Perbincangan Album Terbaru Gerald Situmorang x Sri Hanuraga “Meta”
Mulai dari pertemuan pertama mereka, kolaborasi musikalitas jazz, inspirasi bermusik, hingga membahas proyek lanjutan setelah album perdana mereka.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Vestianty
“Meta”, kolaborasi album musik jazz gitar dan piano antara Gerald Situmorang dengan Sri Hanuraga (Aga) baru saja dirilis pada awal Februari lalu. Gerald yang tergabung dalam Barasuara sejak 2012 bermain sebagai pemain bass, telah dua kali juga merilis debut album solo gitarnya yang bertajuk “Solitude” (2016) dan “Dimensions” (2017) sebagai rasa ekspresi musikalitasnya terhadap musik jazz. Di satu sisi, Aga pun tergabung dalam Sri Hanuraga Trio bersama dengan bandnya merilis album “Indonesia – Volume 1” (2016) yang berduet dengan penyanyi bertalenta bervokal kuat Dira Sugandi. Dalam album itu, Aga bersama rekan-rekannya mengaransemen ulang beberapa lagu daerah Indonesia yang unik dengan sentuhan musikalitas jazz. Baik Gerald maupun Aga, mereka memiliki rasa kecintaan yang besar terhadap jazz dengan gayanya mereka masing-masing hingga akhirnya membawa mereka saling melengkapi saat berkolaborasi bermain musik bersama. Kami berbincang dengan mereka berdua untuk membahas kolaborasi musikalitas jazz, inspirasi bermusik, hingga membahas proyek lanjutan setelah album perdana mereka, “Meta”.
Meta berarti sebuah perubahan atau beyond. Mengarah ke manakah perubahan yang ingin dituju?
Aga: Iya kan tadi seperti yang Gerald bilang, biasanya jazz duo tuh lebih organik kan. Basically seperti jamming saja, rata-rata orang jazz dua duet piano. Yang sudah-sudah tuh hal seperti itu yang pernah ada. Jadi kami mau go beyond itu. Kami mau mengubah itu. Dan juga metamorfosis dari sound piano yang dimanipulasi itu.
Gerald: Iya kan sound-nya kan ingin seperti gamelan, lalu mau synth arpeggio, tapi semua bunyi yang di rekamannya dari gitar dan piano. Pun tetap ada yang diproses setelah melewati Digital Audio Workstation, tapi tidak sebanyak itu juga. Memang dari akustiknya sudah kami cari yang kira-kira mencapai begitu lah.
Apa yang membuat kalian memutuskan untuk berkolaborasi bareng untuk membuat sebuah album?
Gerald: I’m a big fan of Sri Hanuraga. When I start to see him play the piano…
Aga: (tertawa)
Gerald: Tidak, tapi saya benar-benar ngefans dengan Aga. Jadi saya pertama kali main bersama Aga itu di 2014. Saat itu si Aga baru pulang dari Belanda. Terus saya ajak Aga. Cuma saya tidak membayangkan kalau Aga memainkan lagu saya sih sejujurnya. Nah, pada saat pertama kali show, tiba-tiba somehow we feel connected, we listen each other. Tapi benar deh. Tadi saya bilang ada satu lagu yang duo kan, tiap show di luar pakai band. Tapi pas ‘gila’ saya dengar sekali Aga main lagu saya, komposisi saya, he bring it to another level, you know? Tapi jujur sih, memang benar seperti itu. Jadi, komposisi saya yang menurut saya “Wih cocok juga ya dengan touch pianonya Aga, dengan isian ritmik atau ide dari dia. Dan teman-teman dekat saya pas sudah nonton itu juga komentar “Wah anjrit, Ge. Lagu lo jadi beda banget sih”.
Nah kalau dari sisi Aga, saya tidak tahu ya. Setelah itu saya akhirnya mulai sering main jazz, dalam arti justru sering mengiringi Monita Tahalea. Saya jadi produser albumnya Monita, Aga jadi bintang tamunya. Lalu saat konser di Komunitas Salihara juga, konser Dandelion kemarin saya jadi music director-nya, Aga jadi bintang tamu juga. Nah, pada saat 2016, pada saat Aga jadi guest star saya bilang “Oi Ga, kayanya seru ya main duo lagi ya.” Kan si Aga punya ide prepared piano dari 2014 cuma belum kejadian. Akhirnya baru dieksekusi setahun kemudian setelah tahun 2016. Kalau dari sisi saya sih seperti itu. Kalau dari sisi Aga tidak tahu deh.
