Teks oleh Muhammad Faisal
Foto The FADER
Semenjak The Reminder meraup pundi-pundi kesuksesan secara finansial maupun ulasan, ia perlahan menapaki strata hegemoni yang tak perlu banyak publisitas. Feist semakin konsisten dalam melantunkan entitas tembang yang meletuskan energi melankolia. Ada harmoni ballads, baroque, hingga distraksi kegetiran laiknya catatan pribadi Lindsey Buckingham. Semua disusun atas sepasang pengharapan; merapalkan cita, menebalkan pesona.
Akhir April 2017, album terbarunya yang bertajuk Pleasure rilis ke pasaran. Polanya selaras dengan kreasinya yang sudah-sudah; menghentak kesepian, melukis gores keputusasaan, dan mencari momentum kebangkitan tak bertuan. Memuat 11 (sebelas) komposisi yang diciptakannya sendiri, ia membaurkan aroma Crosby, Still & Nash era Daylight Again hingga chamber pop minimalis milik Burt Bacharach.
Lagu-lagunya berpesan tentang sekelumit petuah; mencela konsepsi mimpi pada “Lost Dreams”, menjaga batas logika lewat “The Wind”, maupun menolak keberpihakan di trek “I’m Not Running Away.” Apabila manuskripnya tempo hari adalah monolog yang disadur dengan serpih subtil, maka Pleasure merupakan dialog yang melepaskan kebebasan tafsir untuk khalayak ramai.