Haryadhi Dan Aktivitas Kritik Melalui Komik
Anindita Salsabila (S) berbincang dengan Haryadhi (H).
S
Apa yang mengawali rasa penasaran Anda terhadap ilustrasi untuk kemudian dimuat ke dalam komik?
H
Kalau gambar sih sebenarnya karena memang dari kecil sudah senang gambar. Saya sudah senang gambar-gambar di kertas HVS yang di stapler, supaya jadi seperti komik – seperti komik bohongan yang saya gambar sendiri. Karena memang dunia saya sewaktu kecil sudah banyak terpengaruh oleh hal-hal kreatif, seperti video games, untuk bikin komik-komik mirip Dragon Ball, tahu soal Marvel’s, DC – saya suka sama Batman, jadi sudah banyak terpengaruh dari situ.
Ketika menjelang kuliah, sebenarnya passion saya ingin sekali mendalami seni. Tetapi entah bagaimana, pikiran ayah saya saat itu “Jangan seni lah, soalnya seni agak risky.” Dan lucunya, pikiran ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya bertemu Pak Raden. Pak Raden sendiri yang bilang ke ayah saya, “Susah Mas di seni. Mendingan jurusan lain saja.” Jadi ayah saya menurunkan titahnya ke saya, bahwa belajar seni lebih baik melalui kursus saja. Akhirnya, saya mengambil kuliah jurnalistik, harusnya jadi seperti kalian-kalian ini (tertawa).
Tetapi ternyata ketika masa kuliah, saya tidak bisa lepas dari gambar-menggambar. Karena ketika sedang kuliah, sebelum saya magang, kebetulan itu eranya clothing distro. Saya mempunyai teman yang ingin berbisnis di bidang clothing line. Tidak jauh-jauh, akhirnya saya lagi yang membuat ilustrasinya, desain kaosnya, gambar-gambar. Lalu ada lomba desain kaos yang diadakan majalah Juice – waktu itu hadiahnya MacBook. Saya iseng ikut kompetisi tersebut dan akhirnya menang.
Ketika saya sudah lulus, saya mempertanyakan sebenarnya saya mau jadi jurnalis atau berkecimpung di bidang kreatif. Nah sekarang, saya malah ‘kecemplung’-nya di dunia gambar-menggambar.
S
Jadi walaupun tidak menekuni kuliah yang berhubungan dengan praktik seni, Anda tetap terpaut dengan dunia seni ya?
H
Iya, bahkan skripsi saya membahas semiotika dari karikatur di koran Tempo. Jadi tidak pernah jauh-jauh dari dunia ilustrasi.
S
Anda dikenal lewat Kostum Komik dan Komik Jakarta bersama komikus Mice (Muhammad Misrad). Apakah terdapat perbedaan di antara proses pengerjaan keduanya?
H
Ada, sih, perbedaannya. Kostum Komik sebenarnya memang pribadi saya sendiri. Jadi semua bebas. Istilahnya editorial, ilustrasi, mengarang cerita – semua saya yang memutuskan sendiri. Makanya, kontennya sebebas-bebas saya. Mau dibilang kontroversial ya, ya sudah. Sedangkan waktu itu Komik Jakarta ada tim editorial dari tim Komik Jakarta-nya. Dan sebenarnya, perbedaan paling mendasarnya itu Komik Jakarta hanya memotret. Agak mirip, sih, hanya terkadang memotret saja cukup tanpa perlu kritis. Contohnya, seperti orang Jakarta senang menongkrong di pos ronda. Nah itu saja sudah cukup untuk menjadi sebuah konten – tanpa harus kritis. Tetapi kalau Kostum Komik, kalau tidak kritis seperti tidak ada isinya.
S
Jadi para pembaca juga harus sedikit berpikir untuk mengupas makna kontek Kostum Komik ya?
H
Iya. Terkadang saya juga sering terpikir, kalau Kostum Komik hanya sekadar memotret orang jadi bertanya, “Kok tidak kritis sih?”
S
Karya-karya Anda seakan membuktikan bahwa komik juga merupakan medium yang mampu menyampaikan social commentary. Apa yang mendorong Anda untuk memuat keadaan sosio-ekonomi di Indonesia maupun Jakarta ke dalam komik?
H
Motivasinya sebenarnya hanya freedom of speech sih. Istilahnya sekarang semua orang gemar mengomentari segala fenomena di sekitarnya secara nasional maupun terpaku pada satu kota. Karena orang kan mengomentarinya dengan membuat tulisan atau sekadar status update dan saya sudah terlalu malas untuk membuat status, jadi saya menuangkannya ke dalam komik.
