Talita Setyadi Tentang Usahanya Menempatkan Inovasi dalam Sepotong Roti
Berawal dari sekolah musik, ketertarikan Talita Setyadi terhadap kuliner membuat ia terdorong mengeksplorasinya hingga membuka sebuah toko di Jakarta.
Words by Whiteboard Journal
Berbincang bersama owner BEAU tentang analogi musik jazz untuk proses memasak, komentarnya tentang kualitas pekerja lokal hingga tren kopi susu yang sedang marak dilakukan.
Sebelum mengenyam pendidikan kuliner di Le Cordon Bleu, Paris, Talita sudah lebih dulu kuliah musik – mengambil subjek jazz double bass – di New Zealand. Melihat sifat dua hal tersebut cukup kontras, apa yang mendorong Anda akhirnya beralih jalur saat itu?
Menurut saya sendiri makanan dan musik sebenarnya dua hal yang saling berhubungan. Musik jazz itu cukup berbeda dengan bentuk musik lainnya, karena dalam jazz sendiri ada sisi komposisi dan juga improvisasi. Nah, untuk membuat suatu konsep musik yang baru itu, of course you start from nothing at all, and then you mix it with something, and you finish all that into a finished product. Jadi proses konseptualisasi ini unsur yang sangat penting dalam musik jazz, dan berlaku juga untuk bentuk seni lainnya. Hal ini yang saya temukan ketika membuat makanan. Seperti contoh, saya ingin membuat kue dan pada saat itu saya mendapatkan inspirasi dari soto. Lalu saya eksekusi ide tersebut dengan mencari bahan-bahan yang bisa bekerja – yang tepat, tidak lupa dengan cari komposisi bentuk yang pas untuk kue tersebut, dan akhirnya saya dapatkan finished product-nya.
Persamaan lainnya, you compose both things by yourself, lalu kita masuk ke dalam dapur dan mengajarkan proses membuatnya ke orang lain, dimana sama seperti musik – kita berlatih dengan teman-teman satu band untuk memainkannya musik. Butuh waktu berjam-jam untuk refining, berlatih, memastikan semua orang dapat bekerja sama seperti satu grup orkestra, dan akhirnya menampilkan hasil kreasi kamu tersebut di depan orang banyak. Hal ini yang setiap hari saya dan tim lakukan di kafe kami. Dan yang terutama, saya sama-sama bisa mengekspresikan diri saya dengan bebas, baik di dalam musik, maupun ketika membuat makanan. So, technically it’s the same thing.
Dengan mengambil pendidikan di salah satu sekolah kuliner paling bergengsi di dunia, tentu ada kesempatan lebih yang terbuka untuk Anda melebarkan karir di sana. Namun Anda memilih untuk kembali ke Indonesia. Apa yang membuat Anda memutuskan untuk membuka bisnis pastry sendiri di sini?
Yang saya sayangkan dalam industri Food and Beverage (FnB) di Indonesia adalah kebanyakan orang cenderung terlalu mudah untuk membuat konsep yang tidak memiliki akarnya sendiri. Let’s say, Johnny Rockets. Johnny Rockets itu apa atau siapa? Ya, itu hanya konsep. But the soul is not there, it’s like an empty shell. Dan semakin ke sini, orang-orang semakin tidak terlalu memperdulikan hal seperti ini. Tapi sebenarnya mulai muncul kesempatan bagi artisan baking atau produk pastry artisan lainnya, as well as natural and healthy food that are on the rise. It’s a new energy to show where the world should be going. Kita itu sudah lelah – sudah malas dibohongi sama perusahaan-perusahaan yang besar. Seperti makanan sereal yang dibilang sehat tapi sebenarnya mengandung banyak gula di dalamnya; that’s the kind of bullshit which I’m tired with. Karena itu dengan BEAU, we always to try to be as authentic, and to be as pure as possible in the way we make our products – in the way we make an experience.
When I first started, there was a feeling that I’m not good enough.
