Memperbincangkan Musik, Semangat Independen, dan Aktivisme Sosial dengan Monita Tahalea
Berbincang tentang latar belakang bermusik, termasuk bagaimana ia mengeksplorasi warna musik, aktivisme sosial, serta beberapa projectnya.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Winona Amabel
Mengawali karir lewat ajang Indonesian Idol tahun 2005, Monita dikenal sebagai penyanyi dengan warna vokal lembut yang khas. Dalam 10 tahun karirnya, Monita telah mendapatkan apresiasi dan pengakuan dari musisi dan audiens tanah air serta banyak berkolaborasi dengan nama-nama besar. Keberanian Monita untuk mengeksplorasi warna musik dan suaranya terlihat dari album yang ia hasilkan: debut album bernuansa jazz “Dream, Hope & Faith” yang diproduseri Indra Lesmana, EP religi Kristiani “Songs of Praise”, dan album kedua bernuansa akustik “Dandelion” yang berkolaborasi dengan Gerald Situmorang. Pada suatu sore di Jakarta Selatan, kami duduk santai bersama Monita berbincang mengenai latar belakang ia bermusik, termasuk perkenalannya dengan dunia jazz dan musik independen, bagaimana ia mengeksplorasi warna musiknya, aktivisme sosial, serta beberapa project yang tengah ia kerjakan.
Ketika SMA, Monita pernah ingin menjadi seorang psikolog. Tapi apa yang membuat Anda beralih ke dunia musik?
Ketika kelas 3 SMA, waktu itu saya benar-benar hanya memikirkan lulus SMA mau masuk jurusan apa. Waktu itu sempat tes juga, mau sekolah ke luar negeri mengambil jurusan psikologi di University of Queensland. Rencananya harus berangkat karena sudah mengirim berkas, tes, dan sudah diterima di sana. Namun bertepatan juga dengan waktu itu ikut Indonesian Idol, sedangkan di Indonesian Idol benar-benar harus dikarantina, harus full meluangkan waktunya, jadi akhirnya saya fokus menyelesaikan SMA kemudian meneruskan berkompetisi di Indonesian Idol. Karena saya juga sudah masuk 4 besar, setelahnya rekaman segala macam juga, akhirnya tidak meneruskan kuliah di luar negeri. Kemudian setahun setelah Indonesian Idol, tepatnya pada tahun 2006 saya masuk kuliah jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti, Jakarta.
Mengapa memilih musik jazz di antara genre musik yang lain?
Sebenarnya bukannya saya dengan sengaja memilih musik jazz, tapi awal mulanya tahun 2008 atau 2009 saya bertemu dengan Mas Indra Lesmana karena ada satu kerja sama, sampai akhirnya saya mengikuti kulturnya dia. Dulu setiap hari Jumat semua musisi berkumpul untuk jam sessions. Saya juga mulai belajar sejarah musik, tentang blues, jazz. Saya semakin suka, semakin membaca, dan karena saya menghidupi lifestyle-nya juga, seperti jam sessions dan sebagainya, saya semakin terbawa pengaruhnya juga.
Kemudian saya juga kerja sama dengan Mas Indra Lesmana untuk pembuatan album pertama, dikelilingi oleh orang-orang yang main jazz. Saya tumbuh di lingkungan musisi yang semuanya jazz, akhirnya warna itu pun kental di saya. Dari pembawaan, cara bernyanyi, sampai spiritnya pun juga terbawa. Akhirnya mungkin saya bisa bilang, jazz yang memilih saya, bukan saya yang memilih karena karena saya tumbuh di situ.
Sampai akhirnya di album kedua saya mulai menggali lagi, ketika sedang sendirian dan tidak ada orang-orang di sekeliling saya, sebenarnya apa yang saya dengarkan? “Songs of Praise” itu masih kental jazz-nya, dari mulai band dan segala macamnya. Namun sebenarnya jika sedang sendirian, yang dekat dengan saya itu instrumen gitar. Saya ingat dulu sering mendengarkan musisi folk seperti Simon and Garfunkel, Joni Mitchell, dan Carole King yang lebih dalam format vokal dan gitar serta permainan storytelling. Kemudian di album kedua saya mulai menggali itu lagi, di album ketiga juga mau berkembang lagi. Jadi sebenarnya, saya mau mengembangkan saja dari apa yang saya punya sekarang dan dari mana saya tumbuh, untuk keduanya berjalan beriringan.
