Budaya Motor dan Positif-Negatifnya Bersama Den Dimas
Berbincang dengan sosok dibalik akun instagram @buburayamracer tentang budaya sunday morning ride hingga sikapnya terhadap stigma negatif terhadap budaya motor.
Words by Whiteboard Journal
Istilah Sunmori (Sunday Morning Ride) beberapa tahun belakangan tengah digemari oleh masyarakat pecinta motor. Minggu pagi, ketika jalanan sedang sepi, pengendara motor memanfaatkannya untuk menelusuri jalanan kota. Namun, kerap kali aktivitas ini dianggap mengganggu warga lokal karena bisingnya suara knalpot. Kali ini Whiteboard Journal berkesempatan untuk berbincang langsung dengan salah satu motovlogger, Den Dimas yang dikenal dengan pemilik akun Instagram @buburayamracer. Tak hanya tentang Sunmori, Dimas juga akan berbagi pengalamannya dalam bermotor.
Adakah hubungan sentimental yang membuat Anda sangat tertarik dengan motor hingga mendorong Anda untuk membuat akun YouTube yang membahas tentang motor, 3 tahun lalu?
Sedari kecil; sejak kelas 1 SD, ayah selalu berlangganan majalah. Setiap hari kamis, selalu datang majalah Bobo dan majalah otomotif. Jadi saya kelas 1 SD itu disuruh baca majalah Bobo, tapi karena harinya datang bersamaan dengan majalah otomotif, jadi setelah saya baca Bobo terus saya baca majalah otomotif. Jadi dari dulu memang sudah dekat dengan otomotif.
Saya memang suka motor dari dulu, saya dari kecil saja sudah naik motor. Saya baru pindah dari Melbourne tahun 2012, lalu balik kerja di sini (Jakarta). Kemudian saya sedang buka-buka YouTube mencari-cari motor. Nah terus saya menemukan konten motovlog dari luar negeri, muncul spesifik satu akun dari Melbourne. Awalnya, saya tidak tahu kalau itu dari Melbourne, tetapi saya lihat-lihat kok seperti kenal kotanya dan baru sadar, oh ini Melbourne ternyata. Dari situ saya mulai suka, karena pasti ada nostalgianya. Akhirnya saya menonton video dia, saya kasih tahu pacar saya waktu itu yang sekarang istri saya, “Ini ada konten bikin motovlog di Melbourne, bahas tentang motor. Seru ya kayaknya”. Lalu waktu itu saya punya kamera GoPro di rumah dan ada motor, lalu saya pikir untuk mencoba membuat konten. Hanya mencoba-coba saja.
Riding menurut saya lebih daripada hanya kita dari kafe ke kafe
Saya sudah bisa edit video dan foto dari SMP. Dengan otomotif saya sudah dekat, dengan dunia kamera pun juga sudah dekat, dengan dunia editing pun sudah dekat. Jadi bukan sesuatu yang baru buat saya, dan akhirnya yaudah saya coba deh. Pada akhirnya saya beli mic dan jauh sebelumnya pun saya sudah sering menaruh kamera di helm. Hanya biasanya saya buat timelapse, lalu saya cari foto yang bagus dan saya upload ke Path, jadi buat teman-teman saja. Jadi, memang sebenarnya saya sudah bisa melakukan itu semua tapi tidak pernah terpikirkan untuk dipublish. Sampai akhirnya ada Vespa di rumah, dan saya pakai saja untuk buat motovlog.
Dulu saya sudah sering buat konten, tapi dulu saya tidak tahu media untuk portofolio. Kalau kamu suka buat video, dulu kamu tidak punya tempatnya. Nah akhirnya ada YouTube, saya coba deh buat konten yang konsisten. Saya dulu juga tidak ada keyakinan. Saya buat konten juga tidak ingin punya satu juta subscriber gitu, hanya karena saya menyukainya. Jadi karena saya senang, ya sudah istilahnya mulai saja dulu, saya juga menjalaninya senang jadi tidak ada pressure.
Tahun 2017, Anda berpartisipasi dalam acara Motorbaik yang bertujuan berbagi kebaikan, salah satunya dengan membantu mengajar di berbagai sekolah dengan konsep perjalanan jauh yang ditempuh dengan motor. Apa hal menarik yang dialami dan ditemukan sepanjang perjalanan?
