Visual Eksperimental bersama Paul Agusta
Febrina Anindita (F) berbincang dengan Paul Agusta (P)
F
Paul memiliki kepiawaian dalam mengubah sebuah cerita dalam audiovisual eksperimental. Apakah film memang bentuk seni yang Paul suka sejak dulu?
P
Iya, sejak umur 8 tahun. Dari kecil memang sering diajak menonton teater maupun film hingga bermacam-macam pertunjukan, dan karena itu, mulai terobsesi. Tapi yang paling mengubah cara berpikir itu adalah saat umur 8 tahun diajak nonton The NeverEnding Story. Setelah melihat film tersebut, saya lalu bertanya ke Ibu saya, “Orang macam apa yang bisa membuat hal seperti itu?” dan Ibu saya menjawab, mereka adalah sutradara. Sejak itu, saya mantap ingin jadi sutradara. Saya tidak punya cita-cita lain selain itu, setelah selesai SMA pun tidak muncul pertanyaan setelah ini akan lanjut sekolah ke mana. It was given.
F
Apa yang Paul lihat dari film tersebut hingga ingin menjadi sutradara seketika?
P
The NeverEnding Story diadaptasi dari buku cerita anak asal Jerman. Ceritanya yang sangat fantastik dengan naga hingga raksasa yang terbuat dari batu yang bisa membawa kita ke dunia lain. Untuk anak berumur 8 tahun, tentunya hal tersebut luar biasa. Saya punya imajinasi yang sangat aktif. Ini membuat saya suka bercerita dan mendengar cerita. Kebanyakan anak-anak dibacakan dongeng sebelum tidur oleh ibunya. Ini terlihat pada bagaimana anak seumuran saya biasanya hanya dibacakan dongeng, namun saya juga menceritakan sebuah dongeng kepada Ibu saya. Kami selalu bertukar dongeng sebelum tidur. Setelah melihat film itu, saya sadar bahwa dongeng sebelum tidur yang selama ini kita ketahui, ternyata bisa memiliki bentuk visual. Saya bisa menceritakan dongeng ini dan membuatnya nyata atau terasa nyata. Tidak hanya dalam gambar, tapi juga bentuk 3 dimensi yang bisa bergerak seperti yang selama ini hanya terbayang di kepala saya. Itulah mengapa film penting bagi saya. Pada titik tertentu, film membuat saya bisa melihat kesempatan yang sebelumnya tak terpikirkan di usia 8 tahun.
F
Bagaimana Paul menilai sebuah film dari kacamata seorang penonton?
P
Pada dasarnya film dilihat dari ceritanya. Itu hal pertama yang saya cari. Hal lain seperti special effect, siapa pemainnya hingga seperti apa aksinya adalah komplementer. Mau semegah apapun, budget-nya sebesar apapun, tapi kalau ceritanya lemah, saya biasanya akan keluar dari teater dengan perasaan sedikit kecewa. Selain itu, seberapa kuatnya cerita itu didukung dengan elemen lain seperti visual hingga akting. Tapi sebagai penonton, saya selalu mencari cerita yang bagus.
F
Bagaimana ketika menonton film dari kacamata filmmaker?
P
Selalu balik ke cerita juga, tapi spesifiknya adalah bagaimana cerita tersebut berinteraksi dengan elemen lain. Secara visual sudah mendukung dengan baik atau tidak, begitupun secara akting dan performance. Karena obsesi saya selalu itu, dan saya merasa semua elemen dalam film kecuali cerita itu ada untuk mendukung cerita. Jadi cerita merupakan fondasi sebuah film, segala macam hal lain dibangun di atasnya. Istilah yang biasa saya gunakan adalah, elemen lain dalam sebuah film adalah budak cerita. Jadi semuanya harus melayani cerita itu sebaik mungkin. Dan itu yang saya cari, seberapa bagusnya elemen-elemen yang ada melayani penceritaannya.
F
Paul juga sempat menjadi kritikus serta kurator film setelah pulang dari Amerika Serikat. Apa penilaian terpenting yang menentukan film tersebut patut mendapat respons bagus dari penonton dan filmmakers?
