Jelajah Skena Malang: Dari Kejayaan Rock Hingga Talenta Terbaiknya Sekarang
Kami merangkum beberapa hal penting dalam perkembangan musik di Kota Malang dari masa ke masa.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Carla Thurmanita
Malang menjadi salah kota yang memunculkan banyak talenta segar tiga tahun terakhir. Terutama dari skena musiknya, banyak band baru bermunculan dan kualitas selalu datang dari arek-arek Malang ini. Untuk mengenal lebih dekat talenta dari Malang ini, kami merangkum beberapa hal penting di dalamnya. Berikut adalah perkembangan musik di Kota Malang dari masa ke masa.
Kejayaan Musik Rock dan Awal Kemunculan Lady Rocker Lokal
Identitas skena musik yang melekat pada Malang sejatinya sangatlah dekat dengan genre satu ini. Hal ini dapat disetujui melihat kota yang satu ini telah melahirkan nama-nama legendaris di ranah pergerakan musik rock yang sampai sekarang masih tersisa dan diingat gaungnya. Salah satu jejaknya ada pada hasil karya dua arek Malang, Abadi Soesman dan Ian Antono yang banyak dikenal dengan karya-karya mereka di antaranya “Rock di Udara” dan “Rumah Kita” bersama grup musik, God Bless. Ada pula nama salah satu gitaris rock terbaik di Indonesia, Totok Tewel juga Micky Jaguar yang mengadopsi gaya dengan impersonasi Mick Jagger miliknya.
Era 70-an memang menjadi akar waktu berjayanya pergerakan skena musik rock di Malang. Terdapat berbagai sosok musisi, baik yang bergerak bersama dalam satu unit maupun sebagai solois. Karya dan pertunjukan mereka sangat gencar mendominasi masa itu. Sebut saja grup musik Irama Abadi, Opet, Zodiak, Swita Irama, dan terutama Bentoel yang nantinya menjadi cikal bakal melesatnya gaung God Bless di ibukota. Bentoel awalnya digawangi oleh vokalis Mickey Merkelbach bersama-sama dengan Ian Antono dan Teddy Sujaya, saat itu dipuji akan penampilan garang nan apik mereka setiap membawakan repertoire hard rock milik Deep Purple hingga Rolling Stones. Namun aktivitas grup ini pun akhirnya terhenti ketika Ian dan Teddy diajak bergabung bersama Ahmad Albar, Yockie Suryoprayogo dan kawan-kawan di God Bless.
Di antara para sosok rocker yang kebanyakan disebut ialah pria tadi, adanya kehadiran seorang rocker perempuan tentu terlihat paling menonjol. Adalah Sylvia Saartje, yang disebut-sebut sebagai titisan Janis Joplin sekaligus salah satu Lady Rocker pertama yang membuka jalan bagi para penyanyi rock perempuan lainnya pada era 1980 hingga 90-an.
Selain itu, kejayaan music rock di Malang juga ditandai oleh ‘partisipasi’ langsung para penggemarnya, terutama ketika pertunjukan musik rock sedang diadakan. Pada era tersebut, penonton di Malang sangatlah vokal dan kritis ketika harus mengomentari satu band. Bahkan bukan menjadi sesuatu hal yang baru ketika penonton bisa melempari panggung dengan botol atau barang lainnya jika mereka merasa panggung yang sedang mereka tonton tidak memenuhi ekspektasi.
Dalam sebuah interview, gitaris grup band Roxx berkata, “Wah, sejak dulu Malang itu kota yang paling ditakuti ama band-band Jakarta. Penontonnya kritis, salah dikit aja langsung ditimpukin!”. Kondisi audiens seperti ini yang akhirnya membawa Malang menjadi panggung paling seram di era 70-an, baik bagi musisi lokal ataupun dari kota-kota lainnya. Salah satu tempat legendaris yang menjadi arena pembuktian diri musisi ini adalah GOR Pulosari, bagi musisi saat itu, manggung di GOR Pulosari bisa menjadi pengalaman terbaik atau yang terburuk bagi setiap musisi manapun. “Malah dulu belum layak disebut rocker kalo belum pernah konser di Malang. Emang terbukti, aura rock-nya masih terasa banget sampe sekarang!” tambah Jaya lagi.
