Rantai Hidup Kesenian bersama Heri Pemad
Soni Triantoro (S) berbincang dengan Art Manager Heri Pemad (H)
S
Ada lima pihak dalam rantai pelaku seni rupa: seniman, kurator, galeri, kolektor, dan balai lelang. Mana yang sejauh ini perlu mendapatkan perhatian lebih?
H
Mata rantai dunia seni rupa itu dimulai dari kreator atau seniman, kemudian galeri, kolektor, balai lelang, dan balik lagi ke seniman. Begitu terus. Yang paling penting ya seniman. Itu yang menjadi perhatian utama. Jadi saya sebagai art management memposisikan diri paling dekat dengan seniman. Bukan pada galeri, pembeli atau institusi yang lain. Tapi status kita adalah sebagai jembatan yang menjembatani antara mereka: seniman dengan kurator, seniman dengan galeri, seniman dengan kolektor, mungkin juga seniman dengan balai lelang. Jadi posisi yang menjadi perhatian utama kita ya seniman. Merekalah bos kita.
S
Sejak ada booming pasar seni rupa di antara tahun 2007-2010 silam, apakah perkembangan seni rupa di indonesia sudah bisa dibilang mapan?
H
Sampai saat ini kita belum merasa mapan dalam dunia seni rupa. Karena kalau bicara dunia seni rupa itu lingkupnya besar. Mulai dari kepentingan negara terhadap kepentingan seni rupa, sampai pada kepentingan seniman dan konsumennya. Jadi saya tidak yakin ada seni rupa yang mapan di Indonesia. Karena dari infrastruktur saja tidak pernah mendapat perhatian khusus, artinya adalah infrastruktur yang memang tanggung jawab pemerintah. Di sisi lain, seniman kita ada banyak sekali, dan banyak yang mapan juga secara finansial, manajemen, dan kualitas karya. Kalau soal itu saya setuju, banyak seniman kita yang mapan, mapan dalam artian matang. Kita punya banyak sekali potensi di sana. Nah, saya justru mempertanyakan kembali dalam hal ini seni rupa yang mana yang dibilang mapan?
S
Terkait dengan kurangnya dukungan pemerintah, berarti ini yang diperjuangkan oleh seorang Heri Pemad?
H
Ya, saya selalu bilang bahwa infrastrukturnya terbilang sangat minim dibanding potensi jumlah seniman dan konsumen yang ada. Nah, itu yang menjadi concern saya untuk selalu menuntut wadah dari pemerintah karena kita semua sebagai warganya membayar pajak. Kita juga sudah menaati semua aturan. Sementara yang dikembalikan ke kita itu apa? Kita perlu infrastruktur yang bagus dan memadai, cukup baik untuk pameran yang skalanya kecil maupun internasional supaya kita bisa meningkatkan kualitas pameran dan berkaryanya. Contoh kecil, kita tidak punya ruang pameran yang memadai, atau yang sepadan dengan jumlah seniman dan perkembangan karya mereka. Sejauh ini tidak sepadan dengan kondisi ruang yang ada di Indonesia. Kita banyak sekali terbatasi oleh ruang. Di satu sisi kita ingin berkarya, tapi banyak juga aturan yang tidak berpihak dengan dunia seni rupa. Sehingga kita tidak bebas.
S
Dengan munculnya booming seni rupa kala itu, makin banyak adanya kolektor dan frekuensi jual beli karya juga kian tinggi. Apakah ini berpengaruh terhadap perkembangan estetika di dalamnya?
H
Saya kira tidak ada pengaruhnya. Yang mempengaruhi perkembangan estetika bukan pasar, tapi bagaimana seniman bisa peka mengeksplorasi potensi wilayah artistik yang ada di medan sosialnya sampai perkembangan terhadap estetika maupun pengalaman artistik di dunia. Mungkin kita sudah mempengaruhi negara lain dan dunia, atau juga sebaliknya. Jadi perkembangannya tergantung pada senimannya. Karena seni universaL, sehingga tidak dipengaruhi oleh pasar. Kalaupun ada pengaruhnya, saya rasa sedikit, lebih karena tren biasanya. Misalkan saat karya foto lagi laris atau karya video kok sedang laku.
S
Lalu tren seperti apa yang tengah muncul di ranah seni rupa sekarang?
H
Sekarang sedang tidak ada tren.
