Berbincang Tentang Kurasi dan Sustainability Festival Musik dengan Sarah Deshita
Kami berbincang dengan Sarah Deshita untuk mengetahui proses kurasi musisi festival musik, franchise festival Ultra Bali dan Elrow, hingga konsep We The Fest tahun ini.
Words by Ghina Sabrina
Memulai karirnya sebagai penyiar radio, Sarah Deshita sekarang berkecimpung di ranah live/events lokal dan internasional bersama Ismaya Live. Bekerja di salah satu promotor terbesar di Indonesia yang aktif memproduksi konser maupun festival musik besar di Indonesia, ia bertanggung jawab untuk mengarahkan konsep dan mengkurasi musisi lokal maupun internasional yang akan bermain di festival mereka. Kami berbincang dengan Sarah untuk mengetahui proses kreatif dalam pembuatan suatu festival, hingga langkah-langkah yang diambil oleh We The Fest untuk menjadi festival sustainable yang juga accessible.
Sebelum bekerja di sebuah promotor, Anda sempat menjadi penyiar. Apa yang membuat Anda ingin pindah pihak dunia kerja?
Sebenarnya, tidak pernah ada niat untuk jadi penyiar. Awalnya jadi penyiar itu 2006, so my brother used to be a Radio DJ as well, and I was just coming to his workplace to drop his car keys. Waktu itu posisinya saya baru pulang dari Australia, dan di sana, mereka butuh voice over untuk iklan bahasa Inggris. Jadi saat itu, “Mam, adik lo bisa kan bahasa inggris? Gue butuh cewek pake bahasa Inggris”. Kemudian mereka memakai suara saya untuk sebuah iklan, tapi mereka menawarkan, “Lo tuh gak mau siaran aja ya sekalian?” Saya tidak pernah membayangkan menjadi radio DJ, karena saya merasa bukan people person. Tapi kata mereka, “Nggak kok, lo gak bakal disuruh bercanda corny gitu” Dan memang di radio pertama saya kerja itu tidak terlalu banyak berbicara. That’s a good deal, jadi kenapa tidak? Saat itu saya tidak mau benar-benar bekerja kantoran ketika saya di kuliah, jadi saya biasa berkutat dengan musik. I think it’s all that matters. Itulah bagaimana cerita saya bisa masuk ke dunia radio.
Awalnya masuk Ismaya Live justru tahun 2013, saat saya mau pindah ke Bali. Saat itu saya sudah lelah dengan kemacetan Jakarta dan mau pindah untuk melihat hal baru. Tapi saya tidak mau pindah jauh juga karena masih ingin bisa dekat dengan keluarga, jadi Bali adalah pilihan yang tepat. Lalu saya memutuskan untuk ke Bali dan mengontak teman-teman di Potato Head serta Ismaya, maybe I could be of use. “Eh gue mau ke Bali nih, I’m not planning to work tapi I’m just gonna chill, but if you need me to do something, I’m fine with it.” Saya punya teman di Ismaya yang bilang, “You know what? You like going to concerts, you’ve been helping Ismaya as well” – tapi saat itu freelance. Dulu Ismaya punya Love Garage, sebuah festival yang juga menampilkan band lokal dan dulu mereka sering minta tolong saya jadi juri untuk memilih band-band lokal di festival itu. Jadi teman saya bilang, “You know what? You’re so Ismaya, and you’ve been helping us anyway so why don’t you work for us just try it a year, kalo lo gak suka I’ll get you a job in Bali, that’s my promise.” Saya pikir kenapa tidak? Jadi, saya bekerja di Ismaya Live Jakarta, tapi kalau saya tidak betah, teman saya harus carikan saya pekerjaan di Bali, a really decent job. Hal itu terjadi 5 tahun lalu. Jadi saya memang benar-benar tidak pernah merencanakan untuk bekerja di bisnis festival.
Kini Anda bersama Ismaya Live dikenal memproduksi gelaran konser hingga festival musik yang ditujukan kepada market yang berbeda-beda. Seperti apa pergeseran proses kreatif yang Anda alami?