Lahirnya Gerakan Bawah Tanah
Tidak hanya nama-nama yang terdengar di lajur arus utama, skena kreatif Malang pun turut diramaikan oleh mereka yang bergerak sendiri maupun sebagai bagian dari komunitas underground. Salah satu komunitas yang mengawali pergerakan bawah tanah adalah Total Suffer Community (TSC). Terbentuk di tahun 1995, TSC adalah sekumpulan anak nongkrong yang membentuk sejarah dengan bergerak sebagai event organizer dengan spirit DIY. Acara pertama mereka terjadi di gedung Sasana Asih YPAC Malang pada pertengahan tahun 1996, sebuah gig monumental yang saat itu menciptakan standar tersendiri bagi acara underground di Malang.
Di tahun yang sama, lahirlah Mindblast Zine. Samack dan Afril (vokalis Extreme Decay) sebagai pemilik ide zine satu ini menciptakan Mindblast sebagai media bawah tanah yang mengulas perjalanan dan perjuangan musisi underground (terutama yang berkutat dengan musik metal, hardcore atau punk di Malang saat itu), sekaligus menandakan sebuah gerakan pasti untuk berkontribusi langsung terhadap komunitas yang juga telah menjadi bagian dari diri mereka.
Selain itu, pergerakan bawah tanah ini tentunya juga tidak lepas dari bandnya. Grup musik No Man’s Land, Rotten Corpse dan Extreme Decay menjadi beberapa nama yang merepresentasikan gerakan ini. Hal paling menarik dari No Man’s Land yang digawangi oleh Didit, Catur, Didik dan Ferry ini adalah kualitas musik bergenre Oi! mereka yang telah jauh lebih dikenal di kalangan pasar internasional, sebut saja wilayah Asia, Amerika, hingga Eropa menjadi target mereka. Beberapa rekamannya pun merupakan hasil kerja sama dengan label-label rekaman di luar, di antaranya adalah album bertajuk “Scattered Around Burried” di bawah naungan label asal Jerman, Oi Shop.
Di saat No Man’s Land mewakili wilayah musik punk, Rotten Corpse dapat disebut sebagai pionir dan sosok legendaris bagi skena metal tanah air – khususnya brutal death metal – juga merupakan nama penting yang turut membangun skena underground Malang untuk naik ke permukaan. Kualitas musik keras dalam album mereka, “Maggot Sickness”, tidak kalah jika disandingkan dengan band-band metal luar negeri lainnya pun masih dianggap menjadi satu karya klasik yang patut masuk daftar koleksi bagi para metalhead lokal, hingga melahirkan bibit unit metal baru lainnya yang sebagian besar terinspirasi oleh unit satu ini.
Yang juga menarik adalah pergerakan band grindcore Extreme Decay yang saat itu cukup aktif dalam merilis split bersama beberapa band di luar negeri, salah satunya adalah Agathocles, band legendaris asal Belgia. Sebuah movement yang sangat progresif, mengingat saat itu internet belum bisa dinikmati oleh publik luas.
Kemunculan Alternatif-Alternatif Baru
Pada awal tahun 2000-an, Malang marak dengan kemunculan musisi-musisi baru yang juga sama bergerak secara independen, dari mengerjakan rekaman dan menginisiasi pertunjukan musik mereka sendiri. Namun yang membedakan indie dari skena underground sebelumnya, jenis musik yang ditawarkan jauh lebih variatif dengan hadirnya ragam subgenre baru bagi telinga penggemar musik di sana. Dari indie-pop, elektronik, hingga alternatif banyak mendominasi aktivitas dan gigs independen Kota Malang pada tahun tersebut. Nama band-band lokal yang paling sering berlalu-lalang dan terdengar di antaranya adalah Freshwater Fish, Hectic, Fan, Banana Co, Peka dan Kee.