Sebelum Beau didirikan di akhir tahun 2014, Anda sudah aktif menulis blog di www.talitaskitchen.com dari 2011 dan kembali ke Indonesia pada tahun 2013. Bisa diceritakan bagaimana proses kreatif selama rentang waktu tersebut? Apa yang membuat Anda tidak langsung memulai bisnis saat itu?
Ada keraguan yang muncul di dalam diri saya saat itu. When I first started, there was a feeling that I’m not good enough. Saya baru berusia 24 tahun waktu saya kembali ke Indonesia. Jadi apa yang saya dengar dari banyak chef lainnya yang sudah belasan bahkan puluhan tahun di industri ini, mereka mengatakan hal-hal seperti, “Talita, kamu itu masih muda banget. You need to learn more, you need to go to, like, different kitchen. You need to know what the hell that you’re doing. Your skill level is not yet enough to start your own business.” Apa yang saya selalu dengar saat itu akhirnya membuat saya jadi agak minder dan merasa kurang siap untuk mulai bisnis ini. Bahkan saya sempat mempertimbangkan ambil franchise saja untuk buka bakery.
Tapi pada akhirnya setelah saya melihat beberapa model franchise yang berbeda, and then looking at the investments, saya nggak 100% sreg dengan brand-brand yang sudah dibuat oleh orang lain. Mungkin karena masih ada kurang ini atau itu, mengingat saya orangnya memang sangat particular. Lalu saya pikir daripada menaruh investasi berapa ratus juta untuk franchise bisnis orang lain, kenapa tidak gunakan uang tersebut untuk buat brand sendiri? Meskipun pelan-pelan, tapi memang merintis sendiri.
We learn best when we are already immersed in the situation.
Dan ada 2 hal yang membuat saya untuk nekat saja melangkah di bisnis industri ini. Hal pertama, saya selalu percaya kalau we learn best when we are already immersed in the situation, because we activate our fight-or-flight kind of response. So when you have a lot of pressures on yourself, that’s the only way that you can learn past it. Dulu waktu saya mulai belajar main jazz, yang main alat musik bas betot itu jarang banget. Pemain saxophone, piano, atau gitar itu banyak, tapi memang sedikit yang ambil studi bass ini. Jadinya saat itu saya sering diajak sama teman-teman yang lebih senior, “Tal, main dong. Kita mau ada tampil di tempat ini atau ini…” Padahal saat itu saya masih menganggap diri sendiri kurang mahir, hitungannya saya masih first year student. Jawaban saya ke mereka itu awalnya, “Nanti dulu deh. Saya latihan dulu sampai sebagus kalian, baru saya mau ikut main bareng.” And they all looked at me weird and said to me, “But the way you get better is by playing with us.” Ini membuat saya berpikir ya ada benarnya juga. Karena kita akhirnya terdorong untuk bisa langsung masuk ke levelnya mereka. Tapi misalnya kita sudah takut untuk main sama mereka duluan, dan memilih belajar sendiri di rumah, kita nggak akan bisa sampai di levelnya mereka. The only way you get better at what you do, is to surround yourself with people who are better than you, and then for you to play with them.
Lalu yang kedua, when I first started this business, I realize I’m not the best at making bread. Karena itu saya mengajak salah satu teman sekolah kuliner dulu datang ke Indonesia untuk membantu saya – dengan menggabungkan expertise milik dia dan visi yang ingin saya bawa dalam BEAU. Kita tidak harus melakukan semuanya sendiri. Kamu hanya perlu jadi konduktornya dulu, atau sebagai creative director saja. Setidaknya sudah punya gambaran besar akan apa yang ingin kamu buat saat memulai bisnis kamu. My knowledge on this industry was zero. Misalnya, dulu saya tidak tahu bagaimana caranya memproduksi barang dalam skala yang besar. Saya bisa bikin satu atau dua kue untuk ditaruh di blog, tapi tidak dengan bikin ratusan produk untuk banyak orang. Dulu saya bahkan tidak tahu caranya membuat invoice atau financial statement, dan akhirnya minta kakak saya untuk menolong saya dalam bidang ini. Don’t be afraid to say what you don’t know, because if you don’t then you will never learn. It is fine to learn as you go.