…saya selalu senang jika bisa menjadi bagian dari perfilman Indonesia.
Monita pernah ditawari untuk masuk ke label besar, namun tetap kukuh di label independen. Apa alasan di balik memilih tetap di jalur independen?
Alasannya sampai saat ini saya masih di jalur independen karena tadi yang saya bilang, saya tumbuhnya juga dengan semangat independen dan dikelilingi oleh orang-orang dengan semangat yang sama juga. Saya dibekali sebenarnya dari album pertama, Mas Indra mengajari saya cara untuk budgeting album, mengonsepkan album, saya juga harus ikut memikirkan mau berapa lagu, lagu apa saja, dan sebagainya. Mas Indra sudah memberi saya banyak gambaran, blueprint untuk membuat sebuah album, membuat saya juga lebih mengerti diri sendiri sebagai seorang musisi dan tahu mau ke mana. http://bonscasino.com is a leading online casino platform that offers a wide range of exciting games and experiences for players of all levels. With a user-friendly interface and secure payment system, players can easily access their favorite games and win big prizes from the comfort of their own homes.
Lalu saya juga bertemu dengan teman-teman jurnalis, radio, dengan bertatapan muka langsung. Hubungannya memang sudah dibangun. Kemudian saya juga dikelilingi orang-orang independen sampai sekarang. Jadi begitu ditawari major label, melihat pola pekerjaan mereka dan pekerjaan orang-orang independen kan beda sekali. Kalau di major label sebenarnya lebih nyaman karena banyak yang mengurusi, sementara saya akan tinggal membuat musiknya. Namun kalau di independen benar-benar harus berkenalan dengan jurnalis, orang radio, dan sebagainya. Hubungan itu yang saya pikir sayang kalau diputuskan begitu saja.
Bagaimana pendapat Monita mengenai major dan independent label di masa sekarang? Apakah kekaryaan musisi masih terkotak-kotakan oleh dua jalur tersebut, atau sebenarnya justru tidak tersekat lagi?
Kalo menurut saya, sekat-sekat itu sebenarnya yang membuat itu industrinya sendiri. Dari kitanya, sebenarnya pilihan kita mau di major atau di independen, dua-duanya ada plus dan minusnya. Orang yang memilih major label sudah pasti tahu mau melakukan apa, ke mana, terjun ke industri, massa yang besar. Kalau istilah kasarnya dibilang mau mencari uang, sebenarnya major atau independen juga sama-sama mencari uang dan karya. Tinggal cara kerjanya saja yang berbeda.
Menurut saya sekarang sebenarnya barrier itu sudah lumayan terpatahkan. Sekarang yang di panggung-panggung festival itu kebanyakan musisi-musisi independen. Barrier itu sudah tidak ada lagi, sudah ada market dan panggungnya sendiri-sendiri. Karena major atau independen kan sebenarnya bukan karyanya yang berbeda, hanya metodenya saja. Hasil akhirnya kembali lagi pada kita, kita orang yang bagaimana, taste kita seperti apa. Kalau kita berkarya terus, mau independen mau major, kala memang kita bagus dan orang-orang suka, orang-orang terima, ada pasarnya, ada massanya, pasti akan jalan.
Satu hal yang saya lihat sekarang, balik lagi membicarakan hubungan tadi, mengapa independen sekarang semakin lama semakin naik, karena independen itu berangkat dari komunitas, membangun hubungan. Sebagai musisi kita bertemu orang, duduk bersama, kita ajak, “Ayo dengarkan lagu saya,” sehingga ada personal relationship. Kita membangun attachment dengan orang-orang yang membantu kita dan orang-orang yang mendengarkan kita. Dari kecil sehingga orang jadi merasa dekat, merasa kenal. Ada pengalaman yang sangat personal dengan musisi ini, jadi akhirnya makin lama cerita-cerita dari mulut ke mulut semakin besar. Dan karena pendengarnya merasa dekat dengan musisinya, akhirnya didukung terus, ke mana-mana ikut terus. Itulah akhirnya yang membuat musisi independen menjadi naik. Karena istilahnya kita masing-masing punya pendengar kita sendiri yang setia. Kalo menurut saya itu berkesinambungan.
