Yori Antar Berbagi Visi dan Opini Terhadap Arsitektur Indonesia
Kami menemui arsitek, Yori Antar untuk membahas arsitektur lokal dan isu ruang di Indonesia.
Words by Whiteboard Journal
Dikenal sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara, Yori Antar telah berhasil membuat publik kembali mengapresiasi arsitektur lokal dan melestarikan Wae Rebo sekaligus memberdayakan masyarakat lewat formula arsitekturnya.
Ayah Mas Yori, Han Awal merupakan salah satu nama senior di dunia arsitektur. Alih-alih langsung mengikuti jejak ayah, Mas Yori awalnya mengambil studi Teknik Mesin di bangku perkuliahan. Bagaimana akhirnya bisa memilih kembali bidang ini?
Sebetulnya memang ayah saya seorang arsitek, tapi dari dulu cita-cita nya dekat dengan dunia dirgantara. Nah, beliau memberi saya nama “Yori Antar” pun terinspirasi oleh satu kosmonot Rusia, Yuri Gagarin yang mengantariksa. Jadi terbawalah jiwa dirgantara tersebut dalam diri saya, makanya saya masuk jurusan mesin.
Tapi waktu di mesin, ternyata saya jadi bodoh sekali – nyaris drop-out lah. Akhirnya saya pindah ke jurusan arsitek yang mana di dunia ini saya merasa seperti ‘pulang’ ke rumah sendiri. Hal ini sebagian besar dikarenakan keseharian saya sebelumnya yang berurusan dengan arsitektur – rumah, sekolah, rumah sakit, dan gereja semua dibikin oleh ayah saya sebagai arsitek. Saya sudah biasa melihat bangunan-bangunan, ditambah dulu setiap weekend saya sering diajak untuk keliling ke proyek-proyek yang sedang dikerjakan beliau, jadi sudah terbiasa. Arsitektur merupakan suatu hal yang sangat familiar bagi saya, dan ternyata bakat terpendam saya juga ada di sini.
Gaya desain Mas Yori dikenal dengan gaya postmodernism – bold, kompleks dan detailed – sedikit bergeser dari bentuk desain arsitektur pada umumnya. Namun di waktu bersamaan, Anda juga dikenal sebagai Pendekar Arsitektur Nusantara karena memunculkan kembali arsitektur lokal yang sempat dilupakan. Rumah Adat Mbaru Niang di Wae Rebo menjadi yang pertama dan paling dibicarakan. Apakah memang dari awal Anda ingin fokus pada pendekatan ini dalam karya-karya Anda?
Jadi begini, dari awal ayah saya adalah arsitek modern, bisa dikatakan sebagai generasi pertama. Dan tentunya pada zaman saya itu, kan, sudah berubah. Di zaman saya itu memang iklim postmodernisme sedang marak. Dan akhirnya saya jadi terbawa oleh aliran itu. Sedangkan nanti di waktu lain bisa muncul lagi aliran-aliran yang terbaru dan seterusnya.
Buat saya arsitektur itu bukan fashion
Dari konsep minimalis, lalu lagi-lagi green, saya jadi berpikir “Lho, kok arsitektur jadi seperti musiman begini ya?” Buat saya arsitektur itu bukan fashion. Maka dari itu saya coba melakukan sesuatu perjalanan ziarah arsitektur – keliling dunia bersama teman-teman sesama arsitek saya untuk melihat karya-karya arsitektur ternama di dunia. Tapi tidak semua jawaban saya terpenuhi setelah melakukan perjalanan arsitektur ini. Malah ujung-ujungnya, ketika saya melihat karya arsitektur di beberapa penjuru dunia, saya malah melihat arsitektur di Indonesia. Hingga suatu saat saya sudah mulai bosan dengan arsitektur modern dan industrial – saya mulai pergi ke tempat yang lebih rustic – lebih banyak nilai kelokalan nya – di mana Tibet jadi pilihan saya.
