Akhir Jalan Pragmatis Timnas Inggris
Analisa strategi Timnas Inggris, bagaimana Southgate membuka harapan dan bagaimana ia runtuh di hadapan kita.
Words by Muhammad Hilmi
Piala Dunia tahun ini, Inggris berangkat dengan harapan yang mungil. Mereka hanya menargetkan lolos ke babak perempat final – sebuah kerendahan diri (atau sikap realistis?) mengingat bagaimana mereka selalu digadang-gadang jadi juara setiap kali ikut kompetisi. Namun justru dengan target yang minim ini, mereka membuat fans Inggris di seluruh belahan dunia kembali bangga memakai jersey-nya, setidaknya sampai Mandzukic mengandaskan mimpi dini hari tadi.
Tahun ini, Inggris sejatinya memang berangkat dengan tim yang relatif tidak terlalu mentereng. Di bangku pelatih, ada Gareth Southgate, mantan gelandang Middlesbrough yang sempat membawa tim ini ke final UEFA Cup tahun 2006 (di sana mereka kalah 4-0 dari Sevilla). Dalam portofolio kepelatihannya, cuma ada Middlesbrough dan Timnas Inggris U-21. Di Middlesbrough, ia dipecat saat membawa tim ini degradasi ke Championship pada tahun ketiganya.
Di lapangan, timnas Inggris kali ini membawa skuad muda dengan nama-nama baru yang belum benar-benar terbukti kualitasnya. Rataan usia mereka tahun ini 26 tahun 18 hari, termuda kedua setelah Nigeria, setara dengan rataan tim Perancis – meski secara nama, talenta muda Perancis lebih unggul. Karena tentu, kita akan dengan senang hati memilih Kylian Mbappe – Ousmane Dembele daripada Marcus Rashford – Jesse Lingard jika itu memungkinkan.
Tapi nyatanya, pasukan Southgate bisa melaju cukup jauh dengan apa yang mereka punya. Salah satunya, adalah karena Southgate telah mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan baik. Dibantu asisten pelatih Steve Holland yang menjadi bagian dari kesuksesan Chelsea di bawah asuhan Antonio Conte pada tahun 2016, Southgate mengadaptasi formasi kekinian 3-5-2 yang mengandalkan kekuatan tiga bek tengah dan dinamisme bek sayap dalam membantu serangan, sekaligus melapis pertahanan. Dalam hal ini, Southgate tampaknya berhutang besar pada Guardiola. Seperti yang ditulis oleh Jamie Carragher di The Tribune, John Stones dan Kyle Walker – dua diantara tiga pilar terakhir Inggris – telah terbiasa dengan strategi ini bersama Guardiola di City. Dibantu dengan lini poros penyerangan Trippier (kandidat kuat bek kanan terbaik tahun ini) – Alli – Kane yang sudah klop di Tottenham, Southgate bisa dibilang tinggal mempertajam arahan strateginya.
Yang agak berbeda dari Guardiola adalah bahwa di lapangan, Southgate menerapkan gaya yang cukup pragmatis. Pragmatis dalam artian, fokus permainan timnas Inggris di Piala Dunia kali ini bukan untuk menggedor pertahanan lawan – tetapi lebih pada kedisiplinan dalam menjaga posisinya masing-masing. Ini terlihat dari bagaimana Sterling dan Lingard tak bisa terlalu banyak melakukan cut inside di lini depan, Dele Alli terlihat tak terlalu tajam, dan gol kebanyakan terjadi melalui skema set pieces. Ini juga dibuktikan dengan statistik dribble Inggris yang cukup rendah. Mereka berada di peringkat ke delapan di angka most dribbles pada Piala Dunia kali ini, paling rendah diantara empat tim yang berada di semifinal. Tapi di saat yang sama, Inggris meraih peringkat ke lima dalam average distance covered, menunjukkan bagaimana Southgate menginstruksikan pemainnya untuk mempertahankan zona permainan ketimbang berusaha melakukan drive-drive di pertahanan lawan.
Strategi pragmatis ini jelas berhasil karena mereka mampu melaju jauh hingga ke semifinal. Meski memang perjalanan menuju empat besar Inggris relatif lebih ringan – mengingat lawan-lawan yang mereka hadapi bukan tim unggulan. Tapi sekali lagi, pencapaian masuk semifinal di Piala Dunia – meski dicapai dengan permainan yang cukup pragmatis – patut dirayakan. Toh kita tidak sedang membicarakan permainan pragmatis layaknya strategi Yunani saat memenangi Piala Eropa 2004.
Sayangnya, perayaan itu harus berhenti di semi final, saat Kroasia menemukan lubang dari pragmatisme strategi Southgate. Meski sempat membuat Perisic dan kawan-kawan frustasi di 30 menit pertama pertandingan, celah-celah mulai terbuka setelahnya. Salah satu poin utama di formasi yang dipakai Southgate ada pada dinamisnya transisi skema serang-bertahan melalui sisi kanan. Ada Trippier dan Kyle Walker di sana. Poros ini telah menghasilkan banyak peluang bagi Timnas Inggris tahun ini. Tapi dengan menjadi poros itu pula, keduanya kemudian menjadi celah di pertahanan. Di pertandingan kemarin keduanya terlihat kelelahan saat pertandingan memasuki babak kedua. Gol penyama kedudukan Kroasia sejatinya bisa dibendung jika Walker lebih disiplin dalam menjaga Perisic, dan gol kedua Mandzukic lahir dari kecerobohannya dalam membuang bola. Sedangkan Trippier harus minggir di akhir babak tambahan – meninggalkan 10 rekannya berjuang hingga harus tumbang di menit akhir.
Tapi memang begitulah resiko untuk menerapkan strategi 3-5-2 dengan mazhab pragmatis seperti yang diterapkan oleh Southgate. Terutama di bagian pertahanan, ada tekanan besar di situ, dan dengan tekanan sebesar itu, dibutuhkan fisik yang kuat. Dalam hal ini, Walker dan Trippier adalah casualty-nya. Dan bila satu-satunya cara untuk menyerang adalah melalui set piece, ini akan dengan mudah diantisipasi. Satu-satunya kesempatan yang dimiliki Inggris setelah gol Mandzukic – sekali lagi melalui set piece – bisa dibaca oleh pertahanan Kroasia, dimana Vrysalko menunggu di gawang untuk menutup sundulan John Stones.
Dengan itu, selesai sudah jalan pragmatis Inggris ala Southgate. Sejatinya, ini juga bukan berita baru buat fans Inggris, toh selama ini kita sudah sering menghadapi kekalahan. Tapi apapun itu, Trippier dan kawan-kawan telah menciptakan sejarah baru dengan penpaiannya di semi final tahun ini. Ke depan, akan menarik untuk bisa lebih bermain sebagai tim yang disiplin, daripada mengandalkan talenta personal. Dan untuk itu, kita harus berterima kasih kepada Gareth Southgate dan vest birunya itu.