Saya merasa ide kami berdua melengkapi satu sama lain.
Aga: Sama sih waktu baru pertama kali main di Red White Lounge itu merasa ada koneksi. Tidak cuma dengan cara main Gerald, tapi lebih pada visinya dia terhadap musik juga, dalam artian itu termanifestasi di lagu-lagunya dia. Jadi kenapa saya juga bisa secara natural – walaupun kami juga tidak pernah latihan tuh waktu main di Red White Lounge. Kami benar-benar jamming organik. Nah, walau seperti itu somehow karyanya Gerald, komposisinya, resonate ke saya. Saya somehow jadi tahu saja cara mainnya bagaimana. Somehow komposisinya sendiri sih buat saya yang memberi ide saya untuk main seperti itu sebenarnya. Dan juga sebagai pemain, saya juga suka sekali permainan-permainannya Gerald. Satu sih menurut saya spesial dari dia itu dia punya child-like quality. Dia selalu seperti anak kecil saja, eksplor musik on the spot, ataupun composing juga seperti itu. Dan itu memberi unique voice aja.
Kecocokan apa yang membuat musikalitas kalian bisa terikat?
Gerald: Memang sering mengobrol juga sih. Justru memang jarang main bareng sih. Ya kan saya rilis album solo juga diisi Aga – judulnya “Dimensions” – pakai elektronik, pakai synth. Dan sering mengobrol, sering diskusi juga sih kalau ketemu. Pokoknya pas main bareng as in duo benar-benar baru saat Salihara Jazz Buzz 2019 – as in duo all set ya, maksudnya seperti full show gitu.
Bagaimana memadukan dua musikalitas yang berbeda menjadi padu dalam musikalitas kalian berdua? Ada karakteristik yang berbeda tidak dari kalian berdua yang menjadikan musikalitas kalian menjadi satu?
Gerald: Kalau saya sih – ya ini saya sebagai penulis lagu dan saya sebagai pemainnya juga, dan Aga sebagai penulis lagu di albumnya dan pemainnya juga; dengan melihat respon pendengar juga – memang kelihatan banget sih komposisi saya yang mana, komposisi Aga yang mana. Jadi karakteristik dari cara main, cara Aga improvisasi dengan cara saya improvisasi juga beda. Dan saya banyak nanya juga dan banyak belajar dari Aga sih, bagaimana sih trik-trik improvisasi? Karena menurut saya dia master dalam improvisasi ya di luar lagunya juga, sangat menarik. Saya banyak bertanya ke dia, banyak diskusi, banyak belajar. Tapi somehow juga itu kami idenya bisa tidak menumpuk, tidak ada yang dominan. Nah pada saat rekaman juga banyak ide muncul. Saya sih saat menulis lagu, khusus album ini ada tiga sebenarnya, “God of Dragons”, “Rintik Hujan”, dan “Thieves of Mind”. Itu saat saya menulis lagu memang sudah membayangkan Aga yang mainkan touch-nya. Jadi saya punya mindset, “Oh ini memang yang mainin Aga.”
Jadi saya sudah buat lines piano yang menurut saya cocok sama touch-nya dia. Cuma pada saat rekaman banyak ide lebih menarik lagi yang bisa dicoba. Dan banyak ide yang pas terjadi pada saat rekaman. Kan kalau tipikal saya misalnya sebagai produser kadang sudah mempersiapkan pre production dari jauh hari kan. Isian gitar begini, isian piano begini. Cuma kalau yang album ini justru eksplor pada saat hari H, “Oh ini sound-nya kaya gini kali ya, oh ini ritmiknya kaya gini ya,” begitu.
Aga: Iya saya merasa ide kami berdua melengkapi satu sama lain sih karena musik saya cenderung dark dan mungkin agak ribet. Lalu Gerald complement sesuatu musiknya penuh hope.
Gerald: (Tertawa) Kaya bright gitu.
