Kurasi Seni bersama Hendro Wiyanto
Amelia Vindy (V) berbincang dengan Hendro Wiyanto (H).
V
Bagaimana awal ketertarikan Anda dengan seni rupa?
H
Awal mulanya dulu saya sekolah seni rupa di Jogja tahun 70 sampai 80-an. Saya tidak tahu mengapa tertarik dengan seni rupa. Saya mengawalinya dari belajar seni rupa di bangku kuliah, lalu ketika itu mulai tertarik menulis. Dulu saat melihat teman-teman saya berpameran, karya mereka ditulis oleh para wartawan dengan metode wawancara kilat untuk jadi tulisan singkat. Lalu saya berpikir, mestinya saya bisa menulis lebih baik dibandingkan para wartawan itu. Saya cukup dekat, satu kampus, hampir setiap hari melihat karyanya dan sebagainya, kenapa bukan saya saja yang menulis? Setelah itu rupanya makin tertarik untuk menulis, dan tentu saja profesi menulis jauh lebih sedikit peminatnya dibandingkan mereka yang tertarik jadi seniman.
V
Menempuh pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta, apa yang melatarbelakangi Anda untuk memilih profesi sebagai kurator independen?
H
Tidak sengaja juga, dalam artian memang tidak ada pendidikan khusus kekuratoran di Indonesia. Juga mungkin karena praktik seni rupa itu bisa dimaknai lebih luas, bukan hanya berurusan dengan karya seni dan seniman, tapi memerlukan semacam agen dan yang lain. Ketika itu di awal 90-an profesi kurator di Indonesia sudah mulai muncul dan berkembang perlahan-lahan.
Dari situ hubungan dengan seniman menjadi tidak sekadar menulis tentang karyanya, atau tentang pamerannya, tapi kemudian berdiskusi mengenai karyanya. Jadi masuk lebih dalam, mengikuti prosesnya, merencanakan sebuah pameran bersama-sama, bagaimana mengeksekusinya, menempatkannya, mendiskusikannya dan sebagainya. Setelah itu, lalu di kalangan teman-teman saya kira semakin sering ada dan muncul profesi kekuratoran.
Sejarah kekuratoran di sini tidak tegas seperti di Barat. Di Barat, sekitar akhir 60-an gelombang itu muncul karena kecenderungan untuk tidak hanya mengaitkan profesi kurator dengan permuseuman. Di Indonesia tidak ada lembaga museum seni rupa. Profesi kurator yang sebelumnya menjadi bagian dari institusi museum itu tidak ada, jadi otomatis lahir menjadi kurator independen.
V
Sebagai orang yang menekuni profesi kurator, bagaimana Mas Hendro melihat perkembangan bidang ini di iklim seni lokal yang sedang berkembang? Dan, menurut pengalaman Anda sejauh mana peran seorang kurator dalam praktik kekuratoran dalam dunia seni?
H
Peran kurator memang di bidang kekuratoran. Kurator tentu saja diminta dan perlu bersikap sangat kritis terhadap praktik-praktik seni yang berlangsung, karena dia bisa melakukan itu bersama-sama dengan para seniman, di antaranya. Misalnya untuk merencanakan sebuah pameran, kurator perlu menantang seniman untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar yang selama ini mereka buat. Apakah itu memungkinkan? Kemungkinan-kemungkinan itu harus dijajaki.
Fungsi kurator menurut saya dalam hal ini juga berusaha menciptakan wacana yang lebih kritis terhadap praktiknya itu sendiri dan bersikap kritis terhadap medan seninya yang selalu punya kecenderungan untuk menjadi established, normatif dan sekadar mengikuti selera pasar.
V
Anda pernah mengutip Harald Szeeman, baginya, kurator independen serupa dengan “tukang sulap” karena juga melakukan praktik pengarsipan dan konservasi. Menurut Anda, apa yang membedakan kurator independen dengan jenis kurator lainnya?