S
Jadi kontennya lumayan frequent, ya?
H
Iya. Seperti membuat status update saja.
S
Setiap pengamatan yang Anda lakukan tentunya dikurasi sebelum dituangkan ke dalam bentuk komik. Seperti apa prosesnya?
H
Kebiasaan saya ketika membuka medsos atau berita, saya langsung ‘gatal’ ingin berkomentar. Jadi saya catat dulu di handphone saya, sudah banyak sekali catatan idenya. Sebenarnya hanya tinggal menyesuaikannya dengan kejadian yang terjadi pada hari-hari tertentu. Kalau tidak, misalkan saya sudah membuat sebuah strip tetapi ada isu yang lebih hot atau penting – saya pilih yang lebih penting. Karena takutnya kalau momentumnya sedikit saja terlewatkan, bisa jadi basi.
S
Ketika dihadapkan dengan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, tentunya peristiwa-peristiwa yang muncul di dalamnya tidak berhenti menginspirasi karya komik Anda. Bagaimana cara Anda mempersiapkan diri secara mental dalam menghadapi tanggapan publik nantinya?
H
Caranya adalah dicuekin (tertawa). Biasanya saya lebih memilih untuk cuek. Ya, orang kan bebas berpendapat dan memang saya pun hanya mengemukakan pendapat saya. Jadi kalau sudah up (posted), paling nyaman saya tinggalkan tanpa mengintip kolom komentar saja. Kalau ditanggapi malah tidak ada habisnya. Pasti ada saja yang nyinyir dan jawaban kita sendiri akhirnya malah jadi blunder.
Tetapi saya mengerti sih yang dimaksud “mempersiapkan diri secara mental.” Karena saya juga bukan tipe orang yang tiba-tiba bisa cuek. Saya dulu sempat paranoid. Kemarin saya sempat membuat komik yang membahas kelapa sawit. Sebenarnya, lebih baik bagi saya untuk tidak melihat kolom komentarnya sih. Singkat cerita, awalnya, banyak yang mengira Kostum Komik seolah menerima pesanan dari perusahaan kelapa sawit swasta. Sebenarnya itu merupakan sebuah usaha dari lembaga BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dalam memulihkan nama baik kelapa sawit. Karena Pak Jokowi pun juga sudah mulai mensosialisasikan hal tersebut.
Saya membahas ini karena akhirnya dari pihak pemerintahnya sendiri minta laporan dimana saya harus membaca komen positif dan komen negatif yang masuk satu-satu. Sebanyak 14 strip komik, ribuan komentar mengenai kelapa sawit tersebut, ternyata cukup membuat saya depresi sih (tertawa). Memang tidak enak membaca komentar. Satu strip saja, komentarnya mencapai seribu. “Ini positif, ini negatif. Aduh, banyak negatifnya. Bagaimana ya?” Sebenarnya, lumayan membuat depresi, sih.
S
Apakah itu membuat Anda semakin termotivasi dan terinspirasi? Bagaimana perbandingannya, antara yang konstruktif dan yang destruktif?
H
Kadang-kadang ada yang membuat saya semakin terinspirasi. Jadi kalau ada yang nyinyir, saya jadi lebih memilih untuk menjawabnya di strip komik baru. Sekarang perbandingannya sudah mulai seimbang dengan semua post yang sudah ada sekarang. Bahkan sampai ada kultur berkomentar yang nadanya mirip laporan langsung. Misalnya kalau lihat di Instagram strip komik di-upload jam 2, sudah menjadi kultur untuk berkomentar seperti, “Lapor. Pukul 14:00 WIB. Masih aman. Ganti,” “Lapor. Pukul 14:05 WIB. Sudah terlihat pasukan singa putih. Ganti,” “Lapor. Pukul 14:50 WIB. Sudah mulai ada yang tersinggung. Ganti.” Bisa sampai bawah. Jadi yang pro sudah mulai sebanding dengan yang kontra.
S
Karya-karya Anda berani menyentil isu-isu sensitif di masyarakat yang disampaikan secara humoris. Bagaimana cara Anda mengangkat sebuah permasalahan menjadi humor tanpa dinilai “melewati batas”? Mengingat strip komik yang Anda ciptakan diunggah ke media sosial seperti Instagram dan Twitter – yang penggunanya mudah terprovokasi.