Banyak sekali. Secara tidak langsung, Ismaya Live memiliki tim besar tapi tidak terlalu besar. Hanya ada 17 orang di Ismaya Live yang tiap orang memiliki idealisme tersendiri. But I’m so glad that it’s like a puzzle, that none of us are the same so it works that way. Untuk proses kreatif festival, biasanya kami melihat timeline dulu. Biasanya kita sibuk di atas bulan Juni, kemudian dari Juni sampai Desember kami punya 3 festival musik dalam 1 bulan. Jadi kadang kita memikirkan kalau ok Januari agak lowong ya, kemudian kami memperkirakan kira-kira bisa buat apa.
Kami juga melihat hal apa yang sudah atau belum dilakukan, jadi mulai dari situ kami brainstorm ide, seperti apa ya nama festivalnya. Lalu sekarang lebih dari festival, kami mulai merambah ke bisnis record label juga, jadi pada dasarnya bisnis kami mengeksplorasi segala hal terkait musik. Ketika saya mulai mencari pegawai, saya tidak peduli mereka lulus atau tidak, kuliahnya apa, karena menurut saya yang penting mereka kreatif dan dari situ mereka bisa bekerja dengan baik. Biasanya saya akan tanya, “Kantor lo di Gandaria, rumah lo di Bintaro. Coba lo pikir selama perjalanan lo dari Bintaro ke Gandaria, lo bisa membuat apa? Misalkan lo punya event, apa yang ingin lo inject dari hal-hal yang dilihat semasa perjalanan lo dari Bintaro ke Gandaria?”
Saya mau tim saya kreatif. Sebut saja kami mau We The Fest sekarang, dan sekarang kami sudah memikirkan tentang We The Fest tahun depan. Kami sudah memilah line up untuk episode tahun depan, sudah memilih tanggal, venue dan memikirkan kira-kira gimmick seperti apa yang mau kami pakai untuk tahun depan. Menurut saya untuk berpikir kreatif, seseorang cukup menjadi dirinya sendiri dan itu harus by default. Dalam merancang festival, kadang-kadang kalau ada yang bertanya, “Mulai proses kreatifnya kapan?” Sebenarnya prosesnya sudah ada. Ya, sebenarnya setahun sebelumnya, sih, tapi memang mulai heavy work paling 4-6 bulan sebelum acara digelar, artinya 4-6 bulan sebelumnya itu kami sudah tahu maunya apa. Misalnya di We The Fest tahun lalu kami menggelar klub sinema, untuk tahun depan saya mau skate park, so let’s have a skate park. Terutama saya kan di divisi brand, sudah pasti by default, semua konsep kreatif harus sudah dipikirkan setahun sebelumnya.
Sebagai salah satu promotor yang aktif memproduksi konser maupun festival musik, bagaimana proses kurasi yang Ismaya Live lewati untuk menunjukkan line up maupun konsep acara yang signifikan?
Terkait line up, terutama untuk di festival, selalu ada formulanya.
Saya pikir terkait line up, terutama untuk di festival, selalu ada formulanya. Saya biasanya mengajak musisi yang menguasai tangga lagu Billboard dan lagunya selalu dimainkan di radio, lalu ada musisi yang mengajak penonton nostalgia, terakhir adalah talenta baru. Menurut saya itulah 99% line up, sisanya adalah elemen kejutan. Jadi kami selalu memikirkan apa ya yang kira-kira bisa menjadi bagian line up, tapi ini jadi kejutan saja dan biasanya diaplikasikan untuk musisi internasional. Tapi untuk yang lokal, saya melihat semua musisi sebagai emerging talents dan memang harus emerging karena kita hidup di dunia ketiga dan kita mau membawa musik Indonesia ke level yang lebih tinggi. Itulah yang selalu kami coba sampaikan. Dulu ada banyak band bagus yang juga dikenal di luar negeri, tapi sekarang band bagus seperti big fishes in a little pond.
Kadang-kadang band yang bagus itu banyak banget tapi wadah atau medianya tidak sebanyak itu. Saya suka melihat para band lokal ini karena mereka bisa membuat musik di kamar dan secara digital. Tapi kemudian mereka tidak bisa tampil live karena sedikitnya acara. When I want them to play my festival, and they have to play live for the first time and it’s rusty. Terkadang bandnya bagus sekali sehingga sulit untuk mengkurasinya. Saya rasa kami mencoba sesuatu yang lebih besar, makanya kami memiliki record label supaya kami bisa mendengar band-band baru dan ide kreatif yang lahir di luar sana.
