Ruang Arsitektur bersama Andra Matin
Athina Ibrahim (A) berbincang dengan arsitek Andra Matin (AM)/
by Ken Jenie
A
Saya pernah baca di sebuah wawancara oleh Moving Cities bahwa bapak terjun ke dunia arsitektur karena saat diberi pilihan antara menjadi dokter atau arsitek, bapak tidak mau lihat darah jadi memilih untuk menjadi arsitek.
AM
Cerita itu ada benarnya (tertawa).
A
Apakah ada saat tertentu, sebuah ‘creative memory’ yang membuat bapak tertarik dengan arsitektur?
AM
Saya sejak muda tertarik dengan sesuatu bukan hanya dari sisi fungsi, tetapi keindahannya juga. Dari kecil saya juga tidak mau sama dengan orang sekitar saya – misalnya baju, pensil, atau jaker dan tas. Saya tertarik kepada obyek-obyek yang ‘berbeda’ walaupun saya bukan dari keluarga yang kaya.
Ayah saya belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan dia sering menggambar dan membuat karya buku. Saya sering melihat dia menggambar, dan meskipun hampir semua anak-anak senang menggambar, salah satu kenangan yang paling menyenangkan bagi saya adalah saat ayah mengajar saya cari memakai pensil dengan benar. Cara dia mengajar sangat berkesan sih.
A
Apakah kerjaan ayah bapak sangat meng-influence bapak?
AM
Desain bukan dunia yang asing bagi saya. Waktu saya muda saya ingin belajar planology – bidang yang lebih luas daripada arsitektur. Planology adalah sebuah topik yang menarik saat itu.
Setelah lulus SMA, saya berminat untuk belajar planology di ITB, Unpar dan Trisakti. Saya diterima program arsitektur di UNPAR dan Trisakti. Saya tidak diterima program planology di ITB.
Saya akhirnya belajar arsitektur di Bandung karena dulu kakek sama nenek saya tinggal di Bandung. Dulu, saat liburan puasa pas SD saya dititip sama nenek kakek – jadi Bandung adalah kota yang memiliki banyak memori buat saya, jadi saya kepingin banget sekolah lagi di Bandung.
A
Pada tahun 1998 bapak membuka studio sendiri, apa tantangan terbesar pada jaman itu untuk membuka studio?
AM
Jaman itu tantangan terbesarnya adalah krisis ekonomi. Saat itu saya sudah bekerja 9 tahun dan posisi saya sangat bagus di kantor yang lama, tetapi sebenarnya ada kekurangan bagi saya – kemerdekaan untuk men-design. Mau bagaimana juga kalau bos bilang ini, kita harus ikutin – saya ingin punya kemerdekaan.
Terus yang kedua, saya hampir tidak pernah mengambil kerjaan sampingan agar saya bisa lebih fokus. Tapi saat itu, kenapa saya juga tidak tahu, Pak Hermawan Tanzil dari LeBoYe menawarkan kerjaan untuk mendesain kantornya – jadi saya mulai mengsketsa idenya. Di tahun 1998 menurut saya masih jarang untuk orang minta kantor yang tidak pakai AC, ruangan berbentuk box yang memakai kaca. Waktu saya mulai proyek ini saya tahu bahwa ini tidak mungkin tidak ketahuan jadi saya sebaiknya berhenti dari kantor, ini pasti ketahuan seluruh Jakarta ada bangunan seperti itu.
A
Tahun 1998 pas krisis ekonomi apakah ada kesusahan diindustri arsitektur itu sendiri? Apa berjalan dengan lancar? Ada perbedaan yang bisa dilihat dari sekarang?
AM
Jaman itu ada booming minyak yang mengakibatkan banyak orang kaya yang baru, dan orang kaya ini ingin memiliki sebuah identitas. Sementara, Ikatan Arsitek indonesia sedang mencari sebuah identitas arsitektur Indonesia. Dari segi akademisi dan organisasi kami ingin punya citra. Waktu itu umur saya masih 36 dan kita ingin memiliki ekspresi pribadi. Orang-orang kaya Indonesia di saat itu mencari identitas yang mencerminkan kemapanan dan mereka menemukan itu dengan gaya klasik. Karena di Eropa sudah biasa adanya kastil, orang-orang kaya disini juga membuat rumahnya menyerupai kastil. Akhirnya cocok tidak cocok rumah mereka seperti kastil.
Jalur seperti itu menurut saya merusak arsitektur. Idealnya arsitektur cocok dengan lingkungannya dan dekat dengan alam tropis kami. Tapi akhirnya ide ini dikalahkan dengan faktor yang punya uang. Dulu saat kuliah ditekan bahwa arsitek harus meng-sketsa dengan desain tertentu, dan kami ingin menjauhi itu saat kami lulus. Kami ingin ekspresi yang lebih bebas, lebih global, memiliki karakter, dan tidak terkurung oleh karakter tradisional atau etnik.
A
Kalau sekarang apakah bapak ngerasa udah sampai titik kemerdekaan itu, dan menemukan idealisme bapak?