S
Seberapa jauh perkembangan gaya seni rupa kita dipengaruhi dari perkembangan luar?
H
Sebenarnya seni rupa kontemporer kita sudah maju. Sayangnya, apresiannya yang tidak maju-maju. Yang bisa mengapresiasi perkembangan terkini seni rupa kontemporer tidak banyak. Hanya beberapa seniman dan pecinta seni. Negara bisa dipastikan ketinggalan secara umum. Mereka belum bisa menerima karya tertentu. Kalau pun bisa menerima, sifatnya individu. Itu tidak cukup kuat untuk meneriakkan ”negara harus punya karya-karya yang seperti ini!” Artinya adalah karya-karya yang memang sudah pada level perkembangan seni rupa kontemporer terkini dunia, untuk kemudian mereka punya pemikiran menaruhnya dalam sebuah museum. Bagaimana itu bisa terjadi, museum kontemporer saja kita tidak punya. Jadi artinya pengaruhnya ada, tapi tidak ada yang menikmatinya.
Seniman kita maju, tidak ketinggalan dari seniman lain di dunia sana, tapi dukungan dari para pecinta seni di sini itu tidak ada. Ketika kita menggelar sebuah pameran seni rupa kontemporer dengan wacana yang mendunia, sebenarnya publik bisa mengapresiasinya. Itu saya buktikan di Art Jog. Tapi tanggapan dari institusi besar seperti negara itu tidak ada. Mereka tidak bisa memanfaatkan besarnya potensi itu. Dari pariwisata misalnya, tidak ada. Belum ada respons yang menurut saya menjanjikan untuk memanfaatkan itu sebagai peluang untuk negara.
S
Untuk menggelar sebuah acara seni internasional, apakah cukup dengan mendatangkan kolektor internasional, seniman internasional, dan event organizer internasional? Atau ada indikator lain?
H
Pertama, kualitasnya. Yang kedua adalah asal senimannya. Kalau kualitas senimannya internasional tapi karyanya belum pernah ke mana-mana itu saya kira juga tetap internasional. Pengunjungnya darimana saja, dihadiri siapa saja atau dari museum mana saja juga jadi ukuran. Pokoknya harus bisa menghadirkan pengunjung dari belahan dunia lain. Kemudian yang paling jelas adalah waktunya juga harus internasional. Kalau mau internasional ya harus mempertimbangkan waktu. Kalu kita bikin acara pas lebaran tidak mungkin secara internasional. Orang banyak terkendala. Jadi kita mesti mengacu pada waktu yang ada di negara lain. Misalnya kalau kita mau buat event Art Jog, kita juga harus berkoordinasi dengan event besar lainnya supaya tidak tabrakan. Kalau tabrakan mungkin kita kalah secara pengunjung karena yang datang hanya pengunjung lokal.
S
Adalah salah satu efek Instagram dan media sosial di mana kemudian ada banyak orang yang datang ke Art Jog dengan budaya selfie. Apakah Anda melihat ini sebagai masalah, atau justru sesuatu yang perlu dimanfaatkan?
H
Selfie sudah menjadi semacam gaya hidup yang berkembang di seluruh dunia. Kalaupun seseorang masuk dalam ruang pameran dan selfie, itu adalah langkah pertama yang bagus. Itu poin yang sangat positif. Beli tiket atau mau datang saja itu sudah positif. Bentuk apresiasinya macam-macam, dari mulai berfoto di depan karya yang ia sukai. Itu caranya menyimpan atau menabung pengalaman estetikanya di dalam otak. Pada suatu saat nanti dia bisa bilang karya ïtu memang bagus. “Tidak hanya saya bergaya, tapi karya ini memang bagus!” Suatu saat mungkin dia akan melihat karya di tempat lain, lalu “oh, ini seperti karya yang di sana, saya akan foto lagi,” atau “oh, lebih bagus yang di sana, saya tidak akan foto lagi”. Itu adalah bagaimana cara dia mengapresiasi karya. Sebuah awalan baik jika dia mau selfie, mau baca caption, atau datang dan lewat. Apapun, saya melihat itu positif. Saya tidak melihat itu sebagai aib atau gaya yang merugikan. Selfie memang gambaran perkembangan dari publik sekarang. Kita tidak bisa mencela atau mengkritisi itu sebagai cara yang salah. Cuma kita perlu kasih aturan bagaimana selfie yang benar, seperti tidak pakai tongsis, tidak terlalu dekat dengan karya, tidak memakai flash, melihat-lihat dulu apakah ada orang lain yang sedang menonton karyanya atau tidak, dan lain-lain supaya tidak mengganggu. Karena ini sudah terjadi di mana-mana. Entah di museum yang memperbolehkan foto seperti di Louvre pun tiap harinya ada berapa ribu foto.
