The Broto dan Gebrakannya dalam Album “N.W.O.N.H.M.” yang Memadukan Heavy Metal dengan Nativisme Indonesia
Sebagai unit heavy rock metal asal Jakarta, The Broto mengungkapkan perlawanan mereka terhadap pembatasan ruang gerak kreativitas atas nama genre dengan menuangkan warna-warna khas Indonesia di album terbarunya.
Teks: Garrin Faturrahman
Foto: The Broto
Awal sejarahnya, The Broto mengawali hidup sebagai band stoner rock yang lahir pada tahun 2015 ketika anggota-anggotanya masih menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Namun, seperti yang dikutip dari ungkapan mereka, label dan cap stoner rock di nama mereka ternyata dirasa mencekik dan membatasi ruang gerak dalam bermusik—mereka juga menambahkan adanya rasa bosan dengan tempo yang “gitu-gitu doang.”
Lantas, pada tahun 2020, mereka mulai memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman sebelumnya yang melekat pada genre stoner rock: kultur ganja, pseudo-hippies, dan musik malas. Pergerakan mereka ini didasari oleh kepercayaan four-piece band ini—Abi (vokal), Rinto (bass), Boby (guitar), dan Fathur (drums)—bahwa musik adalah refleksi diri sang penulisnya. Kepercayaan mereka ini pun dibuktikan dengan kumpulan lagu-lagu yang penulisannya dilaksanakan dalam rentang waktu yang merupakan transisi hidup masing-masing, yang juga menggambarkan rekam jejak mereka: from pothead to adulthood; dan bagi mereka, kedewasaan itu adalah perang dalam melawan diri sendiri.
Maka, perang yang dimaksud adalah dengan “revolusi identitas” yang diinterpretasikan sebagai kembalinya mereka ke muasal, yang mereka manifestasikan lewat jargon terbarunya dalam bahasa Kawi, “Sangkan Paraning Dumadi”, atau “Traditionalist Motherfuckers” dalam bahasa Inggris. Dengan niat baru ini, album terbaru mereka yang diberi judul Neo Wave of Nusantara Heavy Metal, atau disingkat N.W.O.N.H.M., merupakan bentuk awal dari dedikasi The Broto untuk menyuarakan kembali cerita dan fakta dari sejarah lokal. Dari kisah penolakan masuknya Islam oleh penasehat mistik Brawijaya V sang raja Majapahit ke VII di lagu “Sabdo Palon”, hingga kritik mereka terhadap dalang genosida di Sulawesi Selatan dan peristiwa A.P.R.A. yang justru mendapat gelar pahlawan dari Belanda lewat lagu “Raymond fucking Westerling”, kedelapan lagu di album ini adalah sebuah pengingat sederhana bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, dan sebaiknya dipelajari.
“Bagi kami, mencari identitas diri dalam sejarah bangsa membuat kami terpacu untuk berbuat lebih dalam hidup dan karir masing-masing, dengan musik sebagai katalis penyemangat dan penyampaian ala musik keras Barat sebagai sarana penunjang,” ungkap mereka.
Akhir kata, album ini penuh sesak akan sejarah negeri Indonesia, dinamika pendewasaan diri, hingga tumpahan emosi akan derita hidup, yang semua dikemas dalam musik keras yang mencampurkan tangga nada Bali, hingga aksen-aksen ornamen musik Jawa. N.W.O.N.H.M. dirilis dalam format CD pada 24 Juni 2022 silam, dan sudah dirilis secara digital di Spotify, Deezer, Apple Music, dan 150+ streaming services lainnya.