.
Rani Anggraeni Dewi
Psikolog dan Pendiri IndonesiaBahagia.id
Untuk banyak orang, mendapatkan pasangan atau menikah masih merupakan cita-cita terbesar dalam hidup. Bagaimana Anda menanggapi pemikiran ini?
Untuk orang Timur seperti Indonesia bisa jadi masih. Karena pertama, bangsa kita adalah bangsa yang religius di mana di dalam agama terdapat ajaran bahwa tujuan pernikahan adalah untuk melanjutkan keturunan. Kedua, kepatuhan pada norma-norma dari hukum agama yang melarang hubungan intim di luar pernikahan, sehingga pernikahan adalah cara untuk memenuhi kebutuhan biologis yang sah dan halal. Ketiga, percaya bahwa pernikahan memberi kebahagiaan kepada manusia. Keempat, bangsa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisi budaya, antara lain bahwa pernikahan merupakan simbol keberhasilan sebuah keluarga dan sebuah harapan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Sebaliknya, semakin banyak pula masyarakat yang memilih untuk tetap single lebih lama untuk fokus ke aspek hidup lain seperti karier atau self-growth. Secara pribadi, bagaimana Anda melihat situasi ini?
Menurut saya tergantung values dan filosofi hidup yang mendasarinya. Saya melihat hal ini dari dua aspek. Pertama, aspek values. Jika materialisme yang menjadi faktor pemberi kebahagiaan, maka mereka akan mendahulukan kemapanan secara materi terlebih dulu sebelum masuk ke jenjang pernikahan. Kedua, filosofi hidup. Seseorang yang memiliki tujuan hidup bahwa manusia yang bahagia adalah ketika ia dapat mencapai pengembangan diri yang tertinggi yaitu ketika sampai jenjang aktualisasi diri (teori Maslow). Orang tipe ini menganggap pernikahan bisa menjadi penghambat tujuannya ini, sehingga mereka memilih untuk tetap single. Sebab, ketika sudah meraih jenjang tertinggi ini, ia merasa sdh meraih kebahagiaan. Keempat, mereka paham bahwa dibutuhkan kedewasaan dan kematangan emosional dalam menjalani perkawinan, maka mereka akan mengutamakan dahulu pertumbuhan pribadi ketimbang terburu buru menikah. Bagi saya seseorang yang mau menikah, adalah lebih baik jika pasangan sudah dewasa, tidak saja secara biologis tetapi juga matang dan sehat secara emosional.
Melihat kerabat dalam satu kelompok pertemanan yang satu-persatu mulai membangun keluarga memberikan tekanan bagi kita yang belum menemukan pasangan atau tidak menginginkan hal tersebut. Bagaimana kita dapat merasa secure dalam fase hidup ini tanpa harus memenuhi ekspektasi eksternal?
Hendaknya seseorang memiliki tujuan hidup, memiliki Self Esteem, mengenal kebutuhan dirinya dalam menjalani kehidupan. Teruslah mengembangkan diri baik secara intelektual, maupun emosional bahkan spiritual. Lihat pernikahan sebagai pilihan hidup, bukan suatu kewajiban. Maka pasangan akan menjalani perkawinan secara sadar, kemauan sendiri dan karena itu, siap bertanggung jawab atas konsekuensi logis yang akan dihadapi dalam perkawinan.
Masyarakat Indonesia, terutama perempuan, mempunyai tekanan yang lebih banyak untuk mencari pasangan. Jika belum menikah di umur yang “pantas”, dapat dipandang rendah oleh keluarga, rekan ataupun masyarakat. Apa opini Anda terhadap hal tersebut? Apakah statement tersebut masih relevan dalam era modern ini?
Jawabannya bisa iya bisa tidak. Again, tergantung nilai-nilai tradisi dan falsafah hidup yang dipegang. Namun, melihat perkembangan zaman dan kehidupan modern di mana sudah banyak kesempatan bagi perempuan untuk meraih pendidikan tinggi maka statement tersebut sudah kurang relevan. Menikah dengan umur yang “pantas” tidak dapat ditentukan secara baku sebab bisa bergeser dari generasi ke generasi. Menurut saya, mengingat perempuan adalah sumber utama dan pertama dalam pendidikan karakter seorang manusia, maka sangat penting bagi perempuan untuk memiliki ilmu dan pengetahuan yang memadai serta independent sebelum memasuki pernikahan.
