The Beauty of Everyday: Mengapresiasi Keindahan di Keseharian yang Sering Terlewat
Menelusuri keindahan yang sering terlewat dengan memahami nilai-nilai dalam filosofi Mingei.
Words by Shadia Kansha
In partnership with Bobo Tokyo
Cover: Riezky Hana Putra
Lalu lalang tren menjadi sorotan pengguna media sosial setiap harinya. Kita bisa menemukan hal-hal yang membuat kita tertawa, yang terlihat keren, atau mungkin yang memanjakan mata. Perilaku, tata busana dan barang; semua bisa menjadi topik hangat pembicaraan. Hari baru, tren baru. Semua berusaha keras menyuguhkan the next big thing. Hari ini semua berjualan band tees dan besoknya kita memasarkan lato-lato. Begitu cepat perubahan sampai-sampai tanpa disadari frasa “that is so last year” telah berubah menjadi “that is so yesterday”.
Tambahkan scarcity dalam situasi tersebut. Dengan tren yang bergerak cepat ke sana kemari, barang-barang limited edition menjadi daya tarik tersendiri. Ratusan hingga jutaan rupiah rela dilepas untuk memilikinya. Padahal, setelah tren berlalu dan ketenaran meredup, barang-barang tersebut berakhir menjadi tempat berkumpulnya debu.
Siklus tersebut berputar begitu cepat. Kita mulai terbiasa menikmati indah yang hadir hanya untuk sesaat. Alih-alih menikmati hal-hal yang kita miliki hari ini, kita semakin terbiasa menantikan hal yang lebih seru untuk datang esok hari. Semua ingin cepat memiliki, walaupun yang dimiliki akan terlupakan sama cepatnya.
Di Jepang, pola berbelanja seperti ini banyak dihindari berkat filosofi Mingei. Filosofi seni dan kerajinan ini dipelopori oleh sekelompok seniman dan pengrajin di Jepang yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai estetika tradisional yang terdapat pada kerajinan tangan rakyat, serta melestarikan keanekaragaman seni dan kerajinan lokal.
Filosofi Mingei menganjurkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, fungsionalitas, keaslian, dan kemurnian. Bagi Mingei, seni dan kerajinan haruslah bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Nah, mari kita berhenti sejenak dan perhatikan barang-barang sederhana yang kita miliki tapi jarang kita perhatikan. Misalnya, genting.
Genting kerap kita anggap enteng. Bentuknya begitu-begitu saja, tidak istimewa. Jumlahnya juga melimpah ruah. Namun keahlian yang digunakan untuk membuat dan menyusun tiap genting adalah seni tersendiri. Dengan tekun para pengrajin memastikan tiap genting dapat disusun menjadi atap rumah yang kokoh melindungi kita dari hujan.
Peralatan makan, perabotan rumah tangga, hingga pakaian dan aksesorisnya juga sama. Biarpun yang sedang naik daun mampu menarik banyak perhatian, ujung-ujungnya barang yang lebih sering kita gunakan ya yang itu lagi, itu lagi. Misal, sepatu putih usang yang bisa dipasangkan dengan berbagai pakaian, tas ransel butut yang amanah membawa barang-barang kita selama bertahun-tahun, atau piring polos yang selalu kita gunakan untuk menampung makanan yang kita santap setiap hari. Tanpa barang-barang tersebut, mungkin hidup kita akan lebih sulit dijalani.
Inilah yang berusaha diajarkan oleh Mingei. Dengan menerapkan prinsip-prinsip filosofi tersebut, kita dapat lebih mengapresiasi segala yang kita sudah miliki dan membeli barang-barang yang manfaatnya dapat kita rasakan lebih lama.