Membaca Rapalan Sang Pembakar
Mengulas Buku "Setelah Boombox Usai Menyalak"
Sejatinya, Herry “Ucok” Sutresna bukanlah penulis yang istimewa. Tak ada rima-rima indah dalam tulisannya, tak ada permainan paragraf yang cerdik di dalamnya, diksinya pun tak mencukupi syarat untuk bisa dibilang memicu buai di kepala pembacanya. Di beberapa halaman bukunya yang berjudul “Setelah Boombox Usai Menyalak” bisa ditemukan beberapa pemikiran yang ia tulis dalam kalimat yang nyaris berulang. Meski demikian, untuk beberapa hal, terutamanya di luar urusan keindahan, ia adalah salah satu yang dengan lantang berada di barisan terdepan.
Kalau ada istilah “koran kuning” untuk surat kabar yang berisi berita dalam angle dan bahasa comberan, dalam hal ini tulisan Ucok mungkin bisa dikategorikan sebagai “koran merah”. Bukan merah sembarang merah, merah disini tentu merah darah. Jika dihitung, “fuck” merupakan salah satu kata berbahasa Inggris yang sering sekali muncul di buku ini-beberapa kata fuck diikuti dengan pasangan serasinya: “police”. Persis seperti cerocosnya ketika menjadi pembakar sumbu molotov di unit hip-hop political, Homicide, Ucok menulis tanpa tedeng aling-aling.
Ia tanpa ampun menyerang dengan bahasa sompral semua hal yang menurutnya tidak benar. Pada tulisannya, glam rock, sistem pemerintahan, penataran P4, orde baru, ajakan bela negara, militerisme hingga Iwan Fals ia beri cap tebal: shitty-dan kalau itu masih belum cukup-full of shit. Kebenciannya juga tak pandang bulu, tak jarang, hal-hal personal ia sergap ketika menurutnya menyimpang dari apa yang ia percayai. Tak terkecuali album baru band idolanya, ideologi punk, juga aktivitas dirinya sebagai aktivis hak-hak kemanusiaan. Di beberapa tulisan, buku ini terasa seperti otokritik yang ditulis dengan penuh kesadaran oleh seorang prajurit sepulang dari perang besar yang tidak mengubah apa-apa. Cukup sulit untuk menemukan seseorang mau mengakui kesalahan, atau bahkan kebodohannya, Ucok dalam hal ini merupakan salah satu yang dengan kepala dingin dan sadar mengabadikan kritik terhadap dirinya dalam lembar buku perdana yang mencetak tebal nama lengkapnya di sampul.
Jika ada, satu hal yang mungkin bisa menggarisbawahi pribadi Ucok di buku ini adalah tentang keberpihakan. Dan bagi Ucok, anarkisme, pergerakan, dan hak kemanusiaan adalah tempat dimana ia berpihak. Di samping itu, subjektivisme adalah sebuah hal yang Ucok juga yakini. Kalau di luar sana masih ada yang percaya dengan netralitas, Ucok ada di arah berlawanan dari Anda. Ia adalah lelaki berperawakan pendek dan sedikit gempal dengan ikat kepala yang memandangi Anda dengan tatapan sinikal. Bahwa apakah kemudian posisinya berbeda dengan pendapat kebanyakan, ia tak peduli. Semangat yang kurang lebih sama dengan lirik lagu Aesop Rock – “Labor Days” yang ia kutip di salah satu halaman buku ini, “you could dream a little dream, or you could live a little dream/I’d rather live it/cause dreamers always chase but never get it.”
Meskipun demikian, “Setelah Boombox Usai Menyalak” tak melulu berisi kemarahan. Ada beberapa tulisan dimana Ucok membawa pembaca kepada pintu-pintu menuju ruang personalnya. Bahkan, pintu menuju dirinya yang paling personal dibuka di halaman pertama yang berjudul “Bapa”, dimana ia mengajak pembaca untuk duduk di ruang tamu rumahnya sembari mendengar cerita bagaimana ia dibesarkan oleh seorang penggemar musik Black Sabbath yang juga merupakan salah satu anggota organisasi pelajar yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.
Ada pula beberapa cerita tentang bagaimana ingatannya justru melayang kemana-mana saat dirinya menghadapi momen hidup dan mati: bersembunyi di got ketika demonstrasi 1998 terjadi. Dan ternyata, ketika Ucok meninggalkan sejenak kemarahannya, efeknya sama destruktifnya. Ada haru yang membekas di dada ketika membaca tulisannya tentang sahabatnya, mendiang Andry Moch. yang juga merupakan seniman sekaligus vokalis band avant-garde Bandung, A Stone A. Bahkan tanpa kita harus tahu siapakah sosok Andry Moch, tutur kata Ucok di memoar kepada Andry Moch. cukup untuk membuat dada ikut sesak dibuatnya.
Dengan ini, sepertinya menarik untuk menunggu Ucok untuk menulis buku lagi dengan tulisan baru yang lebih terstruktur, dan tematik. Bisa tentang pergerakan, atau justru tentang pergulatan dirinya sebagai aktivis. Dengan demikian besar kekuatan yang ia miliki (paket pre-order buku ini bernasib sama dengan rilisan Homicide, selalu tandas dalam waktu yang hanya sekilas), Ucok jelas punya potensi untuk menumbuhkan kegelisahan baru di kepala dan dada anak bangsa. Karena jujur saja, meski sangat kaya akan referensi, tulisan Ucok tentang musik tak terlalu spesial. Jauh levelnya dibanding kemampuannya dalam membakar kesadaran yang selama ini tersembunyi di pelupuk mata.
***
Sejatinya, Herry “Ucok” Sutresna bukanlah penulis yang istimewa. Nyaris tak ada yang indah-indah di tulisannya. Tapi untuk urusan membangkitkan gemuruh di dada, boombox Ucok jelas yang paling berisik suaranya.
“Membaca Rapalan Sang Pembakar” ditulis oleh:
Muhammad Hilmi
Managing editor and ace journalist at Whiteboard Journal. His passion in music and the arts inspired him to be involved in multiple creative projects, including his own publication and record label.