Di Balik Meningkatnya Popularitas Format Podcast
Berbincang dengan sederet figur di balik konten podcast populer bersama Iyas Lawrence dari Makna Talks, hingga Tio Utomo dari Box2BoxID.
Words by Ghina Sabrina
Desain: Tiana Olivia
Sebagai konsumen media, kita sekarang dihadapkan oleh semakin banyak pilihan untuk menghabiskan waktu. Di antara jenis platform yang semakin beragam, salah satu darinya yakni podcast telah mengalami peningkatan popularitas akhir-akhir ini. Memiliki format audio bersifat on-demand, para pendengar dapat mengkonsumsi media ini kapan dan di mana saja. Ditambah lagi dengan jumlah konten yang kian bertambah, mulai dari bahasan cerita-cerita misteri, komedi, hingga interview, ada banyak alasan kenapa jenis media ini semakin digandrungi. Melihat tren ini, kami berbincang dengan sederet sosok yang ada di belakang konten podcast populer untuk mengetahui lebih dalam tentang jenis media ini.
Iyas Lawrence
Makna Talks
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Saya rasa ada perbedaan antara segmen radio dan podcast, jadi pasarnya berbeda. Meningkatnya popularitas podcast mungkin awalnya adalah ketertarikan pasar terhadap format media baru yang dapat mengungkapkan opini secara bebas tanpa adanya sensor dan ratusan pilihan topik yang sesuai dengan demand. Sesuatu yang mudah diakses, bebas berpendapat, menghibur dan (terkadang) berbobot.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, apa alasan di balik hal ini?
Konten dalam podcast bisa dibilang adalah konten satu sisi dimana tidak banyak orang bisa komentar atau berinteraksi tanpa adanya format media pihak ketiga. Dengan hanya adanya jumlah plays dan stream dari statistik yang disediakan dan minimnya interaksi, akan lebih bebas sumber berbicara. Ditambah tidak adanya pantauan dari KPI jadi mungkin itu alasan kenapa kebanyakan podcast sangat personal dan terbuka.
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Mungkin salah satu faktor utama bukan dari output atau cara penyampaian pendapat tetapi dari konten podcast yang didengarkan. Mendengarkan lebih dari 1 orang berbicara dengan durasi panjang membicarakan topik yang berbeda itu jarang kali dilakukan media lain karena alasan durasi pendek, iklan yang menunggu tayang atau banyaknya aturan dari pihak ketiga. Kebebasan ini adalah alasan utama dari perbedaan podcast dengan media lainya.
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
Bisa dibilang iya karena terlalu banyak pilihan untuk ditonton di YouTube dan belakangan ini algoritma YouTube yang berantakan bisa membuat orang orang ingin mendengarkan sesuatu yang lebih mudah diakses seperti podcast dari digital platform seperti Spotify, Apple Podcast atau Soundcloud.
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Belakangan ini sedang sering mendengarkan RAPOT, podcast yang sebetulnya susah dijelaskan tentang apa tetapi lebih sering tertawa dibandingkan berbicara. Ada juga teman-teman dari Box2Box media network yang punya banyak sekali program seperti Retropus, Box2BoxID dan Boker.
Rizky Ardi Nugroho
Do You See What I See?
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Saya melihat semua yang serba on-demand saat ini sedang naik daun, terutama di kalangan millenials yang beberapa tahun belakangan ini banyak dijejali dengan konsep on-demand. Berawal dari eranya YouTube, Spotify, Netflix dan yang sejenis, kemudian podcast juga perlahan naik daun sejak tahun 2018 dibawa oleh Apple Podcast dan Spotify serta beberapa YouTuber luar negeri mulai bereksplorasi di media podcast. Radio tetap saja masih punya pasar tersendiri yang saya pikir tidak menyusut juga. Hanya saja dengan adanya hiburan yang on-demand pendengar jadi lebih leluasa memilih sesuai dengan kesukaan mereka.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, bagaimana melihat keadaan yang demikian?
Media dalam bentuk hanya-suara bisa jadi sangat personal, apalagi kebanyakan pendengar podcast itu menggunakan earphone dan mendengar dalam waktu-waktu senggang, jadi sang pemilik podcast dan pendengar serasa bertatap langsung.
Ketidakadaan sensor dan komen membuat sang pemilik podcast merasa bebas dan berpendapat, hal ini banyak dibahas oleh teman-teman podcasters yang dibandingkan dengan YouTuber, jadi mereka merasa lebih bebas di media podcast ketimbang media lain.
