Mengenal Musik Santri Bersama Nasida Ria
Berbincang dengan manager Nasida Ria, Choliq Zain, untuk menilik cerita di balik lagu-lagu mereka.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Carla Thurmanita
Foto: RRREC Fest (Agung Hartamurti)
Beberapa tahun belakangan tersebar meme di media sosial berisi sosok ibu-ibu Islami berpakaian seperti sedang menghadiri acara pengajian sembari menyanyikan lagu dakwah Islami – Nasida Ria. Grup musik yang dikenal dengan lagu “Perdamaian” dan “Kota Santri” ini sebenarnya sudah lalu lalang di kancah musik Indonesia sejak 40 tahunan lalu, namun kali ini namanya kembali marak dan menjadi viral di antara banyak kalangan, terutama generasi muda.
Apa arti dari nama Nasida Ria?
Berawal dari kata ‘nasyid’ dan ‘ria’. Nasyid sendiri berarti lagu-lagu – adalah lagu atau nyanyian yang membawakan kesenangan atau kegembiraan.
Sejak awal berjalannya Nasida Ria dari 43 tahun yang lalu hingga sekarang ini, seperti apa perkembangan perjalanan musik kalian?
Awal perjalanan Nasida Ria dari tahun 75 hingga 80-an. Lalu ketika awal 80-an muncul lagu “Perdamaian” dan “Kota Santri” yang menjadi babak baru bagi Nasida Ria. Perjalanan kami berjalan baik dan cenderung meningkat hingga 2000-an. Tetapi setelah itu publikasi mulai berkurang. Saat itu Nasida Ria bukannya vakum. Tetap jalan, tetapi memang nama kami pada saat itu sedikit meredup.
Nah, belakangan ini nama Nasida Ria mulai viral lagi. Dari banyak dikenal masyarakat, hingga orang-orang lama yang dulunya dengerin musik Nasida Ria jadi ngeh, “Oh, ternyata Nasida Ria masih eksis toh – masih ada ya!”. Tepatnya di tahun 2016, salah satu yang mulai paling mengangkat Nasida Ria itu dari anak-anak muda di komunitas ruangrupa (RURU). Lalu ditambah ketika tahun lalu di-viral-kan lagi di Instagram. Lagu kami, “Wajah Ayu Untuk Siapa” itu diambil beberapa bagiannya saja lalu dijadikan lelucon dan diganti judulnya jadi “Kampret” (tertawa). Sejak itulah Nasida Ria jadi banyak diundang ke berbagai acara, dari program-program di televisi sampai acara musik anak muda.
Dari awal Nasida Ria dijalankan sebenarnya sudah regenerasi.
Memang beberapa tahun belakangan ini, Nasida Ria menjadi viral di antara anak muda. Apakah kalian sempat terpikir kalau lagu-lagu Nasida Ria bisa tersebar di antara kalangan millennials?
Tidak pernah kepikiran ya. Tetapi kalau dilihat lagi circle-nya memang seperti ini. Siklusnya berputar. Dari awalnya terkenal, lalu layu sedikit karena kurang publikasi itu tadi, hingga digandrungi lagi. Jadi yang senang dengan Nasida Ria sekarang bukan hanya orang-orang lama saja, tetapi juga digemari oleh mereka yang notabene remaja.
Saya sendiri juga kurang mengerti prosesnya bagaimana sehingga anak-anak muda ini bisa senang musik Nasida Ria. Waktu itu, tahun 2016, kami dihubungi untuk tampil di acara musik yang camping di gunung itu (RRREC FEST). Ya dulu saya kurang paham, “Kok Nasida Ria bisa diundang ke acara seperti ini ya?” (tertawa). Tetapi kalau saya lihat seperti komunitas RURU, kan, anak-anak muda ini memang awalnya senang sama musik. Awalnya saya tidak tahu siapa RURU ini. Lalu ketika cari tahu tentang komunitas mereka, ya memang RURU ini komunitas luar biasa. Mereka unik. Waktu itu bahkan ada yang mengunjungi kami ke Semarang sambil bawa piringan hitam dan minta kami tanda tangan di sana. Kan luar biasa, saya saja belum punya piringan hitam Nasida Ria (tertawa).