Ada sesuatu yang tidak terlupakan mengenai perjalanan ini. Saya dan teman-teman memutuskan untuk menulis buku “Tibet di Otak”. Lalu kami iseng meminta kata sambutan untuk buku ini kepada Dalai Lama. Herannya, pada saat itu ia langsung merespon. Kami mendapatkan kata sambutan yang sangat dahsyat dari dirinya sebagai seorang pemimpin agama Buddha di Tibet dan seorang politik. Ia bilang begini dalam kata sambutannya, “Walaupun tidak banyak orang Indonesia mengenal Tibet, tapi dari dahulu sampai kini kami selalu mengenang Indonesia melalui guru besar kami asal India, Atisa Dipamkara yang telah berguru selama 8 tahun bersama Lama Serlingpa (pemimpin tinggi umat Buddha). Serlingpa adalah Suwarnadwipa yang berarti “golden islands” yang adalah Sumatera.”
Ternyata Lama Serlingpa adalah seorang Dharmakirti dari Sriwijaya. Artinya orang lain lebih kenal dengan bangsa kita dibanding kita sendiri, entah kelamaan dijajah atau bagaimana jadinya amnesia dan tidak mengerti sejarah nya sendiri. Di saat itulah saya merasa terdorong untuk melakukan perjalanan ke dalam – melihat Indonesia. Saat perjalanan di dalam negeri itu saya melihat arsitektur Toraja, Batak, juga Nias, tapi kemudian pada tahun 2008 saya memutuskan untuk berhenti menjadi turis karena saya dipertemukan dengan Wae Rebo.
Sejak saat itu saya berkata pada diri saya sendiri kalau saya tidak lagi ingin menjadi turis, melainkan menjadi bagian dari masyarakat. Dengan hadir bersama masyarakat, melestarikan budayanya terutama budaya yang hampir punah. Dari tujuh rumah adat di sana, waktu itu tinggal empat di mana dua juga sudah rusak, dan satu per satu kami bangun hingga kembali jadi tujuh bangunan. Dulu Wae Rebo yang nyaris tidak pernah dikunjungi oleh orang Indonesia, sekarang bisa ada 7000 turis per tahun. Artinya apa? Dari 7000 turis yang datang ini, mereka membayar guide, porter, tempat tinggal, kuliner, semua uang yang dikeluarkan oleh turis jatuh kepada Wae Rebo nya sendiri. Di sini saya menemukan suatu formula bagaimana melestarikan Wae Rebo sekaligus memberdayakan masyarakatnya juga. Menurut saya ini adalah formula yang luar biasa. Dan setelah Wae Rebo ini, kami juga sudah melestarikan hampir 15 desa adat, di antaranya ada desa adat Batak, Minang, Papua, Sumba, Kalimantan, dan Sulawesi.
Bisa dikatakan gaya desain Anda yang seperti ini tidak terlalu pasaran pada umumnya, terutama pada desain tempat tinggal. Kebanyakan memilih sesuatu yang simple. Sedangkan untuk bentuk seperti ini tidak se-eksploratif dalam aspek estetikanya. Bagaimana pendapat Anda? Apakah ada yang lebih baik antara desain simple yang mengutamakan fungsi dan aesthetic-based design tadi?
Kembali ke pendapat saya akan arsitektur bukan lah fashion itu tadi. Jadi sebenarnya estetika itu nomor kesekian, yang pertama adalah fungsi. Estetika tidak akan ada gunanya kalau kita membangun bangunan yang tidak berfungsi. Misal, kalau saya bikin rumah dengan hanya mencari tampak luarnya saja, tetapi ruangan di dalamnya tidak bisa saling bekerja sama, ya bubar orang-orangnya. Sedangkan kalau aspek estetikanya kita masukkan ketika layout-nya sudah benar dan berfungsi antara ruangnya, itu yang membuat bangunan – arsitektur ini akan menjadi eternal. Dan ini yang nantinya akan buat orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman. Pada dasarnya orang-orang memang mencari sesuatu yang sifatnya jangka panjang. Dengan gaya saya, saya buat sifat jangka panjang itu dengan bermain di aspek space. Di ruang-ruang. Jika saya hanya mencari sisi estetika nya saja, saya akan terjebak dalam pemikiran bahwa arsitektur adalah fashion.
