Optimisme dan Pesimisme dari Record Store Day Indonesia 2018
Berbincang dengan Daniel Deadsquad, Pepeng Naif, panitia hingga pelapak Record Store Day 2018 tentang perkembangan acara dari tahun ke tahun.
Words by Whiteboard Journal
Kami bertemu dengan beberapa sosok seperti musisi, pelapak hingga panitia Record Store Day (RSD) Indonesia 2018 dan menanyakan pendapatnya mengenai gelaran ketujuh ini. Mulai dari antusiasme, peran rilisan fisik hingga kesan pada Record Store Day kali ini.
DANIEL MARDHANY – VOKALIS DEADSQUAD, ALAIUM RECORDS
Apakah dengan melihat antusiasme pengunjung yang tinggi, RSD menunjukkan bahwa masih banyak yang menggemari rilisan fisik?
Menurut saya, penjualan rilisan fisik masih baik-baik saja – terutama untuk musik indie karena saya tidak bermain di major label. Buktinya kemarin label saya rilis split CDR 3” (3 inci) proyek saya bersama Boni (eks-Deadsquad) yang bernama Berbahaya untuk split bersama Speedkill. Kalau dipikir-pikir siapa yang mau beli CDR 3 inci? Rilisan ini juga berangkat dari obsesi saya pribadi, karena belum pernah punya rilisan 3 inci sendiri. Ternyata malah habis semua stoknya. Apresiasinya edan sih. Orang-orang di daerah juga banyak yang mengontak saya, seperti di Solo atau Semarang, mereka mau jual rilisan ini di RSD mereka. Tapi, ya, harus saya tahan karena saya tidak terima wholesale.
Rilisan fisik itu baik-baik saja. Saya tidak percaya dengan omongan yang bilang penjualan rilisan fisik dalam bahaya, saya merasakannya karena juga kerja di label. Contoh, kemarin ada band metal yang rilis 200 CD – jumlah yang saya jual itu 180, dan sisanya saya bagi-bagi ke relasi – dan bisa sold out dalam waktu 4 hari. Padahal bandnya tidak pernah manggung. Bagaimana kalau kita pakai promosi juga? Selama band kita memang ada yang suka, tidak perlu ada yang dikhawatirkan sebenarnya.
ADAM VLADVAMP – BASSIST KOIL
Bagaimana melihat antusiasme di Record Store Day tahun ini?
Kalau saya lihat, dari pertama saya ikut, antusiasme selalu stabil. Tapi kalau dilihat dari penjualannya, saya melihatnya sebagai tenant juga di sini, menurun. Ini terjadi dari tahun ke tahun dibandingkan gelaran RSD di tahun awal.
Menurut Anda kira-kira apa yang menyebabkan terjadinya penurunan penjualan yang Anda hadapi di saat antusiasme pengunjung stabil tiap tahunnya?
Saya tidak terlalu tahu pasti. Tetapi menurut analisis saya, mungkin, pada saat awal RSD diadakan budaya beli vinyl dan rilisan fisik lainnya itu sangat singkat. Apalagi mengingat vinyl itu sebenarnya juga bukan barang murah, satu barang harganya bisa 300 – 400 ribuan. Jadi semangat beberapa orang sekarang ini mulai kendor, “Kayanya bukan hobi gue nih!” Semangat koleksi selama satu atau dua tahun, habis itu mereka sudah merasa cukup. Terutama vinyl kalau dibandingkan dengan CD jadi sesuatu yang lebih merepotkan – harus punya turntable, beli jarum, pakai sound system yang enggak sembarangan. Karena adanya kerepotan ini juga, pergerakan ini jadi tidak berjalan dengan stabil. Selain itu, daya beli juga berpengaruh. Hal ini tidak hanya terjadi di industri musik saja, namun semua sektor ekonomi yang juga akhirnya mempengaruhi daya beli seseorang.
Untuk pelaksanaan acaranya sendiri bagaimana?
Oke sih, karena panitia RSD selalu mencari tempat yang nyaman. Hanya ada satu kekurangannya: acara seperti RSD ini seharusnya tidak perlu terlalu berisik. Seperti saat gelaran RSD tahun lalu di ballroom Kuningan City, saya sempat protes ke DJ yang saat itu sedang main karena musiknya terlalu keras. Bukannya apa, tapi ini mengganggu jalannya transaksi, bikin repot baik penjual ataupun pembeli. Kenyamanan kan salah satu faktor penting untuk acara seperti ini. Untuk yang datang pun, kalau lagi digging, kan, enaknya sambil diiringi musik yang santai – yang mendukung lah. Pengaturan tempat yang tahun lalu sebenarnya sudah oke karena panggung dibuat jauh dari tempat tenants, tapi kenapa DJ-nya tetap dijadikan satu ruangan sama kita? Enggak apa-apa satu ruangan, tapi setidaknya musik yang dimainkan seharusnya disesuaikan dengan ambience yang tepat untuk orang belanja. Giliran tahun ini, DJ-nya di luar, tapi malah panggung performance-nya yang di dalam (tertawa).