Terakhir, mungkin podcaster yang banyak saat ini masih banyak membahas masalah keresahan pribadi dan topik-topik personal serta detail jadi masih terkesan spesifik dan personal, namun ke depan saya sih yakin konten podcast akan semakin beragam dan berwarna, tidak melulu sesuatu yang spesifik dan personal.
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Yang paling utama adalah pendengar dibiarkan berimajinasi sendiri dengan audio tanpa ada arahan visual. Mereka juga bebas beraktivitas lain tanpa harus terpaku dengan layar. Jadi pendengar bisa nyaman beraktivitas apapun sambil mendengarkan podcast. Hal ini berbeda sekali dengan konsep media visual seperti YouTube atau sosial media yang mengharuskan engagement dengan visual.
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
Saya rasa tidak juga ya. Saya lihat podcast itu dipandang sebagai media baru saja. Sehingga mereka masih penasaran baik kreator podcastnya maupun pendengarnya. Saat ini podcast pun masih sangat baby, belum ada sistem monetize yang baku bagi para kreator jadi masih seperti YouTube di era awal. Jika sudah matang mungkin nanti akan semakin banyak kreator yang masuk dan pendengarnya pun akan semakin bertambah. Sifatnya diversifikasi hiburan lah mungkin. Kalau imbas jenuh dari YouTube saya rasa tidak. Malahan saya sendiri juga mem-posting konten podcast saya di YouTube juga dan mendatangkan massa yang berbeda.
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Banyak sekali yang saya dengarkan di podcast beberapa diantaranya konten agama, motivasi dan cerita baik dari dalam maupun luar negeri.
Dochi Sadega
Katadochi
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Saya pertama into podcast karena Jakarta macet banget dan hiburan lagu sudah tidak mempan lagi, soalnya kalau mendengarkan lagu kan 3-4 menit habis, terus rasanya perjalanan kok masih lama. Terus saya menemukan podcast Jeff Staple di Spotify and I’m hooked. Kadang jalan jadi lebih santai karena tidak mau turun dari mobil sampai podcast-nya selesai. Bahkan kalau sudah di tempat parkir tapi belum selesai, saya dengar sampai habis dulu baru turun. Kalau lagu kan ya sudah, terhibur saja, tapi kalau podcast ada wawasan dan knowledge baru setelah didengarkan.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, bagaimana melihat keadaan yang demikian?
Tergantung subjeknya kok, banyak juga podcast di luar sana yang sampah dan saya tidak tertarik mendengarkan, yang tidak jelas membicarakan apa. Kalau lebih personal karena menurut saya tidak ada batasan durasi, beda seperti interview radio dan terpotong lagu dan iklan juga kan. Lalu narasumber bisa lebih lepas karena biasanya tidak melulu harus indoor dan bisa dimana saja, dan karena audio tidak ada rasa canggung di depan kamera. Lebih lepas aja!
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Dengerin podcast, apalagi memakai headset, rasanya kayak menyimak orang ngobrol di samping atau depan kita langsung, terasa jadi bagian di perbincangan.
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
I don’t know about that, tapi saya sendiri start podcast karena terpikir kadang kalau mengobrol dengan orang itu bisa ‘dalam’ banget mengulik, tapi sayang kalau yang diobrolin tidak terekam (tertawa) dan ternyata setelah mencoba merekam obrolan, orang lain mendengarkan, orang malah jadi belajar dari obrolan itu. Plus, mau buat konten YouTube rasanya lebih effort aja editing-nya.
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Mosty stories behind brands. Pertama dengar podcast itu interview Bobby Hundreds dengan siapa gitu lupa. Lalu nyambung ke Bobby Hundreds di-interview Jeff Staple di “Business of Hype”. Dari situ jadi mendengarkan semua “Business of Hype”. Main-main ke podcast saya saja di Spotify namanya “Kata Dochi”, terinspirasi dari situ.
Bobby Mandela
Podcast Boker
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Sejujurnya saya juga baru di dunia podcast ini tapi kalau memang itu ada peningkatan mungkin karena kalau obrolan di radio kan biasanya tidak bisa terlalu “dalam” dan lama dinikmati karena ada keharusan memasang iklan dan lagu. Melihat perkembangan radio beberapa tahun terakhir ini, memang isinya bisa dibilang hampir sama semua, yang lebih dijual adalah musiknya dan radio-radio mainstream memutarkan musik yang nyaris sama. 10 atau 15 tahun lalu, radio itu lebih mengedepankan pembicaraan penyiarnya dan bahasan bisa lebih dalam. Biasanya sih penyiar-penyiar radio yang show-nya malam hari sih seperti itu, soalnya kalau malam kan relatif lebih ada ruang untuk melangsungkan pembicaraan lebih lama karena biasanya iklannya jarang itu kalau di waktu malam. Mungkin kenapa popularitas podcast meningkat itu karena pendengar rindu akan obrolan mendalam dari penyiarnya. Kalau zaman sekarang mau mendengarkan musik mayoritas ke Spotify atau Apple Music.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, bagaimana melihat keadaan yang demikian?