Beberapa menu di BEAU seperti Smørrebrød dan The Mont Violet – yang bahan utamanya adalah ubi ungu – difavoritkan oleh kebanyakan konsumen, dan tentu hal ini salah satunya dikarenakan inovasi yang dituangkan ke dalam tampilan dan adonannya sehingga menimbulkan eksplorasi rasa yang berbeda. Apa yang biasa menjadi dasar dan inspirasi Anda dalam menciptakan kreasi menu yang baru?
Sebenarnya alasan utama kami melakukan hal ini adalah kami ingin mendapatkan dan menunjukkan prestige yang sebenarnya ada dalam bahan-bahan lokal yang seringkali dianggap tidak terlalu ada artinya, karena mereka terlihat seperti makanan biasa saja. Asam jawa biasanya diapakan, sih? Dibuat jadi beras kencur lalu selesai. Kita perlu mencari lebih banyak aplikasi dengan bahan-bahan seperti ini. Tujuannya apa? Ya semata-mata demi mengangkat status dari bahan-bahan dasar buatan lokal seperti ini, juga meningkatkan hasil pendapatan produsen di Indonesia. Kalau misalnya ubi ungu digodok dan dijual hanya sebagai ubi ungu saja, tidak akan ada nilai tambahan di aspek makanannya itu sendiri.
Sebelumnya juga Anda membicarakan concern Anda terhadap industri pastry di Indonesia. Bisa dikatakan salah satu permasalahannya adalah banyak kafe pastry yang menjual produknya sebagai mass-market dimana menu yang ditawarkan antara tempat hampir semua sama, dan biasanya mereka lebih mengutamakan kuantitas barang yang terjual. Tentu hal ini dikarenakan adanya demand yang tinggi juga. Menurut Talita, apakah masalah ini dapat disebabkan karena sedikitnya akses ke sekolah kuliner yang benar-benar terakreditasi di Indonesia sehingga kesadaran konsumen akan produk yang berkualitas pun belum cukup?
Benar sekali. The difference between proper education and proper understanding of creating concepts then conceptualizing it – also knowing yourself, knowing the technics of the taste and texture from the art, nature, and science itself, dan mengambil sesuatu yang sebelumnya ada di pasaran lalu tinggal menjiplak saja, tentu merupakan dua hal yang sangat bertolak belakang. Kembali lagi ke awal tadi, yang saya pelajari dari musik adalah keseluruhan dari konsep konseptualisasi itu sendiri, bukan hanya mengikuti apa yang sudah ada. Karena kalau kita melakukan hal seperti itu, we will only get the shell but not the soul within it.
Don’t be afraid to say what you don’t know.
Dengan melihat tujuan saya sewaktu memulai BEAU, dimana salah satunya adalah membuat kuliner menjadi lebih tersedia dan diterima oleh masyarakat luas, saya ingin membuka satu sekolah kuliner yang terjangkau dan mudah diakses oleh banyak orang. Untuk mengedukasi masyarakat akan memilih produk yang tepat dan berkualitas untuk mereka konsumsi. After all, it’s not really just about me or BEAU. It’s about the whole industry. It’s about the country itself. Karena yang ingin kami lakukan adalah membawa perubahan dan pengaruh di industri ini.
Mungkin 5 tahun dari sekarang, saya ingin lebih terjun ke dalam permasalahan pendidikan tadi, either through philanthropy or social work. Karena itulah saya menjalankan BEAU bukan hanya sekadar untuk mengejar profit, karena dari awal pun saya ingin membuat suatu perusahaan yang sifatnya self-sustainable. Hire a professional to run the company, I wanna build a industry that is self-sustainable to always have new talents injected into the industry. Also to have a better kind of paradigm to be able to learn about being creative and innovative, then we can increase the market size, effect changes, and also educate the market in that way. Sehingga baik dari perusahaan dan industrinya sendiri dapat berjalan dengan sendirinya tanpa harus selalu dituntun, dan saya dapat melakukan hal lainnya. In this case, I want to educate and just give back to the society.
