Laila Munaf Bercerita Tentang Olahraga sebagai Terapi, Zumba dan Sana Studio
Kami berbincang dengan salah satu pionir hadirnya Zumba di Indonesia dan owner Sana Studio, Laila Munaf tentang cara hidup sehat secara menyeluruh dan olahraga sebagai terapi.
Words by Ghina Sabrina
Di tengah kemunculan sederet studio fitness baru di sekitar Jakarta dan kota-kota sekitarnya, olahraga Zumba merupakan salah satu program fitness yang paling diminati oleh semua kalangan. Salah satu pionir dari kehadiran Zumba ke Indonesia adalah Laila Munaf lewat studionya, Sana Studio. Sepulangnya dari Amerika Serikat, ia mulai memperkenalkan Zumba secara kecil-kecilan untuk tidak hanya menyehatkan, tapi juga membahagiakan teman-temannya yang terjebak dalam hiruk-pikuk ibu kota. Kini, tak hanya Sana yang telah berkembang menjadi salah satu studio dan komunitas yang paling aktif di Jakarta, mereka pun telah menambah kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat dan mendorong kemunculan studio-studio baru. Kami berbincang dengan Laila di sela-sela kesibukannya tentang awal mula proses terbentuknya Sana, dampak sosial media pada perkembangan tren hidup sehat hingga keinginannya untuk berkolaborasi dengan fitness studio lainnya.
Anda merupakan salah satu sosok yang memperkenalkan publik kita dengan Zumba untuk pertama kalinya. Apa yang membuat Anda memilih untuk melakukan hal tersebut?
Awal mulanya Zumba mungkin it was a coincidence. Tante saya kebetulan mengajar Zumba, I stayed with her setahun terakhir sebelum akhirnya memilih pulang ke Indonesia – dan memang sekeluarga itu tidak bisa diam. Jadi memang suka bergerak, apakah itu dancing atau olahraga. Enam bulan terakhir, sampai saya memutuskan untuk berhenti kerja, I wasn’t happy with my corporate life dan mulai mencari cara to survive or to stay happy, yang pada saat itu adalah commuting naik sepeda ke kantor. Jadi mulai tiba-tiba merasa olahraga kayaknya membahagiakan, itu dimulai dari sepeda. So the experience of commuting from home to work itu buat saya sangat membahagiakan.
Suatu hari diajak sama Tante untuk pergi Zumba karena kita sekeluarga suka musik, suka dancing walaupun tidak jago, tapi we like it. One day I tried it with her, I went dan saya lebih jatuh cintanya mungkin tidak sama program dari segi dancing-nya, tapi komunitas yang ada di dalam kelas itu. The place that I went was actually a Jewish community center, isinya mungkin older community, but they were so active – dan saya waktu itu masih berumur 24.
I asked one of the lady who was in the class, “Kok bisa aktif banget, umurnya berapa?“ she was 80, she was so happy and so alive saat dia mengikuti kelas itu. Itu membuat saya bertanya, “What’s with this Zumba?” karena kadang gerakannya kayak, “Really, are you really doing this?”. Tapi orang ini happy banget. Jadi, when I asked her, dia menjawab, “Pokoknya saya ikut apapun yang membuat saya bahagia”. Ternyata kunci dari sehat itu adalah bahagia. Then, I decided that I like the impact that this class have for its community. Jadi saya mengambil training-nya, and that 6 months has passed.
Akhirnya saya pulang ke Indonesia, decided to leave my job, saya mau take a break, figure out what I wanna do next. Terus bertemu sama teman-teman lama karena I stayed in the States sudah hampir 11 tahun, jadi pada saat pulang ke Indonesia itu kayak “Hi, do you remember me, can we hangout?” Dan a lot of my friends ternyata sudah berkeluarga.
I was 26 when I went home, jadi pada saat berhenti kerja itu tahun 2008. Selama satu tahun kepulangan saya ke Indonesia, saya terserah mau melakukan apa saja. Tapi ketika saya bertemu sama teman yang sudah berkeluarga, prioritasnya pasti sudah berbeda, tapi they looked unhappy, like they were so miserable and so stressed out. Terus tiba-tiba kepikiran kata-kata si nenek ini, bahwa to be healthy, you have to be happy.
