Seni dan Bebunyi bersama Duto Hardono
Fransisca Bianca (B) berbincang dengan Duto Hardono (D).
B
Apa yang memunculkan ketertarikan Duto untuk berkecimpung bereksperimen di bidang seni rupa?
D
Saya lahir dan tumbuh besar di Jakarta. Saat kuliah saya diterima di dua kampus, Arsitektur UGM dan FSRD ITB, akhirnya saya pilih seni rupa di ITB. Kalau dari dunia akademik, yang membuat saya berkecimpung di seni rupa pasti dari situ. Kemudian saya lanjut lagi kuliah S2 dan mendapat beasiswa seni rupa juga. Mulai praktik sebagai seniman ketika pertama kali pameran, kira-kira tahun 2005 ketika masih kuliah dan terus berlanjut setelah itu.
Basisnya ketika kuliah S1 studionya seni lukis, tapi saya termasuk sedikit dari anak-anak yang rebel. Di studio lukis dulu, saya tidak pernah membuat lukisan konvensional, tidak pernah melukis di atas kanvas biasa, pasti melawan. Sekalinya melukis di atas kanvas pun karena tugas utama mahasiswa yang formalis, simbolis, dan surealis. Pasca itu ketika sudah dibebaskan sendiri, saya melukis di atas found object, menggunakan collage yang saya sambung, jahit, dan tempel. Jatuhnya begitu, cenderung yang eksperimental dan tidak konvensional. Lebih berat karena melawan dosen, melawan tradisi yang sudah ada di sana, tapi pada akhirnya lumayan bisa mempertahankan mengapa saya memilih itu.
Lalu kalau membahas sound dan segala macamnya, (mulainya) ketika pendidikan magister saya. Fokusnya ke arah situ karena sejak berkarya dalam bentuk lukisan saya tidak pernah berkarya secara konvensional dan saya tidak pernah membatasi diri saya pada satu medium. Banyak sekali bentuk medium yang membuat saya tertarik, salah satunya sound yang dari dulu sejak zaman melukis, saya banyak mendapat inspirasi dari musik dan sejarah. Mulai di pendidikan magister, saya berkesempatan untuk memahami posisi bunyi dalam seni rupa, kenapa itu bisa disebut seni rupa, visual art, dan segala macam, dan berlanjut sampai akhirnya praktik sekarang dan sering dianggap sebagai sound artist, padahal saya tidak pernah menganggap diri sebagai itu. Saya selalu berpikir kalau seniman diberi label dengan mediumnya itu kasihan. Mereka menjadi dibatasi kreativitasnya. Saya menganggap medium tersebut sebagai weapon of choice saja atau senjata yang bisa saya pilih. Kalau saya butuh arus panjang saya akan pakai yang lain, atau kalau untuk jarak dekat lebih tepat yang mana. Jadi semacam efektivitas dalam eksekusi presentasi karyanya, dan kecenderungan karya saya pun berubah-ubah.
Pada dasarnya sound sendiri itu multidisiplin, dan kalau dilihat sejarahnya tidak selalu berdiri sebagai bunyi saja, pasti ada assembly instalasinya, videonya, atau yang lainnya. Entah kenapa saya juga tidak melulu setuju kalau saya dicap sebagai visual atau sound artist, seniman saja. Jadi seringkali ada juga yang menganggap saya sebagai conceptual artist. Kalau itu silahkan, karena tidak terlalu fokus ke mediumnya, mungkin saya lebih prefer seperti itu. Bukannya menentang, tapi rasanya kurang pas saja.
B
Apa yang menjadikan suara/bunyi dan loop study menjadi menarik untuk dieksplor lebih jauh bagi Duto?
D
Biasanya saya memakai kosakata bunyi, bukan suara. Karena suara cenderungnya “voice” sedangkan bunyi adalah “sound” secara keseluruhan, dan suara pun termasuk di situ. Loop study itu riset saya waktu di program magister, untuk tugas akhirnya saya mengajukan tentang loop study tersebut. Saya menghadirkan 3 bentuk loop, baik secara konseptual maupun literal. Sebelum-sebelumnya sudah sempat saya tampilkan dalam bentuk instalasi dengan medium-medium teknologi berbasis bunyi, termasuk pakai pita kaset. Ada Walkman yang saya buat loop dengan menarik pita panjang lalu dihubungkan dengan dua kaset, yang satu merekam dan yang satu memainkan. Di seri itu, sebenarnya yang ingin saya bicarakan adalah tentang hubungan manusia dengan waktu, dengan setting-an yang menghadirkan tiga bentuk. Sebenarnya sederhana, loop study itu ada 3 karya. Yang pertama pakai Walkman, yang kedua loop-nya pakai proyektor film 16 mm yang biasanya dipakai untuk presentasi film atau bioskop kecil, dan satu lagi loop secara digital.
Loop study yang pertama itu berangkat dari karya sebelumnya, kalau pernah melihat di website atau pameran di Selasar Sunaryo, judul karya sebelumnya itu “How To Perform John Cage’s “4’33” On Tape Loop Delay As Demonstrated By A Band of Cacti.” Jadi saya rekayasa seolah-olah ada sekelompok pohon kaktus yang menampilkan karya “4’33”-nya John Cage, di mana sebenarnya yang hadir di situ hanya (versi) aslinya saja selama 4 menit 33 detik. Komposisi aslinya lalu saya rekam, dan Walkman – yang biasanya dipakai oleh wartawan pada zaman dahulu – pita kasetnya itu saya tarik dan saya sambungkan dengan Walkman satu lagi, di mana orang bisa mendengarkan hasil rekaman yang disebut “silence” tersebut. Cage pernah berkata bahwa “Silence is a form of sound”, itu sebenarnya agak (bersifat) parodi dan konseptual. Saya kira kalau dia bilang bahwa silence itu (bentuk) sound yang bisa kita mainkan menjadi delay atau semacamnya.
Jadi sebenarnya di karya itu, yang didengarkan audiens adalah rekaman di dalam ruangan tersebut dan mereka sendiri yang berbicara, seperti ketika Cage pertama kali menampilkan “4’33” zaman dulu. Di atas panggung, para musisinya diminta untuk tidak memainkan alat musiknya dan yang terdengar adalah suara orang batuk, tertawa, cemoohan, tepuk tangan dan semacamnya, dan itu komposisinya ternyata secara tidak sengaja seperti itu; disengaja untuk tidak disengaja.
