Keramik, Desain dan Seni bersama Ayu Larasati
Ken Jenie (K) berbincang dengan desainer keramik Ayu Larasati (A).
by Ken Jenie
K
Kami membaca di Ayularasati.com bahwa Ayu mulai berkonsentrasi pada keramik ketika sudah bekerja. Apakah ini juga saat dimana Ayu berminat dengan seni keramik?
A
Sebenarnya sebelumnya. Di tahun kedua kuliah, murid-murid harus memilih kelas elective seperti membuat perhiasan, keramik, kayu, besi. Saya memilih keramik. Saat itu, saya tidak tahu apa yang diharapkan, saya tidak pernah menyentuh tanah liat ataupun keramik sebelumnya. Lumayan kaget karena sebelumnya, saya terbiasa bekerja dengan besi dan kayu.
Sebagai program, kelas keramik tidak pernah di-highlight, dan majornya sudah ditiadakan. Saat saya mencari ruangan studionya, susah sekali menemukannya. Saya harus menjelajahi kampus untuk menemukan kelasnya, dan ternyata saat menemukan tempatnya, aura kampusnya berubah. Ada halaman belakang, roda-roda tembikar – terasa sangat zen. Suasananya berbeda sekali dengan bagian kampus yang lain.
Saya merasa terintimidasi dengan keramik. Sebelumnya, sebagai desainer produk yang biasa bekerja dengan bahan-bahan seperti kayu, saya agak kaget bekerja dengan tanah liat. Tanah liat itu bisa dibentuk, plastis dan elastis – bisa lebih merentang daripada material seperti besi dan kayu. Desain-desain saya memang lebih organik bentuknya, jadi saya merasa cocok dengan medium ini. Saya merasa bisa lebih leluasa untuk bereksplorasi.
Banyak mahasiswa dari jurusan berbeda mengambil kelas keramik. Ada dari industrial design, jewelry, sculpture installation, dan subjek lainnya yang mengambil elective ini. Hal ini membuat kelas lebih menarik karena berpaduan orang-orangnya.
K
Bagaimana Ayu kembali ke field keramik lagi setelah bekerja?
A
Jadi, waktu itu saya sedang mendesain multi-functional cutting board dengan mangkok, sekaligus strainer, sebuah produk yang akan memudahkan proses memasak. Saat harus merealisasikan ide ini, saya kembali ke workshop keramik dimana saya diajarkan cara menciptakan mangkok dengan cara paling sederhana – proses ini benar-benar suatu perjuangan bagi saya. Meskipun cukup frustrasi bekerja dengan materi keramik, saya merasa ketenangan dan kesenangan di tengah prosesnya.
Saat kuliah, saya banyak bekerja dengan berbagai bahan seperti kayu, besi, dan plastik. Saat mengambil kelas keramik, alasannya sangat praktikal – saya ingin memakai tangan saya karena sudah terlalu banyak memakai komputer. Saya tidak mau menyewa studio dengan alat-alat yg rumit, dan saya mau bekerja di rumah. Akhirnya saya berangkat ke toko seni, beli tanah liat, dan mulai bekerja di rumah.
Melalui tutorial Youtube, saya menjadi lebih mahir bekerja dengan tanah liat. Saat itu tidak ada keinginan untuk menjadi pekerja keramik yang profesional. Saya mengerjakan tanah liat dengan teknik ‘pinching’ untuk membuat benda-benda seperti cangkir kecil, atau mangkok. Akhirnya saya membeli alat-alat sendiri. Untungnya, saat itu banyak barang second hand yang bisa dibeli.
Di hari spesial seperti Natal saya membagi karya saya untuk teman-teman sebagai hadiah. Teman-teman saya sangat senang, dan mereka menyarankan agar saya mulai menjual karya saya. Sebenarnya tidak pernah ada niat berbisnis dan hidup dari aktifitas ini.
K
Aktifitas seperti keramik dan melukis sering digambarkan sebagai kegiatan yang terapeutik. Menurut Ayu kenapa?