Lagu mana yang paling sulit untuk dimainkan?
Gerald: Paling sulit? Lagu-lagunya Aga tuh sulit semua.
Aga: Sebenarnya kalau dari saya sih “God of Dragons” dan “Hyperreality”. Itu dua lagu yang paling menggambarkan konsep album sebenarnya, karena treatment dari eksplorasi timbre dan form itu paling intens di dua lagu itu. Nah itu juga karena rekaman kami bisa over dubbed. Nah pas main live tuh kami sangat memikirkan bagaimana caranya. Kan banyak sekali layer – bagaimana caranya untuk mengakali supaya sound-nya juga bisa direproduksi ulang pada saat kami main live. Lalu tantangannya kalau saya mungkin paling susah secara teknis adalah bagian solo dari lagu “God of Dragons” karena saya harus main bass seperti ini (menunjukkan kedua tangan yang harus bermain dua piano secara bersamaan yang ada pada sisi depan dan belakang dirinya saat bermain live). Ini aneh sekali sih buat saya main mesti seperti ini, ini tidak natural. Kadang-kadang ada porsi yang sebenarnya sakit tangan saya.
Gerald: Musisi harus menderita untuk mencapai karya-karyanya. Kalau saya sama sih seperti Aga. Apa ya? Sebenarnya tiap lagunya punya tantangan masing-masing pasti. Cuma ya kalau saya kebetulan misalkan lagu saya yang “God of Dragons” memang panjang kan. Cuma sebagai penulisnya, saya beruntung sudah hafal duluan dari Aga – nah Aga mesti menghafal lagi. Sedangkan di lagunya Aga, sama juga begitu sih. Jadi seperti saling bertukar. Cuma ya, kalau saya selalu tantangannya – saya sih introspeksi diri sendiri yah. Tantangannya kalau memainkan lagu saya, atau lagunya Aga juga sih sama, karena itu tadi. Kami kan bukan duo free yang bisa ke mana-mana kan. Seperti ada form yang jelas setelah dari sini ke mana, lalu dari sini sound-nya ke mana. Jadi harus benar, tidak bisa yang free banget. Memang ada bingkai yang menjaga saja gitu.
Musisi harus menderita untuk mencapai karya-karyanya.
Tapi sebenarnya tetap bisa free juga sih, seperti ide di live dan di album beda. Tetap ada hal-hal beda yang lain. Pasti kan kalau misalkan yang sudah dengar albumnya pasti pas dengerin live-nya juga expect kaya gitu kan – ya saya jujur juga tidak peduli dengan pendengar sih, tetap memikirkan kami berdua saja seperti apa. Tapi dalam arti sudah ada form yang fixed yang memang sudah mesti dimainkan seperti itu. Nah itu termasuk tantangan juga kalau bagi saya. Jadi memang harus begini nih, memang solonya enak begini. Kalau kepanjangan justru terlalu over, jadi tidak sesuai ceritanya. Kepanjangan juga menurut saya narasinya jadi tidak oke. Jadi benar-benar mesti padat dan tepat tiap lagu.
Kalau lagu yang menjadi paling favorit?
Aga: Kalau saya sih suka “Hyperreality” sama “God of Dragons” itu sih.
Gerald: Kalau lagunya Aga mungkin saya paling suka “His Spirit” yang diberikan buat almarhum Riza Arshad. Kalau lagu saya sendiri ya “God of Dragons” atau “Rintik Hujan” sih karena saya spesial nulis lagunya buat proyek duo ini. Saya sudah kebayang touch-nya Aga. Tapi somehow lumayan menembus batas yang tadinya rencana gue tidak rencana memasukkan ke album “Thieves of Mind” – saya spesial menulis lagunya buat album ini juga – saya pun bertanya perlu tidak yah memasukkan lagu ini. Tapi saat lagunya jadi dan saat diberi ide aransemennya oleh Aga, “Wih ternyata lagunya berkembang.”