The only way you get better at what you do, is to surround yourself with people who are better than you.
Apakah karena hal ini juga – kami dengar – ada beberapa staff di tempat Anda yang sebelumnya belum memiliki pengetahuan mengenai industri baking, lalu di BEAU mereka benar-benar dilatih dari nol sampai bisa membuat roti atau kue sendiri?
Kami ingin memberdayakan siapapun yang memang memiliki passion di bidang ini. If they invest their time with me, I will give them the knowledge that they seek. And also the experience that they want to have. Waktu saya mau mulai mendirikan BEAU, beberapa orang bilang ke saya, “Tal, why do you want to open a business here? You know you can’t trust Indonesians. Maybe they will steal your recipes. They’re lazy and they can’t follow Standard Operating Procedure (SOP)” Dan masih banyak hal negatif lainnya yang saya dengar mengenai sumber daya manusia kita di sini, dan mirisnya ini dikatakan oleh orang Indonesianya sendiri.
Kalau kita saja memiliki sikap dan pandangan seperti itu terhadap tenaga kerja yang kita miliki, bagaimana kita bisa mengharapkan perusahaan – bahkan industri ini dapat berkembang? Jadi saya memutuskan untuk berdiri dengan kepercayaan saya sendiri; bahwa tenaga kerja Indonesia bisa mengikuti instruksi dengan baik, mereka bisa mengikuti sistem yang ada, dan mereka juga bisa memiliki kepribadian yang loyal. And once you have these beliefs, what you will then embark is trust, and they will feel trusted. Mereka akan merasa diri mereka itu berguna. Kita juga akan memunculkan pada diri mereka rasa kepemimpinan itu sendiri. I encourage them to be a conscious leader. Jadi walaupun mereka saat itu masih jadi tukang bersih-bersih, steward, atau kurir misalnya, it all starts with yourself which you need to be a good leader to yourself before you can lead others.
Dari sini saya bisa punya perusahaan yang self-accountable dan self-directed, dimana saya tidak perlu benar-benar jagain dan micromanage setiap bagian dalam usaha ini. Seperti contoh saat saya harus pergi ke Nepal selama 2 minggu, saya tidak perlu khawatir karena di BEAU, kami sudah membuat sistem tersebut dan empower para staf di sini untuk menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri. Because people say that when you become an entrepreneur, you will lose your whole life. Saya tidak setuju dengan pendapat ini, karena bagi saya, ya, work-life balance. Setiap orang di perusahaan ini punya 5 hari kerja dan 2 hari libur. Where will you find that in any other FnBs? Never.
Biasanya perusahaan di industri ini memberlakukan sistem 6 hari kerja dan 1 hari libur, lalu 14 jam kerja dalam sehari. Saya katakan pada staf-staf saya kalau kehidupan dan perkembangan pribadi mereka, apa yang mereka lakukan di luar pekerjaan itu sama pentingnya dengan yang mereka lakukan di tempat kerja. You need to have your own hobbies, you need to have your own life, and you need to spend time with your family. Kalau tidak seperti ini, mereka hanya akan jadi mayat hidup saat mereka datang kerja. You’re not gonna be good at services, you’re not gonna make good products, you’re just gonna end up messing stuffs up. Kita harus kelola mereka yang bekerja dengan kita dengan baik, beri mereka kebebasan, and just let them be humans.
I want to educate and just give back to the society.
Anda sempat melihat sendiri industri kuliner – terutama pastry – di luar. Apa kira-kira yang membedakan antara industri pastry di Indonesia dengan negara-negara lain sehingga dapat mempengaruhi perkembangan di daerah masing-masing?