Then randomly saya menawarkan, “Lo mau gak Zumba sama gue?”, “Hah Zumba apaan, dance Afrika?”. “Nggak sih, (tertawa) but I’m going to show you anyway. Tapi lo ngumpulin orang deh, karena kalau berdua ‘kan gak seru.“ Jadi dia mengajak teman-temannya juga dan pas olahraga ketawa sih, karena gerakannya mungkin lucu. But then they told me, “Gue udah lama banget sih gak make fun of myself, and the just laugh and forget about that I am a mom, forget that there’s a baby who’s gonna need to be breastfeed or whatever.” Pada saat itu saya belum mengerti, jadi kepikiran “Oh you know what, this is something that I want to do”, untuk sok jadi penyelamat, saya mau membahagiakan teman-teman saya. Intinya dulu itu sih. Akhirnya saya memutuskan untuk memperkenalkan program ini, at least to my loved ones. Sampai akhirnya berlanjut punya studio dan lain-lain.
Butuh waktu berapa lama dari yang awalnya cuma mengajarkan teman, sampai akhirnya punya studio?
I’ve been away for so long, I don’t have a community.
I went home for good in 2010. Jadi ada satu tahun saya pulang ke Indonesia, terus balik lagi ke sana karena waktu itu lagi mencoba memperkenalkan batik ke Amerika. So I did my production in Indonesia, and then I went back to sell them. Tapi, on my second trip, I met my husband jadi kecantol di Indonesia (tertawa). Jadi it took me 2 years, saya mulai dari tahun 2010, dan Sana Studio buka pada bulan Januari 2012. Selama 2 tahun ini sebenarnya lebih banyak ke private classes, jadi either saya yang datang ke rumah orang, atau saya sewa studio waktu itu di sekitar Sungai Sambas. Jadi ada small studio, saya membuat kelas di situ and then I would blast it. Pastinya I was struggling sih, karena tidak selalu ada orang yang mau datang dan karena I’ve been away for so long, I don’t have a community. Kalau teman-teman yang dari Boston, kebanyakan sudah lupa karena when you come home, they’ve already have their own family, lives and friends.
Satu tahun itu cukup berat tapi timing-nya tepat aja sih. Suami saya dan kakaknya adalah arsitek, dan mereka sedang mencari kantor. Mereka lalu menemukan tempat di Panglima Polim dan menyewa satu rumah. Karena terlalu besar dan bagian depannya tidak diperlukan, saya menawarkan diri untuk menyewa bagian itu. Saya sudah tidak mau lagi naik ojek ke mana-mana karena kalau kelas private, jarak dari satu tempat ke tempat lainnya itu tidak selalu berdekatan. Lalu, saya mem-propose ke mereka, “If I do it on my own, it’s useless because I don’t know anybody. So can you use your network, ajak teman-teman kalian ke sini and I’m going to make sure they will love it.” Itu berjalan dengan cepat sekali. On our first three months, ternyata suami dan kakak ipar saya ini kenal dengan banyak orang. They brought the crowd and then I could show what I can do, and then mereka hopefully fall in love with the workout.
Itu berjalan sampai kita berpikir untuk membuat studio beneran, yang tidak cuma Zumba saja. Kita memperkenalkan kelas yang memang kita suka, so we started with TRX, boxing dan Zumba. Jadi boxing sama TRX itu bapak-bapaknya suka ikutan, so let’s just do that. Terus untuk Zumba, selain saya, I found two other instructors yang dulunya juga murid saya yang saya suruh untuk ambil sertifikasi, cause I can’t teach every day. Ternyata mereka juga ada potensinya dan mereka bilang visi misinya juga sama. Tidak hanya menyehatkan, tapi juga ingin orang lain bahagia dan merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
Saya ingin menjadi satu keluarga besar, jadi we are creating a community, we are campaigning about something yang impactful
Jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, kini telah banyak bermunculan studio fitness di Indonesia. Apa tanggapan Anda mengenai hal tersebut?
Hopefully their mission is the same with Sana, which we do want to be the house for everyone, yang baru mulai ataupun fitness journey-nya sudah lama. Saya ingin menjadi satu keluarga besar, jadi we are creating a community, we are campaigning about something yang impactful, dan dengan dibukanya studio-studio lain, on behalf of Sana, we’re actually happy karena melihatnya dari sisi ini adalah perpanjangan tangan kita. Mungkin kalau kita hanya sendirian di sini, impact-nya tidak akan terlalu besar. Dengan adanya mereka, dan jaraknya sebenarnya tidak terlalu jauh, at least yang mungkin tidak keburu ke kita, they can try (to go to other place). Mudah-mudahan dengan adanya studio-studio ini mereka juga akan melakukan kampanye yang sama seperti kita.