Sebenarnya, melalui aktivitas bermotor, saya belajar banyak tentang pertemanan dan bagaimana jadi public figure. Karena yang ada di dalam itu semuanya public figure, ada Omesh, Ferry Maryadi, Darto, Kang Edi, ramai lah. Istilahnya mereka itu orang-orang yang punya influence lebih daripada saya. Dari hal itu saya belajar banyak, mungkin dari Omesh saya belajar bagaimana kalau bertemu orang, as simple as kalau misalkan kita lagi riding ramai-ramai nih, misalkan yang diminta foto hanya Omesh, tapi kalau yang Omesh lakukan adalah dia akan mengajak kita semua “Ayo sini foto bareng semua, rame-rame aja” jadi tidak dia saja. Sebenarnya saya belajar gestur-gestur simple seperti itu karena sesuatu yang seperti itu yang tidak bisa dipelajari di buku dan bagaimana orang-orang ini bergaul, terlebih mereka bisa dikatakan artis, yang saya tidak pernah tahu bagaimana dunia pertemanan artis-artis ini. Kalau memang definisinya anak motor ya memang sama saja, kalau lagi istirahat juga ngemper-ngemper di pinggir jalan.
Bagaimana perjalanan tersebut mempengaruhi Anda dalam berinteraksi dengan sesama dan semakin belajar tentang kesenian dan kebudayaan?
Mungkin lebih ke arah achievement pribadi, bahwa saya pernah riding jauh. Itu membukakan mata bahwa riding itu tidak harus dalam kota. Istilahnya saya sudah melihat dunia di luar sana, jadi ekspektasi saya tentang riding dalam kota ya sudah santai saja, tidak perlu aneh-aneh, tidak perlu ugal-ugalan. Karena sebenarnya riding lebih hanya dari itu, riding menurut saya lebih daripada hanya kita dari kafe ke kafe atau kebut-kebutan dalam kota. Riding jauh lebih daripada itu, lebih ke arah experience-nya, riding bersama-sama teman-teman kita, riding jarak jauh, lihat pemandangan, lihat daerah kecil yang kita tidak tahu itu di mana tapi pemandangannya sangat bagus.
Melalui aktivitas bermotor, saya belajar banyak tentang pertemanan dan bagaimana jadi public figure.
Bicara tentang motor, tidak jauh dengan kata sunmori (Sunday Morning Ride) dan Anda berkata bahwa “Sunmori itu waktunya silaturahmi”. Apakah aktivitas ini mampu mempertemukan komunitas motor dan membuat skenanya jadi sustainable?
Kalau saya melihatnya begini, orang itu sudah melakukan sunmori sebelum ada istilahnya. Saya dari SMA sudah riding Minggu pagi sendirian, sebelum ada kata orang sunmori itu apa. Ketika saya di Jogja pun saya sudah riding Minggu pagi, walaupun saya tidak menyebut itu sunmori. Anak-anak motor lainnya pun juga sudah riding Minggu pagi, walaupun mereka tidak menyebutnya dengan sunmori. Itu sebenarnya sudah basic untuk anak motor, karena anak motor sudah melakukan itu dari sejak lama. Ada yang melakukannya Minggu pagi, ada yang melakukannya Minggu malam, kapanpun yang penting sepi jalanannya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan kegiatan sunmori; khususnya Jakarta, setelah beberapa tahun belakang?
Mau tidak mau harus dikembangkan ke arah lebih baik sih. Sebenarnya sunmori tidak dijaga pun akan selalu ada. Tapi kalau dibicarakan secara ekonomi kreatif, mungkin lebih baik dijaga. Karena secara tidak langsung menumbuhkan ekonomi, walaupun skalanya kecil. Kalian tahu tidak kalau sunmori banyak yang suka foto-fotoin? Itu mereka bisa cari uang dari hal itu. Mereka bisa cari uang dalam arti mereka nongkrong di Senayan City lalu diminta mendokumentasikan yang sunmori sambil riding lalu dibayar berapa ratus ribu atau berapa juta gitu. Jadi itu secara tidak langsung menumbuhkan ekonomi yang baru. Kemudian sunmori itu bisa jadi ajang brand buat ikut serta. Jadi menurut saya harus dijaga karena ada impact-nya. Nah, negative impact-nya seperti sering kebut-kebutan, itu yang harus kita perbaiki.
Tak jarang, masyarakat merasa terganggu dengan kegiatan sunmori yang bisa membuat Minggu pagi menjadi bising karena suara knalpot. Bagaimana Anda menyikapi ini?
Memang sudah pernah kejadian beberapa kali masyarakat lokal merasa tersinggung apalagi dengan suara-suara knalpot. Kalau di Jakarta, mungkin pernah satu kali tapi tidak terlalu kedengaran. Cerita paling besar itu di Lembang, di Lembang ada satu rute dari Lembang naik sampai Ciater, namanya Cikole. Secara lintasan memang sangat enak, dingin, sejuk, jalannya sangat belok-belok, jalanannya lumayan mulus, dan pasti mengundang banyak sekali anak motor. Nah, seperti yang saya bilang tadi, anak-anak motor sudah ke sana, anak Bandung naik motor saya yakin juga ke tempat itu. Tapi kemudian muncul beberapa pengendara/oknum yang istilahnya menggunakan tempat ini sebagai ajang show-off.