Dari teknik seperti itu saya kembangkan lagi, lalu hadir gagasan tentang loop study tersebut, yang salah satunya loop study nomor 1, itu ber-feedback. Rekaman pita yang tadinya hanya bisa didengar per orang saya beri amplifier, jadi yang baru terekam di ruangan tersebut di-amplify dan jadinya masuk kembali atau auto feedback (kepada pengunjung). Baru terekam, didengungi, masuk lagi dan merekam lalu mendengung kembali, terus begitu, pitanya merekam dan terus bertumpuk.
Di pameran tunggal saya di Selasar Sunaryo pada tahun 2010, pada opening night, saya mengundang 3 pemain sousaphone dari marching band ITB untuk memainkan komposisi yang repetitif, 1 atau 2 nada saja ditekan terus menerus selama 20 menit dan direkam di pita dalam instalasi tersebut. Akhirnya 1 atau 2 minggu kemudian kalau pameran itu dikunjungi lagi bunyinya sudah bukan sousaphone lagi, tapi sekadar noise yang merupakan resonansi ruangan karena diulang-ulang, digaungkan, di-amplify kemudian direkam kembali (dan terus berulang). Akhirnya berlapis-lapis dan termakan oleh resonansi ruangan tersebut, kurang lebih seperti itu.
Di situ saya ingin menggambarkan tentang akumulasi akan pengalaman dan gagasan manusia, karena saya mengangkat hubungan manusia dengan waktu tersebut, saya anggap yang terjadi sekarang ini sebenarnya buah dari masa lalu. Segala macam pengalaman pendahulu kita; orang tua hingga nenek moyang, menghadirkan teknologi yang ada sekarang, karena pembaruan dari teknologi sebelumnya. Ide-ide yang bagus diakumulasi dan dipakai sampai tercipta yang sekarang. Makanya saya sering sekali menampilkan artefak-artefak teknologi yang sudah usang dan kadaluwarsa, dan saya simbolkan menjadi semacam artefak manusia yang pada zamannya mewah sekali dan paling canggih, namun sekarang kita hadirkan ke hadapan kita menjadi referensi tentang memori – teknik. Dan kalau di instalasi tersebut, saya kira karena cukup teknis, jadi saya memperlihatkan proses looping lewat pita secara manual dan analog tersebut, karena kalau menggunakan yang digital tidak akan kelihatan. Itu semacam penelanjangan visual bagi audiens. Kalau digital hanya data saja dan tidak kelihatan.
Di loop ke-2 yang saya pakai itu film 16 mm. Kalau yang pertama tentang akumulasi ide dan gagasan dari masa lalu, yang kedua justru tentang kikisan atau degradasi ide-ide dahulu yang sudah terpakai dan segala macamnya pasti terbuang. Sama saja dengan kebalikannya sebenarnya, karena kalau saya gambarkan lewat film 16 mm tersebut, bahannya rapuh sekali, dan film itu diputar terus menerus dalam pamerannya, dan lama-lama akan menjadi putih dan hancur serta bisa terbakar kalau kita tidak berhati-hati. Lama kelamaan gambar yang utuh tersebut akan hancur. Seperti kalau dulu merasakan menonton bioskop dengan proyektor analog, kalau menontonnya di minggu ke 3 atau 4 pasti scratch-nya sudah banyak.
Lalu, pada loop yang ke-3 itu digital, karena saya mau mengangkat gagasan tentang ada masa di mana manusia stuck dengan ide-ide dan gagasan yang tidak bertambah atau berkurang, sehingga tidak bisa diapa-apakan lagi. Saya memanipulasi video yang saya rekam di taman hiburan, lalu di dalam videonya, rollercoaster saya buat looping seperti sebuah simbol infinity, yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dan suara orang berteriak di dalam video pun tidak henti-hentinya dan looping terus menerus. Kita mungkin melihatnya agak lucu atau seperti dark humor. Tapi kalau dilihat dari luar, jadinya kocak karena berisi teriakan yang tidak berhenti-henti. Sebenarnya ini hal yang menakutkan, stuck terhadap sebuah ide atau status quo itu adalah sesuatu yang menakutkan. Kalau mau, melompat. Kalau tidak, ya sudah terjebak saja di situ.
B
Tantangan terbesar apa yang dihadapi Duto ketika bermain dengan bunyi, misalnya ketika melakukan loop study?
D
Saya tidak terlalu tertarik pada permasalahan teknis sebenarnya, kalau dibilang, saya lebih ambisius dari hal tersebut. Kalau sekadar mengejar hal teknis pun, jatuhnya saya akan menjadi engineer yang menemukan sebuah device baru atau semacamnya. Tapi lebih ke bagaimana cara dan angle penyampaian sebuah karya. Saya lebih ke arah sana. Ketika saya menelanjangi proses loop-nya, kemudian orang sadar ada satu proses loop di sini, dan bunyinya juga ternyata loop, merekam dan memakan dirinya sendiri. Bisa disadari juga, ada loop digital. Dan loop yang dilihat di sini berbeda dengan loop yang sebelumnya.
Saya lebih tertarik terhadap hal tersebut, saya lebih senang terhadap kerumitan di dalam gagasan dan konsep tersebut yang membuat suatu konstruksi makna atau teks-teks di dalam karya. Atau yang menjadi konteks di dalam karya pun akhirnya menjadi sebuah diskusi. Saya lebih suka itu. Mungkin karena saya bilang kesulitan atau permasalahan teknis, saya tidak anggap menjadi masalah. Kalau saya tidak bisa mengejar teknik tertentu, saya tidak akan pakai. Bagi saya, kesulitannya benar-benar mengenai bagaimana saya bisa menyampaikan dan membangun teks-teks yang ada, dan bisa dihadirkan melalui sebuah medium atau found object, peka dengan hal-hal tersebut, dan akhirnya dikonstruksi menjadi makna yang baru. Buat saya kesulitannya di situ, dan jauh lebih menantang.