A
Untuk orang yang pernah berkarya dengan medium tanah liat, mereka akan ketagihan – tangan-tangan akan gatal jika lama tidak menyentuh tanah liatnya. Menyentuh materi ini membuat orang membumi, dan perasaan ini membawa kesenangan tersendiri. Kenapa demikian? Saya tidak tahu, mungkin karena manusia berasal dari tanah.
Tapi kesenangan ini bukan untuk semua orang. Saat pertama kali saya bekerja dengan keramik, saya merasa suasananya sangat tenang. Meskipun di awal saya bekerja dengan tanah liat, saya merasa sangat frustrasi. Orang perlu menginvestasikan waktu untuk mempelajari prosesnya sebelum bisa menemukan kesenangannya.
Biasanya, pemula tidak mengerti betapa penting ilmu dasar keramik. Jika orang tidak belajar ilmu dasarnya, mereka akan susah menemukan sensasi terapeutiknya. Karena tanpa teknik dasar seperti ‘wedging’, mereka tidak bisa membuat karya seperti yang mereka inginkan. Saya sangat menyarankan untuk menyisihkan waktu untuk mempelajari teknik dasar, karena teknik-teknik ini akan dipakai di semua proyek keramik.
K
Jadi menurut Ayu, seni keramik tidak direkomendasikan bagi orang yang mencari kesenangan secara instan?
A
Mungkin untuk teknik dasar seperti pinching siapapun bisa langsung mulai bekerja. Saya pun mulai tertarik dengan keramik dari aktifitas ini. Ada beberapa level di seni pembuatan keramik. Jika sudah ketagihan pinching, level berikutnya bisa belajar hand-bulding, dan berikutnya wheel throwing.
Banyak yang tidak mengerti bahwa ada beberapa level yang harus dilewati. Seringkali orang ingin langsung mempelajari wheel-throwing, tetapi mereka belum dapat dasarnya. Tanpa bermaksud mematahkan semangat, tapi orang akan cenderung frustrasi bekerja di level-level tinggi, jika mereka belum menguasai level sebelumnya.
K
Bagaimana proses kreatif Ayu dalam berkarya?
A
Saya senang mendengar pendapat orang mengenai karya saya. Saya sering mengajar di workshop-workshop, dan disana saya berbincang dengan banyak orang. Danny Wicaksono sempat berkata bahwa karya saya terlalu kecil – dan dari komentar itu mungkin saya akan mencoba membuat karya yang lebih besar.
Mengenai bentuk, saya senang bermain dengan desain abad pertengahan seperti bentuk-bentuk geometris. Judul karya-karya saya mungkin terdengar cliche. Tanah liat dan glazes adalah mineral yang datang dari alam, sehingga saya tidak bisa menghindari penamaan karya dari terminologi alam itu sendiri. Saya menghubungkan nama-nama di formula glaze dengan judul karya saya, contohnya seperti warna biru datang dari cobalt oxide, jadi saya namai warnanya ‘Cobalt Blue.’
Proses kreatif saya dalam seni keramik banyak berdasar pada desain, karena memang latar belakang saya adalah produk desain. Jadi jika ada masalah personal yang menganggu saya, masalah ini tidak terceminkan di karya saya. Meskipun sekarang memang, karya saya menjadi semakin personal. Karena alasan ini, saya mengambil kesempatan untuk mengikuti pameran EXI(S)T di Dia.Lo.Gue.
Saya pikir, sifat personal dalam sebuah karya tidak bisa di hindari, karena manusia terus berkembang. Sebelumnya, saya senang bekerja sebagai produk desainer dan membuat obyek-obyek fungsional – saya telah mengerjakan ini selama 2 tahun. Sekarang, saya ingin lebih berdiskusi tentang apa yang sedang terjadi di sekeliling kita. Seperti ketika berbincang dengan teman, kita tidak akan hanya berdiskusi tentang tekstur dan bentuk, kita juga pasti akan membahas hal-hal seperti makanan, asal usul bahan pokok kita, dan lain-lain. Saya sangat ingin mencurahkan ekspresi mengenai berbagai isu melalui karya, tetapi dengan format karya saya merupakan objek fungsional, isu-isu ini tidak bisa saya bahas.