Menurut pendapat saya sendiri salah satu permasalahan di industri pastry di Indonesia adalah kepemilikannya yang masih kurang. Ini mengapa saya menaruh nama saya sendiri di dalam brand untuk menunjukkan keunikan yang dimiliki oleh usaha ini. To have a concept that is truly original which is an expression of yourself. Jadi brand ini bukan sekadar mass-product, melainkan sesuatu yang dapat memberikan sudut pandang yang baru bagi publik. Karena di waktu sekarang ini kalau kita lihat, khususnya di Jakarta, sudah berapa ratus sih coffee place yang menjual menu brunch? Segi uniknya ada di mana?
Sebenarnya untuk menemukan keunikan ini kita hanya perlu tahu diri kita sendiri. Apa sih yang membedakan diri kita dari orang lain? If you can’t even say what separates yourself apart from other people, how can you make a product that is different to others? Kembali lagi, semuanya itu dimulai dari sendiri. You are the constructor of your own brand. Ada waktunya saat itu saya butuh melakukan proses pencarian dan introspeksi diri, karena bisnis saya ini pun pasti pernah melewati berbagai fase yang sulit sebelumnya. I tried to be more like Harvest, I tried to be more like Union. Faktanya dari awal saya memulai BEAU di tahun 2015, bisnis ini belum menjadi sesuatu yang menguntungkan sampai akhir tahun 2016 kemarin. Hal ini terjadi karena saya sempat berpikir kenapa orang-orang seperti memandang aneh dan tidak mengerti dengan apa yang saya coba bawakan di sini. Sempat berpikir apakah karena sourdough-nya atau kue yang kami buat kurang soft atau bagaimana. Tapi ya balik lagi, BEAU is so unique, and I need to take an advantage of its uniqueness. Kekuatan bisnis ini ada di hal tersebut.
And I think people overseas understand this better. Mungkin karena hidup mereka lebih enak atau nyaman – dilihat dari kebutuhan (utama) pangan dan papannya sudah terpenuhi terlebih dahulu – mereka lebih bisa masuk ke dalam suatu konsep abstrak. Namun mengingat Indonesia termasuk sebagai negara berkembang dimana isu kemiskinan dan yang berhubungan dengan middle class masih menjadi permasalahan yang cukup dibicarakan, sehingga masih terlalu awal untuk berpikir lebih abstrak – jauh melampaui survival needs mereka hanya demi berjualan. Because what we’re trying to do here is to go towards more the direction of art, creation, innovation, dimana hal-hal tersebut merupakan langkah selanjutnya setelah survival needs itu tadi. Saya melihat Indonesia sedang berjalan ke arah sana, meskipun sedikit demi sedikit, tetapi ini merupakan sebuah proses. Dan yang kami lakukan adalah mencoba membangunkan kesadaran tersebut.
Kalau untuk lingkungan kerjanya sendiri, terutama FnB dan kitchen di perusahaan-perusahaan besar, cukup menyedihkan menurut saya. Pertama karena saya seorang perempuan, perempuan Asia juga. So back then I experienced sexism, racism, and a lot of disrespect. Saya rasakan itu semua dan memang bukan jadi suatu hal yang baru di FnB dan kitchen. Tapi sistem seperti ini sudah kuno sekali. Maka dari itu dengan Beau ini saya ingin menunjukkan sistem yang penuh dengan respek, dan lingkungan kerja yang hidup.
It is fine to learn as you go.
Seksisme dan rasisme yang dulu Anda alami, apakah masih terjadi sampai sekarang?
Untuk sekarang ini tidak. Saya tahu kalau hal-hal seperti ini masih ada, tapi saya melihatnya semua itu kembali lagi ke kita – apakah kita ingin terus terikat oleh masalah tersebut? Women have the right to think that they’re being discriminated, because it does exist. But we can’t always stay in the victim mode. Kalau kita sebagai perempuan terus-terusan diam di area ini, selamanya kita tidak akan bisa keluar dari sana. We should show that we are powerful, strong, and we don’t feel like we’re being victimized. Kita tunjukkan kalau kesempatan-kesempatan yang bisa kita miliki di luar sana tidak akan hilang dari tangan kita sekalipun ada permasalahan ini.