S
Berarti Anda memang punya intensi untuk mendidik penikmat seni?
H
Kita selalu memberikan tips tentang cara mengapresiasi karya dengan benar sejak Art Jog pertama. Walau selanjutnya ya terserah mereka, tapi kita ingin melakukannya sejak awal. Mulai dari yang jaga atau galery sitter bisa mengarahkan caranya. Selalu ada edukasi tentang bagaimana mengapresiasi sebuah karya. Dan itu tampak menyenangkan. Anak-anak muda sangat ingin tahu dengan sendirinya.
Saya bisa bertemu dengan orang yang sama dalam lima tahun terakhir. Dulu awalnya dia cuma rajin selfie. Tapi di tahun kedua, ia mulai pilih-pilih. Lama kelamaan ia hanya foto sebentar dan lama berdiri di depan karya, membaca, dan maju mundur melihat karya. Mungkin dengan pengemasan sebuah acara, kita bisa mendidik mereka menjadi seorang konsumen. Lebih dari sekedar melihat, tapi juga membeli. Mereka yang dulu hanya bisa melihat, sekarang bisa memilikinya sebagai bentuk apresiasi terhadap karya seniman. Bisa kita tebak, si anak muda ini dulu awalnya hanya melihat, sekarang berkembang menjadi kolektor.
S
Artinya mendidik penikmat itu sama dengan memperluas pasar?
H
Oh iya. Pasar itu tidak harus pembeli. Event sudah mulai harus hidup dari apa yang kita buat. Dengan Art Jog memberlakukan tiket dan membayar pajak, berarti menghidupkan semuanya. Kita berbuat sesuatu untuk negara, dan kita juga menjadikan ini sebagai konsumsi dan edukasi. Itu yang paling utama. Bagaimana masyarakat tidak hanya bisa mengapresiasi karya seniman yang ada di dalamnya, tapi secara keseluruhan bisa melihat ini sebagai sebuah cara untuk memajukan kualitas dari hidup.
S
Art Jog dikatakan berpengaruh pada dunia pariwisata. Apakah itu terjadi secara dua arah, dalam artian bahwa dunia pariwisata kemudian juga memiliki efek timbal balik ke Art Jog?
H
Sampai saat ini belum. Kita justru sudah berusaha tidak hanya ke Dinas Pariwisata DIY, tapi juga langsung ke kementerian. Mereka sendiri yang meminta saya menjadi peserta diskusi FGD (Forum Group Discussion) mengenai destinasi pariwisata seni dan tradisi. Beberapa kali saya diundang dan Art Jog menjadi percontohan bagaimana cara membuat destinasi baru. Saya bilang bahwa selama ini pariwisata hanya mengelola destinasi yang bersifat temuan seperti candi, keraton, dan sebagainya. Sementara saya cenderung membuat sebuah tujuan baru berupa event. Ketika ada Art Jog, digelar juga Art Week di mana satu kota membuat event. Banyaknya event yang ada di Jogja saat itu membuat orang yang datang punya pilihan. Ingin musik? Ada. Mereka bisa ke mana-mana jika punya banyak waktu, entah melihat event musik, pertunjukan, karnaval, atau syukuran biasa yang dirayakan besar-besaran. Misalkan bosan dengan seni rupa atau mual melihat lukisan, mereka bisa mendengarkan musik punk rock atau apa saja. Itu salah satu bentuk city branding di mana wisatawan yang datang memang disuguhi banyak tontonan. Dan saya yakin itu besar sekali dampaknya ke perekonomian Jogja. Dari mulai datang beli tiket, naik angkutan umum, kemudian tinggal di hotel, makan- minum di kafe, membeli suvenir, dan sebagainya. Pihak pariwisata semestinya menangkap sesuatu yang bisa diperhatikan dan didukung. Tapi sampai ke sepuluh tahun penyelenggaraan Art Jog nanti, saya belum yakin mereka melihat Art Jog dan dampaknya besarnya untuk dunia pariwisata. Tapi kita tidak kemudian patah semangat. Kita melihat Art Jog sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sesuatu yang membebani. Kita butuh cara berkesenian, berekspresi, dan berbuat sesuatu untuk orang banyak.
