Demi Standarisasi Kuliner Cina, Kecerdasan Buatan Diperbantukan
Salah satu cara artificial intelligence dapat mendukung industri kuliner.
Teks: Wintang Warastri
Foto: Shutterstock
Di antara sekian banyak aktivitas manusia yang bisa dibantu oleh partisipasi kecerdasan buatan, mungkin mencicipi makanan menjadi salah satu yang berada di daftar terendah atau malah belum terpikirkan. Namun seperti dilansir South China Morning Post, beberapa pelaku industri kuliner di Cina mulai memanfaatkan para mesin ini untuk membantu mencicipi berbagai bahan makanan, realisasikan standarisasi kualitas dan otentisitas dari masakan Cina.
Sebagai negara dengan penduduk terbanyak dan persebaran terluas di dunia, kuliner Cina dikenal sebagai salah satu kuliner terpopuler di dunia dengan variasi yang tidak kalah banyaknya. Keberagaman jenis ini tentunya dapat menambah kekayaan dari nilai kuliner tersebut, namun rupanya pemerintah Cina lewat programnya yang diikuti beberapa manufaktur bahan makanan massal, sedang berusaha meraih standarisasi kuliner Cina lebih seragam dengan menggunakan bantuan mesin dengan kecerdasan buatan. Upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produksi, juga profit lebih menguntungkan.
Dilengkapi indera perasa, pembau dan pengecap, mesin-mesin dengan kecerdasan buatan ini ditempatkan di berbagai pos tertentu dalam proses manufaktur makanan. Berkat pengajaran kepada mereka oleh sekelompok ahli kuliner, juga algoritma pencari pola menyerupai reaksi manusia saat dihadapkan dengan makanan, mesin-mesin tersebut mampu menilai kualitas makanan dari penampilan, aroma dan rasa dengan akurasi sebanyak 90% mendekati level manusia. Para mesin tersebut sejauh ini sudah menguji produk-produk seperti cuka beras hitam, mie kering, daging perut babi asap, anggur kuning Cina, juga teh.
Tahun ini, China National Light Industry Council melaporkan kepada pemerintah pusat Cina bahwa lebih dari 10 pabrik-pabrik makanan tradisional tersebut telah meningkat profitnya sebanyak lebih dari 300 juta yuan sejak inisiasi program pada 2015 lalu. Di sisi lain, proses standarisasi ini juga menemui beberapa pertentangan, salah satunya dari China Cuisine Association, asosiasi chef terbesar di Cina. Lewat Sun Li sebagai direktur International Affairs, mereka meragukan kemampuan kecerdasan buatan ini untuk menilai otentisitas dari tiap-tiap produk makanan tersebut. Kriteria tersebut bisa sangat bervariasi mengikuti selera sang chef, bahkan untuk masakan yang sama. “It is hard to judge which is the most authentic,” ujar Sun. “I don’t think AI can tell the difference within the next two or three decades.”