Namun dalam membuat desain arsitektur, menurut Anda, sebenarnya aspek apakah yang paling penting untuk diperhatikan?
Arsitektur harus mengambil dua hal: baik dan benar. Baik dari sisi desain, benar dalam sikap. Kalau saya bikin rumah bergaya Italia, saya bisa buat rumah itu terlihat cantik, sehingga dari sisi desain sudah baik ya. Tapi lalu kemudian saya tempatkan rumah ini di tengah-tengah perkampungan masyarakat Betawi, maka artinya desain tersebut tidak benar. Tidak benar secara budaya dan iklim, dan tidak nyambung sama sekali akhirnya. Lingkungannya tropis, tapi gaya bangunan malah sesuai dengan musim dingin. Tidak cukup kalau hanya jadi baik saja, dan begitu juga sebaliknya. Dua hal ini harus sejalan.
Sedangkan untuk arsitektur tradisional itu jelas arsitektur yang dibangun dari satu generasi ke generasi lainnya dengan desain yang begitu-begitu saja – konsisten. Karena desain yang mereka miliki sudah mencapai puncaknya pada masa itu untuk menyelesaikan atau mengantisipasi segala permasalahan hidup keseharian mereka. Misal bagi masyarakat adat Toraja, apakah mereka setiap tahunnya mengeluarkan Rumah Toraja versi terbaru? Jelas tidak. Desain rumah Gadang mereka ya seperti itu saja terus. Maka dari itu, pada saat saya melestarikan rumah adat, saya menyarankan pada masyarakat adatnya sendiri untuk bikin seasli-aslinya, dengan peralatan, cara, dan ritual yang seaslinya juga jika itu memang berkaitan dengan rumah adat mereka. Jika setelah itu mereka ingin jadi modern, “Saya mau bikin taman bacaan dong. Atau homestay dan rumah makan juga.”
Silahkan jadi modern, tapi tidak di ring – zona 1 di mana kalau di dunia arsitektur itu merupakan area yang sifatnya dianggap sakral seperti rumah adat. Zona 2 (buffer zone/penyangga) dan zona 3 – zona penunjang yang sifatnya itu support. Misal sekolahan, klinik, taman bacaan. Jangan sampai masuk ke zona rumah adat itu tadi. Dan waktu saya tes strategi ini di Wae Rebo, berhasil. Mereka tetap bangun rumah adat mereka pakai beton, besi, dan sejenisnya, tetapi ketika jadi bangunan mereka tetap asli tradisional. Kita memang hidup di era modern, maka ketika kita membangun fasilitas-fasilitas penunjang itu tadi ya tidak perlu mengacu pada tradisi. Tapi alangkah baiknya kalau kita bisa mengambil inspirasi dari tradisi itu lalu kita bawa sebagai inspirasi yang baru, sehingga dalam perkembangan dunia arsitektur pun orang lain akan menghargai kita karena kita bukan sekadar followers. Kita muncul dengan diri kita sendiri, dan kekayaan milik kita tetap harus kita tampilkan.
Sebagai arsitek untuk beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Jakarta, apakah Mas Yori juga menerapkan pendekatan gaya desain tersebut?
Salah satunya saya terapkan di rancangan Lapangan Banteng sekarang. Jika dilihat desainnya, saya seperti kembali ke masa pertama kalinya Lapangan Banteng didesain dulu. Modern dan klasik, tidak ada ornamen-ornamen sesederhana apapun. Desain juga dibuat minimalis karena masa itu adalah era Frederich Silaban, jadi saya tidak boleh mengganggu si monumen Silaban ini. Di sini saya hanya sebagai komplemen. Tentu penerapan ini akhirnya berhasil.
Mengingat Jakarta pada dasarnya, kan, ‘modern’, tidak punya culture sendiri.