P
Dari membaca tulisan kritikus film yang saya hormati, seperti Roger Ebert, Pauline Kael, Anthony Lane, saya melihat bahwa mereka selalu memposisikan diri; setidaknya saya melihat mereka bisa menempatkan diri sebagai public servant. Mereka melayani orang yang seminggu penuh sudah bekerja, dan pada akhir minggu mereka ingin mengeluarkan uang hasil kerjanya untuk menonton sesuatu, tapi mereka tidak tahu mau menonton apa, maka kritikus memberikan penilaian mereka sebagai rekomendasi bagi orang-orang tersebut tadi. Jadi tugas kami sebagai kritikus adalah menyediakan public service untuk membantu mereka memutuskan apa yang sebaiknya ditonton atau tidak. Jadi saya selalu memposisikan diri sebagai orang yang memberikan public service.
Layaknya public service, saya mencoba meminimalisir sisi personal saya pribadi dalam penulisannya. Jadi pada saat saya review film, jarang sekali menggunakan kata “saya.” Fokusnya benar-benar ke karyanya, bukan gosip di antara pemain atau hal lainnya. Cara saya menulis terdiri dari paragraf pertama yang berisi rangkuman keseluruhan film yang berisi kelebihan dan kelemahan. Berikutnya saya jabarkan alasan kenapa saya mengatakan bahwa ceritanya aneh, mana bagian yang lemah. Saya tidak mengatakan bahwa seharusnya film tersebut memiliki cerita yang seperti A misalnya, tapi saya bilang bahwa, kalau penonton mau suka hal ini, mungkin tidak akan suka cara hal ini diceritakan di film ini. Jadi, sebisa mungkin fokusnya tetap ke ceritanya dan tidak ngalor-ngidul.
Banyak sekali kritikus yang suka terlihat nyinyir, seakan menikmatinya untuk diri sendiri. Menurut saya itu tidak relevan. Sepintar apapun jadi sarkasme, hal tersebut tidak ada hubungannya dengan menjadi seorang kritikus yang baik. Karena sarkasme tidak membantu penonton untuk memutuskan apakah mereka harus menonton sebuah film atau tidak. Mereka harus tahu bahwa film yang mereka tonton itu baik atau tidak. That’s it.
Jadi, saya kadang merasa terganggu saat membaca sebuah review film yang keasyikan sendiri, mencoba untuk terlihat pintar dengan tambahan sarkasme. Dan kita bicara mengenai 90% kritikus film di Indonesia yang lebih suka mencela daripada menulis untuk menilai sebuah film akan merugikan penonton atau tidak kalau mereka mengeluarkan duit untuk menonton. Karena fungsi kritikus film seperti itu, terutama di media. Fungsi kami adalah memastikan bahwa penonton mengeluarkan uang untuk sesuatu yang akan mereka nikmati, dan itu hal yang sebenarnya tidak boleh dilupakan. Dan banyak sekali penulis di sini lupa akan hal itu (tertawa).
F
Jadi subjektif sekali ya?
P
Sangat. Tapi objektifitas murni juga tidak bisa didapat. Tapi bagaimana kami bisa memastikan bahwa kami bisa seobjektif mungkin? Sebagai kritikus film, kami harus banyak nonton, paham sejarah film, paham gerakan-gerakan film, jangan terlalu berpihak pada 1 atau 2 genre, bisa menerima semua genre, paham apa yang kuat dan lemah dari semua genre yang ada dan meminimalisir; sebisa mungkin, selera pribadi. Tentu hal tersebut akan muncul, tapi harus memastikan bahwa selera yang dipakai untuk review film adalah selera edukatif. Selera yang didukung oleh pengetahuan teori dasar film dan konteks terhadap film itu dibuat.
Kadang saya membaca sebuah kritikus yang sangat memuji film arthouse, lalu dengan sengaja menonton Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT) dan menghinanya karena ia merasa itu bodoh dan tidak logis. Ya, sebagai penulis, ketika masuk ke film Park Chan-wook, misalnya, kita tahu ada konteks tertentu yang ia buat, jadi kita menulis berangkat dari konteks yang disediakan. Kamu tidak akan menggunakan konteks yang sama ketika membahas TMNT (tertawa). Film ini akan menjadi film yang sangat menghibur untuk anak kecil dan remaja. Film TMNT tentu tidak akan filosofis dan mindblowing, jadi jangan cari itu, karena mungkin film ini justru tidak masuk akal. Tapi apakah film ini menyenangkan untuk ditonton? Bayangkan menjadi anak berumur 12 tahun menonton TMNT, apakah akan menikmatinya? Nah, kritikus film harus bisa seperti itu. Kalau harus review film yang penontonnya muda, seorang kritikus film harus bisa menonton dari kacamata anak umur 10-12 tahun, bukan dari kacamata seorang akademis berumur 30 tahun, karena hal tersebut jelas tidak akan masuk akal (tertawa).