S
Sejauh ini seperti apa peran yang Anda lihat dari kritikus atau media massa dalam perkembangan seni rupa?
H
Saya selalu mengharapkan media massa membantu menjadikan ini sebagai sesuatu yang penting dan sebuah wacana. Kemudian kritikus sangat-sangat dibutuhkan dan diharapkan untuk meningkatkan setiap apa yang kita buat.
S
Sejauh ini memuaskan?
H
Kalau untuk dunia kritik dan wacana pemberitaan, saya kira sudah sangat cukup. Saya yakin mungkin tinggal menambah media dari luar atau apresian yang lebih luas lagi ke masyarakat kita. Tidak hanya dari kalangan media pemerhati seni tapi juga yang mampu menjadikan ini sebagai konsumsi umum. Karena ini masuk di dunia pariwisata yang sifatnya luas.
S
Boleh kita membahas polemik Art Jog terkait isu sponsor dari Freeport kemarin?
H
Bebas, silahkan. Saya senang. Karena saya tidak ditanya, makanya orang tidak tahu. Memang orang bertanya? Mereka hanya menghujat. Coba saja deh ditanya.
S
Apakah para seniman waktu itu memang tidak tahu menahu tentang kerjasama sponsor dari Freeport itu?
H
Dari dulu seniman tidak akan mempedulikan siapa sponsornya. Karena mereka tahu bahwa cari sponsor itu susah. Mereka tahunya cuma difasilitasi. Begitu mereka diundang, pokoknya “aku mau ruang (berukuran) lima kali lima (meter), tingginya tiga setengah meter. Bisa tidak dituruti?” Mereka tidak akan bertanya, “yang mendanai siapa?” Yang mereka tahu pokoknya Heri Pemad Art Management pasti bisa bikin Art Jog. Karena itu memang janji saya, selama karyanya bagus dan masuk akal dengan biaya kita ya akan kita sanggupi. Jadi sponsor itu bukan wilayah mereka.
S
Berarti masalah bukan di transparansi? Apakah ini bisa jadi otokritik bagi seniman untuk mulai lebih peduli dengan sponsor dan penyelenggaraan?
H
Iya, mereka jadi tahu betapa sulitnya menggelar pameran besar tanpa pendanaan yang pasti dari institusi yang jelas menikmati hasilnya. Negara dan pemerintah daerah pasti menikmati hasilnya. Banyak orang datang. Asongan sampai tukang parkir penghasilannya lebih besar dari kita. Mereka dapat motor Ninja, sementara berapa gaji karyawan untuk Art Jog? Kita hanya cukup untuk lebaran tiga hari di kampung. Itu contoh kecil saja.
Kalau misalnya kita ditanya oleh seniman, “Saya mau ikut, tapi sponsornya siapa dulu?” Saya akan menjawabnya. Tapi tergantung kapan dia bertanya. Kalau dia bertanya 6 bulan sebelum event berlangsung ya kita belum bisa jawab karena kita belum dapat sponsor. Belum ada yang deal. Padahal kesanggupan mengikuti pameran harus 4 bulan sebelumnya. Dan itu pun kita belum dapat sponsor juga. Sponsor baru deal itu 2 bulan sebelum event. Nah, kalau mereka baru bertanya, “aku mau ikut tapi mau lihat sponsornya dulu” di 2 bulan itu ya jelas tidak bisa ikut. Sekarang sudah dapat sponsor, tapi mereka dipastikan tidak bisa ikut karena baru sekarang bertanya. Keikutsertaannya harus deal sejak 4 bulan sebelumnya, jadi kita bisa mempublikasi, terutama untuk kurator dan layout pamerannya. Kalau tidak, kita akan pusing. Berapa pesertanya? Apakah ruangannya cukup? Sementara kalau seniman sudah tanda tangan untuk jadi peserta dan tiba-tiba mengundurkan diri, kita bisa menilai seniman ini tidak konsisten.