Bagi saya, walaupun presentasinya sangat sederhana (seperti instalasi berjudul Artist’s Signature tahun 2014, berbentuk looping dengan pita yang disangkutkan pada sebatang pensil dan mengeluarkan bunyi mesin register kasir), tapi karena membangun konteks yang menggunakan benda-benda temuan seperti pensil dan berbunyi mesin register kasir (di mana kalau didengar suaranya akan mengingatkan audiens pada hal spesifik seperti kasir, pasar, atau transaksi), dari makna-makna tersebut, saya sangkutkan dengan konstruksi bahwa kalau di sini, saya membicarakan market. Benar-benar artist’s signature atau tangan artis yang membuat karya yang khas dan kalau laku sudah aman (berhubungan dengan transaksi yang dimaknai instalasi tersebut). Jadi sifatnya satir, sedikit sarkas mungkin, penuh humor, berbentuk sebuah bercandaan dengan eksekusi yang sederhana dan effortless. Tapi saya lebih sulit membuat konstruksi makna di dalamnya yang rumit dan menjadi bahan renungan atau diskusi.
Sepertinya inti kita berkarya atau datang ke museum, melihat lukisan dan lainnya, seolah lukisannya bertanya “What do you think of this?” Seperti sebuah penilaian. Bagi saya menjangkari sebuah pertanyaan tersebut lebih sulit. Kalau soal teknis, sih, tidak usah pakai alat apapun bisa jadi.
B
Apa yang membantu Duto untuk selalu menemukan sudut baru dari bunyi untuk dieksplor?
D
Sepertinya referensi dan pengalaman kita membentuk sekali. Apapun yang kita ‘telan’ sehari-hari, dari banyak membaca, menonton, mendengar, itu membantu membentuk semacam pola pikir atau point of view kita sebagai seniman. Dari situ sepertinya bisa mengarah ke sebuah pencapaian yang baru. Karena seperti yang tadi saya sampaikan, bahwa sebenarnya ini akumulasi dari hal-hal sebelumnya (seperti referensi musik yang berkembang seiring bertambahnya usia). Referensi itu pasti tumbuh.
Dari situ saya kira, dengan banyak membaca buku, kita bisa ‘meminjam’ sudut pandang orang lain untuk menilai satu hal. Seperti kalau kita membicarakan satu studi kasus, tapi hanya ditelaah dari satu sisi saja, tidak dari sisi yang berbeda, dengan begitu pasti jatuhnya kita menjadi judgemental atau peribahasanya ‘katak dalam tempurung’, atau benar-benar close minded. Dari situ kita sudah tahu banyak pilihan yang bisa kita ambil perspektifnya, sudut pandangnya bisa kita pinjam. Dari situ saat eksekusi, kita bisa bermain dari mana saja sesuai maksud yang disampaikan.
Biasanya saya kalau di awal semester mengingatkan kepada mahasiswa bahwa dulu John Cage dan Merce Cunningham memberi wejangan kepada mahasiswanya berupa 10 peraturan bagi pengajar dan siswanya. Salah satunya petunjuk untuk mencapai hal tersebut adalah banyak membaca, menonton, mendengar – tapi dengan seksama. Dari situ kita bisa kaya. Sebenarnya yang mahal dari wawasan tersebut adalah kita bisa meminjam cara berpikir orang yang kita baca.
Kalau soal batasan abstrak dan mengolah lebih jauh lagi salah satunya itu, kemungkinan juga bisa tiba-tiba datang dan tidak ketahuan pendekatan mediumnya apa. Seperti dulu saya residensi di Kairo tahun 2013 pasca revolusi mereka dalam rangka Jogja Biennale. Berhari-hari saya propose ke mereka bahwa yang akan saya riset di sana adalah tentang budaya populer di sana. Tapi ketika sampai di sana ternyata ada hal yang lebih menarik, ternyata revolusi yang baru saja terjadi itu lebih menarik untuk diangkat. Saya menemukan bahwa di sana tidak ada kultur music-collecting secara fisik lagi. Yang saya temukan di sana adalah, kalau kita mencari toko musik fisik; baik baru atau bekas, itu susah sekali. Biasanya kalau bekas, buruk sekali kondisinya.
Kalau di Indonesia kita masih punya toko loak atau barang bekas yang spesifik, contohnya seperti di Dipati Ukur, Bandung, yang menjual kaset atau alat musik bekas. Kalau di Jalan Surabaya ada piringan hitam yang tertata rapi. Kalau di Kairo, jatuhnya junk store saja atau toko loak. Jadi dia menjual apa saja, mulai dari guci antik, lukisan antik dan segala macam, bahkan botol kecap dari tahun 1970-an yang masih ada isinya. Piringan hitamnya berserakan karena mereka anggap barang rongsokan. Tidak ada yang spesialis menjual piringan hitam.
Dari situ saya menemukan bahwa justru seru juga di sana ada revolusi politik yang baru berlangsung 2 kali dalam 1 tahun terakhir, dan ada juga kultur yang seperti ini dan saya coba olah. Saya coba menyelamatkan piringan-piringan hitam yang bisa saya simpan dan membawanya pulang. Fokus ke piringan hitam 7 inchi, lalu sampai rumah saya potong-potong manual lagi secara presisi. Jadi seolah-olah datang dari sana, karena memang kejadian di toko loak tempat saya menemukannya sendiri, seringkali sudah pecah belah. Ketika sampai Indonesia, piringan hitam tersebut saya jadikan instalasi interaktif, di mana audiens sendiri bisa membuat komposisi mereka sendiri dari potongan-potongan piringan hitam itu. Dari situ saya mainkan semua, secara tematik maupun konteks residensi tersebut. Kalau di piringan hitam itu ada istilah revolution per minute (RPM), 33 atau 45 RPM, dan saya sangkutkan saja ke revolusi yang baru terjadi di Mesir, sehingga dari situ seolah kita membuat revolusi kita sendiri.
Jadi, di jauh hari sebelum saya ke Mesir, saya ingin meriset sesuatu yang lain. Namun, saat tiba di sana, ternyata ada sesuatu yang berbeda dan menjadi hal menarik. Ada revolusi buatan kita di depan proyeksi hasil revolusi buatan kita juga. Musik yang hadir pun unik; karena jarum turntable melompati tiap potongan piringan hitam, seolah terdengar seperti gendang yang ritmik, layaknya musik perang. Piringan hitamnya pun seolah seperti roda raksasa yang tidak berhenti. Kalau sudah menjadi loop atau locked groove seperti ini, justru lebih beruntung audiensnya karena seolah seperti mixing dalam musik-musik rap atau hip hop, namun secara manual.
Hal-hal seperti itu yang sebenarnya bisa hadir dengan banyak membaca, menonton, dan mendengar secara dalam, maka kepekaan atau hal tersebut bisa terbangun.
B
Kerapkali memadukan suara dengan berbagai aspek seni rupa lainnya, filosofi atau inspirasi apakah yang biasanya ada di balik karya Duto?