Jadi Anda tidak melihat mereka sebagai kompetitor?
Tidak sih, kita pastinya menyayangkan kalau ada studio yang sekadar buka karena it’s a business opportunity. Karena, you’re not going to survive if you don’t have a community base dan untuk studio-studio yang sudah mengerti, yang sudah menjalankannya bahwa you need this community to support you, to support your business. You need to have an impactful campaign behind it, karena kalau you just offer classes, orang bisa bosan, karena akan ada waktunya mereka akan merasa, “You know what I don’t wanna do this Zumba anymore, I want to do something else.” Or suddenly hype-nya lagi lari, and it’s free tanpa haru bayar berapa ratus ribu.
Awalnya pastinya, “Kok mereka banyak banget yang buka?” and then suddenly kita pikir, “let’s seek the positive aspect out of it”. Actually, mereka adalah perpanjangan tangan kita. Let’s just focus ke misinya kita. Karena kalau kita fokusnya ke kompetitor, kita jadi kebakaran jenggot sendiri, ‘kan? Padahal sebenarnya, as a pioneer, maybe we are an example for a lot of the newer studios. So might as well just focus on what we were campaigning, hopefully mereka akan bergandengan tangan bareng kita, menjalankan misi yang sama.
Walaupun pastinya berbeda, hal apa yang membuat masyarakat lebih menyukai untuk mengikuti kelas-kelas kecil seperti Zumba daripada fitness di gym?
I think kalau di gym itu soul-nya tidak ada. Itu definitely hanya sarana yang disediakan untuk orang-orang kalau mau pakai mesin sendiri bisa, atau mungkin ada personal trainer. Tapi, personal touch-nya dan sisi kekeluargaannya itu tidak dapat. Komunitasnya itu sebenarnya terbangun bukan karena si geng ini datang berolahraga bersama-sama. Tidak, geng ini terbentuk karena mereka bertemu setiap hari, terus mereka mengobrol dan they become friends and they become one big community. Jadi mungkin bedanya kalau di gym lebih meng-cater orang-orang yang cuma mau masuk, olahraga and then “I’m out”. Tidak semua orang suka basa-basi. Jadi pastinya yang masih memilih mega gym juga ada, tapi yang memilih studio-studio seperti Sana Studio karena lebih kekeluargaan dan ada community yang mendukung mereka.
Terkadang, yang menghalangi seseorang untuk mulai berolahraga dalam kelas-kelas fitness adalah rasa takut terintimidasi. Apa yang dapat Anda sampaikan kepada mereka?
That is totally normal to feel that way. Karena it is intimidating. I think if I was that individual, I would feel the same way. Tapi, intinya sih sebenarnya you exercise for yourself. Mau di manapun itu, you will always feel intimidated. Whether it’s a gym – I feel intimidated going to the the gym karena what am I going to do with all this machine? I don’t know. Tapi if I put aside that feeling, I could just go in and read the instruction, and then you know you’ll figure it out.
Sama saja kalau kita datang ke studio, belum tahu Zumba itu apa, terus tiba-tiba orang-orangnya sudah saling kenal. Tapi once you come in, dan regularly datang ke whatever class that you go, which ever studio pastinya karena ini komunitasnya sangat positif, they will say hi to you. Karena we see each other all time. Whether sudah pernah mengobrol sebelumnya atau tidak, ya kita memang se-sok kenal sok dekat itu aja sih. Tapi untuk memulainya memang sulit, tapi try to put aside that feeling, once you get in, these people are not going to judge and make you feel intimidated, it’s yourself who make you feel that way.
Bagi mereka yang tinggal di Ibukota, olahraga telah menjadi semacam terapi untuk melarikan diri dari hiruk pikuk yang dialami. Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut?
Ada pros sama cons-nya. Pros-nya kalau mereka memang menjadikan olahraga menjadi terapi, that’s good. Tapi ada juga yang menjadikan ini sebagai pelarian. Jadi, “I don’t want to deal with that, I’m just going to exercise.” But you’re not dealing with that. Jadi kalau olahraga itu bisa membuat kamu bahagia, harusnya kamu juga siap untuk menghadapi masalah ini. Itu yang Sana juga lagi belajar, bahwa ternyata kesehatan itu so broad. It’s not just about your physical health anymore.
Ternyata di balik physical health ini ada yang lebih penting lagi, which is mental health.