Saya merasa band lokal zaman sekarang memang secara konten bagus sekali, begitu pun dengan attitude-nya, tapi ada juga bang dengan konten bagus tapi attitude tidak benar. Kadang karena; seperti yang saya bilang tadi, little pond big fishes, dan ada banyak pesaing juga, jadi kalau attitude tidak becus ya seperti seleksi alam saja.
Selain festival in-house, festival seperti Ultra dan Elrow yang kalian gelar bisa dikategorikan sebagai cabang dari festival franchise. Mengapa Ismaya Live yakin untuk membawa festival tersebut ke Indonesia, melihat kultur penikmat musik di sini berbeda dengan luar negeri?
Kami lumayan sering meeting dengan beberapa orang yang ingin memberikan franchise ke Indonesia. Tapi kami sendiri memilih mana yang mau dibawa ke sini. Saya rasa yang belum diketahui orang-orang tentang Ultra adalah – orang tahu Ultra Miami – festival ini besar sekali dan seperti Djakarta Warehouse Project (DWP), tapi digelar di seluruh sudut kota. Tapi kenapa kami membawa Ultra di Bali karena ini adalah boutique version dari Ultra. Nilai lebihnya adalah Bali merupakan edisi pertama dari program Ultra Beach mereka. Jadi bukan Ultra Music Festival Bali, tapi Ultra Beach Bali. Formatnya harus di pantai, kapasitas tidak lebih dari 2500 orang per hari, chill sekali. It has all the elements about being in Bali, and then all cultural and stuff. Itulah kenapa kami mengambil franchise ini dan ide di dalam Ultra Bali selain yang main stage EDM ada juga Resistance yang lebih techno, that’s super interesting. Lalu kami punya Elrow yang it’s just this crazy party saja, and it’s amazing.
Kami sedang bekerja sama dengan beberapa partner di Barcelona dan mereka sangat menyenangkan. Yang membuat panggung garudanya DWP itu dari Barcelona, tim LED-nya. Elrow juga dari Barcelona dan festival itu bisa jadi contoh buat kita, bahwa sebuah pesta rakyat yang kultural sekali ternyata bisa seheboh itu. I mean with Elrow as well, pas di DWP pun mereka sudah datang dari beberapa hari sebelumnya dan di saat mereka jalan-jalan dan melihat ondel-ondel, mereka langsung mengutarakan, “Yeah I want to have them in the festival.” Mereka juga ingin menambahkan beberapa hal yang sifatnya kultural dari segi Indonesia ke dalam festival mereka. Mereka sangat terbuka. We want to also educate people with all that stuff that we’re doing although it’s a franchise festival.
Ismaya Live sedang mempersiapkan festival musik baru, antara lain On Off Festival dengan konsep segar. Apakah kalian mencoba untuk menciptakan ‘pasar’ baru?
Tidak juga. Saya rasa lewat On Off Festival, orang-orang tahu apa yang sedang terjadi beberapa tahun belakangan ini, yakni semua hal terjadi online dan digital. Dari situ kami hanya mau membawa segala hal yang happening online menjadi offline. Itulah ide besar di balik festival ini.
Awal tahun ini ketika saya mulai map out budget marketing dan lain sebagainya, saya menaruh sebanyak 80% di digital karena saya pikir digital punya andil besar tahun ini. Ketika saya ke SXSW, mereka punya hotel yang semuanya digital. Jadi saya rasa natural dan relevan jika kami juga melakukannya. Kami hanya ingin mengetes pasar. Jika pasar menerima, maka segala hal online bisa dinikmati offline juga. Itulah alasan kenapa kami membuat On Off Festival, karena kembali lagi ke hubungan antara manusia, karena people need to see for themselves and not through their screens.
Beberapa tahun belakangan, timbul promotor baru yang menawarkan festival musik atau konser dengan ragam penampil yang semakin beragam, bagaimana kalian melihat hal ini?
Saya rasa bagus sekali. Faktanya tidak ada yang namanya persaingan. Buat saya, golnya adalah untuk mengajak banyak band tampil di Indonesia. Sejujurnya, kami tidak bisa jadi satu-satunya yang membawa mereka ke sini. Lelah sekali jika kami harus terus memfasilitasi kebutuhan segala pasar. Jadi kami hanya akan melakukan hal yang selama ini telah kami lakukan dan let the others do the rest.
