W_LIST: Best Music Releases of 2023
Sepuluh rilisan musik terbaik dari tahun 2023 pilihan redaksi Whiteboard Journal.
Words by Whiteboard Journal
Selamat datang di masa di mana apa yang masuk di telinga sedikit banyak ditentukan oleh algoritma. Di lanskap yang demikian, ada dua possible outcome: Pertama, semua yang ada di kolong langit (dengan koneksi internet) punya jendela ke wawasan musikal yang sama. Referensi yang dulunya cuma bisa dibanggakan kelas ekonomi tertentu, kini milik bersama. Outcome kedua, adalah kita sebagai konsumen bisa seenak jidat melompat dari artis satu ke artis lain dalam satu sentuhan ke layar.
Dan dua outcome inilah yang kemudian menjadi beberapa pertimbangan pertama bagi kami, redaksi Whiteboard Journal, untuk menentukan apa saja rilisan yang harus kita rayakan dari tahun 2023. Saat publik punya kebebasan untuk memilih apapun yang mereka mau, kapanpun itu, maka kita perlu mengapresiasi musisi yang masih percaya pada the idea of a cohesive release, baik itu bentuknya album atau EP. Kedua, dengan cakrawala referensi yang terbuka luas, kami juga merasa bahwa kita perlu memberi apresiasi lebih pada musisi yang berani melakukan lompatan-lompatan artistik yang beresiko. Doa kami, keberanian-keberanian ini menjadi preseden yang baik untuk rilisan di tempo-tempo mendatang.
Daftar ini merupakan pilihan subjektif dari redaksi Whiteboard Journal dan mungkin tidak bisa memuaskan banyak pihak (bahkan kami sempat berdebat sengit dalam menentukan apa saja rilisan yang harus masuk di sepuluh besar). Selamat membaca, selamat mendengarkan.
#10 – eleventwelfth – SIMILAR
What was felt from each of the 11 songs here are true to the album’s title. Segala suara dan aransemen yang terdapat di dalam SIMILAR terasa familiar: progresi Royal Road di “another night awake with you on my mind.”, warna hangat yang chugging naturally yang membawa “(stay here) for a while”, dan nomor yang unapologetically cathartic pada track ke-10. Meski begitu, familiar bukan melulu berarti membosankan—because that is a place of comfort! Terutama berkat eleventwelfth yang menyertakan referensi-referensi pembuatan SIMILAR ini di halaman profil Spotify mereka. It’s nice to see familiar faces like JYOCHO, mouse on the keys, up to John Mayer in there, and that made it less lonely when progressing through their unbroken series of songs. [GF]
#9 – Pelteras – Peranjakan
Peranjakan adalah kidung paling romantis yang pernah dipersembahkan sebuah grup musik bagi Jakarta. Ia adalah album cinta tak bersyarat dan penuh sensibilitas terhadap kompleksitasnya. Mereka bahkan bicara dengan love language yang ruang itu kehendaki: afirmasi atas betapa agresif, kasar, serta gaduhnya kehidupan ibu kota itu.
Pelteras memberikan dua belas nomor memoir romansa bergenre deathrock/post punk yang sempat tertunda sekitar lima tahun lamanya. Ketika akhirnya rilis, ia berdentum, memberikan banyak petunjuk yang tercecer terkait kisah tentang kenangan dan relasi mereka dengan kota.
Tempo musiknya cepat, selaras dengan laju pembangunan kota itu. Namun, ketika melambat, selalu ada hal-hal yang menghantui. Tone seluruh instrumen yang kasar dengan sudut-sudut solid (seperti bangunan brutalis, jika divisualisasikan), suara gemuruh tabuhan drumnya berdentum sebagaimana hamparan lahan yang terus menerus dihantam tiap harinya, dan pastinya kita bisa merasakan keresahan kolektif yang begitu imersif dalam lantunan-lantunan suara sang vokalis sampai akhir gemanya. [MR]
#8 – Milledenials – The Peak Of Youth Life
“Being young might actually be a flat circle,” adalah kesan yang didapat ketika track terakhir dari EP ini berputar kembali ke track pembuka, dan mungkin “siklus” ini sudah dimaksudkan sedemikian rupa. Mungkin juga nama The Peak of Youth Life adalah suatu sarcastic remark untuk menjargoni tema-tema withdrawal yang kuat dalam kelima lagu mereka. Dari pukulan-pukulan drum yang seperti ditenagai oleh dendam serta hantaman di gitar dan bass yang tidak kalah angsty, semua seakan menyuarakan suatu resentment terhadap detachment yang tidak kunjung memperlihatkan *the* light at the end of the tunnel.