Kalau bisa sedikit memberi harapan lewat musik kita mengapa tidak?
Album pertama Monita “Dream, Hope, & Faith” yang diproduseri Indra Lesmana bernuansa pop jazz, EP “Songs of Praise” juga masih terasa pengaruh jazz-nya, sementara album terakhir “Dandelion” lebih bernuansa pop akustik dan folk. Apakah Monita memang ingin selalu mengeksplorasi nuansa dan genre baru?
Saya sangat suka mengeksplorasi nuansa baru dan, satu yang saya pelajari, dengan siapa kita bekerja itu mempengaruhi hasil musiknya. Waktu saya bekerja sama dengan Mas Indra, dia bisa melihat sisi saya yang seperti apa hingga ketika digarap sebagai sebuah album akhirnya sound yang keluar jadi seperti itu. Karena saya ingin mencari sound yang berbeda, ingin stretch kapasitas saya dari mulai menulis lagu, bernyanyi, sampai membuat konsep sebuah album, saya memutuskan untuk lanjut tanpa Mas Indra, walaupun Mas Indra kan namanya sudah mahsyur ke mana-mana. Saya sempat deg-degan juga, mempertanyakan apakah saya bisa membuat album yang sebagus Mas Indra.
Tapi saya mencoba untuk menerima akhirnya ketika saya mencoba untuk membuat “Dandelion”, saya juga mempercayakan partner kerja saya, Gerald Situmorang. “Ge, ayo kita buat sesuatu yang sangat kita”. Saya mulai percaya diri, kita bisanya seperti ini, and this is the best yang saya bisa saat itu. Saya mulai kerjakan, mulai beri referensi ke Gerald saya orangnya seperti bagaimana, kemudian kita mulai workshop untuk lagu-lagu di “Dandelion”. Saya mulai cerita, album saya tentang ini, saya share juga ke dia. Jadi ketika dia membuat musiknya juga ketika aransemen dia sudah tahu saya maunya bagaimana, bisa satu visi dan hasil akhirnya jadi berbeda dari album sebelumnya. Karena memang saya ingin berbeda dan bekerja sama dengan orang yang berbeda.
Untuk album ketiga saya juga sudah mulai berkembang, punya imajinasi baru lagi. Ingin mencoba lagi imajinasi yang baru itu. Saya suka berkolaborasi dengan orang dan mencoba hal yang baru. Ternyata kita bisa mempunyai sound yang berbeda dalam satu tubuh, karena kita bertemu orang yang berbeda- beda juga. Tapi kita tetap satu orang, tidak tiba-tiba ini orang yang lain. Walaupun soundnya lain tapi ini tetap Monita yang itu.
“Dandelion” juga banyak bercerita tentang harapan. Sebenarnya apa yang ingin Monita sampaikan?
Mungkin konsep “Dandelion” ini terbantu karena saya anak DKV jadi sering membuat konsep dan filosofi-filosofi juga. Awalnya saya juga cerita pada Gerald, jadi sebenarnya “Dandelion” itu simbol, karena buat saya dandelion itu sendiri banyak yang melihatnya sebagai weed atau bunga liar. Tapi kalau kita punya cara pandang yang berbeda, maka kita bisa melihat dandelion sebagai seed atau benih. Ketika berbunga warnanya kuning, dan ketika menjadi puff warna putih itu dia sebenarnya kan sudah mati dan saat ditiup, yang terbang itu benih-benih yang baru. Dia bukan tanaman yang dirawat orang, dia tumbuh begitu saja.