Banyak penulis lupa dengan konteks itu. Mereka review film Park Chan-wook dan Michael Bay dengan metode yang sama. Kalau pembandingannya seperti itu, tentu Michael Bay akan terlihat sangat bodoh (tertawa). Tapi, Michael Bay tidak membuat film untuk penontonnya Park Chan-wook (tertawa). Sebagai kritikus film, kami harus bisa menjadi bermacam-macam target genre film ketika menulis. Yang penting adalah paham konteksnya saja.
F
Apa hal yang begitu vital dalam film Paul yang selalu disisipkan tiap karyanya?
P
Saya merasa logika cerita dan cara bertutur yang enak adalah hal yang paling penting. Beberapa orang bilang saya tidak memiliki style, karena kalau melihat film saya dari awal, rasanya seperti menonton film dari sutradara yang berbeda. Hal tersebut muncul karena saya pribadi tidak merasa penting harus punya personal style, karena fungsi saya sebagai filmmaker adalah untuk melayani cerita.
Jadi, kalau misalnya saya datang dengan atau diberi sebuah cerita untuk direct, pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya adalah bagaimana cara terbaik untuk melayani cerita ini? Style apa yang paling cocok, seperti apa pendekatannya, dan dari situ saya lalu memproduksi dengan gaya yang sesuai. Mungkin beberapa karya saya secara visual dan style berbeda, tapi saat ditonton lalu diberi pertanyaan apakah penyampaiannya cocok dengan ceritanya, I’m pretty sure your answer will be yes. Karena tujuan saya selalu itu, style cara saya bercerita akan saya jodohkan dengan bagaimana sebuah cerita ingin ditampilkan. Jadi, saya tidak pernah memaksakan personal style ke sebuah cerita.
Kadang kita lihat beberapa sutradara punya dan terkenal dengan style tertentu, dan ketika diminta untuk buat sebuah film berbeda sekali dari biasanya, tapi mereka memaksakan personal style mereka ke ceritanya. Gaya yang seperti ini akan cenderung melemahkan ceritanya dan akan membuat penonton akan bertanya-tanya. Dan saya tidak pernah mau hal tersebut terjadi pada film saya. Saya membuat film karena suka bercerita dan saya paham bahwa cerita merupakan fondasi dari sebuah film. Personal style bagi saya tidak penting karena hal tersebut tidak relevan. Saya bercerita bukan untuk dikenal sebagai filmmaker yang memiliki style tersendiri.
I don’t wanna be noticed as an auteur. Saya membuat film tidak untuk dikenal. I make films to make films, to tell stories. Saya hanya ingin bercerita. Keputusan kreatif saya akan selalu berdasarkan itu. Style visual, pendekatan teknis apa yang paling cocok dengan ceritanya adalah hal yang paling penting. Bukan keinginan pribadi karena hal ini keren atau karena saya ingin terlihat keren, karena hal tersebut tidak pernah jadi pertimbangan.
F
Bagaimana Paul menemukan ide tiap kali merumuskan cerita?
P
Kalau sebuah film berdasar dari cerita saya, saya biasanya menulisnya tanpa memikirkan elemen visual. Saya tulis beserta logika, struktur, flow dan emosinya. Lalu saya memperlakukannya seperti bukan saya yang menulis, tapi seperti saya diberikan sebuah cerita untuk diminta visual treatment. Lalu saya baca kembali untuk mencari emosinya seperti apa dan memilih warna, feel-nya seperti film-film apa. Setelah itu saya mulai menuliskan beberapa judul-judul film yang bisa dijadikan referensi. Nah, kadang-kadang di tahap awal bisa 15-20 film terdaftar dan saya biasanya menonton ulang semua film tersebut. Sembari nonton saya menimbang-nimbang apakah ada elemen yang bisa dipakai untuk film saya. Biasanya saya akan menemukan referensi yang pas dari 5 atau 6 film, nanti saya akan mencari color tone, lighting keseluruhan, flow editing dengan mencocokkan kemungkinan yang ada dari film tersebut untuk bisa diaplikasikan ke film saya.
