Pussy Riot Protes Ketidakadilan Politik di World Cup 2018
Mereka memasuki lapangan untuk memprotes otoritarianisme dan populisme Rusia di bawah rezim Putin
Teks: Winona Amabel
Foto: Rolling Stone
Pussy Riot, kolektif seni asal Rusia yang konsisten berdemonstrasi memprotes ketidakadilan di negara tersebut, tidak melewatkan ajang World Cup 2018 untuk menyoroti dan membuka diskursus akan situasi sosio-politis negara tuan rumah kepada masyarakat global.
Pada final World Cup kemarin, empat orang perempuan berseragam polisi Rusia masuk ke dalam lapangan mengganggu jalannya permainan selama beberapa menit. Pussy Riot kemudian merilis pernyataan melalui Twitter yang mengklaim bahwa merekalah dalang di balik kegaduhan itu. Bersama pernyataan tersebut disisipkan sebuah quote oleh seorang penyair dan seniman Rusia, Dmitri Aleksandrovich Prigov, mengenai Heavenly Policeman dan earthly policeman. Heavenly Policeman adalah simbolisasi polisi ideal dan otoritas yang adil, berbeda dengan antitesisnya yang mempersekusi tahanan politik dan memenjarakan orang karena menyukai dan membagikan posts di media sosial.
Pesan yang hendak disampaikan sesungguhnya jelas, bahwa mereka memprotes otoritarianisme dan populisme Rusia di bawah rezim Putin. Tahanan politik, penangkapan ilegal ketika demonstrasi, pemalsuan kasus kriminal, penahanan sepihak, keterbatasan ruang ekspresi publik di media sosial, dan tidak adanya oposisi politik; ialah poin-poin yang digarisbawahi Pussy Riot dalam tuntutannya. Dan terakhir, tentu saja, untuk mengubah pihak otoritas yang berlaku sebagai ‘earthly policeman’ menjadi seperti Heavenly Policeman.
Melihat aksi yang diperhitungkan pada ajang megah seperti final World Cup 2018 kemarin, apakah kemudian dunia akan lebih memperhatikan isu yang terjadi di Rusia? Melihat membludaknya bahasan dan sorotan terhadap Pussy Riot sejak kemarin, rasanya mereka berada pada jalan yang tepat untuk mencapai target mereka.