H
Sekarang banyak yang sedikit-sedikit lapor polisi, Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Sebenarnya mudah, saya hanya butuh tahu bahwa tujuan konten saya tetap mengkritik perilaku seseorang dan bukan pribadinya. Tidak menjelek-jelekkan. Misalnya, soal Setya Novanto. Beredar foto saat dia sedang sakit dan menggunakan masker, banyak orang-orang yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah sandiwara dan akhirnya membuat meme yang menjelek-jelekkan pribadinya. Dari segi penampilan yang dibuat mirip Darth Vader, dan sebagainya.
Lucunya, kalau di Amerika Serikat, hal itu dianggap sangat ringan. Tetapi, saya tidak pernah ikut menjelek-jelekkan orang dari pribadinya. Jadi saya tidak pernah terlalu menyinggung terlalu dalam. Apalagi kalau kasusnya belum selesai diselidiki. Sekarang-sekarang ini saya lebih mempertanyakan logika saja. Sekarang punchline-punchline saya kebanyakan lebih yang nadanya bertanya. Menanyakan logika publik dan tidak menyimpulkan sendiri.
S
Menurut Anda, apakah pengguna media sosial di Indonesia sudah menggunakan kolom komentar sebagaimana mestinya?
H
Ya banyak yang komentarnya masih kasar. Ada komentar-komentar yang seakan mewakili orang-orang yang religius tetapi malah berkata kasar dan cenderung menghina-hina. Lucunya, setiap kasus yang terjadi sekarang-sekarang ini yang kena sangsi hukum ITE selalu yang mem-posting. Padahal isi komentar juga banyak yang parah, mereka yang berkomentar seperti selalu saja bisa lolos. Netizen sekarang ini menurut saya banyak yang berkomentar secara impulsif. Di satu sisi, komentar sekasar apapun seperti dianggap angin lalu. Tetapi menurut saya juga, karena netizen kita bisa dianggap cukup heboh, banyak kasus yang justru terselesaikan dengan cepat.
Contoh, ada yang memberitakan tentang perzinaan. Akhirnya digiring massa dan ditelanjangi. Mungkin dulu kita melihatnya seakan itu hal yang biasa di pelosok daerah Indonesia. Tetapi karena semua orang mempunyai kemampuan untuk bisa speak up sekarang, jadi memunculkan berbagai diskusi dari berbagai sudut pandang. Kemudian langsung di follow-up di berita. Terbalik kondisinya sekarang. Malah berita yang mengikuti media sosial.
S
Dan apakah hal tersebut malah memudahkan semua orang tanpa terkecuali, untuk speak up?
H
Iya. Jadi bisa lebih cepat ditindaklanjuti. Misalnya oleh polisi dan pihak-pihak terkait lainnya. Yang paling baru saya mengangkat sebuah kebijakan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai – soal mainan yang dibeli dari luar negeri dan harus membayar biaya lulus SNI dan sebagainya. Respon mereka sangat cepat dan akhirnya dibuatkan peraturan baru dimana saya diperbolehkan membuat maksimal 5 pieces.
Media sosial dapat diibaratkan sebagai dua belah mata pisau. Terkadang kehebohan netizen, jeleknya suka membesar-besarkan sesuatu. Tetapi di sisi lain juga bisa menjadi sarana dalam menindaklanjuti sebuah permasalahan lebih cepat. Bahkan media-media nasional sekarang lihatnya ke netizen. Apa yang diresahkan netizen seperti perlambang keresahan publik.
S
Masyarakat di sebuah negara turut berperan penting dalam menciptakan lingkungan kewarganegaraan yang damai dan sejahtera. Hal seperti apa yang menurut Anda dibutuhkan oleh masyarakat di Indonesia untuk mencapai keadaan tersebut?
H
Harus mulai melek toleransi dari segi apapun. Sekarang masih banyak rasisme yang dijumpai hampir di setiap komentar-komentar yang dilontarkan netizen. Dan tidak hanya dilontarkan kepada satu pihak. Yang seperti itu harus mulai diredam. Atau paling tidak harus cepat ditidaklanjuti dan diberi sangsi jika ada yang berperilaku seperti itu di ruang publik.
Yang kedua, mungkin generasi kita sudah terlanjur rusak. Kalau bisa, generasi di bawah kita harus diberi pendidikan yang mumpuni mengenai toleransi, yang harus tinggi toleransi. Menurut saya sangat disayangkan kalau pelajaran Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PPKN) sekarang sudah ditiadakan – karena toleransi memang diajarkan disitu, bukan? Ketika saya masih SD dulu zaman Order Baru, sih, masih ada pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) (tertawa). Jadi menurut saya, itu merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan harus diadakan lagi untuk menjunjung tinggi toleransi dan menciptakan kedamaian.