Kalau melihat Lapangan Banteng yang sekarang, seakan-akan Lapangan Banteng yang tadinya telah hilang, tiba-tiba muncul lagi. Dan Patung Selamat Datang sekarang jadi primadona – semuanya di-drone, semua difoto dari atas keseluruhan nya sekaligus pohonnya yang melingkar itu – indah sekali. Bisa dikatakan ini bukanlah pembangunan ulang, melainkan kelahiran kembali Lapangan Banteng setelah sekian lama dilupakan. Hal ini juga akhirnya membuat orang-orang ingat, “Eh, kita punya Patung Pembebasan Irian Barat”. Maknanya apa? Sampai kapan pun kita harus fight untuk mengambil hati orang-orang Papua. Orang Papua lihat itu langsung bicara ke saya, “Ayo, Ri, bikinkan Lapangan Banteng juga di tempat kami. Itu perlu dikenang tidak hanya di Jakarta, tapi di tempat kami juga harus dibangun.”
Kalau RPTRA di sini yang saya rancang semua bangunan fungsional karena mengikuti bangunan Jakarta. Mengingat Jakarta pada dasarnya, kan, ‘modern’, tidak punya culture sendiri. Sekarang mereka sering mengikuti gaya arsitektur real estate atau gaya Spanyol lah, tidak ada identitas pokoknya. Tapi begitu ada RPTRA dari Minang, saya sesuaikan dengan budaya asalnya. Kalau mau melihat desain modern saya itu ada di Solok Selatan. Di sana saya membuat Minang yang modern, yang masa kini, tapi tetap beridentitas Minang. Jadi, dengan arsitektur Gadang saya bawa desain tersebut ke masa sekarang dan masa depan. Arsitektur tradisional itu bukan arsitektur yang sifatnya frozen, bukan arsitektur yang mati. Ia bisa di-kini-kan – disesuaikan dengan kehidupan keseharian kita. Bukan berarti kita harus pindahkan arsitektur Jakarta lalu bawa ke Minang – ini tidak perlu karena arsitektur tidak kaku seperti itu.
Tetapi harus diakui bahwa Jakarta sendiri krisis ruang di mana orang-orangnya dapat berkumpul bersama di tengah-tengah kota. Bagaimana pendapat Anda, apakah di sini keterbatasan lahan memang jadi penyebabnya? Jika benar, ironisnya pembangunan-pembangunan gedung atau pusat perbelanjaan pun tetap berjalan.
Lahan yang kita miliki banyak, tetapi tidak pernah dihidupkan. Kalau suatu lahan tidak pernah dihidupkan, maka bisa jadi rawan entah itu sarang kriminal, prostitusi, dan segala macam. Dan sudah seharusnya kita ambil lahan-lahan hijau ini untuk dijadikan ruang publik agar semakin banyak kuantitas ruang tersebut. Jakarta sebenarnya sudah sangat telat dalam hal ini. Dan kenapa kita butuh banyak ruang publik? Supaya interaksi masyarakat bisa jadi lebih baik antara satu dengan yang lainnya.
Misal di Kalijodo, orang yang pakai baju seharga 2 juta sama orang yang bajunya hasil pinjaman bisa main bersama. Kalau begini, kan, bagus karena akhirnya bisa mengurangi sekat-sekat kecurigaan. Jakarta ini memang aneh sekali. Ruang publiknya malah dibuat di mall. Tindakan seperti ini sudah salah. Jakarta itu pada dasarnya ruang tropis, jadi harusnya lebih banyak kehidupan outdoor. Hal paling kecil yang bisa kita lakukan sekarang adalah menjaga dan memanfaatkan ruang-ruang publik yang sudah ada – jangan sampai kita biarkan mati itu tadi – agar massa pun semuanya dapat menikmati.
Terdapat hal paling menarik dari upaya restorasi yang Mas Yori lakukan bersama Rumah Asuh yang Anda bentuk, di mana proyek-proyek kalian dikerjakan bersama masyarakat daerahnya langsung, bukan memanfaatkan pihak (kontraktor) dari luar. Ada alasan tersendiri mengapa Anda melakukan hal yang bisa dikatakan tidak biasa ini?