SYAMSUL – OWNER RECORD PLAYER STORE SOLASIDOS
Untuk orang-orang yang mengunjungi lapak Solasidos, kebanyakan hanya penasaran lalu lihat-lihat saja atau memang ingin cari walkman di sini?
Rata-rata sih mereka awalnya tertarik walaupun belum sampai langsung beli. Kalau di Solasidos ini kan barang-barangnya semua new old stock. Jadi ada yang memang ingin beli karena lihat ada barang baru lagi, tapi mungkin tidak jadi karena ada yang harus dipertimbangkan sama mereka, misal masih ada player di rumah yang belum waktunya diganti.
Berarti bisa dikatakan penggemar rilisan fisik dalam bentuk kaset masih banyak?
Menurut saya, sih, masih sama kalau disandingkan dengan penggemar vinyl juga. Hal ini disebabkan mengigat harga kaset yang masih lebih terjangkau, sifatnya yang collectible, ditambah ada rasa nostalgianya juga. Karena memang hampir semua generasi kemarin pasti mengalami hype-nya dengerin musik dari kaset.
TOMMY – OWNER DISTRICT WAX
Bagaimana antusiasme untuk Record Store Day tahun ini?
Sudah empat tahun belakangan ini District Wax pasti ikut RSD, dan selama itu juga antusiasme yang saya lihat di setiap acaranya selalu bagus. Perbedaannya paling dari tahun ke tahun itu akan ada perbedaan konsumen – dilihat dari segi umur dan tren barang saat itu. Dilihat dari penjualannya sendiri sebenarnya agak menurun dari tahun lalu, tapi antusiasme orang-orangnya masih oke banget.
Untuk pengunjung yang datang ke lapak District Wax sendiri, biasanya mereka khusus mencari satu record atau iseng cari yang menarik saat proses digging mereka?
Tiap tahun beda-beda sih, tapi tahun ini sepertinya lebih condong ke cari barang sale (tertawa). Banyak juga mereka yang serius cari record khusus yang mereka suka dan sudah incar lama. Seperti contoh, kemarin kita ada dua item langka yang harga per barangnya bisa 3 juta rupiah, tapi bisa langsung lepas ke kolektor yang mau. Bisa dikatakan, masih banyak memang yang mengapresiasi rilisan-rilisan fisik.
ILHAM – PANITIA RSD 2018
Dari sisi mana pengetahuan musik para pengunjung bisa dikatakan berkembang?
Kalau dulu yang saya lihat selera yang datang itu masih lebih segmented, misal hanya orang-orang yang hobinya koleksi dan punya uang lebih yang mau beli rilisan fisik. Dibandingkan dengan sekarang, semakin banyak yang mulai penasaran sama rilisan baru apa saja yang dirilis khusus pas RSD, karena mereka melihat itu sebagai sesuatu yang wajib mereka miliki kalau memang suka.
PEPENG – DRUMMER NAIF
Menurut Anda, bagaimana antusiasme orang-orang terhadap RSD Indonesia dari tahun ke tahun?
Saya sendiri baru mulai datang terus itu sejak dua tahun lalu, dan tidak terlalu memonitor perkembangannya. Tapi saya melihat RSD ini sebagai pergerakan dari orang-orang yang cinta rilisan fisik – dan jadi suatu hal yang bagus juga. Ditambah, RSD ini bagus karena bisa menginspirasi gerakan lainnya. Misal, saya selain di Naif juga sedang buat komik, dan saya jadi punya keinginan untuk meramaikan lagi industri komik di Indonesia. Karena komik rasanya pun mengalami hal yang serupa dengan musik; sejak semuanya jadi serba digital sehingga penjualan buku semakin menurun. Dari sini mungkin bisa membuat hal yang serupa seperti Record Store Day, tapi untuk komik. Hal seperti ini akan terus diikuti antusiasme yang tinggi, bisa dilihat dari RSD yang juga masih digelar di beberapa wilayah di Indonesia.