Even if there are no hints of enlightenment in any of the songs, all of these helped in wording (and “musicalizing”) out what goes on during those shut-in phases in life, and surely somewhere out there will a resounding thank you be expressed and directed to Milledenials for this EP. [GF]
#7 – White Chorus – Limbo
Kalau berbicara mengenai duo elektronik asal Bandung ini, sulit rasanya lari dari frasa “musik keren” (atau mungkin ‘musik tren’?). And we’re saying this with the best intention possible. It takes a certain finesse to create something that serves as an epitome of edge. Bertepatan dengan kembalinya Y2K di perputaran tren tahun 2023, rasanya masuk akal untuk menghadirkan suara-suara yang dirayakan masyarakat di tahun 2000-an. Drum breaks, vocal effects, dan taburan melodic synths yang disuguhkan memperkenalkan kembali para pendengar pada musik elektronik yang cantik dan ramah di telinga.
Tidak hanya itu, hook-hook catchy di lagu-lagu seperti “Don’t Want This To Be Over” atau “This Feeling” mudah sekali untuk menempel di kepala. Earworm, as they said. Segitu catchy-nya, album ini bisa jadi satu dari sekian album yang diputar ketika kita masih terjaga hingga 3 AM in the morning, [and] my brain won’t stop working.
Selamat Emir dan Friska, kalian berhasil merilis “certified cool kid album” of 2023! [SK]
#6 – Crayola Eyes – Gushing
Ada anekdot tentang banyaknya kadar substance yang diproses tubuh seseoranglah yang menentukan kelayakan sebuah karya musik psikedelik. Keduanya kerap disangkutpautkan karena kecenderungan adiksi para ikon di genre ini. Tapi kami percaya sorotan publik akan profanitas NAPZA di semesta psikedelia kerap mereduksi centerpiece musisi yang mengusungnya, yakni rasa sudi untuk menuangkan ekspresi di dalam diri dan kemampuan mereka untuk menerjemahkannya menjadi pengalaman bunyi. Inilah yang dimiliki Crayola Eyes sebagai sebuah kesatuan.
Kita bisa dengan mudah menunjuk jejak-jejak centerpiece tersebut dalam album Gushing: mulai dari promo album yang tanpa gengsi menembangkan homage homoerotik untuk sosok inspirasinya, Sonic Boom (moniker dari the living legend Peter Kember), memasukkan nomor anthemic yang menggunakan nama band mereka sendiri—hal yang lumrah kalau saja mereka bergenre hardcore/punk, hingga secara sadar mereplikasi tarikan-tarikan vokal ala The Brian Jonestown Massacre.
Mereka tidak enggan merengkuh banyak part repetitif, progresi linear, serta pendekatan perkusi yang cenderung singular dan memanfaatkannya sebagai alunan yang membuat pendengar larut dan tersaturasi dalam pancarannya. Dengan kata lain, tidak muluk-muluk. Kalaupun ada yang terasa demikian, mungkin, adalah proses menentukan layer instrumen mana yang menjadi prioritas untuk ditonjolkan dalam presentasi finalnya.
Teritori yang dijelajahi Crayola Eyes adalah wilayah yang dihindari banyak musisi psikedelik pop Indonesia. Dan di tempat itu, mereka membangun altar hippies modern yang merangkum pustaka kebajikan bebunyian mereka—dari Soft Machine, Primal Scream, hingga Beach House (terkhusus album seminal mereka, “7”)—dan menampilkan Gushing sebagai pancaran hangat bagi para leluhurnya supaya bisa beristirahat dengan tenang. [MR]
#5 – Fuzzy, I – Supercycle
Sulit mendeskripsikan secara komprehensif musik yang begitu kompleks dengan tenggat waktu yang sangat singkat. Apalagi kalau kurang istirahat akibat insomnia. Kami rasa, ini juga yang dialami para pegiat NFT asal Kota Kembang pasca merosotnya nilai kripto. Mereka berpindah fokus: dari mengolah daya kreatif yang mulanya diperuntukkan untuk menggarap karya one of a kind di semesta blockchain, kini menjadikan musik sebagai alternatif (atau eskapisme?) pemenuhan hasrat produktivitas. Bisa terbayang mata merah kurang istirahat, kafein dari kopi saset, rasa kesal akibat kalah taruhan bola, dan jutaan ide aneh yang membludak terakumulasi menjadi sebuah kesatuan. Hasilnya adalah irama yang terangkai secara all over the place dengan ide yang melampaui zaman.