Pertama, karena kontraktor dari luar juga tidak mengerti. Kedua, kalau kita panggil kontraktor dan mau itu rumah dibangun dengan sebaik-baiknya, masyarakat tetap tidak akan pakai karena sesederhana itu bukan rumah mereka. Tidak ada ritual mereka yang dilakukan dulu sebelumnya, tidak ada kontribusi dari mereka, tidak ada program pembelajaran. Jadi dengan membangun rumah ini bersamaan dengan masyarakatnya sendiri, artinya ada recalling memory yang dimunculkan. Mengembalikan ingatan, sehingga mereka yang membangun akan mendapatkan manfaatnya sendiri. Dan yang terpenting adalah proses pembangunan oleh mereka sendiri menjadi proses regenerasi ke generasi masa depan. Kalau kontraktor yang membangun ya masyarakat hanya sebagai penonton. Dan setelah bangunannya selesai apakah masyarakat ini mau pakai? Malah tidak, karena tidak sesuai dengan ritual dan cara membangun mereka.
Salah satu contohnya di Wae Rebo, untuk mereka bisa menebang pohon mereka harus ajak bicara pohon tersebut terlebih dahulu. Minta izin. Kalau pohonnya bilang “nggak boleh!”, ya tidak jadi ada penebangan. Kita dan kontraktor bisa menebang pohon seluas satu hektar, ya tapi memang kita orang rakus. Sedangkan masyarakat ini adalah penjaga hutan. Mereka lebih punya kode etik dalam menjaga warisan. Selain itu apakah masyarakat adat juga memohon IMB pada RT atau kecamatan sebelum membangun sesuatu? Pengajuannya ke leluhur mereka sendiri. Artinya apa? Ada Paganisme di sini. Animisme berjalan, paganisme juga berjalan. Setelah bangunan selesai, mereka melakukan prosesi pemberkatan rumah dengan memanggil Pastur. Artinya budaya dan agama sudah dibuat sedemikian selaras dalam kehidupan mereka. Dan ritual ini selalu dijalankan oleh mereka. Mau saya bangun rumah se-modern apapun jika itu di tempat mereka, mereka akan izin dulu ke leluhur mereka.
Selain itu, Rumah Asuh juga mengajak banyak mahasiswa Arsitektur untuk terlibat dalam pembangunan dan restorasi rumah adat. Apakah ini salah satu cara Anda untuk mengenalkan ilmu arsitektur nusantara yang notabene tidak diajarkan di institusi pendidikan?
Selama melestarikan desa-desa adat saya memang mengirimkan mahasiswa-mahasiswa ke pedalaman. Saya minta mereka live in di sana, setelah itu pulang dengan membawa tulisan yang berisikan ‘harta karun’ yang lalu dibuat menjadi buku. Melalui buku ini kita melakukan suatu perubahan dalam perguruan tinggi. Kenapa? Selama ini buku-buku arsitektur yang masuk ke perguruan tinggi itu datangnya dari luar negeri. Sama sekali tidak buku mengenai arsitektur Indonesia. Ketika tiba-tiba pembangunan rumah adat di Wae Rebo dimunculkan, baru lah banyak yang menyadari kalau arsitektur tradisional kita sebenarnya adalah arsitektur masa depan kita. Masalahnya adalah bagaimana tradisi tersebut bisa kita selamatkan, kita lestarikan, dan lalu tradisi itu kita bawa ke masa kini dan setelahnya ke masa depan. Jika kita berhasil membawa tradisi ini ke masa depan, artinya kita akan bikin tarian dan lagu kita sendiri yang nantinya akan diikuti oleh orang lain. Jadi saya coba melakukan penggalian-penggalian cara – setelah saya melestarikan, saya bawa ke masa kini yang lalu bisa dipelajari oleh mahasiswa-mahasiswa sekarang.
Indonesia itu mau diadu dari apanya sih? Kalau mau adu modern dan teknologi, jelas kita followers lah. Tapi kalau adu budaya? Kita juara satu di sini!
Arsitektur nusantara itu sejatinya tidak bisa dipelajari secara teks atau teori karena tidak bisa ditulis. Seluruh perguruan tinggi kita memiliki mindset modern-industri yang mana semuanya diajarkan melalui tulisan. Civilization adalah hasil industrialisasi, padahal masyarakat kita adalah masyarakat tradisi. Tidak bisa ditulis. Lalu bagaimana kalau tidak bisa ditulis? Para mahasiswa yang dikirimkan ke desa adat, mereka sebagai masyarakat masa kini dengan segala peralatan modernnya seperti handphone, laptop, kamera, hingga drone, bertugas membawa tradisi-tradisi yang mereka lihat dan rasakan di sana ke masa kini – kepada khalayak lebih luas. Terjemahkan bahasa lisan di sana menjadi bahasa ‘tulisan’.