Untuk perjalanan Nasida Ria sendiri, awalnya benar-benar dimulai dari Semarang?
Sebenarnya dari dulu Nasida Ria itu jalannya lebih aktif di luar kota, kalau di Semarang malah jarang. Mungkin dikarenakan kalau di Semarang kepentingan berkesenian dari pemerintahannya sendiri menurut saya kurang. Kami lebih aktif di Jakarta, Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya.
Baru akhir-akhir ini kembali sering diundang di Semarang, dan dimulai oleh anak-anak mudanya juga di sana. Kemarin itu kami dihubungi sama satu komunitas Semarang, Jazz Ngisoringin, untuk mengisi di festival musik jazz mereka (Loenpia Jazz). Agak lucu sih – festival musik jazz tapi kami bisa mengisi acara di sana dengan musik qasidahan kami (tertawa). Itu berarti, kan, Nasida Ria bisa diterima di ranah musik apa saja.
Apakah lingkungan kehidupan di tempat asal kalian, Semarang juga mempengaruhi cara bermusik dan lagu-lagu Nasida Ria?
Kalau dibilang mempengaruhi sebenarnya tidak juga. Namun bisa dikatakan model musik di daerah Jawa Tengah berbeda dengan daerah lain seperti Jakarta. Terutama di bagian output rekamannya. Misal di Semarang dan daerah Jawa Tengah lainnya, musik-musik qasidahan yang ada itu ya nuansanya seperti jenis musik Nasida Ria. Tetapi kalau di Jakarta dan sekitarnya, ada grup qasidah namanya Al Fattah, nah kiblat musiknya pasti ke arah sana. Saya tidak tahu persis apa sebabnya bisa seperti ini.
Nasida Ria ingin menyampaikan dakwah melalui syair dan musiknya.
Nasida Ria memiliki sistem regenerasi untuk mampu bertahan hingga sekarang. Hal apa saja yang biasanya menjadi syarat atau bahan pertimbangan ketika merekrut anggota baru?
Dari awal Nasida Ria dijalankan sebenarnya sudah regenerasi. Nuotoliniai anglų kalbos kursai internetu | INTELLECTUS anglų kalbos mokykla čia. Untuk syarat dan ketentuan anggota baru bisa dilihat di akun Instagramnya Nasida Ria. Tidak harus bisa main alat musik karena nantinya ada pembagian peran sendiri-sendiri dan dilatih dari dasar, tetapi setidaknya bisa nyanyi atau qiroah (lantunan ayat-ayat Alquran) sih. Dan kami lebih mengutamakan mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu agar bisa sekaligus saling membantu juga.
Sampai sekarang ini Nasida Ria, ada 12 personel, sudah sampai di generasi ketiga. Salah satunya Ibu Rien yang sudah bergabung dengan Nasida Ria sejak generasi pertama. Untuk persiapan generasi keempat kedepannya nanti, kami sudah mulai dari tahun 2014 kemarin dengan membuat wadah bernama Qasidah Tanpa Nama yang isinya adalah anak-anak sekolah tingkat SD dan SMP. Mereka ini dikhususkan untuk semarangan saja, supaya terbiasa tampil mengisi acara-acara. Jadi dari kecil sudah dilatih, diajak manggung juga, nantinya baru ‘naik kelas’ ke grup selanjutnya yaitu grup qasidah muda-mudi kami lainnya, Ezzura.
Jika menelaah lirik lagu-lagu Nasida Ria, kalian tidak berkutat pada koridor qasidah atau lagu Islami, karena seringkali membahas tema sosial yang dekat dengan semua kalangan. Apa latar di balik karakter ini?