H
Seperti yang saya bilang tadi, tradisi kurator itu dulu terkait dengan lembaga yang namanya museum. Jadi dia mengakuisisi karya, menyeleksi, mendata, menyusun pameran berdasarkan koleksi museum dan sebagainya. Dan orang yang Anda sebut tadi, Harald Szeeman, memulai sesuatu. Latar belakangnya sepertinya pertunjukan, teater. Saya kira, ia melihat lebih luas praktik seni rupa, mungkin dibayangkan bisa menjadi sesuatu yang lebih.
Sebuah pameran itu menjadi sebuah peristiwa. Maka dari itu dia keluar dari lembaga yang bernama museum itu lalu mengundang para seniman, “Yuk, kita bikin pameran yang menampilkan tidak harus hasil akhirnya, tidak, kita tunjukkan seluruh proses berkarya itu. Seluruh kegilaannya. Seluruh ketidakpastiannya. Semua barang-barang yang digunakan, yang dipakai dan yang tidak dipakai.” Itu salah satu yang pernah dilakukan Szeeman di sebuah museum. Orang melihatnya kaget, “Lho, karya seni kok seperti menunjukkan dapur seniman?” Seluruh studionya, bukan hanya sekadar hasil akhir yang bagus lalu kemudian penonton pergi, tapi seperti dilibatkan, didorong untuk masuk ke seluruh proses kreasi.
Kritik membuka dialog antara pelaku, publik dan kritikus itu sendiri perihal sebuah karya – dalam konteks ini pameran seni. Menurut Anda, bagaimana kritik seni dapat mempengaruhi perkembangan seni rupa di zamannya? Mengingat saat ini kegiatan mengkritik sudah bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus mendapatkan pendidikan yang sebagaimana mestinya.
Memang ada banyak jenis kritik. Anda tadi bertanya soal apa itu kritik seni, mungkin dibandingkan dengan perbedaan fungsi seorang kritikus dan kurator. Seperti yang kita sudah bicarakan, kurator itu seperti memasuki dapur seniman, seperti membuat desakralisasi proses penciptaan. Kalau Anda seniman, lalu di masa lalu Anda merasa bahwa proses Anda tidak bisa diintervensi, seakan-akan Anda hanya bisa ditentukan oleh ide-ide Anda sendiri. Jadi subjektivitas itu seakan-akan satu-satunya cara untuk membuat karya seni. Sekali lagi, dengan munculnya agen yang namanya kurator ini, dia masuk ke dapur seniman. Misalnya Anda mau buat pameran, di masa sekarang Anda bisa mengundang kurator, misalnya Anda mengundang saya. Lalu kita diskusi, “Idemu apa?”
Lalu ide itu seperti diciptakan bersama-sama, tidak lagi satu pihak. Itu yang disebut co-authorship, kepengarangan bersama. Meskipun nanti yang dimunculkan tentu saja karya Anda, bukan karya kurator lagi. Menurut saya kurator perlu mundur ketika seniman muncul. Dia hanya semacam partner dalam proses itu saja. Karyanya tetap karya si seniman, kan?
Kalau kritikus tidak masuk ke situ. Kalau Anda seorang kritikus, Anda tinggal datang ke sebuah pameran, Anda tidak peduli bagaimana sebuah karya ini diciptakan. Anda tinggal head-to-head, satu lawan satu menghadapi karya, lalu kemudian Anda menulis sesuatu tentang karya itu. Jadi apa yang terlihat, bukan behind the scene. Kira-kira seperti itu.
V
Kritik merupakan bagian penting dalam seluruh infrastruktur, salah satunya seni rupa, tapi yang terjadi hari ini rasanya kritikus yang dapat memberi kajian signifikan terhadap seni rupa di Indonesia masih terasa minim. Menurut Anda, faktor apa yang menyebabkan hal tersebut?