S
Selain aktif di media sosial, Anda juga baru saja merilis komik cetak ber-genre thriller – “JITU.” Bagaimana cara Anda melihat benang merah di antara keduanya?
H
Keduanya sangat berbeda, tentunya. Dengan adanya Kostum Komik saya hanya ingin membuat gaya ilustrasi yang cartoony. Sekartun apapun, saya ujung-ujungnya tetap kritis. Sementara, saya sudah berkecimpung di dunia gaya komik yang berbeda dari gaya Kostum Komik memang sudah cukup lama. Diawali sama komik Setan Jalanan yang saya garap dengan drummer Naif – Pepeng. Pepeng menulis ceritanya, saya ilustrator yang mendesain karakter-karakternya.
Kemudian saya sempat membuat RIXA, sebelum JITU. Diterbitkan oleh penerbit Cosmic – bercerita tentang perempuan berprofesi astronot. Komik cetak kebanyakan saya kerjakan dengan nada yang lebih serius dan benar-benar gambar realis. Genrenya lebih ke science fiction. Awalnya RIXA merupakan sebuah proyek untuk mensosialisasikan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) – mirip NASA. LAPAN saat itu sedang membutuhkan medium komik sebagai sarana untuk sosialisasi terhadap anak-anak agar lebih mengenal tentang antariksa dan diharapkan punya ketertarikan terhadap LAPAN agar banyak yang bergabung untuk menjadi scientist, engineer, dsb.
Kalau JITU memang benar-benar action yang berbau hobi hardcore dan R-rated, sih. Banyak adegan semacam kepala pecah, bising suara pistol beradu tembak, dan sebagainya. Makanya akan hanya dijual online. Menurut saya sekarang tidak perlu ragu untuk mengekspresikan pikiran asal tidak melanggar hukum. Dengan JITU, saya ingin menyampaikan busuknya realita kehidupan. Sekarang kita tidak harus terlalu memandang karya itu sebagai perusak moral, dan sebagaiknya karena Indonesia sedang bangkit-bangkitnya. Contohnya dari segi perfilman. Karena The Raid yang R-rated, aktor-aktor Indonesia malah banyak yang go international. Iko Uwais bermain di Star Wars, Joe Taslim bermain di film Fast & Furious. Karya-karya Joko Anwar; yang R-rated maupun tidak, sudah ke mana-mana. Lalu juga baru-baru ini, film R-rated Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak, sekarang kita lihatnya sebagai seni. Dan itu sudah bisa membawa nama harum Indonesia.
Intinya, saya ingin membuat karya yang berdampak. Kostum Komik berdampak ketika orang melihat itu viral, orang jadi diskusi dan mempertanyakan berbagai hal. Menuru saya, itu pun sudah berdampak. Dengan RIXA pun begitu. Banyak ulasan positif mengenai jalan ceritanya karena jarang yang mengangkat cerita tersebut dengan proporsi science dan fiction yang pas. Saya sebenarnya tidak terlalu pintar di Astrophysics atau Engineering. Ketika membuat RIXA, saya mencari mahasiswa berprestasi dari Teknik Aeronautika dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Saya datangi dan bertanya-tanya. Salah satunya jadi teman dekat saya, namanya Maximillian Fansyuri. Dia memang jago fisika dan pernah membuat komik berjudul “Math.” Setiap dia menjelaskan dengan rumus saya hanya mengangguk-ngangguk tidak mengerti (tertawa). Jadi ceritanya penggabungan antara teori dan cerita yang saya tulis. Sedangkan kalau baca JITU, jalan ceritanya juga cukup kritis membahas fenomena geng motor.
Bocoran sedikit, JITU akan menjadi sebuah solusi di dunia distopia Indonesia. Dia akan menjadi sebuah solusi untuk memberantas orang-orang berengsek yang sepertinya masih susah ditindaklanjuti sekarang – masih terlalu banyak penyimpangan-penyimpangan di ranah hukumnya.
S
Setujukah Anda dengan pernyataan bahwa seniman menciptakan karya berdasarkan keraguan serta dilema yang dialaminya?