Karena di podcast lebih bebas saja sih. Kita memilih topik yang kita bahas sehari-hari dengan teman dekat. Kalau mengobrol sama teman dekat kan tidak dibatasi durasi, topik atau cara penyampaian. Bisa ngomong jorok juga. Buat saat ini, kami bisa masih ngomong apapun yang kita mau karena regulasinya belum rumit. Kebebasan bicara dan beropini di podcast so far lebih terjamin. Semoga untuk seterusnya juga. Karena topik tidak dibatasi, jadi ya lebih sans lah. Tidak harus takut ngomong seperti di radio. Kebetulan sebelum Podcast Boker, saya, Ryo Wicaksono dan Molen Kasetra itu sama-sama besar di radio. Bahkan saya dan Ryo masih di radio sampai sekarang. Podcast ini bisa dibilang semacam platform “balas dendam” kami untuk bahas hal-hal yang dilarang waktu di radio dan ada ruang lebih bebas untuk menceritakan perspektif atau pengalaman personal. Kalau misalnya kontennya relate secara personal buat orang lain ya bonus aja sih itu.
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Kadang kami masih terdengar seperti siaran radio. Misalnya pada awal-awal saya dan Ryo kalau lagi podcast suka dead air, lalu kami buru-buru ngomong supaya tidak dead air, itu kan radio banget tuh. Padahal ini podcast, ya bodo amat juga sih kalau cuma dead air berapa detik doang, sebenarnya tidak apa-apa. Cuma ya karena kebiasaan saja sih.
Kalau melihat tools yang dipakai standard broadcast, untuk audio jelas lebih bagus radio dibanding podcast. Tapi sekarang sudah banyak juga sih podcast yang audionya proper niat gitu. Kalau podcast di luar sana, Joe Rogan sih yang standar audionya sudah ok banget. Tapi kalau di lokal ya masih banyak juga yang podcastnya terdengar seperti cuma direkam dari handphone doang trus ditaruh begitu saja. Oh, sama kalau podcast lebih enak buat pendengar karena kalau misalnya ada yang lucu bisa di rewind. Kalau di radio ada yang lucu ya sudah, lewat gitu aja, tidak bisa diulang. Kalau di podcast terus ada momen “Eh ngomong apa tadi?”, tinggal ulang aja (tertawa).
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
Kalau di luar itu ada tren podcast naik karena orang ada kejenuhan dengan yang sifatnya audio visual, karena yang audio visual banyak banget yang mirip, dan sudah template. Seakan-akan memang harus seperti gitu, misalnya begitu ngomong on-cam, “Hai guys, gue sekarang lagi di bla bla bla”, Nah di luar juga begitu. Makanya ada titik jenuh orang dengan hiburan yang audio visual. Mungkin itu kali yang buat orang jadi pindah ke podcast. Selain itu kan bisa didengarkan sambil menyetir juga atau saat lagi di MRT atau di manapun. Karena format podcast yang cuma audio, jadi lebih bisa memainkan “theatre of mind” para pendengar.
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Kalau jenis program, saya random saja sebenarnya. Tapi yang lumayan sering saya dengarkan itu untuk program lokal adalah Makna Talks, Rapot, Amwave. Kadang saya mendengarkan ulang podcast saya sendiri, buat ngecek saja sih (tertawa). Kalau podcast luar yang seru menurut saya itu Conan O’Brien, Joe Rogan dan Fresh Air-nya NPR.
Anugrah Aditya
THE SNKRS
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Kita hidup di era digital dan informasi yang cepat, ini hubungannya adalah membuat semua orang bisa dengan mudah mempunyai akses informasi dan mempunyai preferences masing-masing. Adanya podcast menjawab kebutuhan informasi atau konten sesuai kebutuhan tiap orang, dimana pemilihan kontak ini tidak bisa dipenuhi oleh radio.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, bagaimana melihat keadaan yang demikian?
Disebabkan sifat podcast yang umumnya independen, tidak dimasuki kepentingan brand yang beriklan dengan larangan pembahasan ini dan itu. Kreator bisa dengan bebas bicarakan apa yang mereka mau dan menggali narasumber tanpa batasan. Batasannya cuma persetujuan narasumber, itupun kalau ada narasumbernya.