Ternyata di balik physical health ini ada yang lebih penting lagi, which is mental health. Kalau misalkan mental health-nya lagi unhealthy, and then you exercise, to get away from this unhealthiness, itu sesaat doang. Ini jadi solusi sementara. Harusnya hal ini saling mendukung satu sama lain. Misalkan mental health lagi tidak enak, ya sudah saya olahraga supaya lebih tenang, lebih zen. Nah, itu hopefully secara komplitnya orang bisa melakukan itu semua.
Pastinya masih banyak yang suka dipertanyakan, seperti kenapa ada orang yang berolahraga 2 sampai 3 kali sehari. Untuk apa? Are your running from something? Itu sebenarnya pertanyaan yang ditanyakan a lot of psychologists di Indonesia and globally. Are you running from something, or are you solving something? Kita sebagai individu harus bisa bertanya dan menjawab pertanyaan itu. Anything yang over, itu ‘kan sudah pasti jadi tidak sehat, kadang kalau kita di Sana, kita pasti bertanya. Whether it’s going over the line and then they will get offended that we asked, but we have to ask.
I have a couple of clients going to my Zumba class, Zumba is a cardio workout, it is for you to lose weight. If I see someone who do not need to lose weight, I will ask her why do you like going to Zumba? Especially setiap hari dan guru yang berbeda-beda dan kelasnya hanya Zumba. Then I will ask, “What is your goal? If your goal is to be happy you can come in, but just take it easy.” Because maybe your body secara kesehatan sudah tidak butuh. Tapi kamu ingin memberi makan jiwa kamu dengan ini (Zumba), ya sudah. You never feel satisfied with your look. I know it’s none of our business, but it is our place to suggest kayaknya lebih cocok ikut TRX, maybe you need to build some muscle. Kasih ilmu why muscle is important. If you still need to lose weight, the muscle can help you reach that goal tapi tanpa menjadi tidak sehat. Karena balik lagi it’s so complex. Karena kalau kamu kurusan tapi tidak memiliki otot, tulangnya bisa termakan, and then you become unhealthy. Jadi untuk apa olahraga mati-matian? Kita sebisa mungkin memberikan kiat-kiat untuk mereka.
You have to educate and you have to be honest. Some of them do get offended, and they don’t come back. It’s totally okay, karena kita tidak mau memberikan image yang salah. Unfortunately, di komunitas kita masih banyak yang seperti itu. I was blessed with what people might think as an ideal body, but I was born like this, I do not need to work hard, memang sudah genetik. Tugas saya adalah, I need to stay healthy bagaimanapun caranya saya tidak boleh underweight, karena tidak bisa overweight. It’s so hard for me to gain weight, tapi itu juga tidak sehat. Jadi, I’m struggling with my own battle. Kalau di mata mereka “I want your body,” I’m like, “What else do I need to eat yang sehat supaya tidak underweight.” Apalagi saya berada di depan panggung terus and they see that image. Itu yang kadang sebenarnya berat banget buat instruktur karena if you want to know more, you can approach us and ask what actually we are doing untuk mendapatkan the ideal body yang mereka mau. Tapi sebenarnya semuanya pasti battling their own issues.
Jadi jangan yang, “Ya udah gue tidak makan saja, atau malah ikut keto dan mayo diet or whatever,” atau hanya memakan sayur dan buah. Kemudian saat mereka melihat apa yang saya makan, mereka akan kesal karena saya makan nasi dua kali sehari. Jadi, pastinya beda-beda. Saya tidak bisa menyarankan harus diet yang seperti apa, karena setiap badan berbeda. Unless you want to go to a nutritionist yang lebih mengerti, then that’s the right person.
If you’re not in a place where you can afford paying the classes that most studio offer, there are so many other ways to stay healthy
Walaupun menyehatkan, tidak semua orang mampu secara finansial untuk mengikuti kelas-kelas fitness secara rutin dan malah mengira bahwa hidup sehat itu mahal. Apa yang ingin Anda sampaikan untuk mengubah persepsi mereka?
Sakit itu pasti akan lebih mahal, hidup sehat itu sebenarnya pilihan. If you’re not in a place where you can afford paying the classes that most studio offer, there are so many other ways to stay healthy. There are so many community who give free classes. Jalan kaki saja sudah sehat, kalau kamu suka dan bisa lari, itu gratis. Naik sepeda, mungkin you invest on the bike, it doesn’t have to be like something thousand dollars in a bicycle, like a regular bike, itu bisa. Berenang juga bisa. Tapi memang, if you go to studios, and then you pay, minimumnya di sini 100 ribu, it is not cheap. Makanya kadang di kelas kita sebagai instruktur akan bilang, “Ngapain kalau geraknya gitu doang, ayo dong, you paid a lot of money, you got to work!“.
