Memaknai Hidup Lewat Perjalanan Bersama Diego Yanuar
Kami menemui Diego Yanuar untuk menilik cerita pengalaman Everything in Between serta kehidupan setelah melakukan perjalanan besar.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Vestianty
Di sela-sela kegiatannya, kami bertemu dengan Diego Yanuar, salah satu dari pasangan yang bersepeda dengan rute Belanda-Indonesia dan menamai perjalanan mereka Everything in Between. Membawa misi sosial untuk mengumpulkan dana bagi tumbuhan, hewan, dan manusia mereka tiba di Jakarta setelah hampir 1 tahun melakukan perjalanan. Usai menempuh jarak serta waktu yang panjang untuk menuntaskan jalur darat dari Belanda menuju Jakarta, tentu ada banyak hal yang berubah bagi seseorang. Ada pertemuan dengan manusia dan alam dalam perjalanan yang memberikan sudut pandang baru untuk membuat persepsi tentang hidup. Belum lagi tantangan-tantangan yang datang mengharuskan mereka untuk mengorbankan fisik dan mental. Kami berbincang dengannya tentang alasan menggunakan sepeda, rumah, dan makna kebebasan.
Di antara banyak aktivitas, apa yang mendorong Anda untuk menggeluti sepeda?
Mungkin karena sepeda kecepatannya pas, jadi tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Kalau jalan kaki mungkin bisa beberapa tahun untuk sampai di Indonesia. Kalau menggunakan mobil juga terlalu cepat. Dan dengan sepeda manusia berusaha sendiri untuk mendapatkan kilometernya bukan pakai gasoline atau ada mesinnya jadi setiap kilometer ditempuh dengan tenaga sendiri. Juga karena kami berdua suka aktivitas outdoor dan suka bergerak. Misalnya kalau tidak gerak seharian tidak betah. Jadi ingin jalan atau lari atau sepedaan. Dan ternyata di jalan ketemu bahwa benefit-nya sepeda itu tidak membuat orang-orang lokal merasa terintimidasi. Beda dengan mobil atau motor yang ada suara mesinnya dan terkesan mewah. Dengan sepeda orang-orang lokal melihat kita kesusahan, keringatan, badannya dekil, mukanya kotor, jadi banyak diundang ke rumah ditawarkan makanan, minuman dan mereka bisa relate juga yang hidupnya yang mungkin susah, jadi berbaurnya gampang.
Tahun lalu Anda mengadakan proyek bersepeda dari Belanda ke Jakarta bersama pasangan dengan nama “Everything in Between”. Bagaimana trip panjang tersebut mempengaruhi Anda dalam melihat manusia dan alam?
Sebelumnya kami berdua berpikir bahwa perjalanan ini akan menjadi sesuatu yang indah-indah saja. Seperti di kartun Disney yang hutannya bagus, ini-itunya bagus, dan bertemu orang baik. Kami memang bertemu orang baik. Namun yang mengubah pikiran kami bahwa setelah perjalanan kami pesimis dengan dunia. Kami melihat bagusnya dunia, tapi melihat hancurnya dunia karena gaya hidup manusia yang destruktif. Manusia sudah menghancurkan banyak hal di bumi ini. Itu yang berubah dari sudut pandang. Seharusnya manusia dengan kapabilitas yang kita miliki seharusnya kita adalah penjaga di dalam planet ini tapi kita malah melakukan yang sebaliknya.
Seharusnya manusia dengan kapabilitas yang kita miliki seharusnya kita adalah penjaga di dalam planet ini tapi kita malah melakukan yang sebaliknya.
Tapi di sisi lain, bumi ini sangat powerful. Sebenarnya rusak secara estetika, tapi secara fisik menurut saya tidak. Bumi itu kuat banget menurut saya. Kalau bumi bergerak sedikit saja dibilangnya catastrophe, ada gempa bumi, orang-orang bisa meninggal. Saya aneh sih. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang bumi, bumi tidak peduli sama manusia. Jadi manusia mau melakukan apapun pasti tewas juga manusianya. Setidak penting itu manusia di dalam bumi. Kalau gunung meletus, manusianya juga yang tewas.