Di Indonesia sendiri, jika ada tren suatu jenis makanan yang sedang hype, kebanyakan dari mereka muncul secara timbul-tenggelam – seperti misal red velvet cake atau cronuts saat itu. Menurut Anda, mengapa progress seperti ini kerap terjadi di sini?
Dengan adanya perkembangan media sosial sekarang ini membuat suatu tren datang dan pergi jauh lebih cepat. Jika dulu untuk beradaptasi dengan munculnya satu tren membutuhkan waktu kurang lebih 1 tahun, lalu menunggu tahun berikutnya untuk melihat tren tersebut hilang dan digantikan oleh yang lainnya, keseluruhan proses tersebut sekarang ini bisa terjadi hanya dalam kurun waktu setahun itu tadi. Karena adanya fenomena seperti ini, banyak orang cenderung memulai bisnisnya hanya dengan mengamati apa yang sedang terjadi dalam market pada saat itu saja, tanpa memikirkan gambaran jangka panjang untuk tren tersebut. Sedangkan yang kami lakukan di BEAU adalah kebalikannya, memilih jalur bisnis yang dapat bertahan lebih lama. Salah satu caranya dengan menjual produk yang sifatnya timeless. Kamu tentu boleh saja mengikuti tren, Saya tidak mengatakan kalau mengikuti tren itu tidak baik, tetapi pastikan apa yang dipilih cocok dengan model bisnismu. Jangan biarkan tren malah mematikan.
Contohnya seperti Kopi Tuku – I have a lot of respect for the founder. Mereka berhasil membuat suatu produk yang terjangkau, enak, dan waktunya tepat dengan meledaknya hype Go-Jek saat itu. Menurut saya ini jenius. Tetapi melihat fakta bahwa kafe-kafe lainnya hanya sekadar mengikuti model bisnis Tuku, jatuhnya mereka hanya saling mematikan pasar milik masing-masing. Mungkin sekarang ini mereka masih bisa bertahan, tetapi saat tren kopi susu mulai memudar nantinya, saya pikir Kopi Tuku dengan orisinalitasnya akan jadi satu-satunya yang bertahan. Then the question is, do you want to invest your energy making a kopi tuku look alike, or do you want to make your own kopi tuku? Jika banyak orang memilih menanamkan tenaganya untuk melakukan pilihan yang kedua tadi, bayangkan bisa seberapa lebih jauh dan cepat pertumbuhan industri kuliner di Indonesia.
If you can’t even say what separates yourself apart from other people, how can you make a product that is different to others?
Ada rencana baru untuk BEAU dan mungkin Talita nya sendiri kedepannya? Mengekspansi cabang BEAU hingga luar kota mungkin?
Saya memiliki rencana untuk memperluas cabang di Bali tahun depan, membuka lokasi baru di Jakarta. I also want to move my wholesale into a larger location, karena yang sekarang masih jadi satu dengan lokasi pusat yang ada di Cikajang. Melihat jumlah wholesale kami sekarang ini sedang melonjak juga, jadi memang harus mencari production plan yang lebih tepat. Lokasi BEAU di Cikajang nanti akan benar-benar digunakan sebagai kafe saja.
Selain itu ada sister company-nya BEAU, namanya Dej Cafe. Akan mulai beroperasional tanggal 1 Mei nanti. Dej Cafe ini full vegetarian cafe, and basically a cross between Ottolenghi and Pret-a-Manger. Konsepnya sendiri nanti adalah makanan di sini sudah disiapkan di dapur utama kami, lalu dikirim ke lokasi Dej. Bisa dikatakan seperti warung rames modern tapi vegetarian. Like, if you only have 10 minutes to grab something quickly and you want that something to be healthy, you can come here. Tujuan kami membuat Dej Cafe ini karena kami ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa ada cara atau gaya makan yang lebih sehat, lebih ramah secara sosial maupun lingkungan.