Saya selalu bertanya bagaimana caranya agar saya bisa terus berkembang. Selama ini, jawaban orang-orang selalu untuk meningkatkan skala produksi. Jika itu yang harus saya lakukan, saya harus bekerja sama dengan pabrik. Kalau begitu, meskipun nantinya produk-produk akan memakai nama saya, karyanya akan terlihat dan terasa beda. Apakah itu yang saya inginkan? Saya belum tahu.
K
Di profile Ayu, ditulis bahwa “Benda keramik sehari-hari jarang dianggap sebagai obyek berharga.” Menurut Ayu mengapa hal tersebut terjadi dan bagaimana seharusnya bentuk apresiasi terhadap benda-benda tersebut?
A
Di saat kita bangun pagi dan minum secangkir teh, jarang terpikirikan cerita orang-orang yang membuat cangkir tersebut. Ini karena cangkir adalah obyek fungsional dan merupakan hasil produksi massal. Sebenarnya perspektif seperti ini cukup normal terhadap barang-barang seperti baju, makanan, dan barang lain yg kita pakai sehari-hari. Sayangnya pemikiran seperti ini menjadi terlalu umum. Jika mau melihat lebih jauh, proses pembuatan obyek sehari-hari sebenarnya tidak jauh berbeda dengan proses pembuatan karya yg dipajang di galeri-galeri seni. Saya pribadi selalu menyampaikan prinsip saya ke dalam produk, dan prinsip tersebut terus tertanam ketika produk berpindah ke rumah konsumen.
K
Bagaimana caranya untuk lebih mengapresiasi produk-produk keseharian kita? Apa yang bisa dilakukan supaya kesadaraan mengenai esensi cerita suatu produk keseharian lebih tinggi?
A
Saya percaya pada prinsip ‘less is more.’ Saya selalu berusaha untuk menjalin meaningful relationship dengan segala sesuatu yang berada di rumah saya. Dibanding jaman dahulu, sekarang kita bisa lebih memiliki kesadaraan dan hubungan yang baik dengan obyek-obyek yang ada di rumah. Dengan kesadaran yang lebih tinggi akan kurasi konten rumah mereka, kita bisa lebih membangun hubungan yang berarti dengan benda-benda yang ada di rumah.
Cara supaya barang-barang ini mempunyai makna lebih adalah dengan mengetahui siapa yang membuat obyek-obyek ini dan semua cerita dibaliknya. Saya sendiri selalu berusaha untuk menciptakan kesadaran ini pada karya saya dengan datang ke acara-acara yang menjual produk saya. Di sana, saya akan berbagi cerita tentang produk saya. Saya berusaha untuk datang ke semua acara dimana produk saya dijual, menyapa dan ngobrol dengan pembelinya – produk saya tidak akan berpartisipasi di market dimana saya tidak bisa menghadirinya.
K
Apakah Ayu bisa bercerita tentang perkembangan scene keramik di Jakarta?
A
Tidak banyak yang terjadi di scene keramik disini. Saya sampai di Jakarta tahun lalu, dan melalui Google saya baru bisa menemukan tempat dimana saya bisa membeli material dan alat-alat studio. Saya menjalin kontak dengan ibu Antin Sambodo, beliau memiliki home-studio keramik yang menghasilkan karya yang lucu dan dekoratif. Beliau memperkenalkan saya kepada Pak Haryo di Senopati. Pak Haryo orangnya baik banget. Di satu kesempatan, beliau menyatakan keprihatinannya karena sekarang semakin sedikit anak muda yang ke workshop untuk mempelajari keramik. Yang saya pahami dari senior-senior saya seperti Ibu Antin Sambodo dan Pak Haryo adalah tidak adanya regenerasi pelaku di scene keramik.
Pelaku keramik di Jakarta cukup jarang ngumpul dan ngobrol tentang dunia keramik. Saya pernah mengusulkan kepada Pak Haryo untuk mengumpulkan para pelaku keramik untuk berdiskusi santai.
K
Menurut Ayu, apa alasan dibalik masalah regenerasi ini?