Saya tidak pernah malu mengatakan bahwa saya selalu memakai referensi, karena semua filmmaker harus pakai referensi. Yang tidak boleh adalah meniru langsung, seperti meniru frame. Buat saya filmmaker harus bisa memproses referensi lalu mencocokkan dan menciptakan sesuatu, karena referensi sinematografi sendiri saja bisa dari 4 atau 5 film sendiri, tapi lagi apakah semua referensi itu cocok dengan cerita yang saya buat. Setelah sudah dapat pakemnya, baru saya memberikannya ke Director of Photography (DOP) untuk menanyakan apakah dari referensi tersebut ada yang bisa dikembangkan atau tidak. Itu yang biasanya jadi proses visualisasi saya. Selain itu penentuan skema warna dan juga akan mempengaruhi mood cerita.
F
Film-film Paul memiliki karakteristik rasa yang begitu kuat sehingga membuat penonton terlarut. Apakah Paul selalu melihat film dari aspek intrinsik?
P
Ya, itu adalah hal terpenting, karena saya rasa bahwa kalau penonton tidak merasakan apapun dari apa yang filmmaker lakukan, tandanya kami tidak jujur. Because, storytelling is an emotional experience. Ketika mengutarakan sebuah cerita, seseorang menceritakan tentang emosi, mood, hal-hal yang dilalui oleh orang lain. Orang tidak akan mau mengikuti ceritanya kalau penonton tidak menginvestasi rasa ke dalam ceritanya. Bagaimana filmmaker bisa memiliki itu? Caranya adalah kami juga harus punya hal tersebut, jadi saya hanya menulis tentang sesuatu yang saya tahu. Dan ketika saya menulisnya, saya bisa merasakan emosi yang kuat. Jika saya diminta untuk melakukan sebaliknya, saya akan menolaknya karena saya tidak bisa menemukan apa yang harus saya rasakan.
Buat saya, hal penting selain cerita yang solid adalah adanya impact emosi terhadap diri saya. Karena jika sebuah cerita mempengaruhi emosi saya, dan saya merasakannya ketika membuatnya, penonton akan ikut merasakannya ketika menontonnya. Karena sebagai filmmaker, saya adalah orang pertama yang menontonnya, jika saya tidak merasakan apapun, begitupun penonton, sebab buat saya sangat penting untuk mendapati penonton memiliki koneksi emosional terhadap film saya
F
Apakah ada sisi spiritual dibalik relasi antara film dan penontonnya?
P
Yang sering terjadi saat pemutaran salah satu film saya, “At the Very Bottom of Everything”, adalah 99,9% pembahasan yang muncul adalah bukan tentang teknis film, tapi justru curhat. Berarti penonton “merasakan” film saya. Lewat film tersebut, banyak yang mengaku mereka akhirnya memahami apa yang dialami oleh anggota keluarga atau orang terdekatnya secara lebih baik. Tiap kali selesai pemutaran film tersebut, setidaknya seperempat penontonnya menangis dan hal tersebut hampir mendekati pengalaman spiritual bahwa apa yang saya alami yang menjadi dasar cerita film tersebut ternyata mereka juga merasakan dan memahami bahkan membantu mereka memahami diri sendiri serta orang di sekitarnya juga.
Film “Parts of the Heart” juga setipe. Pernah ada seorang lelaki heteroseksual menghampiri saya dan bilang bahwa film itu bukan tentang gay, tapi mengenai cinta. Banyak yang menyadari bahwa setengah jalan film itu berjalan, mereka lupa bahwa film itu tentang 2 lelaki. The gender disappears. Hal tersebut membuat saya senang karena berarti emosi di film itu kuat. Saya ingin fokus di emosi dan hal-hal dalam sebuah relasi yang pernah dialami orang banyak, saya ingin gender ditiadakan dan hal tersebut pun sukses diterima oleh beberapa orang.
F
Beberapa underground scene di luar negeri, seperti New York memiliki dan telah dijadikan fetish oleh orang-orang. Apakah Paul menemukan hal serupa di Indonesia?