National Recognition
Bukan hanya band-band asal ibukota atau kota besar seperti Bandung dan Jogja yang dapat menembus pasar musik nasional. Dari airplay yang tinggi di sejumlah radio swasta dan penampilan di stasiun televisi swasta, juga jumlah show yang luas di berbagai tempat. Adalah The Morning After, nama pertama yang muncul di kepala jika sedang membicarakan band asal Malang siapa saja yang sukses mencuri perhatian khalayak luas. Gaung unit indie-rock satu ini mulai kencang terdengar ketika mereka muncul sebagai salah satu finalis teratas kompetisi musik indie 2007, dan lalu merilis album perdana “Another Day Like Today” di bawah label Lil’ Fish Records. Album tersebut pun meledak dan banyak menuai pujian dari banyak kalangan penggemar dan penggiat industri sekaligus.
Snickers And The Chicken Fighter (SATCF) dengan campuran musik era 90-an dan melodic punk-nya, dan Unda Undi dengan pop/rock n’ roll signature nya adalah band-band lainnya yang juga mewakilkan skena Malang hingga patut diperhitungkan di industri musik Indonesia. Unda Undi merupakan satu dari segelintir musisi asal Malang yang mendapatkan kesempatan di bawah naungan major label sehingga dengan cepat mendapatkan perhatian dalam skala nasional. Pun SATCF lebih lagi, sempat menjadi salah satu band lokal yang mengisi album kompilasi internasional, “Between Skating and Punk Compilation” pada tahun 2010, disandingkan secara langsung dengan unit besar punk, Golliwog.
New Breed
Belakangan ini progresi musik Malang pun sedang gencar terdengar sampai kota-kota besar lainnya. Salah satunya melalui kehadiran Haum Records, sebuah proyek label independen asal Malang yang saat didirikannya memiliki tujuan untuk membawa bakat lokal dari Malang dan sekitar Jawa Timur, untuk naik ke permukaan kancah musik lokal. Sebut saja duo indie-rock Much, dan Beeswax yang dikenal dengan nuansa musik emotive dalam lagu-lagunya yang memegang peran sebagai salah satu roster terbaik dari Haum Records.
Tak hanya Haum Records, ada juga Gerpfast Kolektif, sebuah label yang berfokus pada rilisan noise dan shoegaze. Keberanian inisiatif ini membuat Malang mendapat exposure oleh media luar akan perbedaan yang mereka tawarkan ke dunia musik lokal. Dengan merilis lebih dari 10 kaset tiap tahunnya, label ini jelas menjadi pilihan alternatif bagi mereka yang ingin mengenal sisi lain dari Malang. Ada juga beberapa nama seperti Intenna, Write the Future, Closure dan Megatruh didapuk menjadi potensi dalam skena Malang yang perlu disorot lebih guna melahirkan unit musik dengan warna serupa maupun dari spektrum genre lainnya.
Salah satu generasi baru yang mencuri perhatian publik adalah unit Wake Up, Iris! Jika Malang dikenal secara gamblang sebagai produsen band rock, metal underground, sebuah anomali hadir dari mereka yang menawarkan musik folk. Berbekal warna musik berbeda, mereka pun mengikuti kompetisi Go Ahead Challenge dan terpilih menjadi pemenang hingga mendapat kesempatan ke SXSW 2018 untuk menampilkan musiknya bersama Kimokal dan pemenang Go Ahead Challenge lainnya. Duo yang digawangi Vania Marisca dan Bie Paksi ini memainkan paduan gitar, biola, dan kickdrum; dan menyisipkan nuansa etnik, blues, dan klasik ke dalam lagu-lagu mereka sehingga musik yang mereka hasilkan terasa tidak hanya terpaku kepada satu genre, dan tidak terkesan sama dengan musisi-musisi folk lainnya.