Kami berbincang dengan seniman Agus Suwage tentang lukisan potret diri sebagai kritik sosial, pameran tunggalnya di MACAN kini, serta isu identitas sebagai suatu yang niscaya diangkat oleh seniman lintas zaman.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah proyek seni sering muncul dalam berbagai diskusi dan tulisan seni rupa di Indonesia. Seni sebagai sebuah proyek—di mana di dalamnya terdapat berbagai kemungkinan pengembangan ide, baik secara kolaborasi dan individu—memang tidak terlalu dekat dengan sejarah seni rupa kita. Namun, jika merujuk pada sejarah, yang telah dilakukan oleh para founding fathers seni rupa modern kita sebenarnya ada yang sudah mengarah pada bentuk proyek seni seperti yang kita terjemahkan saat ini. Lihat saja proyek poster revolusi pascakemerdekaan Indonesia yang digagas oleh S. Sudjojono dan Affandi bersama Seniman Indonesia Muda (SIM). Ia tidak hanya meletakkan seni sebagai kegiatan mendedah estetika rupa, namun menjadi alat perjuangan yang berkolaborasi dengan para penulis pada masa itu, seperti Chairil Anwar. Seni rupa sebagai sebuah proyek seni memang tidak berkembang di Indonesia karena kecenderungan subjektivitas seniman dan orientasi untuk memproduksi kebendaan berupa 'karya' sebagai hasil akhir. Sebuah proyek seni menuntut keterbukaan dalam mengembangkan ide sebagai proses kerja. Keterbukaan itu bisa jadi berkolaborasi dengan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan kesenian.
Mulai tahun 2015, Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta menginisiasi proyek seni seniman perempuan: Wani Ditata Project. Proyek seni ini adalah tanggapan Komite SR-DKJ terhadap perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, bahwa kegiatan seni yang mengarah pada riset dan fokus pada isu tertentu menjadi sangat relevan saat ini. Relevansi proyek seni ini adalah bagaimana pengembangan kegiatan kesenian dengan durasi tertentu dan mendalami satu subjek wacana akan sangat berdampak pada perkembangan seni rupa kontemporer—di mana dalam proses kerja sebuah proyek seni terdapat produksi ilmu pengetahuan yang akan didistribusikan di akhir proyek.
Wani Ditata Project dengan sengaja mengundang delapan seniman perempuan dari Jakarta dan kurator muda Angga Wijaya sebagai fasilitator dalam mengembangkan proyek seni ini. Tujuan mengundang seniman perempuan adalah untuk membaca perkembangan seni rupa kontemporer di Jakarta, di mana seniman perempuan juga menjadi pemain utama saat ini. Sejak berdiri, Komite SR-DKJ belum pernah secara khusus meletakkan isu perempuan ini dalam program-programnya. Untuk itulah Komite SR-DKJ merasa perlu secara khusus mengembangkan proyek seniman perempuan, sekaligus untuk merangkum wacana sosial-politik kebudayaan yang dibaca melalui seniman-seniman perempuan. Semoga saja proyek seni ini dapat berkembang dan berkontribusi bagi perkembangan seni rupa kontemporer kita.
Salam,
Hafiz Rancajale
Ketua Komite Seni Rupa
Dewan Kesenian Jakarta
2013 - 2015
--
Dewan Kesenian Jakarta mempersembahkan:
Proyek Seni Perupa Perempuan Dewan Kesenian Jakarta:
WANI DITATA PROJECT
Aprilia Apsari, Julia Sarisetiati, Kartika Jahja, Keke Tumbuan, Marishka Soekarna, Otty Widasari, Tita Salina, Yaya Sung
Kurator: Angga Wijaya
Pembukaan:
Sabtu, 3 Oktober 2015 | 19.00 – 22.00 WIB
Dimeriahkan oleh:
Disrobot Radio
Irama Nusantara
Pameran:
4 – 19 Oktober 2015
11.00 – 20.00 WIB
Diskusi “Citra Dharma Wanita dalam Konstruksi Sosial”:
Selasa, 6 Oktober 2015 | 15.00 – 17.00 WIB
Pembicara: Julia Suryakusuma & Manneke Budiman
Moderator: Maulida Raviola
di Galeri Cipta II
Jl. Cikini Raya No.73
Taman Ismail Marzuki
Menteng, Jakarta Pusat 10330
Gratis!