P
Ada obsesi terhadap kekerasan, terutama pada sutradara film pendek. Saya tidak masalah terhadap hal tersebut, karena saya pernah membuat film yang memiliki elemen kekerasan. Yang membuat saya terganggu adalah mereka tidak mempertanyakan alasan kekerasan tersebut. Kadang kekerasan ditunjukkan karena alasan keren. Mereka lupa film-film bagus dengan kekerasan di dalamnya pada masa lalu hadir dengan alasan, pasti selalu ada hal yang baik dibaliknya. Mereka mulai membuat kekerasan sebagai fetish, yang saya pikir hal tersebut tidak baik karena apa yang terjadi hanya berkutat di seputar kekerasan, bukan apa yang akan muncul setelah kekerasan usai atau mengapa kekerasan harus muncul. Dan jika kamu tanyakan kepada filmmaker yang mengandalkan elemen kekerasan dalam filmnya, mereka akan mengatakan bahwa segalanya beralasan.
Tapi selain itu, banyak filmmaker muda memiliki fetish terhadap surrealisme. Which is absolutely fine. Tapi kebanyakan mereka lupa bahwa sinema surreal juga mengenai penceritaan, bukan sebatas orang-orang aneh dalam pilihan warna yang juga aneh seperti Wes Anderson, karena kamu juga harus memiliki sesuatu untuk diceritakan. Hal tersebut mengkhawatirkan saya karena sutradara film pendek muda ini menggunakan filter ala Instagram. Hipster-wise, they’re correct, you know? (tertawa) Warna ala Kinfolk, desain produksi ala Wes Anderson, dan lain-lain. Tapi mereka tidak bisa menjawab ketika ditanya kenapa warnanya seperti itu? Apa yang disampaikan dengan mood minimalis seperti itu? Niatnya apa? Fungsi untuk ceritanya apa? Banyak sekali mereka tidak bisa menjawab itu dan dari situ mereka sudah gagal. Karena sebagai filmmaker harus bisa menjawab hal itu dengan jelas, bukan dengan “Oh karena karena keren aja. Karena enak dilihat.”
Filmmaker adalah pencerita, kalau memilih medium film, berarti harus bercerita. Kecuali video artist, karena mediumnya berbeda. Misal, sinema eksperimental lahirnya dari storytelling, karena film akarnya dari sastra, sedangkan video art akarnya dari seni rupa, menggunakan hal-hal yang dilihat. Jadi kalau misalnya kamu menyebut dirimu sebagai filmmaker, harus ingat pondasinya adalah sastra. Kalau mau main keren-kerenan visual, jadi visual artist saja. Don’t be a filmmaker. Go call yourself something else (tertawa).
F
Apakah menurut Paul, Indonesia dapat menyamai posisi Amerika dalam hal subkultur yang sustainable untuk digarap menjadi arena kreatif orang-orang?
P
Kalau sudah mampu menunjang, menurut saya sudah iya, terutama di kota-kota besar. Tapi menurut saya pribadi, yang masih kurang adalah otentisitas. Karena terkadang, subkultur yang muncul di sini bersifat copy-paste. Semua hipster di Jakarta merasa mereka seperti hipster New York atau Jepang, mereka tidak merasa seperti hipster Jakarta. Kalau kamu minta saya untuk mendefinisikan hipster Jakarta, saya tidak bisa menjawabnya. Saya tidak bisa menjelaskan seperti apa hipster Jakarta tanpa melihat mereka yang mencoba terlihat seperti orang yang hang out di Brooklyn atau Jepang. Tidak ada otentisitas dalam subkultur di Jakarta. It’s just a copy-paste subculture (tertawa).
Berbeda dengan Yogyakarta. Subkultur di sana Yogya banget. Iya mereka menggunakan elemen-elemen referensial dari luar, tapi sangat diproses, menurut saya. Bahkan musik hip hop di sana, jika kamu paham liriknya, humornya sangat Jawa. Masih terasa otentisitasnya. Kalau di Jakarta, hampir tidak terlihat. Mungkin pemikirannya yang otentik yang sudah diproses, walau jarang ya (tertawa). Tapi penyampaiannya belum mewakili suara sebuah subkultur yang otentik karena pasti masih banyak yang menggunakan subkultur lain.