Pada prosesnya, terdapat blog pelengkap untuk merekam trip kalian dan ada kutipan, “Menjalani kehidupan yang stabil seperti yang kita lakukan itu baik, tetapi kita selalu berfantasi tentang apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup. Yang benar-benar penting.” Menurut Anda, apa pentingnya mengeksplorasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang belum sempat terjawab sebelum memulai perjalanan ini?
Menurut saya sih penting banget. Saya sebelum jalan berdua dengan Marlies lebih berpikir klise seperti, “Apa sih hidup?” dan orang-orang zaman sekarang kebanyakan hidup mengikuti apa kata orang tua atau mengikuti arah mainstream. Kalau ketemu orang-orang seperti itu terasa tidak menyenangkan untuk mengobrol. Tidak bisa tukar cerita soalnya saya sudah tahu orang itu sama dengan orang lain pada umumnya. Kalau kamu menemukan diri sendiri dan menemukan apa yang kamu mau, dan essence dari kehidupan, tidak mungkin ada hal-hal yang berlebihan. Hal-hal yang berlebihan muncul di level-level atas yang sudah menutupi core diri sendiri. Jadi sangat penting untuk tahu hidup itu apa, tujuan hidup, dan bagaimana diri sendiri. Karena semakin menemukan itu, semakin sederhana dan semakin tidak suka untuk macam-macam. Bukannya saya expert tentang kehidupan tapi itu yang saya rasakan sekarang.
Bagaimana rasanya tinggal jauh dari ‘rumah’?
Aneh sih. Terakhir saya pindah ke Belanda sekitar 4 tahun lalu ke Nijmegen. Nijmegen itu kotanya sangat berbeda dengan Jakarta. Kota kecil di Belanda, dekat dengan hutan dan tenang karena polusi suara yang sedikit. Setiap saya ke Nijmegen sekarang saya merasa pulang rumah, tapi juga meninggalkan rumah. Jadi perjalanan kemarin bukannya saya meninggalkan rumah, tetapi saya menuju rumah yang lain. Dan setiap meninggalkan Jakarta saya juga pulang ke Nijmegen. Kalau jauh dari rumah, kesannya seru karena saya mendapatkan sesuatu yang baru dan bisa saya ceritakan untuk orang-orang di rumah nanti. Saya percaya pada momen. Jadi kalau saya ada di mana saya percaya pada momen bahwa saya harus di situ. Pasti kepikiran kalau soal keluarga, tapi saya berpikir bahwa sudah ada yang menentukan bahwa saya harus ada di mana jadi tidak masalah.
Kebebasan alam beserta isinya menjadi salah satu hal yang mendorong Anda untuk membuat proyek ini. Apa sesungguhnya makna kebebasan yang kalian percaya?
Yang paling penting itu kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Saya sebenarnya ingin nyeker setiap hari. Tapi kadang-kadang tidak bisa masuk mall, restoran, atau orang tua mungkin yang pasti heran kalau saya nyeker. Pasti setiap orang punya karakternya masing-masing tapi mungkin karena dunia kita sudah kompleks jadi kita pikirannya ke mana-mana dan menjadi kompleks juga sehingga melupakan diri sendiri. Kebebasan yang saya percaya adalah untuk bebas menjadi diri sendiri tapi caranya tidak gampang. Kita harus tahu badan, cara jalan, cara bicara, berpikir, bahkan tahu bagaimana senyum kita yang asli. Kita harus mengerti kita itu yang mana.
Tantangan terbesar seperti apa yang dihadapi dari trip panjang ini – mengingat fisik dan mental turut dikorbankan untuk mencapai gol “Everything in Between”?
Yang paling penting itu kebebasan untuk menjadi diri sendiri.