H
Saya setuju, sih. Seperti mempertanyakan sesuatu. Makanya punchline-nya Kostum Komik akhir-akhirnya selalu menjadi tanda tanya. Mungkin lebih ke meragukan logika dari sebuah peristiwa aja. Misalnya, ada pernyataan-pernyataan seperti kemarin ada demo tentang Facebook yang pro-LGBT. Tetapi ketika profil mereka (yang kontra Facebook sebagai instansi pro-LGBT) diblokir mereka protes mengaku masih butuh Facebook. Meanwhile, yang diteriakkan pun masih terkait kritik terhadap Facebook yang pro-LGBT. Ya kalau gitu, tidak usah pakai Facebook sekalian, kan? Jadi lebih mempertanyakan logika saja.
S
Berarti Anda lebih seperti seniman yang mempertanyakan isu. Mengingat kebanyakan seniman membuat karya berdasarkan keraguan yang ia alami. Misalnya, pergunjingan jiwa sampai akhirnya ia membuat sebuah karya. Menurut Anda, Anda seniman yang seperti apa?
H
Sepertinya kalau mengenai pergunjingan jiwa ada nyambungnya juga. Tetapi sejauh ini, mungkin seperti ketika sedang membuat RIXA. “Ah, masa sih tidak bisa membuat science fiction yang bisa diterima masyarakat? Masa komedi terus?” Kebetulan komik-komik kebanyakan di Indonesia yang laku komedi, sih. Ketika membuat JITU juga seperti itu. “Masa sih action R-rated tidak bisa, sih, diterima masyarakat? Film saja sekarang sudah bisa.” Mungkin lebih ke pergunjingan akan pasar yang sedang berkembang sekarang. Jadi saya mencoba membuat sesuatu agar berhasil menyelesaikan pergunjingan-pergunjingan tersebut.
S
Sebagai seorang seniman yang membuat konten “kontroversial”, adakah peristiwa tertentu yang membuat Anda mempertanyakan keputusan Anda sebagai seorang komikus?
H
Anxious sering sih (tertawa). Anxious, insecure, depresi sering sih. Namanya juga manusia, ya. Kadang-kadang depresi larinya jadi membuat saya berpikir, “Ngapain ya saya membuat ini?” Tetapi di saat yang lain depresi larinya jadi melahirkan karya baru. Malah jadi marah, ingin menantang. Tetapi ada juga titik di mana saya mempertanyakan keputusan-keputusan saya tersebut. Padahal banyak orang yang bisa mendapat uang hasil dari menghibur orang lewat komiknya, seperti Tahilalats. Kebetulan saya teman dekat dengan pembuatnya (tertawa). Dia sangat suportif terhadap Kostum Komik.
Jadi sering sebal sih. Tetapi tergantung mood yang akhirnya membuat saya jadi ingin meneruskan komik ini. Kadang depresi, tapi ya sudah. Lebih besar rasa ingin untuk speak up-nya daripada depresi saya. Karena itu pasti ada dan saya tidak akan memungkiri itu.
S
Proyek apa saja yang sedang Anda persiapkan pada tahun ini?
H
Sebenarnya tidak ingin muluk-muluk dulu, sih. Ingin melanjutkan JITU jilid selanjutnya. Kostum Komik juga mudah-mudahan ada gimmick-gimmick lainnya. Seterusnya, sih, kalau nanti saya cerita jadi terlalu muluk-muluk. Jadi mending kalau sudah jadi saja (tertawa). Takut jinx dan tidak kejadian. Lalu sedang mencoba membuat sesuatu bersama kakak saya. Sebenarnya saya dengan dia lumayan mirip-mirip bakatnya, seleranya juga. Tapi saya belum bisa cerita terlalu banyak. Takut jinx juga (tertawa).
Saya juga baru terpikir keinginan untuk membedakan persona antara Kostum Komik dengan komik strip yang menceritakan kepribadian saya. Kebetulan saya orang yang lumayan sering terkena sial dan saya ingin menceritakan kesialan-kesialan itu (tertawa) ke dalam satu komik strip sendiri. Jadi orang bisa membedakan tokoh di Kostum Komik dan yang tentang saya pribadi. Seperti membuat vlog, tetapi dalam bentuk komik. Saya butuh yang pure komedi – mungkin karya saya bisa dinilai sepenuhnya humoris dari situ, sih. Cerita pengalaman-pengalaman saya yang banyak apesnya.**
**baru hari Minggu kemarin Haryadhi mulai membuat komik strip yang menceritakan tentang kesialan di dalam kesehariannya, @harclogs. Ia mengaku termotivasi untuk memuatnya setelah diwawancara pada hari Jumat kemarin.