Jadi tidak pernah ada yang menanyakan siapa yang jadi sponsor. Dan sekali lagi saya tekankan bahwa sponsor dan seniman itu sesuatu yang berbeda. Yang satu bicara iklan, yang satu lagi bicara konten. Selama sponsor tidak mengintervensi isi ya berarti sah. Demikian juga sebaliknya. Kalau kamu mengintervensi darimana saya mendapatkan dana, ya sudah kamu tidak usah ikut saja. Karena tanpa sponsor ini mungkin acara saya tidak akan jalan. Nah, sekarang pilih mana? Tidak jadi pameran, atau 2-3 seniman tidak ikut? Toh bisa saya jelaskan bahwa produksi dan isi itu berbeda. Sama seperti majalah tertentu yang sangat kritis terhadap kejadian politis, seni, atau lingkungan hidup. Majalah itu menerima iklan dari Freeport, tapi isinya mengkritisi Freeport. Hal itu hadir bersamaan dalam satu majalah. Itu sering terjadi. Tidak hanya majalah, tapi juga surat kabar harian. Bicara tentang Jogja Asat, tapi tamunya juga diinapkan di hotel itu.
Tapi kalau demi etika, saya akan melunak. Oke, saya tidak akan meminta sponsor dari Freeport lagi karena terlalu besar isunya dan riskan untuk keberlangsungan event saya. Ada alasan untuk itu. Saya sebenarnya juga sudah menyadari dari awal dan diperingatkan oleh orang banyak. Saya tetap mengambil risiko itu karena saya punya alasan yang kuat dan tidak ada satupun yang menanyakannya waktu itu. Ibarat saya seorang anak yang kehilangan orangtua, terpaksa saya membenturkan kepala saya ke gunung emas supaya orangtua saya mendengar apa yang saya perjuangkan. Saya menghadapi begitu banyak orang yang banyak maunya tapi sedikit pengertiannya, namanya adalah seniman. Mereka adalah bos saya. Saya harus mengakomodasi dan menampung mereka, serta membuat sesuatu untuk sebuah perayaan bersama yang namanya event.
Tapi apa yang dilakukan pemerintah? Kita mencari sponsor susah sekali. Mereka selalu memberi harapan dan janji tapi semua itu palsu. Sampai acara saya kemudian terancam gagal karena tidak ada dana, saya akhirnya mengambil langkah itu. Meski tidak seberapa, tapi itu cukup membuka wawasan bahwa mencari sponsor itu tidak gampang. Akhirnya kita bisa mendapat sponsor utama dengan proses yang panjang sekali. Sehingga saya memutuskan mengambil Freeport sebagai salah satu sponsor.
Detailnya begini: saya sudah memasukan proposal sejak jauh-jauh hari. Sudah presentasi dan meeting berkali-kali. Ketika sudah mepet harinya, akhirnya kita bertanya ke sponsor “Jadi bisa berapa?” “Tidak banyak, Mas.” Tidak apa-apa. Berapapun kita terima“. Tapi itu juga tidak bisa langsung kita terima dananya. Kita terima dana baru setelah opening atau malah setelah event berlangsung. Lalu uang penyelenggaraannya dari mana? Ya setelah mendapat sponsor utama di atas 2 miliar. Itu pun dengan meeting berkali-kali. Setelah oke, langsung kerja menyinkronkan sponsor utama dengan media publikasi. Begitu berhasil, kita dipanggil, “Mas, batal.” Kita ‘kan kelimpungan. Sponsor utama batal pada saat last minute, satu bulan sebelum event. Kita tidak punya pegangan. Ada sponsor cuma kecil-kecilan, di bawah 50 juta. Padahal kita butuh biaya 4 miliar. Pada saat itulah saya memutuskan datang ke Freeport, “Bantu saya.”