Tantangan fisik paling berat sepertinya waktu di Tajikistan. Itu medannya berat sekali kita harus memanjat 4600 meter di atas permukaan laut dan beban sepedanya sangat berat ditambah level oksigen yang tipis. Sepertinya tantangan fisik terberat di hidup saya di situ. Meskipun saya suka marathon, itu tetap berat. Kalau tertantang secara mental, mungkin pesimis dengan dunia. Dunia tidak akan jadi lebih baik lagi secara estetika ke depannya. Dunia yang paling baik yang bisa didapat adalah sekarang di detik ini makanya kita harus enjoy detik ini. Saya tidak berbicara tentang suatu tempat yang spesifik, tapi dunia secara luas. Pertumbuhan orang-orang yang tidak bertanggung jawab di dunia ini juga tidak terbendung orang-orang yang peduli lingkungan atau kehidupan. Memang dunia tidak akan menjadi lebih baik tapi kita bisa menunda dunia untuk jadi lebih buruk.
Apa hal menarik yang dialami atau ditemukan saat di perjalanan, baik secara temuan yang lebih global, juga temuan secara personal, karena Anda menjalani tur ini bersama pasangan?
Kami berdua menjadi lebih dewasa dalam menangani masalah. Soalnya kami selama sebelas bulan bersama – 24 jam setiap hari. Dan tidak bisa ‘kabur’. Kalau ada masalah tidak mungkin untuk bisa pergi bertemu teman dulu. Jadi kalau tidak suka langsung bilang. Kadang-kadang kalau ada yang saya tidak suka saya diam sih. Tapi lama kelamaan saya bilang bahwa ada yang saya tidak suka. Begitu juga dengan Marlies. Menanggapi masalah menjadi lebih cepat. Dan jadi semakin tahu apa yang kami masing-masing suka dan tidak. Bahkan suatu hari sebelum ketemu hal yang tidak dia suka sudah saya prevent. Dan tidak perlu bilang bahwa saya melakukan hal itu, karena sudah sama-sama mengerti. Untuk diri sendiri, saya menjadi lebih percaya pada diri saya sendiri. Dari yang sebelumnya saya masih memikirkan pandangan orang lain, sekarang saya melakukan apa yang saya senangi. Karena saya percaya setiap orang kalau menemukan dirinya pasti tujuannya bagus. Jadi saya berusaha menyenangkan diri saya sendiri.
Bicara kepekaan terhadap lingkungan sekitar di Indonesia, setelah pulang apakah Anda melihat ada perkembangan akan misi yang Anda junjung di balik proyek kalian?
Belum ada yang berjalan. Dananya masih ada di kita karena donasinya baru selesai. Tapi kita sudah mengunjungi 3 organisasi dan kenal secara personal dengan mereka, jadi kami tahu apa yang akan dilakukan. Senang sekali untuk mendengarkan langsung dari pemiliknya dan tahu apa yang akan mereka jalankan dengan antusias. Sepertinya di Indonesia kepedulian terhadap alam dan lingkungan semakin meningkat. Misalnya di Barito dulu pasar burung semua dan sekarang semakin mengecil walaupun beberapa masih ada. Saya percaya dengan orang-orang Indonesia. Masih banyak orang-orang yang peduli dengan kesadaran alam, hewan, dan manusia. Tapi pertumbuhan orang-orang tidak bertanggung jawab masih besar.
Masih banyak orang-orang yang peduli dengan kesadaran alam, hewan, dan manusia.
