Kembali Melihat Identitas Diri Lewat “Grotesk”
Ulasan pameran solo Natisa Jones, “Grotesk” yang membawa sekumpulan pengalaman paling personalnya di Galeri Komunitas Salihara.
Words by Ghina Sabrina
Komunitas Salihara kembali mempersembahkan sebuah pameran seni rupa yang kini merupakan pameran tunggal dari seniman Natisa Jones. Sebagai seniman termuda yang mempunyai solo exhibition di Galeri Salihara, lulusan Jurusan Seni Lukis di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) di Australia ini pun sebelumnya pernah terlibat dalam pameran tunggal di Ruci Art Space Jakarta dan Ghostbird + Swoon Bali. Seni bukanlah hal yang baru untuknya karena ia telah memperlihatkan minatnya sejak kecil yang kemudian terus dijalani sampai sekarang dan ia kembangkan secara akademis. Praktiknya pun sebagai seorang seniman merupakan sebuah alat yang ia perdalam seperti bahasa yang digunakan untuk dapat memahami perasaannya sendiri atau kejadian yang ia lalui. Natisa juga merupakan seorang seniman yang produktif, di mana prosesnya melibatkan pembuatan 10-15 karya sekaligus, dan hanya akan berhenti ketika ia merasa karya tersebut tidak memiliki arah yang pasti.
“Grotesk” merupakan judul dari pameran Natisa Jones di Salihara yang diberi nama oleh sang kurator, Asikin Hasan. Mungkin akan banyak pertanyaan yang muncul mengenai nama tersebut, mengapa “Grotesk?” Kata grotesk atau grotesque sendiri digunakan untuk mendeskripsikan hal-hal yang distorted, unpleasant dan repulsive, yang memang berkonotasi negatif. Namun, kesan grotesque timbul di benak sang kurator ketika pertama kali mengunjungi studio dan melihat sederet karya-karya milik Natisa. Rasa tersebut mengingatkannya pada konsep grotesque realism yang dapat ditemukan di antara karya-karya seniman Eropa seperti Otto Dix dan George Grosz di awal abad ke-20, di mana mereka melakukan distorsi terhadap hal-hal yang ideal dan mulia menjadi sesuatu yang kacau. Subjek dari karya-karya milik Natisa bukanlah tentang indahnya alam ataupun kecantikan yang dapat diterima oleh semua orang, namun itulah bagaimana ia melihat dirinya sendiri dan sekelilingnya.
Walau sebagian besar karyanya dikerjakan di Bali, apa yang memisahkan Natisa dari kebanyakan seniman kontemporer Bali adalah tidak ditemukannya jejak alam dan tradisi pada karya-karyanya. Ia lebih memusatkan perhatiannya pada dunianya sendiri, di mana ia tuangkan apa yang dirasa dalam dirinya pada secarik kertas maupun kain kanvas di sekelilingnya. Pun kesendirian merupakan suasana yang esensial untuk dapat menentukan apa yang ingin disampaikan lewat karya-karyanya. Hal yang sulit untuk dicapai lantaran banyaknya suara lain yang mengganggu jalan pikir di era digital ini. Meskipun begitu bukan berarti latar tempat tidak mempengaruhi karyanya karena ia pun tetap akan merespon keadaan dan atmosfer sekitarnya dengan seni. Caranya pun tidak eksplisit, karena ia ingin lebih menunjukan bagaimana individu-individu yang tersebar di tempat yang berbeda tetap melalui situasi yang serupa. Yang berbeda hanyalah konteks. Terlebih dari itu, tipe ruang yang dipusatkan pada karyanya adalah ruang emosional dan psikologis yang ada di antara manusia.
Jika melihat deretan karya-karya yang ditampilkan di “Grotesk”, ada pokok soal yang berulang dalam karyanya yaitu hampir semuanya terpusat pada satu figur saja. Figurnya pun tidak memiliki fitur yang menggambarkan identitas tertentu, melainkan hanya tarikan garis yang menyerupai sosok pipih yang buruk rupa, melankolis, terpiuh dan telanjang. Perihal gender, mungkin banyak yang mengira bahwa figur yang digambarkan merupakan sosok perempuan yang identitasnya menyerupai sang seniman, nyatanya apa yang ingin disampaikan oleh Natisa lewat subjek karyanya adalah tentang the human experience dari perspektif perempuan.
Pemilihan warna pun merupakan hal yang perlu dicatat dari hasil karya di pameran ini. Selain subjek yang berulang, ada kemiripan yang dapat ditemukan dalam warna di karyanya. Color scheme yang digunakan secara keseluruhan masuk dalam kategori earth tone atau warna netral yang didominasi oleh warna pink, biru, coklat dan hitam. Proses dalam pemilihan warna pun bukan ditentukan lewat hal yang spesifik, melainkan dipengaruhi oleh perasaan yang sedang dilalui saat melukis. Selama praktik Natisa di dunia seni, warna menjadi semacam bahasa yang ia pelajari guna menyampaikan pemikirannya. Seperti warna pink yang banyak terlihat di karyanya, rasa kenyamanan timbul dari warna pink, seakan warna tersebut merupakan a way of healing untuknya.
Untuk sebuah pameran tunggal, “Grotesk” mampu memperlihatkan sosok identitas sang seniman dari sudut pandang yang berbeda-beda. Tak hanya sisi kebahagiaan saja yang ditunjukan olehnya, karena segala yang baik maupun buruk juga ialah bagian dari kemanusian yang seharusnya diterima dan dimengerti. It’s what makes you human. Memang rupanya terlihat grotesque, tapi bukan berarti harus terasa suram, di balik karya-karyanya itu seringkali ada letupan humor, atau sesuatu yang relatable dan membuatnya menjadi lucu. Dengan “Grotesk”, Natisa ingin membawa sekumpulan pengalaman paling personalnya ke permukaan secara apa adanya agar manusia dapat melihat kembali kesejatian dirinya.