Ternyata, banyak jadi favorit juga sih si “Thieves of Mind” itu. Ya kalau “Hyperreality,” saya dari awal mendengar ini memang semacam jadi termasuk tema utama di album ini lah. Kalau “God of Dragons” tadinya saya justru belum merasa itu – secara timbre ya. Kalau komposisi form dan segala macam sih “God of Dragons” yang menggambarkan komposisi panjang tadi. Kalau “Hyperreality” ya sound, eksplorasi timbre dan segala macam – walaupun misalkan dibilangnya form-nya cuma A-B gitu, tapi banyak hal-hal yang aneh aja tiba-tiba ada spoken words, dsb.
Bagaimana harapan kalian terhadap pendengar akan karya kalian?
Gerald: Kalau saya dengan Aga tidak expect; album ini lumayan responnya. Ini kalau kami lihat respons ya, kalau saya lihat dari sosial media, YouTube, Spotify ternyata sepertinya lumayan mudah dicerna sih. Dan hal itu justru membuat kami senang sekali. Pun lagunya Aga yang kalau kita detailkan chord-nya, tapi orang tetap bisa relate dan masuk langsung kalau secara dengar. Dan itu menurut saya hal yang spesial sih. Jadi harapannya saya memang mungkin karena dengan format duo – walaupun dengan form, komposisi yang panjang, dengan gitar dan piano; utamanya kan gitar dan piano tuh kan lebih gampang dicerna dibanding ada drum, bass, atau banyak ritmik satu sama lain. Tapi ini seperti memang padat, walaupun banyak form-nya panjang, sound-nya banyak, tapi mudah saja.
Jadi harapannya gue memang sudah lumayan tercapai sih, kalau buat pendengar ya. Misalnya, “Wih, kok ternyata nih orang pada nangkap ya album ini ya. Ok deh baguslah.” Dan balance-nya itu tadi yang Aga bilang sih. Jadi balance lagunya, komposisinya Aga warnanya kaya seperti apa, lagu saya juga, lalu dijadikan blend satu album, jadi buat pendengar juga pas gitu. Kalau misalkan isinya lagu saya saja, mungkin terlalu manis. Kalau misalkan cuma lagunya Aga takutnya terlalu dark. Tapi ini dengan balance yang pas, jadi semoga pendengar bisa mendengar as a whole, naik turunnya atau dinamika lagunya, atau dinamika warnanya. Kalau saya sih begitu. Kalau Aga gimana?
Aga: Walaupun mungkin di balik musiknya yang agak kompleks. Tapi saya berharap itu bisa diterima orang dan bisa jadi soundtrack kesehariannya mereka sih.
Bagaimana almarhum Riza Arshad memberi pengaruh terhadap musikalitas kalian?
Gerald: Saya dulu deh. Aga yang jauh lebih dekat soalnya. Kalau saya sama Mas Riza ngefans awalnya. Saya sudah ngefans simakDialog dari masa SMA. Kan band itu sudah ada dari tahun 90-an, gue SMA baru 2003. Cuma saya mulai mendengar awalnya karena Tohpati – maksudnya simakDialog siapa nih. Oh ternyata leader atau komposernya Riza Arshad kan. Saat saya mendengar mainnya dan komposisinya, gila banget. Nah, sampai suatu saat tiba-tiba saya bisa kenal Mas Riza. Saya pernah ke rumahnya dia, pernah mengobrol. Sama sih, dia bukan sekadar musiknya doang sih, tapi kalau mengobrol dan segala macam seperti memberi insight, masukan dan ide. Dan sikat dia sama dengan junior atau yang lebih muda – seperti teman. Maksudnya, gila saya tadinya ngefans, tiba-tiba dia jadi teman. Kadang bisa tiba-tiba WhatsApp. Dan dia orang yang tiba-tiba misalkan setiap Natal atau setiap tahun baru pasti dia SMS lebih dulu. Saya masih ada tuh chat WhatsApp sebelum beliau meninggal.