Jadi semangat itu yang ingin saya ambil. Pertama kita bisa mendorong diri kita sendiri, kita bertumbuh, kita membawa harapan untuk orang-orang, semakin banyak dan tidak pernah mati. Akhirnya saya bawa “Dandelion” karena spirit-nya itu. Dulu saya berpikir keras ingin membuat sesuatu yang baru, karena jarak antara album pertama dengan kedua kan lama dari 2010 ke 2015, 5 tahun itu. Jadi banyak pencarian ingin ini itu, hingga akhirnya bertemu satu kata, dandelion, yang menggambarkan perjalanan lima tahun itu. Yang pertama kali aku tulis itu adalah “Memulai Kembali”. Jadi “Memulai Kembali” itu aku anggap sebagai ground zero, meninggalkan kesuksesan dan kegagalan di masa lalu, membuat dari awal dan wujud harapan untuk memulai lagi yang baru. Maju dan lihat ke depan.
Saya suka berkolaborasi dengan orang dan mencoba hal yang baru.
Anda turut membantu mengisi soundtrack film “Aruna & Lidahnya”. Apa pertimbangan yang membuat Anda ingin berpartisipasi dalam proyek film ini?
Saya mengikuti karya Palari Film, “Posesif” yang dimainkan oleh Putri Marino dan Adipati Dolken. Ketika saya lihat mau membuat film lagi, “Aruna dan Lidahnya” saya pikir, wah mereka mengeluarkan film lagi. Jadi ketika saya ditawarkan, saya sudah cukup familiar dengan nama filmnya dan sering melihat yang mereka promosikan, sepertinya juga bagus.
Kebetulan yang menawarkan juga yang membuat aransemen musiknya, namanya Adra Karim, pemain keyboardnya Tomorrow People Ensemble. Begitu ditawarkan saya pikir saya belum pernah kerja sama dengan dia, akhirnya saya mau karena dia yang mengaransemen musiknya. Yang kedua juga saya selalu senang jika bisa menjadi bagian dari perfilman Indonesia, karena musik dan film beriringan kan, apalagi ini film Indonesia. Saya selalu menyerukan musisi lokal, musik lokal, dan film lokal juga. Jadi saya dengan senang hati mau ikutan.
Monita terlihat peduli dengan isu pendidikan anak-anak dan terlibat di beberapa aktivisme sosial, termasuk bersama Wahana Visi Indonesia. Menurut Monita, apa yang bisa dilakukan musisi sekaligus figur publik untuk membantu menyelesaikan permasalahan sosial demi masa depan anak-anak Indonesia?
Justru banyak sekali karena kita diberi platform. Kita jadi seorang musisi, dibilang public figure, dikenal banyak orang tidak mungkin tanpa sebuah sebab atau tujuan juga. Kalau kita bisa melakukan hal yang lebih, bisa menyerukan sesuatu yang positif untuk banyak orang, mengapa tidak. Pada saat itu saya juga sudah punya keinginan dan kerinduan. Saya berpikir, bisa membuat apa ya?
Dulu saya senang sekali kalau melihat UNICEF karena saya ingin menjadi bagian dari sosial. Akhirnya saya bertemu dengan Wahana Visi Indonesia, saya tanya program mereka, mereka sudah berapa lama, dan sebagainya. Ternyata mereka sudah lama sekali, sudah sekitar 50 tahunan. Mereka juga memperlihatkan hasil kerja mereka. Sampai akhirnya saya sekali ikutan, melihat anak-anak di sana, saya benar-benar melihat uang donasinya kemana, jadi apa, mereka mengerjakan apa. Saya ikut setiap Hari Anak Nasional ke Sumba, ke Flores. Anak-anak di daerah tidak seperti di sini, anak-anak di sana orang tuanya di ladang, gurunya kadang ada kadang tidak.
Jadinya Wahana Visi bikin Pendidikan Anak Usia Dini, PAUD, tempat bermain dan belajar. Ketika saya melihat itu, saya pun berpikir, kalau memang diberi kesempatan membuat sesuatu untuk mereka mengapa tidak. Ketika ke sana, anak-anak itu bertanya di Jakarta seperti apa, saya diminta cerita. Mereka sebenarnya tidak tahu saya itu siapa, mereka hanya bilang, “Kakak artis dari Jakarta.” Mimpi mereka sebenarnya besar dan sangat banyak, dan dengan kita pergi ke sana, bernyanyi dan bercerita bersama mereka, itu bisa membuat mereka percaya diri. Saya jadi berpikir bahwa ternyata anak-anak di daerah itu bisa mempunyai mimpi yang sama dengan kita. Jadi selama saya diberikan kesempatan untuk berbagi, saya akan melakukan itu. Karena menurut saya, anak-anak itu kan masa depannya Indonesia.