Sepertinya memang salah satu permasalahan paling besar di Indonesia ialah kurangnya mengenali dan apresiasi budaya sendiri hingga budaya kita lebih banyak dikenal oleh pihak luar. Menurut Mas Yori, mengapa ini kerap terjadi?
Orang modern – kita yang sekolah – menganggap masyarakat tradisi ini peninggalan zaman pembodohan. Orang-orang yang tidak bisa menulis itu orang bodoh. Agama modern yang masuk adalah peninggalan zaman kegelapan. Masa batu disembah? Pohon diajak berbicara? Kalau hal-hal seperti ini terus kita anggap ‘gelap’ dan bodoh, ya, hapus saja sekalian budaya kita. Kalau ditilik lebih dalam lagi, Indonesia itu mau diadu dari apanya sih? Kalau mau adu modern dan teknologi, jelas kita followers lah. Tapi kalau adu budaya? Kita juara satu di sini! Kita harus menciptakan ‘nyanyian’ dan ‘tarian’ kita sendiri sehingga orang lain yang nanti ikut kita. Tapi kalau budaya sendiri saja kita tidak mau ambil, ya nantinya malah akan diambil oleh orang lain.
Contoh, siapa yang mendirikan Schools of Bamboo di Bali? Orang luar kan. Penggagasnya siapa? Mereka. Bahan dan cara membuatnya datang dari siapa? Orang Indonesia. Lalu, Hotel Nihiwatu di Sumba – salah satu hotel termahal di dunia – bule juga yang punya. Wisata Raja Ampat, Kapal Pinisi Silolona dimiliki sama orang di luar bangsa kita. Lihat yang sudah naik kapal ini, Leonardo DiCaprio, Angelina Jolie, Gwyneth Paltrow – semua seleb dunia. Tapi dari semua contoh itu, apa yang sebenarnya dijual? Indonesia. Yang mengkonsumsi siapa? Ada orang Indonesia juga. Lalu uangnya ke siapa? Ke pihak luar negeri lagi dong. Jadi sebenarnya kalau kita mau menghapuskan budaya kita, kita hanya akan jadi bangsa followers yang tidak lebih dari battery di film Matrix, hanya jadi robot tanpa otak. Kita mengikuti genderang dan tarian orang lain. Hanya jadi bangsa pekerja saja, bukan pencipta. Saya rasa di sini lah pentingnya mengenal dan memahami budaya.
Anda dan Yayasan Widya Cahaya Nusantara mengadakan pameran “Asmat Melihat Dunia” bisa sebagai upaya revitalisasi dan membuka akses bagi masyarakat luas untuk mengenal budaya Asmat lebih dekat lagi. Boleh diceritakan alasan memulai pameran ini, dan konsep apa yang akan dibawakan?
Sekitar 3 tahun yang lalu, saya bertemu dengan Pak Brunoto, ketua dari Yayasan Widya Cahaya Nusantara yang mengundang saya bertemu dengan Bapak Keuskupan Agats di Asmat untuk merancang Museum Asmat. Pak Brunoto yang saat itu sudah lebih dulu pergi ke sana pun tergerak untuk membantu Asmat. Namun setelah melihat sendiri museumnya, saya tidak bisa berbuat banyak karena konstruksinya sudah dibangun pada saat itu – dan dibangun oleh seorang sipil pula. Seorang sipil, kan, bukan seorang arsitek yang mengerti masalah budaya, dan lebih melihat kepada aspek kekuatan, fungsi, dan sejenisnya. Ditambah permasalahannya adalah ternyata kita terjebak dalam mindset masyarakat modern yang selalu memiliki pikiran “apa-apa dijadikan museum”.