Sejujurnya; walau saya akan dibenci atas hal ini, tapi saya tidak tertarik dengan seni yang diproduksi di Jakarta karena hal tersebut. Kurangnya kejujuran di sana dan kebanyakan adalah hasrat untuk diakui, dilihat keren. Saya mendapatkan kejujuran dari karya di luar Jakarta, seperti di Yogyakarta dan Bandung. Ada beberapa sebenarnya di Jakarta, tapi tak sebanyak di luar.
F
Mengapa individu di Jakarta terkesan haus eksistensi tiap kali membuat sebuah karya?
P
Entahah. Mungkin karena dari dulu Jakarta sangat image-conscious. Di sini semua orang bersaing untuk menjadi keren. Mungkin karena saking banyaknya orang di Jakarta. Tapi menurut nalar saya, semakin banyak orang, bukankah seharusnya kita semakin ingin otentik dan memisahkan diri dari yang lain? Yang terjadi malah keseragaman. Dan lucunya, (tertawa) saya menemukan hal ini sangat ironis (tertawa) banyak anak muda yang mencoba untuk menjadi berbeda atau anti mainstream, justru melakukannya dengan cara yang sama. Topi yang sama, baju yang sama, mereka suka film yang sama, baca buku yang sama, mereka post tumpukan buku Haruki Murakami yang tidak dibaca di Instagram (tertawa).
F
The Anniversary Gift (Kado Hari Jadi) dan At the Very Bottom of Everything membawa nama Paul di kalangan perfilman alternatif dengan konsep film eksperimental. Seberapa jauh Paul ingin berkarya secara eksperimental?
P
Saya tidak pernah berniat memberi label eksperimental. Saya selalu mencari cara terbaik untuk menceritakan hal ini walau mungkin ada beberapa cara menceritakannya tidak konvensional, menggunakan elemen-elemen yang mungkin agak aneh atau tidak biasa tapi setelah dipikir-pikir, cara terbaik adalah seperti itu. Saya selalu berangkat dari situ, bukan karena mau buat film eksperimental. Ya, dilihat dulu apa yang mau dikatakan dan diceritakan, pilih cari cara terbaik. Kalau ternyata cara terbaik untuk menceritakannya lewat drama yang simple, saya akan melakukannya. Saya tidak merasa harus terlihat berbeda, karena ceritanya tidak mengharuskan itu. Tapi jika ceritanya agak surreal, saya akan coba cara untuk mengangkap rasa itu mungkin dengan medium yang agak berbeda. Jadi sebenarnya saya tidak pernah diniatkan saat membuat film eksperimental.
F
Apakah titel alternatif dalam industri film di Indonesia telah bergeser maknanya?
P
Alternatif dan independen berarti kamu tidak punya uang untuk mendistribusikan film (low-budget) atau kamu membuat sebuah film yang tidak akan pernah disukai Lembaga Sensor Film (LSF). Dan memang ada orang yang sengaja membuat film tanpa mempertimbangkan LSF karena memang tidak mau memikirkan akan dicek atau tidak. Karena untuk bisa tayang di bioskop dan didistribusikan secara luas, film harus lewat standar sensor. Menurut saya hal tersebut jatuh ke pemilihan medium bercerita. Orang menyebut saya filmmaker independen karena cerita yang saya angkat sejauh ini bukan hal yang disukai LSF. Misalnya, kalau saya buat film Parts of the Heart di Kanada, mungkin akan bisa diputar di bioskop sedangkan di sini disebut alternatif, independen dan anti mainstream karena LSF rasa hal tersebut tidak bisa diputar secara luas karena ada dua lelaki SMA berciuman (tertawa).
F
Tapi, apa yang membuat sebuah film layak disebut alternatif? Apakah isu atau sinematografinya?
P
Kalau di sini adalah isu berdasarkan standar moral yang ditentukan oleh pemerintah dan LSF. Makanya di kepala saya tidak pernah berniat jadi filmmaker alternatif karena tiap orang di Indonesia adalah filmmaker independen (tertawa) karena kita belum punya industrinya.
F
Jadi, kalau berani menyentuh hal yang tabu, film tersebut bisa disebut alternatif?
P
Ya, otomatis!