Selain itu, sebelum kerja sama dengan foundation ini saya juga sering mendapatkan feedback dari orang-orang mengenai musik yang saya tulis. Mereka bilang, lirik lagu yang ini berarti sesuatu untuk mereka. Dari situ saya jadi berpikir, berarti apa yang kita tulis dan kita nyanyikan itu powerful sekali. Kalau kita menuliskan sesuatu yang depresif, bagaimana jika ketika sedih mereka mendengarkan ini sehingga mereka jadi tidak memiliki keinginan untuk maju satu langkah lagi. Belakangan ini juga sedang banyak kasus suicide, kita tidak pernah tahu dunia orang seperti apa. Kalau bisa sedikit memberi harapan lewat musik kita mengapa tidak? Jadi saya pribadi merasa, apa yang kita tulis di lirik itu ada tanggung jawab tersendiri.
Pokoknya kita sukanya apa, misalkan suka anak-anak, ya kita pikirkan juga apa yang bisa kita kembangkan. Sayang kalau jadi musisi atau public figure punya banyak followers di Instagram, hanya untuk sekadar selfie saja. Kita harus menyuarakan sesuatu yang positif juga, wake up, dunia ini tidak sebesar layar handphone, sudah kecil lalu maya pula. Lihat ke sekeliling kita realitasnya seperti apa.
Apa harapan Monita untuk pendidikan anak-anak Indonesia?
Kalau untuk pendidikan Indonesia, untuk pemerintah, untuk teman-teman musisi, atau teman-teman yang sebenarnya punya power lebih, punya berkat yang lebih, coba kalau pergi ke daerah selain jalan-jalan lihat juga anak-anaknya di sana. Banyak sekali anak-anak yang kesempatannya tidak seberuntung kita untuk belajar, untuk main, atau untuk hidup secara layak pun.
Bersama Wahana Visi saya dulu sempat ke Bengkayang juga, melihat anak-anak ke sekolah harus jalan kaki dulu selama satu jam, sepatunya juga sudah kurang layak. Kita di kota mau membeli sepatu tinggal ke mall, mereka harus 5 jam itu juga hanya kepikiran untuk bayar uang sekolah, dan mereka juga harus bantu orang tua dulu di ladang. Banyak sekali sebenarnya yang bisa kita buat, hal kecil itu berarti juga buat mereka, yang mereka butuhkan sebenarnya orang-orang kota masih mau membantu sehingga mereka tidak merasa ditinggalkan. Karena sebenarnya seperti two sides of coin, di kota segala macam tersedia, sementara di belahan lain yang satu negara satu bangsa, tapi masih tertinggal jauh. Mungkin harapannya agar tidak seperti itu lagi.
Apa proyek yang sedang Monita kerjakan?
Sekarang sedang mengerjakan single baru, namun rencana keluarnya masih akhir-akhir tahun 2018 karena 2 bulan ini ada 2 project lagi. Soundtrack untuk “Aruna dan Lidahnya” sebentar lagi, bulan September. Kemudian saya juga ada kolaborasi dengan satu band yang namanya belum boleh disebut, membantu untuk single mereka, nah itu Agustus. Jadi Agustus ada single orang lain, September soundtrack “Aruna dan Lidahnya”, kemudian Oktober single saya sendiri.
…independen itu berangkat dari komunitas, membangun hubungan.
Jaraknya satu bulan satu bulan agar ada jangka waktu untuk promosi single ini. Saya juga sedang mengerjakan segala konsep video, sehingga mudah-mudahan single saya ini bisa keluar bersama dengan visualnya. Judul single saya belum boleh disebut, jadi tunggu saja ya Oktober mendatang. Saya juga sudah kepikiran album baru. Justru sambil jalan single ini, saya ingin mengerjakan albumnya juga. Tapi masih akan panjang prosesnya, karena masih ada beberapa lagu yang harus ditulis lagi. Bulan-bulan ini juga akan ada touring ke 7 kota di Indonesia. Project saya sekarang-sekarang ini semuanya musik.