Asmat berada di pedalaman, sedangkan museum lebih cocok berada di kota-kota besar. Setelah saya berdiskusi dengan masyarakat Asmatnya sendiri, jelas masukan dari mereka, “Kami menaruh barang itu di hutan dan ladang.” Artinya apa? Mereka ini adalah masyarakat outdoor, sedangkan museum merupakan budaya indoor. Dua hal ini sangat berbeda. Itulah mengapa bagi masyarakat nya sendiri, mereka melihat Museum Asmat ini sebagai gudang, karena mereka tidak bisa melihat benda-benda itu dijadikan satu dalam satu ruangan. Mereka bilang, “Nggak ada rohnya! Museum ini lama-lama ditinggalkan oleh ‘penghuni’-nya.” Artinya mereka melihat museum itu bukan sebagai benda hidup lagi, tetapi benda mati.
Kalau kita, kan, memang selalu melihat barang-barang di museum itu adalah benda mati, tapi tentu berbeda bagi orang Asmat yang melihat benda-benda tersebut memiliki nyawa. Itulah seharusnya seharusnya kita lebih cenderung menjadikan desa adat tersebut lah sebagai museum yang hidup, dengan pendekatan living culture yang menghadirkan segala tradisi dan budaya mereka.
Apa yang dihadirkan di pameran “Asmat Melihat Dunia” ini adalah sample dari Museum Asmat yang nantinya akan kita revitalisasi dari hasil penjualan karya-karya ukir asli masyarakat Asmat di sini. Bisa dilihat, kan, semua benda – karya ukir ini kami tempatkan di luar, dikelilingi panggung, rawa-rawa, dan contoh rumah adat mereka. Dengan museum living culture ini, turis yang nantinya datang pun bisa melihat tarian-tarian dan budaya Asmat secara langsung. Nah, nantinya ruangan museum yang sudah ada akan lebih berisikan sejarah yang dikurasi dengan foto-foto dan keterangan, sehingga orang-orang modern juga bisa menikmati.
Selain itu, Asmat ini sudah lebih terkenal dari Papua dari zaman dulu. Di Amerika, banyak museum yang menampilkan Asmat. Di Perancis, museumnya juga banyak. Belum lagi Jepang, Belanda, Jerman, Australia. Sedangkan di Indonesia, silahkan kalian lihat sendiri seperti apa. Di luar, patung Asmat yang tua sampai dirawat, dipelajari, bahkan sampai disuntik, ditutup pakai kaca seperti sarkofagus saja, diperiksa pakai larutan kimia dan segala macamnya – repot sekali. Di Indonesia? Mungkin ada saja pikiran “biar mampus, tuh, Asmat”. Ini jatuhnya sudah persoalan budaya – krisis budaya. Kita cenderung ingin mengubah budaya. Budaya orang ingin kita ubah sampai mereka kelaparan sendiri.
Museum ini membantu mengangkat masalah budaya itu tadi. Kenapa namanya “Asmat Melihat Dunia”? Karena selama ini kita melihat Papua, bukan Papua yang melihat kita. Kita ingin mengubah orang Papua, sedangkan kita juga diubah sama orang lain. Kan salah jadinya. Jangan kita mengajari orang Papua, misal, makan steak pakai piring dan wine di meja ala gaya Inggris, ya karena tidak nyambung. Ini, kan, sama saja dengan memaksakan budaya. Namun maksud saya adalah bukannya ini menjadi sesuatu kegiatan yang sifatnya frozen, atau bukan berarti saya meromantisasi segala yang sifatnya tradisional ini tadi. Saya akui saya tetap orang modern, tetapi lebih baik kita jadi modern dengan wajah kita sendiri, bukan modern yang dicekokin sama orang Eropa, Amerika, Arab, Korea, Jepang dan lainnya. Kita akan jadi seseorang yang modern dengan diri kita sendiri.
Jakarta ini memang aneh sekali. Ruang publiknya malah dibuat di mall
Budaya Asmat hanya dikenal oleh pihak-pihak luar Indonesia. Museum di Agats Asmat, Papua pun hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan karya seni khas Asmat. Melihat hal ini, kira-kira apa yang membuat belum ada yang mencoba untuk memulai mengangkat tema dan merenovasi Museum Asmat ini sebelum upaya pameran ini dicanangkan?