We offer you a community, we offer you a support system. So you’re not only paying for a class, you’re paying for the whole thing.
Sebagai studio owner, we know that what we charge is not cheap, so we want you to get the best experience. We offer you a community, we offer you a support system. So you’re not only paying for a class, you’re paying for the whole thing. Kadang ada juga yang datang ke studio hanya sebagai batu loncatan mereka dulu. They need their support system dulu, sampai mereka merasa confident, they can exercise on their own, they don’t need to come as often as they used to. Then they feel comfortable to just go on a bike ride, or a run on their own juga banyak. Tapi, let’s say for a student, tidak semua murid bisa membayar kelas 150 ribu. Kalau setiap hari datang dalam sebulan juga mungkin allowance-nya tidak akan cukup juga. Tapi itu dia, harus pintar-pintar saja, mungkin dalam sebulan, you can come three or four times untuk disuntik lagi semangatnya dan merasa kalau, “we are here for you”. Pastinya kalau di Sana itu, if you want to just come, just to be there, tanpa ikut kelas, we are open. Karena banyak orang yang datang untuk diskusi, atau temannya lagi olahraga and they just want to hang out, feel free to make it your own house. Jadi mereka juga bisa mencoba kelas-kelas ini.
Media sosial memiliki peranan penting dalam perkembangan pola hidup sehat di antara masyarakat, mulai dari kemunculan gerakan #pertemanansehat hingga klub-klub lari. Apakah Anda juga merasakan dampak tersebut dan bagaimana Anda melihat efek media sosial terhadap perkembangan Sana?
Ngerasain sih, dampak baik dan tidak baiknya juga. Karena kita pernah mendapatkan komentar, “Kok kayaknya yang ada di sosial medianya Sana yang badannya bagus-bagus aja?” Jadi sekarang kita belajar. Kita bukan orang-orang marketing, dua dari ownernya arsitek, aku orang finance, cuma ada satu, kakak iparku, yang pernah bekerja di agency. Jadi ilmunya ada di dia. Tapi tetap saja, itu ‘kan sesuatu yang dipelajari along the way. We try to be as real as possible di social media, karena it’s so sad what social media can do to you.
Sama saja seperti saya, for some reason people see me as an influencer but I try not to sell anything on my social media. It is what it is. Tapi kalau social media saya isinya hanya anak saya dan olahraga, it’s because it is what I do, and it is what I’m passionate about. I love to collaborate with a lot of brands, tapi masih di segi olahraga. Jadi, di media sosialnya Sana juga begitu. Kita keahliannya apa? What do we offer? We offer a community, we offer kekeluargaan, we offer classes, and that’s what we try to give out untuk dikasih lihat ke komunitas.
Sehat itu bukan sekedar you eat a balanced diet, it’s not just you exercising regularly, it’s not just taking care of your mental health, tapi itu secara keseluruhan.
Banyak yang melihat bahwa gerakan hidup sehat kini hanyalah sebuah tren, langkah seperti apa yang dapat Anda ambil untuk mempertahankan hal tersebut?
So far, ini kita ‘kan sudah hampir tahun ketujuh. For the past three years, it kind of shows that it’s not a trend anymore, I think sudah banyak orang-orang yang sadar bahwa, “oh actually it’s not a trend anymore, it is something that we need – to live healthy”. Orang-orang juga sudah mulai mengerti tentang konsep healthy ini, bahwa ternyata sehat itu bukan sekedar you eat a balanced diet, it’s not just you exercising regularly, it’s not just taking care of your mental health, tapi itu secara keseluruhan. Jadi tren ini akhirnya di-break sendiri dengan adanya komunitas-komunitas lain. Misalkan wellness dari segi mental health, sudah ada komunitasnya sendiri. Itu yang kita juga berusaha pelajari, karena terbukti dari pengalaman kita sendiri.
We felt like we’ve been living a healthy life, and then my husband got sick and it was a critical condition, padahal he eats what we eat. Ya mungkin sebelumnya saya tidak tahu, tapi separah-parahnya, everybody eats indomie, a lot of Indonesians smoke, tapi why him? Menurut dokter yang menangani suami saya, secara keseluruhan, hal utama yang ditanya adalah, “Are you stressed?” That is the first question. Ternyata itu penting banget untuk dimengerti. Jadi, tren sehat dengan berolahraga itu sudah bukan menjadi sekadar tren, tetapi menjadi salah satu komponen. Karena komponen lain yang membuat kamu sehat itu banyak ternyata.