Mengenai 3 organisasi tadi, untuk panti asuhan akan digunakan untuk operasional, pendidikan dan kesehatan anak-anak. Ada sekitar sepuluh anak dan saya kenal dengan mereka semua. Jadi misalnya ada apa-apa saya tahu. Untuk Jakarta Animal Aid Network (JAAN), mereka memiliki 2 departemen wildlife dan domestic animal. Untuk domestic animal mereka menangani hewan-hewan yang di-abuse oleh pemiliknya seperti anjing, kucing, atau kuda delman. Mereka juga ingin mengedukasi manusia untuk lebih bijaksana dalam menangani hewan. Dan saya setuju dengan itu. Saya suka JAAN karena mereka benar-benar kerja di lapangan. Untuk wildlife bahkan mereka bekerja sama dengan polisi-polisi setempat kalau ada masalah mengenai hewan-hewan liar. Dan mereka selalu update kerja mereka di sosial media juga. Untuk Kebun Kumara itu milik teman SMA saya yang agak gila dan peduli tumbuhan. Mereka juga ingin mengedukasi manusia untuk hidup lebih baik dan harmonis dengan tumbuhan di manapun mereka berada. Kami bekerja sama untuk membuat Everything in Between Garden. Sebenarnya saya bilang terserah mau dinamakan apa tapi mereka ingin menggunakan nama itu. Di taman itu mereka ingin mengadakan penyuluhan tentang pentingnya tumbuhan secara rutin. Saya belum tahu sistemnya akan bagaimana tapi akan dibuka untuk publik. Kita juga akan menanam pohon bareng di hutan.
Belakangan ada tren sepeda yang sedang berkembang di sini, bagaimana tren ini bisa dikembangkan menjadi sebuah hal yang bisa mendukung kehidupan bumi kita?
Sepeda sangat ramah lingkungan. Tidak ada emisi, tidak menggunakan gas dan mesin, hanya menggunakan tenaga manusia. Mungkin yang perlu dipikirkan infrastrukturnya. Sangat berbeda ketika bersepeda di Belanda dan di Jakarta. Belanda sudah punya infrastruktur yang membuat bersepeda ke mana saja itu mungkin dan di Indonesia belum ada. Awalnya memang sulit untuk menjadi transportasi semua orang. Mungkin kita harus mengingatkan kepada pemerintahnya dan orang-orang yang masih tidak peduli dengan lingkungan bahwa sepeda adalah transportasi yang ideal. Sangat perlu untuk didukung pemerintah. Bersepeda di pinggir jalan Jakarta masih kurang aman.
Anda telah mencapai target penggalangan dana untuk program #ForEverythingThatMatters sebesar 15.000 Euro, apakah Anda berencana untuk meneruskan program ini setelah perjalanan Anda selesai?
Sepertinya tidak. Manusia harus puas dengan apa yang mereka dapatkan. Kita sudah menentukan gol dan sudah tercapai. Kalau ada orang lain yang terinspirasi dari gol ini dan mewujudkan program lain untuk kebaikan, kenapa tidak? Tapi yang sekarang tugas saya sudah selesai. Saya puas dengan apa yang saya dapatkan sekarang.
Apa proyek yang akan Anda siapkan ke depannya?
Marlies membuat buku. Dia sudah menulis di blog dan sekarang blog-nya sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Dan juga nanti ada beberapa cerita pendukung di bukunya. Kami juga membuat auction di pameran Everything in Between untuk menjual foto-foto. Tapi tidak sepenuhnya untuk kami, setengahnya disumbangkan untuk organisasi FLIGHT Protecting Birds. Organisasi ini adalah organisasi yang fokus menyelamatkan burung-burung di Indonesia yang ditangkap dan juga mereka punya ide untuk menutup beberapa pasar burung di Indonesia. Jadi mereka seirama dengan pikiran kami. Setengahnya lagi untuk modal kami pulang. Mudah-mudahan orang-orang tidak keberatan untuk itu. Kami juga tidak punya sponsor untuk perjalanan ini. Soalnya perjalanan besar seperti ini mungkin sekali seumur hidup dan sangat penting untuk kami berdua. Kami tidak ingin sesuatu yang besar di dalam hidup kami tapi diberikan oleh orang lain. Kami lebih ingin dengan keringat sendiri, capek sendiri, dan mendapatkan sendiri apa artinya.