Dewasa ini, pelajaran-pelajaran penting apa yang telah Anda temukan selama menjalani masa sendiri?
Manusia secara alami tetap membutuhkan “teman hidup” untuk saling berbagi cinta kasih dan kebahagiaan serta dukungan intens dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Sebagai makhluk sosial, dalam perkembangannya, manusia tak luput dari kekurangan dan penderitaan, maka pasangan kita dapat mengisi kekurangan kita dan memberi peluang bagi kita untuk terus bertumbuh hingga mencapai keutuhan.
Sendiri bukan berarti kesepian. Tidak jarang dalam kesendirian justru bisa memaknai lebih dalam apa arti kebebasan.
Yodhananta Soewandi
Praktisi Meditasi
Untuk banyak orang, mendapatkan pasangan atau menikah masih merupakan cita-cita terbesar dalam hidup. Bagaimana Anda menanggapi pemikiran ini?
Banyak sekali orang menganggap mendapatkan pasangan dan menikah sebagai salah satu objektif utama di dalam hidup. Saya, seperti mayoritas orang, berpikir seperti ini sebelumnya, terhanyut oleh nasihat dari orang tua, arahan dari lingkungan sosial dan persembahan dari media. Berkali-kali kita diprogram untuk mengikuti sebuah definisi yang menurut saya perlu diperbarui. Untuk memiliki cita-cita seperti ini sangat valid, tetapi harus terdorong oleh keinginan hati dan harapan pribadi, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Proses pemikiran di belakang cita-cita ini yang bisa menjatuhkan kita dan mengarahkan kita ke sebuah keputusan yang tidak sesuai dengan diri kita dan mempengaruhi kebahagiaan kita.
Pada saat saya mencari pasangan dengan tekanan-tekanan ini, saya sangat stres, merasa mengejar sebuah deadline yang tambah dekat setiap saya merayakan ulang tahun. Dan lebih aneh lagi, saya pada waktu itu yakin bahwa hidup saya pasti akan lebih baik setelah nikah, seolah-olah seperti Aladdin yang diberkati dengan Lentera Ajaib. Sebuah khayalan terbangun oleh film seperti “Notting Hill”, “Romeo & Juliet” dan “You’ve Got Mail” yang telah menyabotase diri saya dengan membangun ekspektasi yang tidak realistis mengenai pernikahan dan hubungan antar pasangan. Dengan kita tidak membebani diri seperti ini, kita bisa menjalani hidup lebih positif yang akan membantu untuk menciptakan hidup yang terbaik untuk diri kita.
Sebaliknya, semakin banyak pula masyarakat yang memilih untuk tetap single lebih lama untuk fokus ke aspek hidup lain seperti karier atau self-growth. Secara pribadi, bagaimana Anda melihat situasi ini?
Saya sangat mendukung inisiatif ini karena keputusan untuk menjalani hidup dengan orang lain sangat signifikan dan membutuhkan waktu karena bisa memiliki dampak di luar bayangan kita di awal. Oleh karena itu, keputusan ini hanya bisa ditentukan oleh diri sendiri sesuai ketersediaan dan jangka waktu atau timeline masing-masing.
Seperti kasih sayang yang tidak bisa diberikan kepada orang lain apabila kita sendiri tidak bisa mengasihi diri sendiri; kebahagiaan, kenyamanan dan keselarasan tidak bisa diberikan kepada pasangan kita apabila kita sendiri belum memilikinya terlebih dahulu. Ini pentingnya tahap self-growth, untuk membekali diri dengan kebijakan tidak hanya untuk menghadapi tantangan di dalam hidup pribadi tetapi juga untuk menguatkan fondasi hubungan dengan pasangan.