D
Sepertinya apapun. Saya mengambil inspirasi dari manapun. Kalau contoh barusan, inspirasi berasal dari kondisi politik pada tahun 2013, di mana terjadi Arab Spring. Dulu di Shanghai Biennale juga kolaborasi dengan seniman Jepang, gagasannya berasal dari hubungan Indonesia dengan Jepang. Akhirnya disensor oleh pemerintahan Tiongkok karena tema yang diangkatnya terlalu vulgar. Jadi hal-hal sepele seperti yang barusan saya sebutkan, “Artist’s Signature” yang menggunakan pensil saja, itu seperti sebuah transaksi rutin harian. Atau yang lebih akademik seperti John Cage dan kaktus tersebut itu. Jadi inspirasi sepertinya bisa dari manapun.
Kalau filosofinya saya tidak tahu. Saya selalu mengira sepertinya karya yang bagus itu yang bisa menimbulkan pertanyaan; yang pertama untuk saya, mengajak audiensnya untuk kritis dan belajar lagi, bukan menggiring atau mencekoki audiens dengan doktrin atau apapun itu, melainkan mempertanyakan apakah doktrin ini benar atau tidak. Saya lebih suka yang seperti itu kalau secara filosofinya, atau karya yang cenderung melawan status quo. Justru di situ sepertinya ada tensi atau ketegangan yang menarik. Buat saya adalah suatu refreshment ketika menikmati karya seni bukan sekadar dari komposisi warna, ranah, atau bentuk yang indah-indah, tapi ketika terjadi ketegangan terhadap sebuah gagasan atau konteks yang dibawa karya tersebut. Sepertinya itu jauh lebih menarik dari sekadar unsur formal yang hadir di hadapan mata kita.
B
Bagaimana menanggapi masih adanya ketidakbiasaan dalam masyarakat dalam mempersepsikan bunyi sebagai bagian dari kesenian rupa dalam kehidupan sehari-hari?
D
Itu dia justru yang membuat saya semakin gigih. Di situ ada ketegangan, ketika audiens dihadapkan dengan proses atau bentuk karya yang cenderung tidak konvensional, lalu medium atau presentasi yang tidak biasa. Dari situ semoga bisa menjadi sebuah jangkar yang baru, bukan jangkar yang biasa dipakai dalam menilai karya-karya yang biasa mereka hadapi.
Saya tidak menganggap perlawanan hal tersebut harus dilakukan, namun sepertinya menjadi seniman itu paling seru ketika ada sesuatu yang dilawan. Itu saja sepertinya yang paling berkesan, menantang, challenging bagi seniman, yaitu ketika ada suatu status yang ingin dilawan, dan dari situ sepertinya baru muncul hal baru. Toh jadinya kalau membentuk semacam konstruksi kultural atau budaya pendidikan yang baik, mengapa tidak?
Contohnya beberapa waktu lalu saya dan teman-teman saya membentuk suatu forum namanya Salon. Katakanlah semacam gig musik-musik yang cenderung eksperimental yang tidak biasa hadir di sekitar kita, tapi kita presentasikan dengan cara yang proper, seolah-olah mereka mendengarkan musik klasik. Ketika mendengar konser, tidak ada yang boleh bermain handphone atau mengobrol, kecuali mendengarkan presentasi seniman tersebut. Di akhir acara, baru ada diskusinya yang sedikit kecil. Di dalamnya ada tamu berupa pakar musik atau artisnya sendiri yang berdiskusi, seperti sebuah panel discussion. Itulah salah satu contoh, kalau mau dilihat secara praktis atau langsungnya seperti itu.
Saya sering tampil di dalam negeri di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta, lalu saya sempat residensi di Tokyo tahun 2011. Waktu pertama kali tampil di sana, yang terpikir oleh saya itu audiens akan tetap mengobrol sambil melihat karya dan makan dan semacamnya. Bunyi yang saya tampilkan itu menjadi ambience di antara mereka. Tapi ternyata tidak. Ternyata ketika saya tampil mereka berbalik arah ke tempat saya tampil, yang dulu tampilannya sound performance, dan mendengarkan dengan seksama. Ada yang duduk, tidak ada yang berbicara sama sekali. Dari situ saya merasa, seperti inikah kultur audiens di sini? Tanpa disuruh memberi perhatian khusus, tanpa ada pengumuman atau petunjuk kalau akan ada performance. Tapi ketika mereka tahu ada bunyi, ada seorang seniman yang sedang menampilkan sebuah performance bunyi, tiba-tiba mereka langsung berpaling dan menghentikan segala aktivitas makan, mengobrol, dan segala macamnya, dan memberi fokus perhatiannya terhadap seniman bunyi tersebut.
Seperti kalau kita pameran di sini ketika ada musisi yang main kita sebagai audiens tetap sambil mengobrol. Bahkan di galeri seni kampus pun kalau dibuat performance, jatuhnya cenderung mengobrol dan asyik sendiri. Dari situ kita berpikir, mengapa kalau ingin mendidik bangsa ini secara praktis menjadi pendengar yang baik, coba saja kita buat forum Salon ini.
Sederhana saja, tidak usah ke dunia seninya secara langsung, kalau kita menonton konser saja pasti mengobrol, mengambil video, jarang yang bergoyang menikmati musiknya, atau benar-benar melupakan itu semua untuk fokus menikmati musiknya dan present atau hadir di situ. Karena hubungannya adalah antara sang senimannya, audiensnya, dan momen tersebut. Event tersebut menjadi momen yang kita preserve di memori kita.
Di Tokyo, saya pernah datang ke sebuah venue yang khusus musik eksperimental, noise atau apapun itu. Saya mengira kalau yang datang ke situ anak-anak muda, namun ternyata justru orang tua yang datang. Orang tua berusia 50 tahun ke atas itupun datang menikmati dan mendengarkan konser Jim O’Rourke sambil memanggut-manggut. Dan saya kira itu normal, mereka bisa seperti itu ketika dihadirkan kepada kondisi yang unconventional. Bahkan ada event yang judulnya Sake and Noise. Itu presenternya dulu salah satu musisi noise legendaris di Jepang, dan bentuknya listening party saja. Dia membawa koleksinya, membahas satu band free jazz dari Amerika namanya Borbetumagus, di situ ia memutar kasetnya, piringan hitamnya, dan CDnya. Tapi yang datang orang-orang yang bukan seumuran kita semua, jadi beragam. Dan mereka benar-benar mendengarkan presentasi tersebut dengan seksama. Saya kira, masalahnya ini di mana? Apakah karena budaya bangsa yang sudah maju atau memang hal tersebut dilatih dari dini. Saya kira kalau mau mengarah ke praktis hal-hal tersebut yang bisa kita diskusikan lebih lanjut.