Saya sudah diperingatkan oleh teman-teman saya, mereka aktivis, seniman, juga sponsor. “Nggak urusan!” Siapa yang tahu akan kejadian seperti ini dan mau menolong kita kalau ini batal? Sementara Freeport menyambut baik. Mereka pun tidak serta merta mengiyakan. Mereka bilang, “Mas, sudah tahu risikonya kalau menerima sponsor kami?” “Sudah.” “Lalu bagaimana?” “Ya Anda mau ngasih berapa?” “Oke kita iyakan dahulu, jumlahnya belum tahu.” Masih digantung juga. Di tengah perjalanan, kita dipanggil lagi oleh Badan Ekonomi Kreatif. “Mas, apa yang bisa kita bantu?” “Yang saya harapkan dari Bapak adalah melobi kembali sponsor utama untuk datang lagi karena dia satu-satunya yang bersedia mensponsori sejumlah sekian”. “Oke, atas nama kementerian, kita minta BUMN untuk membantu.” Akhirnya sponsor utama balik juga, walau nilainya turun 50 persen. Sementara itu kita sudah terlanjur menerima sponsor Freeport. Sudah tanda tangan dan nilainya juga sudah ada. Tapi sponsor utama tidak serta merta mengeluarkan uang karena mereka BUMN yang mengeluarkan dana setelah event. Yang bisa langsung seperti Freeport, Pertamina, atau Djarum Foundation. Mereka bisa langsung memberikan dana walau 50 persen dulu. Lumayan untuk modal awal membeli pasir, besi, dan cat. Kemudian surat kontrak sponsor ini kita gadaikan ke toko besi, toko lampu, toko cat, dan seniman. “Hei aku dapat sponsor ini. Kamu biayai dulu, kalau nanti sudah cair akan kita bayar.” Seperti itu prosesnya, rumit sekali. Tiap hari kita berharap akan ada yang laku dan pengunjungnya banyak supaya bisa bayar tukang cat, tukang besi, lalu memberi makan teman-teman.
Di tengah perjalanan kita didemo. Tidak masalah. Sebenarnya saya malah bertanya, “Kenapa tidak dari awal?” Mereka melihatnya terlambat, tapi tak apa-apa. Dari awal saya sudah bilang kalau sampai ini nanti terjadi demo, saya ingin yang besar sekalian. Supaya benturan kepala saya ke gunung emas itu keras. Tapi ini kemarin demonya kecil. Yang menyedihkan adalah teman-teman seniman berantem sendiri dan tidak berdampak apa-apa untuk saya.
S
Seperti apa tanggapan para seniman ke Anda begitu protes pertama tentang sponsor Freeport itu muncul?
H
Tidak ada apa-apa. Hanya ada satu-dua orang yang mendesak supaya mengembalikan dana itu.
S
Berarti tanggapan lebih banyak disuarakan ke media massa?
H
Iya. Menyurati saja juga terlambat. Kalau di media, saya tidak mau meladeni. Itu semua isinya hanya orang muntah. Tapi begitu ada surat resmi, saya tanggapi. Surat terbuka namanya. Karena mewakili orang banyak, saya menulis mewakili panitia. Tuntutan yang masuk akal kemudian saya turuti. Kalau seperti mengembalikan dana Freeport itu tidak masuk akal. Karena sudah ada agreement, hitam di atas putih. Saya pantang menjilat lagi ludah saya. Itu penghinaan besar untuk institusi atau corporate resmi negara berbadan hukum. Dampaknya bisa besar sekali, nanti tidak ada lagi yang mau diajak menjadi sponsor.
S
Di luar masalah etika, apakah memang tidak ada celah untuk mengembalikan dana itu?
H
Tidak mungkin. Karena secara hukum sudah masuk. Kalau saya minta mengembalikannya lagi itu namanya sepihak. Saya bisa dituntut.
S
Lalu di mana uang patungan yang sempat dikumpulkan para seniman untuk mengembalikan dana sponsor itu?
H
Itu tidak ada efeknya. Mereka menemui saya, “Pak Heri, ini ada dana sekian. Mau menerima nggak?” Ya saya guyon saja, “Dananya 100 juta, ini baru terkumpul 16 juta”. Misalkan, terkumpul 100 juta saja tidak akan saya terima kok. Mending disumbangkan ke longsor Purworejo atau dibawa ke Ibu-Ibu gunung Kendeng. Ini sudah wilayah saya dan sudah resmi, tidak bisa diintervensi atau dilanggar. Saya melihat uang iuran yang terkumpul sekitar 15 juta itu sekadar untuk mengukur seberapa kepedulian mereka dengan kesalahan yang menimpa kita semua. Seni rupa dan seniman lagi sakit. Tidak hanya saya sebagai penyelenggara pameran yang berjuang sendirian, tapi mereka semua juga sakit. Jangan melihat saya yang lagi di-bully, tapi kembalikan ke masing-masing untuk menebus dosanya. Kita semua salah. Kita tidak punya gerakan apapun untuk menuntut fasilitas yang harus diberikan oleh negara. Saya bisa menggelar event tanpa sponsor, tapi perbaiki dulu gedung dan fasilitas. Baik itu fasilitas transportasi maupun fasilitas umum tidak ada yang benar. Masalah listrik saja sudah kayak begitu. Iklan juga harus bertarung dengan iklan-iklan di pinggir jalan. Nah, itu tugas siapa? Penyadaran jelas tugas para seniman sebagai pemakai juga.