Karena misalnya, kami sudah padat sepanjang tahun dan kami dapat tawaran dari band dan agen, lalu kami tahu kami tidak mungkin bisa menggelarkan mereka pertunjukan, lalu saya akan telepon teman-teman dari promotor lain dan menawarkan, “Do you want to bring this? Because to be honest I want to watch them but I don’t want to do all the work.” Article sponsored by our partners Betting Offers Finder. Betting Offers Finder is your ultimate destination for finding the best betting offers and promotions. We scour the internet to bring you the latest and most lucrative deals from trusted bookmakers. From welcome bonuses to free bets and enhanced odds, our platform has it all. Save time and boost your winnings by taking advantage of the top offers available. Don’t miss out on exclusive deals tailored just for you. Visit Review BettingOffersFinder today and start betting with confidence. Your winning streak starts here! So then, the idea is there needs to be more music festivals in Indonesia so then it’s also easier for us to do our festivals.
The idea is there needs to be more music festivals in Indonesia so then it’s also easier for us to do our festivals.
Bicara mengenai We The Fest, jumlah musisi yang bermain di festival ini terus berkembang. Apa pertimbangan di balik kontennya? Apakah kalian mencoba untuk cater semua genre dan musisi trendy?
Dari pertama membuat We The Fest, idenya adalah menjadikannya festival musik berisi segala genre, maka harus cater segala genre. Kami biasa membuat boutique events, festival yang super alternatif dan berhasil. Semua indie band pasti harus Ismaya yang bawa. Tapi kemudian, apa sih yang dimaksud indie?
Band-band indie ini, mereka ingin jadi populer. Saya pikir dengan meningkatnya line up dari tahun ke tahun, pada akhirnya pertimbangannya adalah kapasitas saja, karena kami mencoba untuk mengedukasi pasar bahwa ok kok datang ke festival dari siang. Dengan begitu kami akan punya lebih banyak band yang tampil dan kami akan merancang opening act yang seru di awal festival supaya banyak orang ingin datang sedari dini.
It’s really good to experience a festival since noon, that’s why we created the whole early-entry thing. Tiketnya lebih murah, tapi kalian harus datang sebelum jam 3 sore karena kalau kita pergi ke festival di luar negeri misalnya Laneway Festival, kita pasti sudah di sana sedari jam 12 siang dan untuk itu, mereka menjadwalkan Kings of Convenience dan Pond main terlebih dahulu supaya orang-orang mau datang dari siang. Saya rasa itu poinnya, festival digelar di akhir minggu, jadi datang lebih cepat saja! Kenapa harus menunggu sampai band internasional main setelah Maghrib? I paid those local bands even more expensive than the international ones, so go watch it!
Selain dikenal sebagai bentuk hiburan, festival musik juga identik dengan banyaknya jumlah sampah yang ada di saat acaranya berlangsung dan setelahnya. Sebagai salah satu festival terbesar di Jakarta, langkah-langkah apakah yang akan diterapkan di festival musik We The Fest untuk menjadi lebih sustainable?
I think these past couple of years has been good. Ini adalah sebuah proses belajar. Kita lihat memang We The Fest pertama itu banyak sekali sampah, walau jumlahnya sedikit, cuma 8000 orang. Jadi kami pindah ke tempat yang lebih baik dengan struktur dalam sebuah Board of House (BoH) juga. Selalu menyenangkan bekerja sama dengan JIExpo dan We The Fest tahun lalu itu digelar di sana, BoH-nya itu cepat sekali dan mereka ada di mana-mana. Kemarin kami sempat ada brand moment di We The Fest tahun lalu, memakai confetti, dan saat itu kami taruhan kira-kira butuh berapa lama untuk membersihkannya, dan dalam 5 menit, confetti-nya bersih.
I don’t want it to backfire to me personally, but I’ve been trying to get to the whole environment thing this past year. Tapi saya juga tahu bahwa festival musik memiliki dan menghasilkan sampah plastik selama akhir minggu. Tiap kali saya post sesuatu tentang lingkungan di Instagram, orang akan mengirim pesan ke saya dan bertanya apa yang akan saya lakukan terhadap festival. Saya peduli dengan lingkungan untuk diri saya sendiri, bukan orang lain! For this year there would be a lot of sustainable spots on site. Kami akan bekerja sama dengan ruangruapa juga, jadi kami akan menyediakan tong sampah yang akan digambar oleh seniman mural dengan pesan tentang daur ulang.