Dia juga memberikan masukan kalau saya bertanya, “Mas, ini chordnya improvisasinya gimana ya?” Tapi lebih seperti mengobrol, diskusi. Dan bersyukur main bareng juga pernah ya. Dan itu sangat mempengaruhi musikalitas saya sih. Dan saya ngefans sekali dengan simakDialog. Orang-orang bilang ke saya kalau lagu simakDialog itu susah, tapi saya hafal. Tapi saya tidak bisa mainin ya. Tapi saya hafal di kepala lah, melodinya, atau solonya, maksudnya seperti masuk sekali ke otak. Saya tidak tahu kenapa somehow kalau mendengar lagu mereka, itu tuh enak banget. Kalau misalnya saya ditanya, waktu itu saya pernah mendekati perempuan, “Lo band favorit lo apa?” “simakDialog” “Hah? Apaan tuh simakDialog” “Yeah!” Saya bisa dengan bangga bilang itu band favorit saya. Memang simakDialog secara komposisi dan format itu sangat inspiring bagi saya.
Mas Riza secara orang juga enak ngobrolnya. Pasti secara tidak langsung memang mempengaruhi saya dalam komposisi dan dalam main sih karena saya benar-benar mendengar dia banget mainnya. Yang satu yang saya sayang kalau saya bisa cerita, saya hampir mau tur menggantikan Mas Bontot ke Amerika. Itu zaman-zamannya Barasuara awal tuh 2014/2015. Saya sudah sampai izin “Eh gue mau tur ke AS nih sama simakDialog kejadian”. Mas Riza sudah sampai telepon. Saya sudah meeting dan segala macam, cuma itu tidak kejadian. Itu doang sih yang membuat saya membatin “Anjrit.” Saya belum sempat kebagian main sama simakDialog, di luar itu tur di AS atau main di mana. Itu saja sih. Karena guru saya, Nikita Dompas sempat menggantikan Mas Tohpati. Terus saya lihat Adit Bayu sempat main. “Dit, gue kapan ya?” Terus dapat kesempatan itu, tapi tidak kejadian lho, cancel turnya. Ya tapi itu sangat mempengaruhi musikal gue sih. Itu cerita saya, cuma Aga sih yang mungkin dekat sekali ya sama Mas Riza.
Aga: Kan kalau tidak kenal dia, saya tidak jadi musisi. Saya ingat itu konser yang mengubah hidup saya banget sih waktu itu simakDialog main. Saya sebelumnya sudah sering bertemu Mas Riza Arshad di acara-acara – dulu ada M90.7 FM, mereka selalu membuat tribute untuk rock legend dari tahun 70 dan 80-an. Nah Mas Riza suka main di situ. Tapi dia selalu main accordion. Jadi saya tahunya dia pemain accordion. Terus tiba-tiba, saya tidak ingat bagaimana saya bisa end up di Gedung Kesenian Jakarta, terus nonton simakDialog. Terus saya kaget Mas Riza main piano. Saya kaget saja tuh ada musik bunyinya seperti itu. Itu dulu album “Transmission.” Nah itu kalau di dua lagu – di album Meta ada dua lagu yang saya dedikasikan buat Mas Riza judulnya “His Spirit” dan “Thrown Words” itu mengambil judulnya dari lagu di simakDialog di album “Transmission” itu. Judul aslinya “This Spirit” saya ubah jadi “His Spirit.” Satunya lagi “Throwing Words” jadi “Thrown Words”. Ya itu awalnya itu mengubah hidup saya banget karena saya jadi – tadinya saya dengerin rock banget sebenarnya, progressive rock.
Terus pada saat saya mendengar simakDialog itu lumayan on repeat untuk waktu yang lama dan itu mempengaruhi saya sekali. Ya contohnya sampai sekarang mungkin kalau orang dengar suara roads, kebanyakan orang akan bilang “Oh, kalau roads identiknya Herbie Hancock atau Chick Corea” Kalau saya karena mendengar simakDialog. simakDialog roads ingatnya sama Mas Riza. Di “Transmission” banyak sekali lagu roads. Nah, anyway terus saya mau belajar sama dia tapi dia tidak mau lah mengajari. Yang dia bilang main-main saja ke rumahnya. Ya terus saya suka main ke rumahnya. Sampai saya sekolah di Belanda juga saya selalu nanya-nanya ke beliau, tetap masih via e-mail. Sampai akhirnya kami punya band bareng bernama W/H/A/T dan merilis album bersama, judulnya “No Words”.
