Terkenal, Interaktif dan Fiktif. Apakah Kita Telah Memasuki Era Baru Influencer?
Fotografer asal London, Cameron-James Wilson melahirkan karyanya yang ia sebut sebagai “World’s First Digital Supermodel”.
Teks: Vania Almira
Foto: Metro
Maraknya perkembangan teknologi saat ini memang menghadirkan pro dan kontra tersendiri dalam masyarakat. Cepat atau lambat karya-karya fiksi dan distopia yang dihadirkan dalam serial Netflix terfavorit “Black Mirror” dapat mulai kita rasakan dalam kehidupan nyata. Seperti halnya salah satu kreasi karya fotografer asal London, Cameron-James Wilson yang telah menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu belakangan ini. Sosok yang mengaku baru saja menekuni bidang seni digital dalam bentuk 3D ini, melahirkan karyanya yang ia sebut sebagai “World’s First Digital Supermodel”.
Dengan teknologi CGI, Wilson melahirkan sesosok supermodel wanita kulit hitam bernama Shudu yang sebenarnya lahir melalui imajinasinya. Awal mulanya, kehadiran Shudu di dalam ranah sosial media Instagram belum dianggap janggal oleh warga net, namun, rupanya yang terlalu sempurna melahirkan pertanyaan bagi sekian banyak orang. Adapun kehadiran Shudu semakin diakui ketika wajahnya tampil pada salah satu produk kecantikan karya penyanyi Rihanna, yakni Fenty Beauty. Hal ini membuat Wilson berani mengakui bahwa Shudu merupakan kreasi pertamanya yang ia garap dalam bentuk 3D.
Tak hanya melahirkan kecurigaan, hal ini juga menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, terutama kaum kulit hitam. Nyatanya, di dalam dunia model, masih sedikit jumlah model berkulit hitam yang dapat menduduki profesi ini. Tak sedikit masyarakat yang menyatakan bahwa masih banyak model berkulit hitam di dunia nyata yang layak tampil di dunia modelling. Wilson memang mengatakan bahwa sebenarnya karyanya ini dibuat untuk menginspirasi dan mendorong semangat masyarakat kulit hitam, dengan fakta bahwa ia mengagumi Duckie Thot, seorang model kulit hitam asal Australia. Namun, hal ini justru menimbulkan kontra yang semakin besar dalam masyarakat, di mana mereka mengaitkan hal ini terhadap kasus yang membuat kaum kulit putih terlihat lebih superior.