AM
Kalau sekarang sih 90% karya saya sudah saya tentukan sendiri. Kebanyakan klien kami memberikan programming guideline; saya mau kamar tidur 3, garasi muat 2 mobil; tetapi untuk bentuknya sendiri kebanyakan sudah diserahkan kepada kami (Andramatin). Estetikanya kami yang mengolah, tetapi untuk programnya mereka yang menentukan.
Sudah jauh lebih enak sekarang. Kami cukup serius sehingga akhirnya kemerdekaan untuk menentukan arah dari design kantor Andramatinitu menurut saya cukup enak.
A
Penggunaan bahan, material. Kenapa bapak lebih cenderung memakai concrete dikarya karya bapak? Seperti Dia.lo.gue, Salihara. Apakah itu lebih pilihan pribadi?
AM
Sebenarnya yang ingin ditekankan adalah warna abu-abunya karena abu-abu adalah warna yang menurut saya lebih soft, dia tidak striking seperti warna lain. Khususnya, Jakarta sudah penuh dan padat, dan warna abu-abu menetralisir warna debu. Debu di warna putih atau hitam kelihatan, tapi kalu abu-abu menetralisir.
Kala orang memberi kebebasan memang saya senang pakai beton, karena sebetulnya mudah perawatannya. Beton tidak usah dicat atau dirawat – apa adanya saja. Memang saya lebih senang dengan ekspresi material yang jujur seperti beton dan kayu. Kejujuran material itu punya keindahan sendiri.
A
Apakah bapak perlu memisahkan karya yang bapak desain sendiri dengan proyek komersil?
AM
Saya sih tidak harus memisahkan. Justru yang saya lakukan di rumah saya sendiri adalah laboratorium hidup saya. Saya ingin punya sedikit pemberontakan kecil-kecilan mengenai stereotype orang Indonesia mengenai rumah tinggalnya. Rumah ini merupakan suatu percobaan yang saya lakukan sendiri, dimana memang bisa tidak membuat nyata yang dipikiran saya.
Rumah ini sengaja tidak ada ruang tamu karena saya tidak ingin formalitas itu. Yang kelihatan kayu saja. Bahkan kamu aja tidak sadar bahwa ruangan ini (ruang wawancara kami) sudah sebagian dari rumah. Ruangan ini bisa dilihat sebagai ruang belajar, ruang les, bahkan ruangan untuk bertamu – semua itu bebas. Kemudian kamar tidur saya itu lepas – kalau jalan sedang hujan harus kehujanan.
A
Karena di ruang terbuka ya?
AM
Betul, karena kita sengaja membuatnya terbuka. Menurut saya hujan itu bukan racun dan ada segi poetic-nya kalau hujan rintik, hujan besar, kemudian juga buatan Tuhan yang indah. Eksplorasi temperatur adalah hal yang ingin saya dalami dalam mendesain rumah.
Saya ingin menantang paradigma-paradigma yang biasanya orang tidak lakukan. Seperti kamar anak saya – kalu mau ke kamar dia harus naik dulu ke rak buku sebelum masuk ke box, karena waktu saya kecil saya ingat dulu di teras waktu SD suka main camping-campingan dengan selimut. Saya sangat menikmati rasa ruangan yang hangat dengan langit-langit yang rendah.
Disini, ruang berubah-rubah dan bertingkat-tingkat. Dari mulai ruang personal, sampai dengan ruang yang besar. Di tingkat atas langsung naik ke ruang yang terbuka sebuka-bukanya, tidak ada pintu dan tidak ada jendela. Disini ada air, ada kolam renang, ada rumput – ruangan yang sangat terbuka.
Sekarang saya sudah 5 bulan tinggal disini dan anak-anak saya baik-baik saja – tidak ada yang protes. Eksperimen yang saya coba disini saya lakukan untuk meyakinkan orang bahwa saya sudah tinggal di skala yang paling ektrim, sehingga kalausaya mendesain rumah orang lain akan terasa tidak extrim dan mereka lebih gampang menerimanya.
A
Tapi bukannya itu perasaan lebih subjektif, misalnya, arsitektur kan dibangun dari kekosongan. Pengalaman tinggal disitu atau arsitektur sebenarnya. Terlepas dari meterial, walaupun saling mempengaruhi tapi kan pengalaman tinggal itu sesuatu yang subjektif, gimana bapak men-menerjemahkan perasaan itu secara fisik?
AM
Saya pikir ada beberapa hal yang sangat subyektif, tetapi ada juga beberapa hal yang sangat general. Ada hal-hal yang betul secara logika tetapi tidak diaplikasi di rumah. Ada hal-hal yang sebetulnya saya bisa tawarkan ke klien untuk merubah prilaku karena, untuk mengeksplorasi subyektifitas lama dengan situasi yang baru. Hal seperti ini tentunya saya bisa tawarkan, tetapi orang tidak harus menerimanya. Memories dari masing-masing orang akan mempengaruhi apakah dia tersentuh atau tidak.
Seperti contohnya, untuk orang yang biasa tinggal di ruko dan pindah ke rumah biasa, sebaiknya desain rumahnya memiliki skala yang serupa dengan ruko supaya dia bisa merasakan tinggal di rumah lamanya dengan additional value yang kita tambahkan.