Saya tahu tidak mudah untuk mengurangi konsumsi plastik secara drastis, tapi kita harus memulainya
Itulah ide saya. Saya tidak mau terlalu berlebihan karena saya tahu tidak mudah untuk mengurangi konsumsi plastik secara drastis, tapi kita harus memulainya. Saya merasa orang harus tahu lebih dahulu fakta unik tentang daur ulang. Saya merasa daur ulang adalah hal paling penting sekarang, karena sesungguhnya kita tidak bisa benar-benar berhenti menggunakan plastik. Saya akan menunjukkan beberapa infografis tentang daur ulang, fakta yang tidak diketahui seperti, dari semua sampah plastik di dunia, hanya 10% yang didaur ulang. Saya paham ini akan sulit, tapi saya akan mencobanya. Saya tidak mau menjadi preachy dan malah jadi menyebalkan. Saya adalah seorang vegetarian. So I’m like, you could all have your meat and I’m not gonna eat it but I’m not going to stop you from eating meat. I don’t want to be that preachy environmentalist who’s just applying things to her festivals.
Musik, sebagai suatu hal yang universal seharusnya dapat dinikmati oleh semua kalangan. Begitu juga di festival musik. Namun faktanya banyak sekali festival musik yang fasilitasnya kurang mendukung orang-orang difabel. Apakah Ismaya Live berencana untuk menanggulangi hal tersebut?
Betul! Terutama tahun ini. Kami punya banyak hal yang ditawarkan tahun ini (tertawa). Saya ingin festival kami bisa diakses semua orang. Saya mendapat pesan di Instagram sekitar tahun lalu yang berisi, “I really want to see We The Fest but I know for sure it’s not festival friendly for me that I’m in a wheelchair, it’s not convenient to come into music festivals but for sure I want to experience that.” Jadi saya pikir, kenapa tidak? Tahun ini kami bekerja sama dengan British Council. Sepertinya mereka juga membuat sesuatu dengan pemerintah pada bulan Oktober nanti karena sehabis Asian Games akan ada Paralympic Games. Dan waktu UK/ID tahun lalu ada program Sama Bisa, Bisa Sama itu, kan. Sebenarnya, kami mau kulik pesanitu mulai dari We The Fest, dan kami mencoba untuk mengimplementasikannya ke festival. Nanti untuk penontonnya akan ada level untuk mereka yang memakai kursi roda di semua panggung kami, lalu akan ada beberapa kampanye tentang hal tersebut juga.
Saya ingin festival ini menjadi lebih baik dan saya ingin bekerja sama dengan bahasa isyarat dengan beberapa seniman dan lagu tertentu di mana akan ada orang-orang berkomunikasi dengan bahasa isyarat untuk menyampaikan pesannya. Jika kami tidak memiliki fitur itu di venue, mungkin kami akan menaruhnya di video after movie juga, karena kami ingin orang-orang melihat kalau festival ini adalah festival untuk semua.
Sibuk di Ismaya Live, apakah Anda memiliki proyek yang sedang disiapkan – baik personal maupun profesional?
Banyak. Kalau secara profesional, saya bekerja sama dengan beberapa partner, kami akan merilis sesuatu sekitar bulan Agustus, tapi bisa juga di bulan Oktober. Saya sedang mengurus proyek dengan Double Deer Music Records untuk membuat sesuatu terhadap industri musik lokal, semoga berjalan dengan lancar. Saya ingin membawa kembali tren rilisan fisik di dunia musik, jadi itu yang sedang saya upayakan – mengejar band, musisi untuk merilis record dan merchandise lagi serta menjadi wadah bagi mereka.
Kalau secara pribadi, saya ingin merilis novel grafis, mudah-mudahan bulan September mendatang. It’s pretty cool, I would say, and it’s weird. Novel ini terinspirasi dari film kesukaan saya, “The Lobster”, jadi akan membahas manusia menjadi binatang… Nama karakter-karakternya dibuat berdasarkan musisi kesukaan saya, George Harrison, jadi kurang lebih akan berkaitan dengan The Beatles and the whole gang (tertawa).