Entah berhubungan atau tidak, sepertinya menggeluti NFT membuat mereka cukup peka terhadap tekstur suara dan mengasah mereka untuk merekayasanya menjadi bebunyian yang diinginkan. Setiap suara yang muncul di berbagai area menjadi ornamen yang melengkapi keindahan arsitektur albumnya. Interiornya maksimalis: Modular synthesizer waddling along in disorienting polyrhythms, contrasting the dead accurate drums at the forefront, equipped with strange and surreal lyrics at the same time.
Supercycle adalah perwujudan kata beautiful mess dalam bentuk karya musik. [MR]
#4 – Anggun Priambodo – Anak
Anggun Priambodo adalah sebuah enigma. Kita mendengar namanya melalui video-video jenius (baik ketika bekerja atas nama The Jadugar atau saat membawa namanya sendiri), juga via film-film ajaib. Tapi rasanya, jarang di antara kita yang bisa benar-benar mengenalnya. Terutama, dalam artian dari mana ia bisa punya ide-ide absurd nan brilian itu. Apalagi, kalau kita membicarakan beberapa karyanya yang tak jarang berupa sajian acquired taste (masih ingat sama Bandempo?). Dan untuk itulah kita harus merayakan Anak, yang bisa dibilang sebagai teropong kita yang paling jelas sejauh ini untuk mengetahui isi kepala Anggun. Kali ini, ia datang dalam kemasan “anak”—yang punya tema besar dunia kanak-kanak yang lekat dengan naivety—yang juga kalau dipikir-pikir merupakan identitas yang menggarisbawahi beragam karyanya. Tema ini kemudian diberi kendaraan yang paling aksesibel di diskografi musikal Anggun, pop minimalis (credits to POTS) yang rasanya bisa masuk ke kuping siapa saja.
Tapi, layaknya sajian sinema yang dirayakan oleh sinefil, di EP ini, Anggun memberikan plot twist nuansa gelap yang hadir di antara cerah ceria yang awalnya tercipta. Di lagu “Batu”, kita yang tadinya dibuat seolah kenal dengan Anggun, tiba-tiba terasa asing, tentang apakah kita benar-benar sudah mengenal sosoknya—ataukah ini usaha menulis ulang sejarah Ari Hanggara?—apakah Anggun adalah sosok yang ceria seperti musik di rilisan ini, ataukah isi kepalanya segelap pengalaman yang dinyanyikan di lagu ini? Di era di mana musisi berusaha untuk relatable dengan pendengarnya, Anggun sekali lagi membuat kita bertanya-tanya. Dan, di tanda tanya itulah ponten sepuluh untuk rilisan ini berada. [MH]
#3 – Kunto Aji – Pengantar Purifikasi Pikir
Sebagai orang yang nggak terlalu kena di album Mantra Mantra, namun selalu penasaran sejak nonton Kunto Aji di Indonesian Idol, Pengantar Purifikasi Pikir adalah sabar yang terbayar tuntas. Meski di awal agak ragu saat membaca judul album yang beraroma pretensi, tapi semua bimbang itu pupus saat mendengar bagaimana lagu per lagu di album ini saling mengisi. Album ini melanjutkan tren positif di mana musisi “arus utama” membelot dan bereksperimentasi dengan hal-hal yang membuat label konvensional mengernyit, namun publik justru menyambut baik.