Terus, yang tidak menyangka sekali pas dia meninggal itu tiba-tiba anggota simakDialog menghubungi saya, mengajak saya untuk menggantikan beliau. Itu tuh membuat saya merasa honored banget sih karena itu saya ngefans sekali dengan band itu. Dan sekarang saya bisa ada di situ dan lagi-lagi momen saya bergabung ke simakDialog tuh jadi turning point buat saya secara musik. Karena main di setting band seperti itu, pakai kendang, dan bahasanya beda. Mungkin itu musik jazz, tapi banyak unsur musik Sundanya. Jadi ketika saya harus main di situasi seperti itu jadi turning point lagi. Saya harus belajar sesuatu yang baru. Saya harus menyesuaikan cara main saya. Itu jadi trigger bagi saya untuk eksplorasi timbre segala macam. Hal itu datangnya karena akhirnya saya banyak mendengar musik tradisional dari berbagai daerah di Indonesia. Makanya akhirnya kan manifestasinya di album Meta.
Apa yang membuat kalian tetap bersikeras mewujudkan album kolaborasi bersama piano-gitar yang pada tahap pembuatan awalnya sukar sekali untuk memiliki waktu untuk menggarapnya?
Gerald: Karena saya sudah menulis lagu.
Aga: (Tertawa)
Gerald: Pada 2016, saya bilang mau buat duo – dalam arti rekam album, maksudnya benar-benar serius mau buat duo. Saya langsung benar-benar kirim e-mail ke Aga, “Eh Ga gue sudah jadi nih satu.” “Wih Ge, lagunya ini..” Nah, cuma Aga sempat writers block lah istilahnya. Cuma jadinya ya, kami juga santai, kami berdua santai. Karena apa? Karena kan ada proyek masing-masing kan. Saya juga merilis album solo, ya Aga juga yang mengisi. Aga juga sama trionya bareng Dira Sugandi. Saya juga sama Barasuara. Kalau menurut saya sih kalau album seperti ini memang harus di-‘gong’-in saja sih dan harus ada dedikasi. Perihal kami sibuk atau tidak, kalau dari orangnya sudah komitmen dengan jelas memang mau menyelesaikan, bisa terjadi. Walaupun waktunya butuh setahun ya setelah kami memang sudah oke.
Jadi Desember 2017 tes latihan, wih masuk akal nih. “Udahlah ya langsung rekaman aja.” Karena takutnya kalau latihan-latihan tidak tahu mainnya di mana, belum bisa bawa album juga agak susah kan kalau kirim festival di mana. “Udahlah langsung aja rekaman Januari” Sudah rencana mau bawa pianonya Aga ke rumah gue, ternyata dapat pinjaman dari Mas Aksan, cuma si instrumen. Sudah datang piano, sudah harus rekam album. Jadi memang sudah harus. Oh sebelumnya sempat main duo juga di konsernya gue “SoliTour”. Saya merilis album solo gitar. Nah, di penutupan tur di Jakarta, saya mengajak Aga sebagai bintang tamu lagi. Nah, itu memainkan lagu dari album “Solitude” pas duo. Saat di panggung itu saya bahkan bilang “Wey, tahun depan gue mau rilis album nih sama Aga 2017”. Tapi ternyata, 2019. Tapi itu sudah ada di kepala kami berdua lah mau mengerjakan ini album, cuma tidak terjadi. Baru pada bulan Desember, Aga dapat tiga lagu langsung. “His Spirit” baru ada di akhir, April kalau tidak salah Aga menulisnya. Jadi sudah terkumpul nih. Lalu saya ada lagu-lagu stok lama kan – dalam arti “Something New” (salah satu lagu di album Meta) itu sudah dimainkan di Red White Lounge pada 2014, tapi sebenarnya saya tulis di 2011.
Walaupun mungkin di balik musiknya yang agak kompleks. Tapi saya berharap itu bisa diterima orang dan bisa jadi soundtrack kesehariannya mereka sih.
Saya banyak stok yang sepertinya cocok nih untuk dimainkan oleh Aga. Ada dua, sudah terkumpul lagunya semua. Aga ada empat, saya ada enam, sudah. Terus sepertinya memang sudah saatnya saja gitu. Kalau lagunya mungkin masih kurang, mungkin kami belum bisa langsung rekam kan. Tapi karena komposisinya sudah jadi, sudah jelas, ya sudah kami produksi saja langsung. Ya kalau memakan waktu dan segala macam sih karena memang sibuk masing-masing sih. Tapi karena memang niat – kami berdua sih cukup serius sama duo ini sih. Dari foto, dari artwork, itu dipikirkan banget lah oleh kami berdua. Dan kami sudah ada proyek ke depan, beberapa rencana misalnya mau rilis video interaktif, tapi nanti saja.
Apa keistimewaan musik jazz bagi kalian?
Gerald: Wah.
Aga: Jadi karena jazz kan memberikan kebebasan banget untuk improvisasi. Nah tapi bukan ‘itu’-nya yang sebenarnya membuat saya jatuh cinta dengan musik jazz. Sebenarnya secara general, seni apapun saya suka sesuatu yang kaya nuansanya. Nah, di jazz karena ada non arbitrary elemennya karena freedom of improvisation itu. Nah, itu bisa menghasilkan momen-momen yang tidak dibayangkan oleh orang yang memainkan sebenarnya. Banyak surpirse moment yang akhirnya bisa memberikan richness yang tidak bisa didapatkan dari musik-musik yang memang ditulis.
Gerald: Ya itu yang membuatnya segar. Sama seperti misalkan baru pertama kali memainkan sebuah lagu atau baru latihan, tapi pada jazz, ketika memainkan lagu yang sama, kita bisa mendapat hal baru melulu, dengan tidak ada ekspektasi. Sama seperti kami, walau sudah ada bingkai yang jelas, tapi tetap pada bagian solo Aga, tebakan comping darinya bisa memberi elemen berbeda yang seharusnya tidak akan membosankan untuk dimainkan selama terus dieksplorasi. Jadi itu yang mungkin menarik ya. Cuma saya memang senang jazz karena banyak kombinasi dengan banyak musik – seperti fusion. Ya contohnya simakDialog, jazz bisa nyambung saja ke mana-mana dengan format macam-macam. Menarik. Ya, musik klasik juga banyak ya yang kontemporer. Tapi menurut saya jazz bisa difusi, free dan segala macam. Seru.
Akankah terjalin proyek kolaborasi bersama lagi ke depannya?
Gerald: Saya dan Aga sih sudah punya rencana album kedua. Baru ide kasar sih, maunya mengeksplor sesuatu. Ya nanti saja kami kasih tahu kalau memang terjadi, soalnya daripada omdo (omong doang) (tertawa). Tapi mau serius mempromosikan album ini sih, dalam arti ingin dibuat jadi tur. Bahkan kalau ada yang mensponsori atau tidak, tetap mau main di banyak tempat. Salihara jadi awal mula yang bagus banget sih, bisa main dua kali di Jakarta sudah cukup lah. Siapa tahu bisa main di Bandung, Jogja atau bahkan luar negeri – karena memang sudah ada rencana.
Kalau untuk di luar negeri, ingin membuat medium lain selain musik untuk enhance atau eksplorasi karya kami bisa diolah menjadi apa saja ya. Misalnya, minggu depan atau dalam waktu dekat akan rilis video interaktif. Tapi bagaimana menjelaskannya ya? Ya nanti saja, alami saja. Maksudnya, kami sudah punya lagu-lagunya nih dan trik untuk memainkannya secara live tapi kami tidak mau sekadar didengar. Visualnya pun ingin berbeda – misalnya video klip. Kami sudah ada rencana tapi mesti di-review lagi. Seru lah bagi kami berdua, jadi video klipnya tidak sekadar main piano dan gitar, tapi mau ada cerita di baliknya. Jadi memang bisa eksplorasi ke medium selain musik.
Ya intinya promosi. Saya ingin buat tur dengan Aga sih karena konsep kami dua, cukup sederhana walau setnya butuh banyak kalau mau full set. Tapi dengan saya membawa badan dan Aga saja sudah bisa bunyi kalau ada piano dan gitar. Karena bagi saya sih album ini balance dan diterima pendengar. Jadi ada yang manis tapi juga ada kesulitannya. Apa lagi Ga yang mau kita lakukan?
Aga: Udah lah, ya itu.
Gerald: Intinya mau buat video klip – gampangnya begitu. Tapi video interaktif, beda sama video klip.