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Pengalaman memilih konten itu sendiri. Kalau radio, kita tidak bisa memilih bahasan penyiarnya ketika siaran. Kalau podcast, tinggal pilih topik yang kita suka.
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
Tidak juga, YouTube punya sentuhan dan market sendiri, visual ya visual menurut saya. Hanya beberapa orang yang mobile bisa menyerap konten lebih mudah dalam format audio saja – contoh ketika commuting atau mengemudi.
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Yang sering saya dengar kira-kira podcast dengan tema creative-based dan komedi.
Bagaimana Anda melihat alasan di balik meningkatnya popularitas podcast di tengah eksistensi radio?
Dari tahun lalu sebenarnya popularitas podcast sudah tinggi, sudah banyak yang buat. Sejak 3-4 tahun lalu sudah banyak yang buat tapi belum banyak yang nge-boost. Podcast di Indonesia ini baru di-boost sekitar 1-1.5 tahun belakangan ini. Ketika saya memulai Box2BoxID ini sama Pangeran Siahaan tahun lalu, yang main itu tidak sebanyak sekarang jadi podcast kami bisa langsung naik. Cara mengkonsumsi podcast juga dimudahkan dengan adanya aplikasi Anchor yang bisa mempermudah proses upload podcast dan bisa langsung masuk Spotify. Menariknya di Spotify juga ada chart-nya jadi semua bisa dilihat di sana.
Itu sih alasan kenapa podcast bisa naik, ditambah lagi juga karena banyak public figure yang bikin podcast juga seperti Reza Chandika, Raditya Dika. Menarik sih sebenarnya, bisa dibilang kita semua senang dengan keberadaan mereka karena itu membantu nge-boost podcast saya. Jadi orang tahu podcast itu apa, lalu bagaimana sebenarnya podcast itu bekerja di Indonesia, apakah menguntungkan apa tidak. Jadi banyak sekarang yang buat podcast, walaupun ada juga yang bikin cuma karena hobi doang.
Saya dari tahun 2007 masih bekerja di radio sampai sekarang. Radio akan tetap ada walaupun dengan efisiensi budget mereka pasti mereka tetap ada. Karena, tidak mungkin menyuruh misalnya para pendengar musik dangdut yang di Tanah Abang atau di pasar-pasar yang masih memutarkan radio untuk mendengarkan podcast yang menggunakan kuota karena mereka lebih memilih untuk menggunakan kuota untuk YouTube. Radio tidak akan mati, cuma mungkin yang akan berubah adalah sistem penjualan dan iklan mereka karena sangat berpengaruh sekali sih dengan keadaan sekarang yang lebih ke digital.
Kemarin itu, saya mendengar iklan dari persatuan radio seluruh Indonesia, konsep iklan dari mereka itu ada dua orang ngobrol terus ada satu orang bilang, “Dengerin CD gue aja”. It’s 2019 dan lo masih mendengarkan CD? Mungkin mereka tidak berani untuk head-to-head dengan streaming channel, saya juga tidak tahu alasan untuk konsep iklan seperti itu. Karena, di tahun 2019, yang pakai CD berapa orang sih? Apalagi anak-anak umur 15-25 itu pasti kebanyakan menggunakan streaming channel seperti Spotify, Apple Music, Joox dan kawan-kawannya. Jadi, menurut saya mereka terancam dengan streaming channel tapi tidak bakal mati karena mereka abadi juga. Tapi itu, dari segi bisnis pasti akan berubah.
Topik bahasan yang terdapat di podcast bisa lebih spesifik dan personal dibandingkan medium lainnya, bagaimana melihat keadaan yang demikian?
Sebenarnya kenapa bisa lebih spesifik itu karena di podcast, pendengarnya kan mendengarkan konten sesuai dengan keinginan. Beda dengan radio yang bersifat mass. Kalau podcast, karena bisa mendengarkan konten on-demand, misalnya suka dengan topik bola, yang didengarkan pasti podcast yang berhubungan dengan bola. Itu juga sih yang membuat topiknya lebih spesifik dan itu juga salah satu trik untuk meng-grab pendengar untuk mendengarkan konten podcast lo, karena misalkan lo bukan siapa-siapa terus lo membahas soal hidup, lo siapa, Mario Teguh? Bukan. Jadi, maksud saya, kenapa podcast bisa jadi lebih spesifik karena obrolan yang ada di dalamnya bisa datang dari hari aja gitu. Tidak perlu dibuat-buat. Terus ya, itu juga salah satu hal yang membuat podcast berbeda dengan radio, yaitu dengan konten yang lebih personal dan spesifik. Banyak juga teman saya yang membuat konten podcast sendirian, dan hasilnya bagus banget karena memang market-nya di situ, dia bisa menarik perhatian pasar.