Eksperimentasi ini memuncak di “Asimetris” yang trendy nan tengil itu, namun lagu-lagu lain juga tak kalah jenial. Dengar intro di lagu “Rona Merah Langit”, yang membuka lagu dengan instrumentasi yang sering kita dengar di left-field hip hop, tapi ketika masuk lagu, Kunto tiba-tiba belok ke pop dengan groove yang dulu membuat kita jatuh hati pada Maliq & D’Essentials. Segala iseng ini kemudian diimbangi dengan tarikan vokal Kunto yang paling polos dari yang sudah-sudah—menciptakan jukstaposisi yang menarik. Tak hanya di musik, lirik juga ciamik. Dengarkan lagu “Jernih” saat harus berhadapan dengan karut marut kehidupan, dan sejenak, semesta akan terasa lebih tolerable.
Jika boleh overly-critical, hanya satu lagu, “Perjalanan Menawar Racun” yang terasa below par dengan gebu irama yang agak terasa generik itu. Selebihnya, album ini harusnya jadi kanon yang menggempur konservatisme orang label jadul/indie music gatekeeper yang percaya bahwa musik pop tak bisa keren. Semoga akan lebih banyak album semacam ini di masa yang akan datang. [MH]
#2 – Bernadya – Terlintas
Due to its redundant nature, it’s no secret that pop music rarely makes it onto our radar. Namun, ketika kami mendengar debut mini album Bernadya yang bertajuk Terlintas, tak ada keraguan sedikitpun bagi kami untuk menobatkannya sebagai jagoan easy listening di tahun 2023. Lima lagu yang disuguhkan berhasil menunjukkan kepiawaian sang singer/songwriter dalam menerjemahkan percakapan sehari-hari menjadi rangkaian bait dan nada yang apik. Tidak ada kosakata rumit yang disuguhkan di sini, hanya pertanyaan-pertanyaan para penjelajah pikiran di tengah malam. Tidak ada idealisme yang diagungkan ataupun lara yang ditangisi, hanya perasaan ragu yang ternyata jauh lebih mudah dipahami. Baik dari aransemen musik hingga melodi vokal yang dipilih, semua terasa segar walaupun tidak aneh-aneh.
Mini album ini sungguh adalah perwujudan utuh kepribadian Bernadya: muda, sederhana, dan apa adanya. Mungkin, ini juga alasan kenapa kami bisa begitu jatuh hati pada proyek debut ini. Ia hadir bagaikan oase di tengah kehausan akan sesuatu yang nyata di industri yang semakin marak gimmick dan over-strategized interactions. Bernadya hadir sebagai bukti bahwa masih ada kejujuran di industri musik pop kita. [SK]
#1 – Grrrl Gang – Spunky
“I was born in the pit. I gave birth in the pit. I never shave my pits. Let me swallow your spit.”
Album terbaik tahun 2023 ini bagi kami bukan hanya menawarkan pencapaian sisi musikal, namun juga kemampuannya dalam mengancam nilai-nilai usang tradisi konservatif. Semburan lirik vokalis Angeeta Sentana dalam berbagai nomor di Spunky! adalah mantra berapi dari sebuah generasi yang mengarungi dunia atas nama pembebasan. Ketika power-pop catchy mengait pendengar dengan romansa yang kental (“Blue-Stained Lips”), maka lutut dipastikan akan terasa lemah. Oke, kami sadar kalau tema kemuakan akan standarisasi “keren” dalam lingkungan sosial yang tak tertahankan (“Cool Girl”) bukanlah konsep yang baru. Namun, ketika tema itu digarap secara pas hingga meletup dengan tepat, maka akan selalu menjadi katarsis yang memuaskan.
Sebagai produser, Lafa Pratomo (Danilla, Iwan Fals) sepertinya berhasil menangkap energi liar band ini dan membungkus barisan hook menyenangkan menjadi nomor-nomor yang berpotensi menjadi hit—yang dengan senang hati menjadi constant repeat di pemutar musik. Sangat bisa dipahami bila Grrrl Gang saat ini mulai memanen hasil kerja keras mereka: mulai dari mendapat rekognisi internasional—ditandai dengan kerja sama album ini dengan label Kill Rock Stars (Bikini Kill, Elliot Smith, The Cribs), kemudian melakukan tur sukses di beberapa penjuru Asia dan Australia. Kami rasa, kejujuran serta penyikapan musik mereka yang minim pretensi adalah nilai utama keberhasilan mereka. Sebagaimanapun klisenya, dalam musik, honesty is always the best policy. Memangnya, ada pilihan lain? [RS]
Dengarkan deretan lagu terpilih dari The W_List: Best Music Releases of 2023 melalui playlist berikut: