Sederet Seniman Asal Bandung Masa Kini
Segelintir seniman asal Bandung yang memiliki referensi, pendekatan menarik serta gaya khas.
Teks: Winona Amabel
Foto: ROH Projects
Jika bicara seni, Bandung bukanlah kota yang asing disebut. Berkat karakter kuat serta filosofi seninya, Bandung menghasilkan seniman-seniman yang memiliki referensi, pendekatan menarik serta gaya khas yang membuatnya menonjol di antara seniman asal kota lain. Untuk mencari tahu seperti apa skena seni di Bandung hari ini, berikut adalah sederet seniman asal Bandung yang mencuri perhatian publik, baik di ranah lokal maupun internasional.
Bagus Pandega
Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini mengambil jurusan sculpture, dan sejak itu kiprahnya sebagai seniman tak hanya dikenal di skena lokal, tapi juga internasional. Menawarkan format sculpture dengan ragam elemen, karya Bagus mampu memberikan stimulan dan interaksi untuk mata, hingga telinga penikmatnya. Karyanya telah banyak dipamerkan, mulai dari Cian Chang: Art Review Asia (2016), ArtJog10: Changing Perspective (2017), Amsterdam Light Festival (2017), hingga “Distorted Alteration” (2018) di Project Fulfill Art Space, Taipei, Taiwan.
Syagini Ratna Wulan
Seniman yang akrab dipanggil Cagi ini menghadirkan beragam range karya, mulai dari lukisan hingga instalasi. Bicara medium maupun teknik pun tak kunjung berhenti pada satu titik saja. Hal yang menarik dari karyanya adalah bagaimana ia mengeksplorasi fantasi dan alam bawah sadar manusia dengan gaya yang khas, penuh teka-teki, dan feminin. Hal tersebut dipengaruhi oleh ketertarikannya terhadap narasi sureal dan fantasi dalam film dan musik. Adapun yang membuat karyanya menarik perhatian akhir-akhir ini adalah penggunaan spektrum warna pastel yang tak hanya estetis tapi juga mengundang penikmat seni untuk berkontemplasi. Bicara track record, ia pernah menjadi residensi di Art Initiative Tokyo, Jepang hingga instalasinya yang berjudul “Bibliotea” menjadi finalis pada penghargaan Celeste Prize di New York pada tahun 2011.
Syaiful Garibaldi
Dikarenakan sempat mempelajari agronomi di Universitas Padjajaran, sebelum akhirnya beralih menempuh pendidikan seni grafis di FSRD ITB, ketertarikannya akan mikroorganisme mempengaruhi objek karyanya. Seniman yang biasa dipanggil Tepu ini kerap menggambarkan video hingga eksperimen suara yang diambil dari mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan alga. Salah satu yang menarik adalah ciptaan huruf dan bahasa Terhah yang diambil dari pertumbuhan jenis-jenis mikroorganisme serta rekonstruksi dunia fantasi Terhah berisi makhluk hidup dan habitatnya. Beberapa eksibisi terakhir yang ia ikuti ialah Art Stage Singapore (2017), Art Fair Phillippines 2017, dan “Constituent Concreteness”, Mizuma Gallery, Singapura (2016).
Faisal Habibi
Satu lagi lulusan ITB, Faisal Habibi dikenal dengan karya instalasi 3D dengan penguasaan dan penjajakan ruang yang banyak memanfaatkan bahan baku besi. Ia kerap kali meminjam bentuk benda praktis manusia seperti bangku taman, gergaji, pisau, meja, dan berbagai alat lainnya yang direkonstruksi sedemikian rupa untuk mengkomunikasikan gagasannya. Tak hanya mengundang tanda tanya, tema yang diangkat Faisal seringkali membuat publik untuk memikirkan kembali fungsi dan bentuk benda yang selama ini ada di sekitar. Ia pun aktif berpameran, antara lain “This is not an apple…” di ROH Projects, Jakarta (2015), “fillet”, Sullivan+Strumpf, Singapura (2018) hingga mendapat penghargaan, seperti special mention di Bandung Contemporary Art Awards, Bandung (2015), dan first price di Competition for Three-Dimensional Works, Komunitas Salihara, Jakarta (2013) yang mengantarkannya pada program residensi di Zentrum für Kunst und Urbanistik (ZKU), Berlin di tahun 2014 lalu.
Arin Sunaryo
Putra dari seniman Sunaryo ini mendedikasikan karyanya untuk lukisan, menggabungkan kegemarannya akan komik, cerita science fiction, dan manga Jepang. Lewat komposisi abstrak dan distorsi pigmen, ia dikenal kerap bereksperimen dengan materi yang ia pakai, salah satu yang terkenal adalah resin berpigmen. Beberapa pameran tunggal terakhirnya adalah “After Taste”, Sullivan+Strumpf, Sydney (2017) dan “Karat”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2015). Eksibisi kelompok yang ia ikuti termasuk, “Shared Coordinates”, The Arts House, Singapura (2017) dan Prudential Eye Zone & Eye Awards, ArtScience Museum, Singapura (2015).
Rendy Pramudya
Lukisan-lukisan Rendy telah membawanya ke banyak pameran dalam skala nasional maupun internasional. Beberapa pameran terakhir yang mana ia berpartisipasi adalah “Shared Coordinates”, The Arts House, Singapura (2018), Art Fair Philipines, Filipina (2017), dan Art Stage Singapore, Singapura (2017). Pameran tunggal yang pernah ia buat bersama ROH Projects, diberi tajuk “Transvertere”. Lukisannya banyak menyerupai bentuk organisme yang dipelintir menjadi fantasi, yang mana oleh kurator Agung Hujatnikajennong dalam katalog “Transvertere” disebut sebagai ‘alam khayali’.