Pada saat yang sama kembali lagi ke individu, apabila belum ada dorongan untuk mencari pasangan atau menikah, itu adalah hak masing-masing; karena yang paling penting adalah kebahagiaan pribadi supaya hidup dan dunia ini lebih terisi dengan kebahagiaan.
Melihat kerabat dalam satu kelompok pertemanan yang satu-persatu mulai membangun keluarga memberikan tekanan bagi kita yang belum menemukan pasangan atau tidak menginginkan hal tersebut. Bagaimana kita dapat merasa secure dalam fase hidup ini tanpa harus memenuhi ekspektasi eksternal?
Penting sekali untuk mengingatkan kepada diri sendiri, bahwa perjalanan hidup setiap orang beda-beda dan kita sendiri sedang dalam proses menulis kisah hidup kita sendiri. Tetapi pada saat kita mengizinkan narasi atau perjalanan hidup orang lain menentukan kesuksesan dan kebahagiaan kita, kita terjebak oleh ego yang menjatuhkan dengan kecemasan, ekspektasi dan kegelisahan. Berusaha untuk tidak membandingkan diri dan fokus kepada kisah yang ingin ditulis.
Untuk saya pribadi segala stres, tekanan dan ketidaknyamanan yang saya hadapi, saya atasi dan proses melalui meditasi. Di dalam meditasi kita bisa mengadakan percakapan positif internal yang mengembalikan kita kepada hati dan diri kita. Dengan selalu mengakar diri kepada jiwa, kita bisa menghargai penuh dengan kesadaran titik dimanapun kita berada di dalam hidup dan melestarikan sudut pandang yang positif.
Masyarakat Indonesia, terutama perempuan, mempunyai tekanan yang lebih banyak untuk mencari pasangan. Jika belum menikah di umur yang “pantas”, dapat dipandang rendah oleh keluarga, rekan ataupun masyarakat. Apa opini Anda terhadap hal tersebut? Apakah statement tersebut masih relevan dalam era modern ini?
Stigma ini sudah tidak relevan di era modern ini yang mengutamakan kesetaraan antar gender, ras dan manusia. Sedikit aneh di mata saya apabila kita mengatakan bahwa perempuan diberikan peluang yang sama dengan laki-laki di bidang karir tetapi tidak diberikan leluasa yang sama dalam kehidupan pribadinya. Laki-laki ataupun perempuan wajib memiliki hak dan kesempatan yang sama, karena perbedaan dan meletakkan orang (jenis kelamin) ke kategori dan definisi spesifik hanya menguatkan pemisahan dan tidak kondusif terhadap filosofi sinergi yang bisa membangun umat manusia dan dunia.
Dewasa ini, pelajaran-pelajaran penting apa yang telah Anda temukan selama menjalani masa sendiri?
Pada saat saya membebaskan diri saya dari ekspektasi dan tekanan lingkungan berhubungan dengan saya menikah, saya memiliki sudut pandang terbuka dan tidak lagi melihat pencarian pasangan sebagai target. Keheningan yang didapatkan telah memberikan saya kesempatan untuk melalui proses self-growth yang dikuatkan oleh meditasi dan program transformasi bernama “Awaken The Divine You”. Dengan saya merasa selaras dan nyaman dengan diri saya sendiri pasangan hidup saya dengan sendirinya hadir di dalam hidup saya tanpa bayangan seperti mukjizat.
Hanya saya di dunia ini yang benar-benar memahami apa yang saya sendiri rasakan dan pikirkan, maka hidup ini adalah tanggung jawab saya pribadi. Pada saat kita menyerahkan wewenang ini kepada orang lain, siapapun itu, pada saat kita dewasa, itu sama dengan kita membuang kurnia yang telah diberikan oleh Tuhan yaitu hidup ini. Suara yang perlu di dengarkan paling pertama adalah suara hati dan ingat untuk selalu yakin kepada diri sendiri; karena segala tantangan yang kita hadapi, walaupun kita telah dibantu oleh orang lain, kita sendiri yang beraksi terlebih dahulu untuk menghadapinya. Rayakan keajaiban yaitu dirimu dan hidupmu, apapun bentuknya.