Jika dilihat dari namanya sendiri, kan, sudah berarti lagu-lagu atau nyanyian yang bergembira ria. Melalui nyanyian ini Nasida Ria ingin menyampaikan dakwah melalui syair dan musiknya. Dan tidak melulu bicara soal keagamaan secara pengajaran atau teoritis. Ada juga mengenai teknologi, lingkungan, dan permasalahan sosial. Hal ini juga dikarenakan lagu-lagu Nasida Ria yang ditulis oleh (Alm.) KH Ahmad Buchori Masruri. Beliau itu seorang Kiai, tetapi juga mengenal baik soal ilmu pengetahuan dan teknologi. Misal lagu “Bom Nuklir” dan “Tahun 2000”, tahun 80-an kok sudah bicara tentang teknologi? Tentang bom nuklir? Jatuhnya jadi futuristik – mengira-ngira apa yang akan terjadi di masa ke depannya berdasarkan proses kejadian pada saat lagu itu dibuat. Jadi tidak melihat tren saat itu saja. Dakwahnya berdasarkan hal ini.
Tak jarang, lagu dan video kalian seringkali dijadikan candaan di media sosial. Apa tanggapan kalian mengenai hal ini? Sempat merasa respon yang ada melenceng dari tujuan awal lagu kalian?
Awalnya sempat merasa seperti itu (tertawa), tetapi ya ternyata ada keuntungan sendiri dari viral di internet ini. Karena dari ini juga Nasida Ria mulai dikenal secara luas lagi. Toh ketika kami diundang ke acara-acara seperti program talkshow di televisi atau lainnya, di sana kami bisa menjelaskan arti sebetulnya di balik lagu-lagu Nasida Ria. Seperti lagu “Kampret” sebenarnya tidak memiliki artian se-negatif judulnya itu (tertawa). Nantinya dari media-media ini, kan, orang-orang bisa melihat juga. Dilihat dari sisi positifnya saja. Karena kembali lagi ke tujuan awal Nasida Ria sendiri, yaitu berdakwah melalui musik.
Sampai sekarang ini Nasida Ria, ada 12 personel, sudah sampai di generasi ketiga.
Nasida Ria sekarang juga sering diundang untuk tampil di festival musik atau gigs kebanyakan. Perbedaan apa yang dirasakan – dari suasana hingga jenis audiens – jika tampil di acara ini dengan acara pengajian biasa atau acara musik Islami?
Kalau saya sendiri ada kebanggaan tersendiri dari menghadiri acara-acara musik seperti ini. Karena jika diundang lalu tampil di acara hajatan, kan, sudah biasa. Ketemunya orang-orang itu lagi. Tetapi ketika kami keluar dari lingkungan itu tadi, dan bertemu dengan tipe komunitas lain, lalu melihat respon mereka yang sangat menyambut musik kami dengan baik. Ini orang lain berbeda dengan kami, tapi ternyata bisa menghargai musik kami. Dari yang awalnya belum kenal, bahkan belum pernah dengar jenis musik qasidahan, sampai bisa menggemari musik Nasida Ria. Rasanya luar biasa. Seperti misal di tahun 94 dan 96, Nasida Ria diundang di acara festival musik Islami sedunia di Berlin. Tidak semua dari mereka mengerti bahasa yang kami nyanyikan, tetapi audiens di sana malah masih bisa menikmati musik kami.
Proyek apa yang sedang kalian persiapkan?
Sekarang ini kami sedang mempersiapkan album yang ke-35. Seharusnya awal Mei sudah jadi. Namun karena untuk album yang ini kami produksi sendiri, jadi ada halangan-halangan teknis yang kami alami. Ini lagi ada kerusakan di komputer (tertawa). Insya Allah, awal bulan depan bisa rilis.
Selain itu, masih menjalani dulu apa yang ada sekarang. Terutama penggunaan media sosial kami yang masih harus diperbaiki dan dikembangkan lagi.
Untuk yang terakhir, jadi, bagaimana sebenarnya suasana kota santri?
H. Suhaemi, pencipta lagu “Kota Santri”, beliau tinggal di Kaliwungu, Kabupaten Kendal. Di sana, kan, banyak santri putra-putri sehingga disebut kota santri. Beliau yang tinggal di sana merasakan dan melihat langsung aktivitas-aktivitas di sana. Santri di sana lalu-lalang, berswileran terus sambil mengaji. Jadi kalau saya melihat, ingin menggambarkan suasana tempat yang agamis, penuh proses pembelajaran agama yang silih berganti orang-orangnya seperti di pesantren, dan lingkungan yang damai.