S
Menurut Anda, seperti apa seharusnya respons seniman yang terlibat di Art Jog dalam menanggapi kritik awal atas isu tersebut?
H
Bikin forum terbuka. Bikin diskusi kalau berani. Dukung saya untuk bisa membuat event yang baik. Bantulah saya bagaimana caranya supaya event ini bisa terlaksana. Mari bersama-sama membesarkan. Dari dulu kita sudah panen hujatan. Kami memberlakukan tiket 10 ribu saja sudah di-bully di mana-mana. Padahal maksud saya mendidik supaya kamu menonton di dalam pameran itu tidak asal-asalan.
S
Bagaimana reaksi Freeport menanggapi hal ini?
H
Freeport dari awal sudah memberi peringatan. Dan setelah peristiwa itu terjadi, setiap hari saya ditelpon. Mereka membuat grafik dari komentar di media sosial, membandingkan jumlah komentar yang positif dan negatif beserta contohnya.
S
Hasilnya?
H
Lebih banyak yang positif. Kalau orang melihat media sosial itu memang yang menarik negatifnya. Tapi ‘kan mereka punya tim yang besar sekali. Kadang-kadang memang komentar negatif lebih besar di Twitter, tapi lebih besar komentar positif di Facebook.
S
Itu positif secara keseluruhan tentang Art Jog atau hanya terkait isu tersebut saja?
H
Isu yang muncul pasca ada demo. Freeport adalah perusahaan yang luar biasa bagus secara manajemen. Mereka detail sekali. Tiap hari saya dikawal mulai dari bangun tidur, berangkat, sampai pulang lagi. Saya tidak bisa lepas dari pengawasan mereka. Ketika ada demonstrasi, mereka mengirim orang berseragam kerja Freeport. Mereka melihat langsung dan masuk ke ruang pamer. Jadi memang detail sekali kalau kita berhadapan dengan perusahaan besar seperti itu.
Yang mendemo saya di antaranya dari Lesbumi. Tapi dari PBNU sendiri mendukung adanya (Bank) Mandiri. Mereka semua punya kartu anggota Mandiri untuk mendukung pembuatan pabrik semen. Semua anggota kiai dan pemuka agama PBNU punya kartu Mandiri, tapi Lesbumi sebagai bentukan PBNU mengkritisi Mandiri. ‘Kan aneh? Ya sudah.
Setelah event, saya dipanggil ke PBNU. “Tolong buatkan saya pameran antara Indonesia-Amerika”. Lah, malah sama Amerika. “Pak, ini maksudnya bagaimana? Kemarin saya habis didemo oleh Lesbumi, kenapa saya diminta bikin pameran Indonesia-Amerika?” “Oh lupakan itu semua, ini lain lagi.” Jadi semua punya kepentingan. Kita saja yang tidak tahu. Terlibat saja tidak, tapi ikut menghujat. Yang seperti itu kasihan sekali.
S
Apakah ini akan berpengaruh pada loyalitas dan minat seniman mengikuti Art Jog ke depannya?
H
Saya yakin itu tidak akan mempengaruhi apapun. Tapi saya sendiri yang justru malah bisa melihat mana yang ke depannya nanti harus diundang dan mana yang tidak. Saya jadi punya pilihan. Bukan alasan sikap, tapi ini adalah pilihan dari bagaimana saya harus menyelamatkan produk saya sendiri. Jangan sampai saya memakan buah simalakama. Saya juga jelas tidak akan meminta dana dari Freeport lagi. Kemarin dampaknya lumayan. Artinya saya dipanggil pemerintah, “Kowe meh njaluk opo to? Karepmu ki opo to? (Kamu mau minta apa sih? Maumu apa?)” Ini sudah sebuah peningkatan bagi saya. Sri Sultan Hamengkubuwana X, dan pihak kementerian hadir dan bertanya ke saya. Kita sudah cukup menarik perhatian mereka untuk datang dan hadir.