H
Kritikus harus belajar terus menerus. Maksud saya, memang tidak mudah menulis kritik karya seni karena perangkatnya berbeda. Anda melihat karya visual, misalnya Anda melihat karya Siti Adiyati di Jakarta Biennale. Ada bunga artifisial berwarna emas di tengah-tengah eceng gondok yang hidup, dia tumbuh dan mungkin suatu saat bisa bau. Anda harus mentransformasi atau mentranskripsi ini menjadi sebuah bahasa teks, sebuah tulisan. Itu menurut saya suatu masalah yang Anda hadapi. Anda bisa merasakan sesuatu, tapi kemudian Anda menulis “Bunga mawar plastik berwarna keemasan di tengah eceng gondok.” Tapi apakah itu cukup? Maksud saya, bukan itu pekerjaan kritikus, tapi bagaimana membahasakan kembali secara kritis, mendeskripsikan secara tepat apa yang kita lihat dan bukan sekadar deskripsi objektif, tapi menangkap apa yang secara visual tidak langsung nampak.
Kalau Anda bilang bahwa peran kritikus lemah, ya memang tidak banyak yang menerjuni itu sebenarnya. Karena dibutuhkan konsistensi terus menerus, mengamati terus menerus dan tentu saja dengan pengalaman melihat yang kaya, juga wawasan sejarah yang lebih luas.
V
Bagaimana Anda melihat perkembangan kritik seni di Indonesia? Apakah berbanding lurus dengan perkembangan seni rupa di Indonesia?
H
Kalau sudah banyak orang yang tidak membaca kritik lagi, dan meskipun saya merasa kritik itu tetap perlu, di satu sisi untuk mengimbangi apa yang dilakukan oleh kurator sebagai co-author para seniman. Kesulitan lain adalah ketika seniman sudah bisa dengan sangat kritis menjelaskan semua karyanya, apakah kritik masih diperlukan? Pertanyaannya itu, kan? Kalau Anda sudah sangat pintar sebagai seniman, Anda bisa menjelaskan apapun dan sudah menguasai betul semua yang Anda ciptakan, lalu, di mana ruang untuk kritik?
Menurut saya tidak mungkin Anda tahu seluruh proses Anda sendiri. Diperlukan suatu pihak lain yang mudah-mudahan bisa melihat sesuatu yang Anda sendiri tidak sadari. Peluangnya mengecil tentu saja, tapi tuntutan kritik seninya bertambah. Bagi saya di Indonesia masih diperlukan sebuah kritik yang bagus dengan bahasa yang tidak sulit dan bisa dibaca oleh pembaca awam.
V
Jakarta Biennale 2017 mengangkat tema “Jiwa” dengan tujuan mencari identitas pada kesenian lokal. Juga terlibat sebagai kurator, seperti apa proses kreatif dalam pemilihan seniman-seniman yang terlibat?
H
Ada lima kurator. Dua kurator dari luar Indonesia, dua kurator dari Indonesia, dan satu orang merangkap sebagai Artistic Director, dia yang memimpin seluruh proses diskusi dengan para kurator, Melati Suryodarmo. Prosesnya, pertama kami coba memahami ide Artistic Director, karena dia yang mengangkat soal “Jiwa”, lalu kami mendiskusikannya. “Apa sih jiwa?” “Dalam konteks apa dia dibicarakan?” “Bagaimana hubungan kesenimanan dengan karya seni atau situasi sekarang?” dan sebagainya. Lalu masing-masing mengajukan beberapa seniman pilihan. Tidak terbatas.
Kalau kuratornya dari Indonesia, tidak harus memilih seniman dari Indonesia, sebaliknya juga mereka yang dari luar Indonesia, mereka tidak harus memilih seniman dari Eropa atau dari luar Indonesia. Masing-masing mempresentasikan itu dan mendiskusikannya berdasarkan platform “jiwa” tadi. Meskipun rumit karena definisi jiwa banyak sekali, macam-macam dan bagaimana mengerucutkannya? Tapi akhirnya beginilah hasilnya.
V
Berdasarkan deretan nama-nama seniman yang berpartisipasi pada Jakarta Biennale tahun ini, urgensi apa yang dicari oleh para kurator dengan memilih karya-karya dari seniman senior lokal?