Jadi bedanya begini, zaman dulu orang riding dari titik A ke titik B, istirahat kemudian pulang. Cikole itu ada di tengah rute tersebut. Kemudian yang membuat resah adalah mereka ke Cikole, beli Indomie, kemudian kebut-kebutan hanya bolak-balik saja, entah mencoba motor temannya atau memang kebut-kebutan. Itulah yang kemudian membuat warga resah, sampai kecelakaan pun sangat mungkin terjadi. Influence-influence negatif seperti itulah yang harus dihentikan. Dari sisi saya, effort saya adalah ya saya tidak menunjukan agar orang tidak menirunya.
Bagaimana posisi budaya motor ini di tengah kesadaran akan lingkungan yang semakin naik. Apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya motor sekaligus menjaga polusi? Juga bagaimana posisi budaya motor ini di tengah tren public transport yang semakin gencar?
Sebenarnya satu hal yang bagus sih karena saya sangat mendukung public transportation yang mendukung di Jakarta dengan adanya MRT dan sebagainya. Mengurangi kemacetan di hari kerja of course, memang itu yang kita mau. Terlepas dari itu, anak-anak motor naik motor hari Minggu itu memang hanya untuk melepas penat. Jadi sebenarnya itu pengaruh hanya mungkin tidak seberapa.
Anda juga kerap kali touring jarak jauh dengan motor mengingat Anda juga suka travelling. Bagaimana cara Anda menikmati travelling dengan bermotor seiring memberikan edukasi bagi penonton di YouTube?
Yang saya lakukan adalah ketika saya membuat video travelling, saya berusaha untuk memasukan konten yang ada motornya. Kalaupun tidak sempat, misalkan seperti video saya di New Zealand, yaudah mau gimana lagi. Tapi alasan melakukan hal itu karena saya mau mem-push diri saya. Seperti yang saya katakan tadi kalau saya itu suka buat video, saya suka motret dari dulu. Saya juga pernah berpikiran karena saya dikenal sebagai motovlogger, jadi saya harus membuat konten yang ada motornya. Makanya saya berusaha memasukan konten motor, sedikit lah. Tapi kalau misalkan tidak bisa ya mau gimana lagi.
Tentunya juga saya membuat konten sebagai tempat membuka wawasan, karena sebenarnya saya membuat konten itu salah satunya untuk sharing something. Maka dari itu, kenapa kalau saya membuat konten di Melbourne, saya juga mungkin beberapa kali membandingkan dengan yang ada di Indonesia. Supaya setidaknya orang yang belum berkesempatan ke Melbourne atau ke luar negeri bisa tahu. Saya punya kesempatan dan saya udah ada kesempatan untuk itu, tapi orang lain belum tentu punya dan menurut saya sangat penting untuk orang tahu di sana itu ada apa. Biar kita tidak terkurung di dalam lingkungan kita saja.
Kini, Anda berpartisipasi dalam tur motor custom ke Indonesia tengah dan timur berakhir di kota Jayapura. Bagaimana Anda melihat peran tur motor seperti terhadap perkembangan motor custom di Indonesia?
Budaya motor itu menumbuhkan banyak sekali industri.
Basically setiap orang ingin modif motornya, setiap orang ingin motornya terlihat beda. Saya pun ingin motor saya terlihat beda. Kemudian setiap orang punya caranya sendiri, ada yang custom, ada yang beli parts modifikasi aja dan itu sah-sah saja.
Nah kalau menurut saya acara-acara seperti itu memberikan wadah. Sama saja seperti kamu suka motret, kamu suka menulis dengan adanya blog itu kan wadah kamu karena kamu butuh eksistensi. Nah kontes-kontes seperti ini, itu memberikan wadah eksistensi. Jadi itu penting menurut saya, bisa juga buat referensi. Karena dari bengkel-bengkel ini, ada bengkel dari Purwokerto, daerah Jawa yang bukan kota besar. Dia itu bisa menyulap semi Harley yang tadinya 2 silinder jadi 3 silinder. Di Jakarta saja saya belum menemukan hal seperti itu, hal-hal seperti ini bisa jadi inspirasi secara langsung atau pun tidak langsung.
Apa visi Anda ke depan untuk komunitas motor lokal?
Yang jelas terus berkembang, menumbuhkan ekonomi yang positif. Karena budaya motor itu menumbuhkan banyak sekali industri. Mungkin di kita terlihat hanya beli part saja, kita beli dari satu toko gitu, misalkan tokonya Raka/The Jakarta Roads (Iron Horse Garage). Mungkin kita hanya kasih duit saja ke toko itu, tapi itu menumbuhkan banyak sekali industri di belakangnya. Secara ilmu ekonomi, untuk satu barang itu dibuat mereka harus punya supplier. Jadi industri motor itu menghidupi banyak industri. Makanya saya berharap ke depannya harus terus berkembang.