Saya merasa masih banyak orang yang sulit untuk menghargai karya-karya penuh tradisi. Misal ada seorang bapak yang ingin kita menyumbang tetapi akhirnya dihalangi oleh istrinya karena ia menganggap barang itu tidak ada gunanya di rumah. Mata kita tertutup dari value lain di balik karya tersebut. Saya beritahu di sini, ukiran Asmat itu sangat lah priceless. Sangat unik. Ukiran ini mereka lakukan sebagai ritual mereka.
Hal yang membedakan Asmat dari suku lain adalah mereka menganggap ukiran-ukiran yang mereka buat sebagai bagian hidup mereka, cara mereka mengungkapkan spiritualitas diri. Keunikan ini rasanya tidak ada lagi yang lain yang bisa ditemui di dunia. Dan kalau dari kita sendiri tidak ada sesuatu badan, yayasan atau personal untuk menghargai kembali, tidak lama lagi bisa saja punah. Seperti contoh, ada beberapa patung ukir Bis Pole yang sangat besar yang ada disimpan di luar negeri tetapi sudah tidak ada lagi di Indonesia sendiri. Kalau saja terdapat perhatian dan upaya besar yang bersifat serius dan jangka panjang yang kita atau pemerintah lakukan lebih cepat, hal tersebut seharusnya bisa saja terhindari.
Sebenarnya sudah ada yang sempat dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah merasa ingin melakukan sesuatu bagi masyarakat-masyarakat adat ini, tapi saya melihat penanganan nya masih kurang dan tidak hati-hati. Harus belajar dari Rumah Asuh yang melakukan pendekatan dari dalam, langsung ke masyarakat nya sendiri. Harus tetap bisa melihat nilai tradisi dari desa adat tersebut. Jangan sampai malah asal membangun menggunakan kontraktor seperti biasanya. Kalau terus begitu, kan, akan bisa menghilangkan nilai awal rumah adatnya yang tadinya masih ada.
Tetapi menurut saya sebenarnya salah satu yang penting untuk mulai mengenal dengan budaya lokalnya sendiri adalah anak-anak muda sekarang ini. Bagaimana pameran “Asmat Melihat Dunia” ini mengemas bentuk gelarannya hingga bisa menarik perhatian anak-anak muda?
Keberadaan museum itu adalah menjadi salah satu sumber keilmuan yang akan berkelanjutan, dan kalau Museum Asmat ini berhasil, artinya kita juga berhasil membuat formula baru yang nantinya bisa diaplikasikan ke dalam museum-museum lain di Indonesia yang tadinya hanya berupa bangunan kosong. Living museum lainnya akan bisa muncul untuk menampilkan hidupnya Indonesia.
Memang ironisnya anak-anak muda sekarang datang ke museum dan melihat acara pameran seperti ini sebagai suatu ajang yang tidak menarik. Namun justru selama “Asmat Melihat Dunia” diadakan dari kemarin, banyak anak-anak muda yang sudah datang ke sini. Dan sebenarnya bukan terjadi saat ini saja. Selama saya mengirimkan mahasiswa-mahasiswa ke pedalaman selama melestarikan desa adat ini, antusiasme mereka pun juga sangat tinggi. Banyak sekali yang mereka pelajari di sana. Jadi sebenarnya harapan bahwa generasi-generasi muda akan terus melek akan budaya mereka sendiri itu masih besar.
Ada rencana atau proyek lain yang dimiliki Mas Yori dan Rumah Asuh untuk ke depannya?
Yang pasti Rumah Asuh akan jalan terus. Saya bersama Rumah Asuh tidak lagi hanya ke desa-desa adat, tetapi juga menyentuh kota-kota pusaka dan sebagainya. Sekarang ini yang sedang berjalan ialah pengerjaan di Solok Selatan dengan pendekatan yang lebih modern. Nantinya desa adat di Batak, juga Toba, selain itu juga ke kota-kota seperti Palangkaraya, Gorontalo, Banyumanik, dan sebagainya. Dalam rencana-rencana kami ke depannya memang akan difokuskan kepada upaya revitalisasi dan restorasi tempat-tempat ini.