Merayakan Makanan Bersama Lazy Susan
Inisiatif sebuah kolektif untuk membahas makanan dari berbagai sudut pandang dengan pendekatan edukatif dan entertaining.
Foto: Lazy Susan
Makanan sebagai kebutuhan primer jelas menjadi hal penting dalam keseharian tiap individu. Namun sejatinya, tiap masakan atau kudapan mampu memberikan cerita tersendiri bagi tiap individu yang menyantapnya. Tak hanya menjadi asupan tenaga dan memanjakan lidah, makanan pun mampu merangkai cerita. Jika seseorang bersedih hati, kadang makanan jadi cara tercepat untuk menghibur diri. Begitupun jika sedang berbahagia, makanan turut jadi bagian dalam sebuah perayaannya. Atas dasar tersebut dan kecintaan 5 kawan terhadap makanan, sebuah kolektif pun muncul dengan nama Lazy Susan. Simak obrolan kami mengenai alasan di balik nama mereka hingga upaya untuk mengangkat bermacam hidangan di Indonesia ke publik.
Seperti apa proses di balik terbentuknya Lazy Susan? Dan boleh diceritakan alasan dibalik pemilihan nama Lazy Susan ini?
Jadi sebenarnya sebelum Lazy Susan dibentuk, masing-masing dari kami juga punya ide buat passion project yang berhubungan dengan makanan, mulai dari platform tentang roti, video, ataupun publication. Lalu, Valen; tepatnya di bulan Februari 2018, mencoba untuk pitch ke Suzies (kami) tentang konten yang light, entertaining, tapi juga edukatif. Dari situ dia menginisiasikan ke Suzies untuk buat small team yang bisa memproduksi konten fun but well-crafted. Walau menantang untuk buat konten seperti itu, kami percaya bahwa dengan orang-orang yang benar, kamu bisa pergi ke mana saja. Literally anywhere. Saat itu, yang lain masih kuliah di luar Jakarta, so when everyone is finally settled in Jakarta, we began to prepare Lazy Susan wholeheartedly. Setelahnya, semua kami lakukan dengan renjana.
Soal pemilihan nama, sebagai bagian dari budaya yang sudah ditanamkan sejak kecil, kebanyakan dari keluarga kami selalu berbagi makanan di meja bundar lengkap dengan ornamen yang baru saja kami paham nama akrabnya. Dalam bahasa Inggris, Lazy Susan adalah sebutan ornamen meja tersebut. Kami memilih Lazy Susan sebagai nama kami karena kami percaya bahwa ketika dihidang, kami semua bisa berbagi dan menikmati makanan yang sama. We dine in the same table after all.
Pada praktiknya, kalian menjelajahi ragam makanan yang; sejauh ini, ada di Indonesia, mulai dari pinggir jalan sampai hidangan khas seperti tumpeng, bahkan mie instan. Apakah kalian memang ingin fokus mengulik cita rasa makanan Indonesia?
Iya, topik yang menjadi pembahasan fokus kami adalah cita rasa Indonesia. Tapi, kami juga mementingkan peran-peran penting di industri kuliner mau itu oleh orang Indonesia atau orang luar. Sebagai platform food culture, jadi kami tidak bisa menutup mata pada influences yang masuk pada kuliner Indonesia maupun menutup pintu bagi orang-orang Indonesia yang memilih untuk explore makanan luar. Terlebih lagi, Indonesia sendiri kaya akan jenis-jenis makanan yang sebenarnya belum terlalu diketahui oleh orang-orang Indonesia sendiri. Lagipula, menurut Bu Murdijati Gardjito, selaku negara dengan dapur gastronomi terbesar di dunia, dosa kalau kami tidak menulis tentang itu.
Bagaimana kalian melihat potensi untuk mengembangkan menu Indonesia di era sekarang untuk bisa mencapai level seperti menu Thailand, atau Vietnam yang telah mendunia?
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, cuma exposure-nya saja yang kurang. Karena ini, orang-orang Indonesia yang tinggal di luar dan buka bisnis restoran Indonesia jadi mengambil jalur aman dan serve makanan yang itu-itu saja. Dengan Lazy Susan ini kami berharap bisa membuka wawasan orang tentang makanan Indonesia sekaligus bisa memiliki kesempatan untuk menjadi konsultan bisnis-bisnis ini sehingga mereka bisa berjalan mengikuti market. Selain itu kami juga berharap agar orang-orang Indonesia sendiri semakin bangga dengan makanan lokal.
Menurut kalian, seperti apa ritual santap makanan paling ideal menurut Lazy Susan?
We think there’s nothing more ideal than having the right meal with the right people. Namun, ritual yang paling ideal adalah ketika seseorang, sendiri maupun ramai-ramai, dapat menikmati sepiring makanan yang memang dia suka banget dengan sepenuh hati. Seporsi makanan akan pakem jika orang yang akan menyantapnya merasa tidak sabar dan sudah kepikiran beberapa jam sebelumnya atau bahkan beberapa hari untuk menyantap makanan tersebut.
Dari kami berlima, kami rasa tidak ada cerita kami makan karena memang harus makan aja. Kami makan juga karena having a meal is something we look forward to every single day. Dari pagi saja sudah memikirkan makan siang apa sambil sarapan. Tapi ya, ritual santap makan satu tim tanpa ada pembicaraan tentang kerjaan juga cukup ideal sih kadang-kadang.
Apakah ada misi tertentu yang ingin dicapai melalui rilisan pertama majalah versi cetak kalian?
Kami harap edisi pertama kami bisa menjadi langkah kecil untuk mencapai salah satu visi kami yaitu pemerataan edukasi mengenai budaya makan. Di samping majalah cetak, kami juga berharap Lazy Susan bisa menjadi wadah untuk para penggemar dan penggiat budaya makan.
Dengan rilisan pertama kami berharap untuk bisa menyebarkan informasi dan membuka pikiran masyarakat tentang dunia kuliner. Bahwa media makanan bisa membahas lebih dari sekadar review makanan tapi juga tentang cultural dan societal impact, peran-peran yang menggerakan industri, dan juga memperluas jaringan kuliner tradisional dengan membawa informasi-informasi tersebut dalam penampilan dan penyampaian yang mudah ditangkap oleh generasi ini.
Apa proyek yang sedang kalian siapkan untuk ke depannya?
Setelah peluncuran Suzine perdana kami dan acara kolaborasi cocktail dengan Slits, kami ingin fokus dulu untuk mempersiapkan issue kedua kami. Dengan rencana setahun merilis 3 majalah – ada banyak rencana untuk mengulik lebih dalam mengenai makanan, para pakar, dan bahan mentah di Indonesia yang belum sempat kami sentuh.