B
Duto telah melakukan kolaborasi di Shanghai Biennale dengan Meiro Kozumi tahun 2012, bagaimana kesannya memadukan ide kreatif dengan seniman lintas negara dan budaya?
D
Dulu, saya kenal Meiro pertama kali di Jepang secara tidak sengaja. Kami bertemu di tempat saya beresidensi, yaitu Arts Initiative Tokyo. Saat itu, ia sedang memberi presentasi, lalu akhirnya mengobrol dan berkenalan. Dia menanyakan apakah saya kenal pelukis, R.E Hartanto? Padahal saya serumah dengannya – yang merupakan teman kuliah Meiro. Sejak itu kami kontak, mengobrol, dan untuk Shanghai Biennale tahun 2013 itu, karena gagasan kuratornya, Agung Hujatnikajennong.
Di Shanghai Biennale, paviliun negaranya bukan dibagikan secara negara keseluruhan, tapi dibagikan dengan kota, dan Indonesia diambilnya kota Bandung. Waktu itupun, kuratornya dari Bandung. Proposal Agung untuk paviliun Bandung itu mengangkat gagasan tentang Konferensi Asia Afrika, di mana Indonesia menjadi host untuk tamu-tamu dari berbagai negara Asia Pasifik. Lalu senimannya dipasang-pasangkan, dan saya dapatnya Meiro, sudah akrab dan kenal juga. Lalu kolaborasi. Dulu pendekatannya adalah Meiro memberi gagasan dan saya eksekusi.
Meiro karyanya selalu full frontal dan tanpa basa-basi secara politikal. Kalau membicarakan protes, ia benar-benar brutal. Dia selalu tertarik dengan sejarah identitas Jepang sendiri. Menarik, di sini kami masing-masing belajar dan menemukan hal baru. Waktu itu, ia menyuruh saya mencari korban Romusha atau Jugun Ianfu yang masih hidup dan mewawancarai pengalaman buruknya. Tapi ujungnya kami manipulasi hal tersebut.
Ada perbedaan dalam hal ini. Kalau di Indonesia, kita selalu diajari bahwa Jepang itu adalah negara yang menjajah dengan sangat brutal, lebih dibandingkan 350 tahunnya Belanda, cukup lebay. Di Jepang sendiri, hal tersebut tidak ada dalam sejarah mereka. Anak SD tidak diajari sama sekali sejarah kelamnya mereka, jadi siswa-siswa Jepang tidak tahu bahwa mereka pernah menjajah Indonesia. Jadi itu sebenarnya permainan sejarah tersebut, lalu kita hadirkan apa yang mau kita dengar. Hasil interview tersebut yang tadinya berbahasa Indonesia tentang pengalaman seorang bapak yang dulu pekerja Romusha. Lalu kita cacah dan manipulasi secara fonetik, yang tadinya berbicara bahasa Indonesia yang buruk-buruk, malah terdengar seperti bahasa Jepang yang baik-baik, seperti “Terima kasih Jepang sudah membebaskan kita dari negara barat, memberikan kemerdekaan” dan segala macamnya.
Videonya belum pernah dipresentasikan di Indonesia. Jadi waktu itu presentasi karyanya ada video, ada loop pakai pita, lalu ini ada naskah asli apa yang ia bicarakan sebenarnya dalam bahasa Inggris, hasil terjemahan dari bahasa Indonesia yang merupakan pengalaman aslinya. Tapi yang muncul di TV adalah yang di-dubbing berbahasa Inggris. Meiro membuat teksnya. Teks tersebut merupakan pidato jenderal Jepang pasca pulang dari Indonesia setelah KAA (Konferensi Asia Afrika), berisi laporan ke negaranya sendiri bahwa Indonesia berterima kasih sekali pada Jepang.
Karya ini hanya bertahan 2 minggu di Shanghai Biennale. Sebelum pemerintah Tiongkok sadar bahwa ini adalah karya yang memuji Jepang, langsung disensor oleh pemerintah Tiongkok. Mereka juga punya pengalaman pahit dengan Jepang, pernah dijajah juga dulu. Saat pembukaan biennale, semua lancar. Saya baru tahu bahwa karya tersebut disensor, justru sebulan setelah pembukaan. Ada kolektor Indonesia yang sedang ke sana, ia mengirim saya SMS bahwa karya saya sudah tidak jalan, ada tulisan Tiongkok ditempel di TV-nya, katanya disensor oleh pemerintah. Namun hanya TV-nya saja yang dimatikan, sementara loop-nya masih jalan. Jadi tidak sempurna karyanya. Saya bilang saya tidak pernah diberi tahu. Kemudian saya lapor kepada kuratornya dan Meiro. Meiro pun marah-marah – justru sedih sebenarnya. Tapi keren juga karya saya dilarang oleh pemerintah komunis.
B
Saat membuat proyek video instalasi yang berisi wawancara korban Romusha yang dimanipulasi, apakah Duto juga ingin memanipulasi kenyataaan melalui karya itu?
D
Ada inspirasi, ada gagasan yang kita ambil. Seperti tadi, membicarakan sejarah. Persepsi sejarah Indonesia dan Jepang walaupun sudah 70 tahun merdeka dan bekerja sama baik, ternyata berbeda. Di Jepang, mereka menganggap kita berterima kasih, sedangkan kalau di sini sepertinya dulu kesal sekali. Sampai kalau kamu tanyakan pada anak-anak SD pun, mereka pasti akan bilang Jepang jahat. Sebenarnya mungkin ada kritik tentang sejarah di situ. Ada persepsi bahwa sejarah ditulis oleh yang menang atau penguasanya.
Dan pendekatannya dengan cara kita, yaitu cara fonetik, dengan ada bunyi, oral, dan video. Ada tape loop-nya juga yang waktu itu ditampilkan, sebenarnya lagu kebangsaan Jepang “Kimigayo,” tapi diputar dengan speed yang setengah, jadi suaranya rendah dan terpendam. Lagunya sudah pelan sekali, kalau diputar dengan speed setengah menjadi horor, hanya satu bait pertama yang diputar. Lalu ada skrip yang merupakan pengalaman sang korban Romusha.