H
Ada beberapa seniman muda seperti, Abdi Karya, Aliansyah Chaniago, usia mereka bahkan belum masuk 30 tahun. Beberapa seniman senior menurut saya tidak mendominasi, yang muda kan tidak harus dari Indonesia. Memang saya kira salah satu kritik tidak langsung Biennale adalah kami cukup kesulitan juga untuk menemukan seniman muda yang cukup berbobot untuk memenuhi atau menanggapi tema “Jiwa” ini, bukan berarti “Jiwa’ itu harus sesuatu yang sangat berbobot tapi menurut saya tema ini khas dan punya kerumitannya sendiri.
Tapi sebenarnya kalau Anda lihat ada satu sesi di dalam Biennale ini yang revisiting the history, jadi menimbang kembali sejarah. Artinya, kami ingin menampilkan beberapa seniman yang di masa lalu, masa lalu itu belum terlalu jauh, dalam dekade-dekade sebelumnya 80 dan 90-an, yang sudah memberi kontribusi penting di dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Dan sejarahnya tidak ada, arsipnya terbengkalai, penulisan tentangnya, penulisan tentang para seniman secara kritis itu sangat sedikit. Kami memunculkan itu untuk melihat lagi.
Coba dilihat lagi Semsar Siahaan, Hendrawan Riyanto, I Wayan Sadra, termasuk karya Siti Adiyati. Karya Eceng Gondok Berbunga Emas ini kan karya dari tahun 1979. Pada waktu ditampilkan pertama kali ukurannya hanya 2 x 1,4 meter. Ketika melihat karya ini waktu dipamerkan di Yogyakarta tahun lalu karena ada pameran kelompok Gerakan Seni Rupa Baru, kami tertarik karena masih merasakan ada sebuah jiwa pada karya ini yang relevan dengan situasi kita sekarang, apa pun itu, sebuah ironi atau pergulatan yang tidak pasti di dalam kolam ini. Ada bermacam-macam makna yang bisa dimunculkan.
V
Dalam berbagai media massa, Anda kerap menulis tentang perhelatan biennale di Indonesia dari tahun ke tahun. Adakah peran siginifikan dari pameran biennale yang dapat memberi pengaruh nyata bagi perkembangan seni rupa Indonesia?
H
Menurut saya iya. Jadi biennale itu pasti melakukan atau menampilkan apa yang tidak mungkin dilakukan oleh seniman sebagai individu, itu yang pertama. Kedua, biennale mestinya melakukan atau mengerjakan apa yang secara normatif selama ini hanya dikerjakan oleh medan sosial seni yang pada umumnya, yang menurut saya memiliki kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang tidak berani melampaui batasan tertentu, tidak mengambil risiko apapun. Menurut saya biennale harusnya menunjukkan itu. Katakanlah crossing border.
Jadi kalau Anda seorang seniman punya mimpi sesuatu, ingin punya proyek yang tidak mungkin Anda lakukan sendiri, dan tidak mungkin bekerjasama dengan institusi lain, institusi komersial misalnya, karena selalu ada pertimbangan-pertmbangan komersial, seharusnya biennale-biennale melakukan itu. Karena biennale adalah sebuah lembaga yang sudah pasti non-komersial dan mau mendorong seluruh upaya penciptaan pada batas-batas yang masih mungkin. Menantang seniman untuk lebih menggarisbawahi ide-ide karyanya, kan, Anda tidak mungkin minta sponsor institusi komersial, lalu buat karya 10 x 20 meter, pasti pertanyaannya “Habis itu apa?” “Biayanya berapa?” Biennale harus melakukan itu, melampaui batas-batas yang masih kita bayangkan. The art of possibility in impossibility.
V
Apa yang tengah anda persiapkan atau rencanakan?
H
Belum tahu ya. Banyak hal yang tidak terduga dalam hidup kita. Ingin menulis saja sebenarnya, kecuali nanti Melati Suryodarmo jadi Artistic Sirector lagi dan saya diajak. Saya senang sekali karena dia seperti buldoser, luar biasa, tidak ada capeknya. Buldoser Jerman tapi rasa Jawa, karena ada intuisi dan kepekaan seorang Jawa yang mengejutkan tapi juga menggebrak.