Sekarang, olahraga hanya salah satunya saja. Kita mungkin dulu pas awal-awal mengkampanyekan, “Ayo, hidup sehat! Kita semua harus berolahraga, karena dengan berolahraga kita akan sehat.” Setelah itu kami menyadari bahwa ternyata sehat itu bukan hanya dengan berolahraga. Ada yang memilih untuk sehat dari segi makanan saja karena tidak punya waktu untuk berolahraga, ternyata tidak berarti sehat juga. Atau ada yang olahraga mati-matian tapi setelah itu makan bakso atau martabak, ‘kan tetap tidak berpengaruh juga. Atau yang hanya ingin fokus menyehatkan jiwa saja, tapi kok yang lain-lain masih kurang? Itu ternyata one big bowl of components and you can’t pick one. You have to do the whole thing. Kita telah mempelajari itu sejak beberapa tahun ke belakang. So hopefully semakin banyak komunitas yang ada, semakin berkumpul dan saling menggunakan social media untuk menyebarkan pesan-pesan yang benar. Secara tidak langsung, orang-orang yang melihat dan mem-follow kita juga akan menyerapnya dengan benar. Karena, orang kadang menafsirkannya berbeda-beda. But we try our best to just be true to whatever we want to show to the community dan mengedukasi supaya mereka tahu bahwa ini beneran dan bukan tren saja. Do try them yourself semua komponen-komponen ini, and then what do you feel after.
Sana studio dibangun sejak tahun 2012 dan kini telah memiliki tiga cabang di Jakarta Selatan. Apa langkah selanjutnya untuk Sana?
What’s next? We’re going to stay here. Ternyata semakin banyak cabang semakin pusing (tertawa). We’re just going to take it easy. Tapi selanjutnya mungkin belajar komponen lain ini. Because we’re going to be honest, saya mungkin di-approach dengan brand yang mau meng-endorse makanan sehat, but I don’t eat that. I eat normal food, I eat what I cook. It doesn’t have to be necessarily organic, paleo or steamed, saya sebenarnya tidak terlalu seperti itu, tapi mungkin bisa jadi karena saya belum tahu. Why do I have to eat those? Karena what I’m eating now, so far so good, I don’t eat santan everyday, mungkin Pagi Sore once in a while. I feel like diet orang yang tidak bisa masak works for me.
Untuk komponen baru yang mental health ini, yes, we are so eager to learn, jadi Sana mungkin kedepannya ingin lebih mengerti dan mempelajari aspek tersebut dari industri kesehatan ini. Kita kemarin sudah beberapa kali membuat workshop, apakah itu self healing untuk fisik, apakah itu self healing untuk hati, ternyata kalau menjalani ilmu yang dipelajari, ditambah dengan olahraga, emang akan zen for some reason. Karena ada juga orang yang energinya over, seperti saya, but then you get burned. Because you’re so on fire, and then towards mid-day, I’m just so exhausted. Karena dari pagi I’m so energetic and now I’m done. Jadi belajar gimana caranya mengeluarkan energi yang berlebih tadi secara pelan-pelan.
Apa proyek Anda untuk kedepannya?
For me in the future, teach less classes. Semakin tua semakin capek. Karena saya sudah lewat mid-30s. Memang masih muda, tapi di badan sudah mulai terasa. Dari segi olahraga mungkin sudah tidak bisa yang se-high impact seperti dulu ketika masih usia 20-an. So I’m trying to listen to my body, lumayan encok habis olahraga (tertawa). Mungkin bisa berpaling ke belajar yang lain. Apakah bisa belajar olahraga yoga, atau pilates. Mungkin Zumba saya mulai turunkan ke adik-adik umur 20-an. Tapi I do want to focus more on Sana. Dengan saya juga mengajar, to be honest pastinya capek. Biasanya habis mengajar pagi, I would stay here until makan siang, and then I would go to Polim, and then work. Itu tuh rasanya kayak “ugh can i just sleep?” Kalau paginya saya agak lebih relaxed, mungkin I can focus more di kantor. Itu mungkin plan ke depannya. Maybe not in 2019, maybe ke yang lebih dekat ke umur 40. I mean, I need to take care of myself, that would be my plan.