B
Musik juga merupakan karya yang menggunakan bunyi. Apa perbedaan antara pesan yang terkandung dalam musik dan instalasi Duto, khususnya karena keduanya sama-sama menggunakan medium bunyi?
D
Musik konvensinya kental sekali. Entah benar atau tidak, sepertinya persinggungan pertama musik dengan seni buat saya adalah komposisi John Cage yang “4’33” di mana ia membuat komposisi musik yang ternyata tidak menghadirkan musik sama sekali. Kalau dilihat secara visual, partiturnya pun kosong. Tapi ini curangnya seni rupa. Anything goes kalau untuk seni rupa kontemporer. Apapun bisa menjadi karya seni. Kotoran seniman pun bisa menjadi karya seni. Tidak terbatas pada hal tersebut, jadi ada musik yang dicaplok menjadi karya seni rupa. Toh tidak bermasalah bagi perkembangan seni rupa kontemporer. Tidak ada batasan pada hal tersebut dan selama konstruksi yang dibangunnya atau penilaian terhadap senimannya itu tepat, karya itu bisa diterima.
Kalau secara teknis antara musik dan bunyi, sebenarnya musik hadir karena kumpulan bunyi, tapi itu nanti jatuhnya ke arah musik konvensional. Kalau dulu John Cage ditanya, “Musik itu apa?: Dia jawabnya sederhana sekali: musik itu produksi bunyi. Waktu dia perform pakai benda-benda dapur, temuan radio, air di dalam bak mandi dan segala macam itu, kemmudian dia memproduksi bunyi lewat hal tersebut menjadi instrumennya. Buat dia itu musik. Dari situ ada pergeseran semacam nilai-nilai konvensi yang sudah ada dalam musik konvensional. Ada nada, partitur, irama, harmonisasi dan seterusnya terus ke arah musik yang atonal yang tidak melulu harus do re mi fa sol la si do. Lalu instrumennya di luar instrumen yang tradisional, atau yang biasa lumrah dipakai sehari-hari, hadirnya di atas panggung kah, atau di manapun. Penyampaian instruksi komposisinya seperti apa, karena ada yang kalau di musik klasik atau tradisional menulis partitur dengan kunci G atau apapun, tapi kalau yang cenderung eksperimental pakai teks atau bahkan pakai gambar.
Secara seni rupa kini anything goes, sepertinya melebur semuanya. Bahkan yang disebut musik kalau dihadirkan dalam galeri bisa menjadi sebuah karya seni, selama penilaian terhadap senimannya seperti itu, mengapa hal tersebut harus disebut karya seni, kan ada alasannya. Dan kalau bisa diterima, saya kira tidak masalah. Toh dulu di zamannya selalu memberi feedback antara musik ke seni rupa dan seni rupa ke musik. Banyak sekali contoh sejarah, seperti Kandinsky atau Pollock yang hidupnya sehari-hari dari musik. Kandinsky dari musik klasik dan Pollock dari jazz. Kenapa sekarang tidak dihapus saja batasan-batasan tersebut? Sepertinya selama ada teks yang membangun gagasan karyanya menjadi konteks tersebut musik bisa menjadi seni.
Kalau sempat datang ke First Sight Museum MACAN di awal September, karya saya cenderung musikal. Ini pendekatan yang baru lagi, karena pada ‘performance’ ini, bukan saya yang tampil, melainkan saya meminta beberapa volunteer. Kami latihan beberapa kali, skemanya dengan teks score. Kalau score dalam musik, biasanya pakai kunci dan partitur. Kalau saya pakai teks atau oral secara verbal, saya sampaikan instruksinya. Jika dulu saya tampil solo dengan tape loop atau pita yang dibuat looping, di sini saya pakai suara manusia. Jadi para interpreter atau aktor ini yang menampilkan loop yang saya minta, dan mereka sendiri yang improvisasi. Saya memberi rules, saya lempar dadunya, angka yang keluar seperti apa.
B
Akhir-akhir ini cenderung memposting konten dengan hashtag #textscoreweekend dalam akun Instagram pribadi yang isinya terkait notasi dan komposisi verbal yang bisa dilakukan sehari-hari. Apa yang Duto coba sampaikan melalui post tersebut?
D
Saya membuat janji dengan diri saya sendiri di awal tahun. Teman saya Roy Voragen, kurator dari Belanda yang tinggal di sini, dia sering membuat puisi. Saat itu saya mengobrol tentang membuat text score rutin dan di post tiap weekend sepertinya seru juga. Dulu dia sempat membuat proyek selama setahun, dia mengunjungi website UbuWeb dan dia membuat catatan tentang hari itu dia menemukan apa di website itu, mendapat ilmu apa. Sepertinya kalau saya membuat text score tiap hari akan susah sekali prosesnya, jadi kenapa tidak tiap weekend saja. Saya kira kalau tiap weekend ada kesempatan untuk yang membaca agar menginterpretasikannya atau merealisasikannya, bisa sendirian atau berbarengan sepanjang weekend tersebut.
Idenya sebenarnya berkembang sejak 2016, ketika itu saya residensi di NTU Center for Contemporary Arts Singapura, di situ saya eksperimen dengan audiens. Saya beri instruksi verbal, lalu saya minta coba ulang beberapa kata-kata yang dipilih. Kemudian kami membuat komposisi dari looping yang diciptakan tersebut. Audiensnya ada yang malu-malu, ada yang benar-benar bernyanyi, ada yang hanya menonton saja dan menikmati. Menarik di situ dan saya kira bisa saya kembangkan lebih lanjut metode text score ini, jadi benar-benar pendekatan kita membuat komposisi tapi tidak secara konvensional, lewat teks – entah jatuhnya sebagai sebuah performance, performance bunyi, musik eksperimental, event, konseptual atau instalatif kah, apapun itu. Saya kira akan saya serahkan ke para interpreter atau mereka yang mengaktualisasikan karya tersebut.
Text score weekend ini sudah lumayan lama. Kalau tidak salah, saya mulai sejak bulan Mei dan rutin hingga sekarang. Saya semacam punya rutinitas baru tiap weekend karena saya harus memaksa diri untuk membuat komposisi dan post text score itu. Tidak boleh telat, karena kalau telat saya anggap dosa. Meskipun saya sedang pergi ke manapun, sudah saya siapkan dari jauh-jauh. Jika misalnya weekend itu saya tidak sempat membuat, saya akan siapkan sebelumnya, dan sejauh ini sih seru, karena banyak yang respons juga.