Saya sudah pernah tinggal di beberapa tempat sampai akhirya saya membangun rumah saya. Karena rumah orang tua saya selalu ada kucing dan ikan, saya ingin punya kucing dan ikan di rumah ini (tertawa).
A
Untuk membangun rumah seorang arsitek perlu mengenal karakter penghuninya. Bagaimana anda mendapatkan informasi ini?
AM
Mengenal klien adalah hal yang sangat penting. Kadang saya merasa tidak enak karena terlalu banyak bertanya mengenai kehidupan pribadi – pertanyaan seperti pulang kantor jam berapa? Anaknya ada berapa? Anaknya suka olah raga apa? Istrinya suka masak atau tidak? Arsitek harus sedetil mungkin, dan saya mencari detil-detil itu. Terus kemudian saya juga mengobservasi gayanya – rambutnya model apa, pakai bajunya seperti apa. Ini saya lakukan supaya bisa membaca selera mereka seprti apa. Ada yang seleranya bling-bling, ada juga yang selaranya lebih introvert. Kami bisa mendesain berdasarakan wawancara dengan klien.
A
Di buku Architecture of Happiness, Alain De Botton menulis bahwa orang akan terpengaruhi oleh tempat yang dia huni. Di tempat berbeda ia juga akan menjadi orang yang berbeda. Apakah ini berarti bahwa kebahagiaan orang ditentukan oleh tempat tinggalnya?
AM
Kalau menurut saya secara pribadi, manusia adalah makhluk yang paling bisa beradaptasi. Lingkungannya akan mempengaruhi kebiasaan dan kebahagiaan orang. Kalau berpindah, beberapa orang akan bahagia dan beberapa akan mengalami kesulitan beradaptasi.
Arsitek harus bisa menerka apakah sebuah desain bisa membuat orang bahagia. Kita perly bisa memprediksi apa saja yang akan membuat dia bahagia. Seharusnya desain bisa membuat orang senang.
Manusia memiliki daya adaptasi yang tinggi. Beberapa teman saya pernah berkata bahwa mereka tidak suka travelling, tetapi saat saya memaksa mereka, mereka ketagihan. Dari situ saya lihat memang manusia itu bisa berubah, dan hanya karena belum tau mereka tidak suka. Saat mereka mengalaminya mereka menikmatinya. Sebagai arsitek kita harus tahu kira-kira mereka bakal suka apa.
A
Baru baru ini kalo ga salah bapak ada public viewing ya? Private atau public viewing untuk beberapa media dan beberapa orang untuk ngeliat rumahnya bapak. Apakah itu caranya bapak untuk memperkenalkan atau mengedukasikan massa? Dari liat bangunan yang bapak bikin atau itu lebih ke sharing?
AM
Saat rumah ini mulai dibangun, ada beberapa teman arsitek yang melihat dan menganggap rumah ini tidak biasa jadi mereka berkoar-koar dan arsitek-arsitek lain kepingin melihat.
Saya pikir kalau misalnya banyak yang ingin melihat, daripada saya harus undang satu demi satu saya bikin waktu dimana banyak orang bisa melihat, dan setelah itu tidak usah lagi (tertawa).
Sebetulnya tujuannya untuk menunjukkan bagaimana rumah bisa dibuat di daerah tropis dimana temperaturnya kurang lebih sama sepanjang tahun. Kesempatan untuk menyatu dengan alam itu lebih besar dibanding tempat dimana ada 4 musim. Tapi orang indonesia, atau Jakarta, kok lebih memilih ruang tertutup dan terkurung dalam AC – dai AC rumah ke AC mobil dan ke AC mall. Kondisi ini membuat sehingga semuanya memerlukan energi dan daya yang besar. Kalau kita bisa membantu dari diri sendiri untuk menurunkan pemakaian energi dan mendekatkan diri ke alam, kemudian menularkan konsep ini ke lebih banyak arsitek lagi. Kita tidak perlu terbungkus kaca yang diberikan AC.
Jadi sebetulnya tujuan sharing ini untuk menunjukan potensi iklim Indonesia yang bisa dimasukkan dalam arsitektur. Kita mendesain suatu arsitektur untuk membuat orang nyaman ditempat itu. Nyaman adalah kebebasan untuk membuat cangkang. Mau atap datar atau miring, memakai asbes, yang penting itu nyaman bagi orang yang menghuni. Ekspresinya tidak usah diatur-atur, justru dengan demikian kita memiliki kebebasan.
A
Kalo selain arsitektur, kegemaran bapak diluar itu apa yang orang mungkin tidak tahu?
AM
Tidak ada sih, palingan gambar, motret. Travelling sama motret sih.
A
Apa yang bapak ingin eksplorasi di masa depan?
AM
Saya ingin mengeksplorasi bangunan-bangunan budaya dan seni. Kalau sayahidup cukup dari desain, budaya dan seni tentunya saya akan lebih konsentrasi disitu. Saya juga ingin mengeksplorasi bangunan-bangunan ruang publik seperti taman dan perpustakaan. Saya tidak tertarik untuk membangun mall.