F
Apakah Paul melihat publik sekarang sudah siap untuk mengkonsumsi film arthouse seperti karya Jim Jarmusch atau Tsai Ming-liang?
P
Menurut saya, bisa, tapi belum. Dan mungkin kaget di awal. Tapi saya yakin setelah kaget dia awal, pasti bisa, karena memang harus dikageti dulu. Karena saya sering memperkenalkan film arthouse ke teman-teman saya dan mereka pada akhirnya tertarik untuk menonton film serupa. Saya yakin bisa, tapi kadang untuk mereka yang punya kepentingan finansial dalam jual-beli film takut dengan resiko itu. Karena yang pertama melakukannya pasti akan gagal secara finansial di awalnya, tapi jika mulai banyak yang buat, kemungkinan akan terbiasa.
Karena hal tersebut yang terjadi di Hollywood pada tahun 60’an kan? Tiba-tiba generasi filmmaker pada saat itu membenci bagaimana Hollywood memproduksi film dan kemudian hal tersebut jadi normal serta penonton menyukainya. Saya merasa, jika filmmaker atau seniman mengalami kejenuhan terhadap sesuatu, itu indikator bahwa publik sudah mulai mengalami kejenuhan tersebut tapi tidak tahu mau mulai dari mana. Jadi, menurut saya penonton kita sudah siap untuk metode film alternatif yang beda dari apa yang ada sekarang. Tapi mereka yang punya kepentingan finansial belum berani untuk rugi di depan dulu.
F
Bagaimana Paul tetap memasukkan elemen yang membuat semua film Paul menjadi alternatif walau budget yang dikeluarkan tidak selalu kecil?
P
Kalau menurut saya tidak harus berpatok pada budget. Saya tetap punya film yang dipatok dengan budget cukup besar tapi juga agak aneh. Saya tidak mencari tahu bagaimana caranya agar terlihat aneh tiap kali memproduksi film karena saya tidak punya personal style. Saya berharap dengan pendekatan begitu, saya akan selalu bisa mengagetkan penonton. Karena jika kalian menonton salah satu film saya, saya harap saya belum memberikan sesuatu yang mudah diperkirakan. Saya mau kalian terkejut bahwa cerita film saya mungkin tidak akan diceritakan dengan cara yang biasanya, karena janji saya kepada orang-orang yang menonton film saya adalah saya selalu akan memikirkan cara terbaik yang mungkin tidak sama dengan cara bercerita sebelumnya. Ketika kalian menonton salah satu film saya, ini adalah hasil pemikiran lama dari saya sendiri tentang bagaimana cara cerita ini diceritakan dengan cara paling baik.
F
Apakah ada proyek yang sedang Paul siapkan?
P
Banyak (tertawa). Ada 2 film panjang yang sedang dikembangkan. Time frame-nya belum jelas kapan akan rilis, tapi sepertinya 2 tahun lagi. Satu masih ditulis berjudul “Stasiun Cikini” sebuah seri drama dengan setting tahun 1965 di Cikini, satu lagi sebuah film horor berjudul “Menara Bala,” yang ceritanya sudah ditulis dan dalam tahap fundraising. Selain itu, saya baru 80% selesai syuting dokumenter berjudul “Semua Sudah Dimaafkan, Sebab Kita Pernah Bahagia” tentang almarhum ayah saya, Leon Agusta, berkolaborasi dengan seniman Jerman, Katia Engel dan suaminya, Faozan Rizal.Film ini akan mulai ditayangkan secara non mainstream pada bulan Desember. Kemungkinan akan premier di salah satu festival pada akhir tahun. Kenapa dikejar sebelum Desember? Karena saya ingin film ini bisa rampung pas 1 tahun meninggalnya ayah saya, yaitu 10 Desember.
Konsep film ini agak sedikit beda karena saya bercerita tentang seorang penyair dan karyanya. Karena ini puisi, secara pendekatan pun saya menggunakan pendekatan puisi jadi tidak seperti dokumenter konvensional. Selain interview dan segmen umum dokumenter, akan ada 8 segmen karya video visualisasi dari puisi ayah saya.
Selain itu saya masih mengajar dan buat workshop scriptwriting untuk Bengkel Kuma yang akan dimulai lagi setelah Lebaran tahun ini.