Pendekatan ke karya yang seperti ini sudah saya lakukan 2 tahun, dan yang saya presentasikan di Museum MACAN juga saya nikmati sekali. Karena bisa dibilang karya tersebut nyaris tidak ada objek, jatuhnya immaterial art. Jadi karya yang tampil itu berupa immaterial, bukan materi yang utuh, materinya sekadar tubuh interpreter-nya sendiri yang tampil di situ – yang merealisasikan, menginterpretasikan, mengaktualisasikan apa yang saya instruksikan. Dari situ sepertinya ada gagasan yang selama ini missed bagi para conceptual artist pada tahun 1960-an yang cenderung melempar ide, membuat presentasi berupa tulisan atau manifesto atau karya yang masih utuh.
Terdapat karya secara material, yang saya kira tantangan barunya adalah meninggalkan bentuk-bentuk material ke arah immaterial. Metode ini di luar negeri sudah cukup banyak dan familiar, bahkan yang disebut immaterial tersebut ternyata bisa masuk galeri atau art fair dan bisa diperjualbelikan. Jadi, kesepakatan transaksi jual beli karya tersebut tidak ada bentuknya, melainkan gagasan saja. Aneh, jadi yang dijual bukan dokumentasi atau videonya, tapi benar-benar gagasan itu.
Sepertinya menarik untuk membicarakan hal itu ke arah yang lebih jauh lagi, tapi karena yang tadi saya ceritakan, ada referensi yang bertambah dan pengalaman saya pun bertambah. Saya merasa sudah mentok dengan metode berkarya yang kemarin pakai kaset loop, karena menurut sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Bagaimana mendobraknya? Saya pakai orangnya langsung saja. Jadi mereka dipanggil untuk membuat loop dari mulutnya langsung. Atau saya terpikir membuat performance seperti ini dan memanggil orang-orangnya langsung untuk membuat performance-nya. Dari situ ada sebuah kesepakatan untuk mengaktualisasikan gagasannya. Hal-hal seperti itu yang saya kira mungkin mengarah kepada kecenderungan karya saya yang selanjutnya. Toh itulah hasil pengalaman beberapa tahun terakhir.
B
Apakah sekarang sudah cukup tersedia suatu wadah bagi seniman lokal yang membebaskan para seniman dalam berkarya?
D
Masih kurang, kalau saya kira masih tersentralkan di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta. Bandung saya kira mungkin institusi pendidikannya yang menonjol ketimbang wadahnya yang menjadi ruang presentasinya. Jakarta ada kecenderungannya sendiri, Yogya kalau dianggap menjadi hub-nya Indonesia ke internasional – jelas aktif sekali mereka di sana. Pun ada kecenderungan Yogya yang dulu bahasa satirnya ada mazhab Yogya, ada mazhab Bandung. Jadi Yogya school dan Bandung school, yang mana Bandung school dibilangnya laboratorium Barat yang mengajarkan abstrak, karya-karya konseptual dan segala macam. Yogya justru karya-karya representasional yang langsung ke masyarakat. Begitulah sebenarnya dinamika dunia seni rupa – menarik.
Namun saya pikir, ruang presentasi atau wadah untuk para senimannya sudah lumayan, walaupun kalau kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, tidak tahu sudah bisa bersaing atau belum. Ya, bisa bersaing. Tapi maksud saya, sudah seperti itu atau belum. Tapi saya percaya, pelan-pelan arahnya baik. Saya excited sekali dengan museum seni rupa kontemporer pertama yang diurus atau hadir secara proper di Indonesia, yaitu di Museum MACAN contohnya. Kita lihat saja ke depannya bagaimana.
Tapi sepertinya dari situ pelan-pelan terbangun sebuah realisasi. Kalau bukan orang-orang berwenang yang berkesempatan merealisasikan hal tersebut, siapa lagi? Pemerintah sulit sekali untuk diajak hal-hal seperti ini. Bukannya saya menjelekkan, tapi orang cenderung menilai pemerintah dari museum, yang disayangkan sekali. Makanya kalau ada pihak swasta yang benar-benar punya visi seperti itu, saya respect sekali. Toh akhirnya hal-hal seperti ini yang membuat bangsa ini kaya dan cerdas.
Kalau di luar negeri, rutinitas di setiap weekend-nya itu “gereja”-nya adalah museum atau galeri. Kalau di Indonesia “gereja”-nya itu justru mall. Jadi, bagus kalau ada pihak yang tertarik membuat museum, daripada mall. Pride seniman juga terangkat, karena wadah tersebut berperan membentuk sebuah kultur yang baik, budaya berpikir, budaya kritis dan edukasi yang benar – ada peran pentingnya di sana. Sebenarnya bertolak dari semua aspek masyarakat dan tidak melulu harus menyalahkan pemerintah. Kalau kita punya kesempatan, silakan lakukan. Maka, saya respect.
Saya membuat publishing namanya Hasana Press yang merilis 1 atau 2 tape edisi untuk seniman-seniman yang saya kira harus di-publish karyanya. Kalau tidak, nanti tidak ada arsipnya, hilang saja sejarah seni rupanya. Sederhana saja, dari hal-hal kecil seperti anak-anak membuat seperti zine kampus, apapun itu, sepertinya dari situ bisa membentuk kultur kritis dan edukatif yang baik dan proper.
B
Terkait dibutuhkannya wadah berkarya tersebut, kini muncul Museum MACAN di mana Duto sendiri turut ditampilkan dalam First Sight awal September ini. Apa yang Duto komunikasikan melalui karya dalam kesempatan tersebut?
D
Di Museum MACAN saya diundang, karena ada beberapa teman yang kerja di sana. Waktu saya tahu pertama kali Indonesia akan membuat museum contemporary art, saya pikir keren juga, dan ternyata yang bertugas di sana teman-teman saya. Di situ saya menampilkan yang mungkin bisa dibilang satu kaki di musik eksperimental, satu kaki di constructed situation. Tidak hanya sekadar performance, karena pola yang saya terapkan di situ saya mengundang sejumlah volunteer untuk meminjamkan tubuh dan suara mereka guna membuat sebuah komposisi yang sudah saya tulis dan rancang. Sudah saya buat skripnya, tanpa terlalu ditentukan, cenderung fleksibel.