A
Bekerja dengan tanah liat adalah pekerjaan yang kotor – sangat kotor. Bekerja dengan material keramik berarti kita bekerja dengan lumpur. Selain itu, bekerja dengan keramik juga membutuhkan banyak tenaga. Saya mengerti kenapa banyak orang tidak mau mencoba keramik, akan tetapi mungkin mereka tidak mengetahui bahwa akan ada kepuasan yang dialami dalam proses ini. Mungkin orang-orang juga berpikir tentang bagaimana mereka bisa menghasilkan uang dari keramik sebelum mengerti bahwa ada proses yang harus dilalui.
Untungnya, dengan eksistensi tempat-tempat seperti Indoestri, saya berharap bahwa ketertarikan untuk belajar bisa terus dilanjutkan, bukan cuma tren sesaat.
K
Dengan tempat-tempat seperti Indoestri dan pengalaman Ayu sebagai pengajar disana, apakah ada peningkatan jumlah orang yang tertarik bekerja dengan tangan mereka sendiri – di pekerjaan yang sifatnya tactile?
A
Saya rasa begitu. Field ini tergolong masih niche dan lebih bersifat hobi, meskipun demikian jumlahnya terus berkembang. Saya rasa ketertarikannya sudah ada, pertanyaanya adalah bagaimana kemudian membuat ketertarikan ini bisa bertahan dalam jangka panjang. Di Indonesia tren cenderung jadi musiman, jadi saya khawatir di masa depan antusiasmenya akan menurun. Tapi nantinya semua bergantung pada bagaimana cara kita mempertahankan spirit ini.
K
Di website personal, ditulis bahwa Ayu tinggal di luar negeri selama satu dekade, dan saat pulang Ayu melihat Indonesia dengan perspektif yang baru. Apa perubahan perspektif Ayu sebelum dan sesudah ke luar negeri?
A
Saya mengalami pertumbuhan spiritual yang sejujurnya agak susah diceritakan. Saya dibesarkan untuk melihat seni dan dunia kreatif sebagai aktifitas yang kurang layak dijadikan sebagai patokan masa depan. Ini adalah salah satu alasan saya untuk memutuskan mempelajari industrial design, karena masih berhubungan dengan bidang eksakta. Meskipun sebenarnya, di masa lalu saya lebih sering melukis dan mengikuti aktifitas kreatif.
Di Kanada, saya melalui banyak hal yang membantu saya untuk bisa hidup.
Waktu saya pulang ke Indonesia, saya melihat bahwa anak muda disini kurang menghargai kondisi mereka. Karena sebenarnya kalau dilihat dari perspektif yang optimis, Indonesia adalah tempat yang menyediakan banyak kesempatan dan sumber daya untuk bisa berkembang.
K
Sebagai salah satu partisipan di pameran EXI(S)T, apakah ini turning point dimana Ayu Larasati bertransfromasi menjadi seniman, bukan lagi sebagai desainer produk?
A
Saya rasa iya, tetapi sejujurnya saya tidak bisa memanggil diri saya sebagai ‘seniman.’ Ini mungkin perlu di-demystify, tetapi seniman itu adalah gelar yang sangat berat, seperti mengejar gelar post-doctoral (ketawa). Seni adalah politik, perlu untuk menjadi kritis dalam melihat keadaan sosial – seniman harus tahu dan sadar akan banyak hal.
Mengenai posisi saya sebagai produk desainer, sampai sekarang saya masih menikmatinya dan saya pun masih membuat obyek-obyek fungsional. Di sisi lain, seni murni memungkinkan saya untuk lebih proaktif terhadap banyak hal – saya bisa menjadi aktivis. Selama ini, saya memiliki beberapa concern mengenai seksualitas dan isu-isu sosial lainnya, dan saya tidak bisa mencurahkan pemikiran ini melewati desain produk.
K
Apa proyek-proyek Ayu di masa depan?
A
Saya ingin menginisiasi workshop dimana orang bisa belajar keramik dari nol. Saya ingin membuat seri workshop dengan tujuan agar orang-orang yang berpartisipasi bisa mempelajari keterampilan teknis. Mudah-mudahan, setelah workshop mereka sudah menguasai teknik-teknik dasar keramik. Saya berencana merenovasi studio saya, dan setelah itu akan saya akan memulai seri workshopnya.