Selain format audio, apa yang membuat pengalaman mendengar podcast berbeda dari media lainnya?
Karena bisa didengarkan di mana saja, apalagi sekarang platform untuk podcast sudah banyak mulai dari Spotify, Joox, you name it. Kalau di Box2Box, saya juga merekam video di saat taping podcast tapi video itu akan baru ditayangkan 2-3 hari setelah podcast audionya jadi.
Podcast itu hampir sama seperti radio yang membentuk theatre of mind para pendengar – apa yang sedang dibicarakan bisa terbayang oleh mereka dan itu yang membuat orang tertarik. Walaupun hanya format audio, orang-orang jadi ingin berada di dalam obrolan itu. Jadi, itu salah satu hal yang membuat pengalaman mendengarkan podcast berbeda. Kalau di radio, obrolannya cuma ada sekitar 1-2 menit dan topiknya pun itu-itu saja, tapi, kalau di podcast, misalnya sedang membicarakan soal horor, ketika host-nya lagi bercerita, para pendengar akan merasa sedang ada di tempat itu. Kalau topiknya bola, ketika para host lagi berdebat, para pendengar juga merasa ingin berada di situ dan ikutan komen. Jadi, itu sih yang membuat pengalaman mendengarkan podcast berbeda dari media lain, karena adanya esensi theatre of mind di benak para pendengar.
Menurut Anda, apakah meningkatnya jumlah konten dan pendengar podcast berhubungan dengan kejenuhan pada konten video di YouTube?
Dibilang jenuh juga tidak sih. Saya juga punya video di YouTube, yaitu video penuh podcast saya yang naiknya 2-3 hari setelah audio karena memang saya ingin memaksimalkan audio dulu. Kalau di YouTube, saya pribadi cuma buka untuk mencari apa yang saya butuhkan. Jadi, dibilang jenuh juga tidak, tapi meningkatnya pendengar podcast mungkin karena kalau podcast, kuota yang dipakai tidak sebanyak yang dihabiskan sama YouTube karena berbentuk video. Walaupun orang Indonesia, saya akui, masih visual banget. Mereka kalau mendengarkan audio ya biasanya untuk lagu saja. Jadi, ini kami sedang berusaha untuk mengubah habit mereka. Plus juga orang yang commute kan dari daerah suburbs, misalnya dari daerah Bintaro, Bekasi, BSD, mereka naik KRL, MRT, sampai bis, dan walaupun bisa mendengarkan musik, tapi mereka juga bisa mendengarkan obrolan sambil melakukan aktivitas lain. Jadi, itu juga yang membuat semakin banyak orang mendengarkan podcast.
Media podcast juga bukan media tipu-tipu. Gini, kalau membicarakan soal YouTube, konten tersebut masih bisa berlindung di bawah script atau mungkin di balik paras wajah yang menarik. Sementara, kalau di podcast, itu kan sumber omongan jadi ketika obrolannya aneh, tidak bisa menutupi kalau ya memang bodoh saja. Jadi, itu juga mungkin yang membuat orang lebih senang mendengarkan podcast karena menarik obrolannya dan mungkin karena kalau sekarang melihat konten yang lagi viral di YouTube itu masa orang makan mie? Aneh kan?
Jenis program apakah yang sering Anda dengar dalam bentuk podcast?
Saya lagi mendengarkan macam-macam sih. Tapi kalau biasanya, karena saya bekerja di dunia olahraga, saya pastinya mendengarkan podcast tentang bola seperti Football Ramble dan Guardian Football. Saya juga mendengarkan podcast milik anak-anak kok seperti Retropus, Do You See What I See? dan Rapot. Tapi yang paling sering didengarkan ya podcast tentang bola sih karena saya butuh insights soal itu. Kan saya juga punya podcast tentang bola dan kerja di dunia bola jadi memang butuh insights dari sana.
–
Stasiun radio online asal London, NTS, akan menyelenggarakan siaran langsung untuk pertama kalinya di Jakarta pada tanggal 30 Juni 2019. Berkolaborasi dengan Studiorama, siaran NTS Live akan menghadirkan sederet DJ lokal ternama mulai dari Danger Dope, Munir, Batavia Strut, Irama Nusantara (David Tarigan), Dea Barandana, dan Aditya Permana. Sebelumnya, juga akan ada Aliansi Online Radio yang menggabungkan beragam radio online lokal untuk diskusi soal topik-topik relevan di industri. Acara ini akan dimulai pada jam 13.00 dan bisa didengarkan di sini.