Judul karya itu “Variation and Improvisation for In Harmonia Progressio”. “In Harmonia Progressio” sebenarnya merupakan mottonya ITB, yang saya anggap sebagai found object dari karya ini. Kalau dulu saya tampil dengan found object benda-benda, artefak-artefak elektronik, sound zaman dulu, bunyi-bunyi yang saya temukan dari field recording atau kaset yang saya sambungkan lagi, – saya anggap teks “In Harmonia Progressio” bisa jadi found object saya dan para volunteer tersebut instrumen saya, dan mereka berperilaku sesuai apa yang saya instruksikan.
Saat performance berlangsung, saya benar-benar melepas mereka. Mereka yang akan mengiterpretasikan karya tersebut, merealisasikan dan mengaktualisasikan karya tersebut. Saya tidak akan ikut campur dan mungkin tidak akan ada di tempat waktu presentasinya. Sederhana saja, saya menginstruksikan mereka untuk mengulang kata “in”, “harmonia”, dan “progressio”, mereka saya bagi ke dalam beberapa kelompok, jadi looping dengan intonasi yang berbeda-beda. Sebenarnya prosesnya mirip dengan jamming di dalam band saja, jam session bersama drummer, gitaris, bassist dan keyboardis yang saling dengar dan mengisi ketukan, yang enaknya seperti apa lalu memberi respons.
Sebenarnya hal-hal dasar seperti itu saja, prinsip dasar komunikasi ada aksi dan reaksi, kita dengar apa dan kita harus respons apa. Itu sebenarnya dasar sekali seperti dalam komunikasi, di situ saya coba bangun. Kalau dulu saya sendiri, tampil dengan kaset yang saya susun, dan jatuhnya ada yang menyebut seolah saya menjadi DJ. Jadi benar-benar komposisi yang live dan hadir waktu itu saja tanpa harus dikonstruksikan, hanya ada rules dan kita improvisasi. Di sini interpreter tersebut yang jadi instrumennya. Lebih ke kolektif dibandingkan saya sendiri sebagai individual ketika tampil. Makanya saya bilang satu kaki experimental music, satu kaki di constructed situation di antara mereka.
B
Bagaimana memposisikan karya yang cukup eksperimental dari seniman-seniman lokal seperti Duto dalam skena seni kontemporer lokal maupun internasional?
D
Sepertinya pasca 1990-an dan 2000-an sejak ada internet, sudah tidak ada kesulitan lagi. Sudah banyak musisi eksperimental, kalau mau disebut dari dalam negeri yang sudah mendunia itu dari Yogya ada Senyawa, Bandung juga ada. Mereka tampil di luar negeri, padahal di sekeliling kota mereka sendiri pun belum cukup didengar, tapi di luar cukup dihormati.
Pintu itu sudah terbuka lebar, tidak melulu bergantung dengan tetangga sebelah atau galeri yang ada di depan kita, tapi kesempatan tersebut sudah terbangun baik regional seperti ASEAN Music Festival atau di skala yang lebih luas lagi. Internet yang memungkinkan hal-hal seperti itu, apalagi millennials yang sejak lahir tidak ada transisi seperti saya atau generasi sebelum saya yang komunikasinya terbatas sekadar TV, radio, dan surat menyurat.
Bahkan banyak sekali event di Jakarta, Bandung, dan Yogya yang sepertinya tiap minggu, walaupun kita tidak sadar. Baik gig yang hanya di dalam rumah, maupun yang lebih besar skalanya. Saya kira mengarah ke yang lebih baik dan kepekaan terhadap penggunaan teknologi pun sepertinya membantu sekali. Dulu yang ribut-ribut dengan piracy dan segala macam itu, saya kira hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Selama audiens sadar dan terbangun hubungan antara seniman dan audiens, justru itu lebih mahal dibanding hanya mengincar materi recehan penjualan CD atau lainnya, makanya ada Spotify dan segala macamnya yang membantu sekali. Kalau ada yang mengunggah konten CD secara ilegal, biarkan saja. Toh mereka akan tetap datang ke konser dan membeli merchandise dan segala macamnya. Justru ada yang lebih besar ketimbang hal tersebut, entah networking atau kesempatan bertemu orang baru, atau kesempatan kita menyampaikan yang ingin kita sampaikan. Itu lebih mahal buat saya.
B
Apakah eksperimentasi atau fokus dari karya Duto akan tetap bertahan pada suara dan kesenian rupa, ataukah ada rencana untuk mencoba ranah lainnya?
D
Pasti akan berubah, tapi yang pelan-pelan. Kadang hal tersebut tidak terduga dan biasanya lahir dari kesalahan. Karya saya cenderung open-ended. Hasil akhir itu tidak harus seperti ini, melainkan cenderung terbuka – berupa sebuah undangan terhadap segala accident. Jadi seperti saya menyuruh volunteer tampil tanpa konstruksi yang harus selalu terikat dan dari situ sepertinya saya mengundang segala macam bentuk kesalahan – untuk accident yang tidak sengaja hadir – dan dari situ saya bisa menemukan hal baru justru, dan untuk ke depannya saya kira tidak akan berhenti di sini.
Pasti ada metode dan gagasan baru yang saya kira akan lebih tepat. Toh mungkin saya akan meninggalkan metode seperti ini dan kembali ke melukis konvensional. Kenapa tidak? Karena seperti yang saya bilang, itu adalah weapon of choice saya atau senjata pilihan saya, tidak akan pernah terbatas. Kalau dibatasi jatuhnya picik. Saya tidak bisa memprediksi ke depannya seperti apa, tapi saya hanya sekedar memberi sebuah kerangka yang bisa dimainkan segala macam opsinya untuk proses selanjutnya.
B
Proyek apa saja yang sedang Duto siapkan?
D
Pertengahan September saya ada Re-Emergence di Selasar Sunaryo. Bulan Oktober Europalia di Belgia, dijadwalkan perform 2-3 kali di Belgia. November dan sisanya masih tentatif semuanya, dan juga mengajar.
Berencana untuk kuliah lagi karena syarat sebagai dosen. Itu yang saya sukai dari proses mengajar, mau tidak mau saya dipaksa untuk terus belajar, kalau tidak saya yang terbalap dengan mahasiswa. Kadang saya anggap mahasiswa itu sebagai teman atau sparring partner, karena ada gagasan yang didiskusikan bersama. Kalau tidak terus menerus seperti itu, sepertinya akan tumpul lagi dan khawatirnya tidak akan berkembang.