Merayakan Masa Lalu di Awal Tahun Bersama Taking Back Sunday
Ulasan acara Rock ‘N Sound, tur perayaan 20 tahun band asal Long Island, Taking Back Sunday.
Foto: Tubagus Luthfi
Akhir-akhir ini, kita semakin sering diajak untuk melihat ke belakang. Mungkin karena masa depan yang semakin suram, mungkin juga murni semata atas nama nostalgia, beberapa band masa lalu kembali, banyak juga acara party mengangkat tema musik 90’-an hingga awal 2000-an. Semua demi nyanyi bersama dan menenggelamkan diri di kenangan-kenangan lama.
Salah satu tema yang kembali mengemuka adalah nostalgia ke era Myspace. Tren ini terjadi di skala internasional dan lokal. Bentuknya nyata: emo night yang selalu ramai sebagai acara. Di acara-acara semacam ini, kita diajak untuk mengenang seberapa pusing saat kita menentukan top friend list di account kita, mengingat kembali bahwa kita semua pernah punya teman yang sama, Tom. Tapi bukan untuk mengingat lirik-lirik lagu yang pernah menjadi soundtrack hidup kita. Karena sepertinya kita tak akan pernah bisa lupa bait-bait yang mendefinisikan hidup kita 10-20 tahun yang lalu itu.
Beberapa kemudian menyebut fenomena ini sebagai emo revival. Sebuah term yang ternyata justru kurang disepakati oleh salah satu pemain utama di budaya ini. Dalam sebuah wawancara, Adam Lazzara, vokalis Taking Back Sunday berkata, “What the f–k are you talking about? You can’t revive something that’s never been dead.’ I’ve been working real hard for a long time; I haven’t stopped.”
Dan kenyataannya memang begitu, Adam Lazzara bersama Taking Back Sunday nyatanya tak pernah pergi. Ia terus manggung, juga merilis album. Terhitung ada enam studio album sejak mereka merilis “Tell All Your Friends” pada tahun 2002. Artinya, mereka merilis 1 album setiap dua tahun – ini belum termasuk album live, single dan kompilasi yang juga cukup banyak di diskografi mereka.
Untungnya, ternyata meski kurang sepakat dengan konsep revival, Adam Lazzara dan kawan-kawan nyatanya nyaman-nyaman saja dengan semangat nostalgia. Ini bisa dilihat pada bagaimana tahun lalu, mereka merilis album perayaan 20 tahun yang berisi greatest hits dari diskografi mereka. Dan yang menyenangkan adalah bagaimana perayaan ini kemudian dibawa ke Jakarta oleh teman-teman My Will Entertainment.
Keadaan memang sudah jauh berbeda sekarang di panggung. Hanya tinggal John Nolan sebagai personil asli yang masih ada di sana (meski dia pun sempat cabut dan baru kembali tahun 2012). Hilang sudah Eddie Reyes, juga personil-personil lain yang ikonik seperti Matt Rubano, hingga Fred Mascherino. Secara postur pun setali tiga uang, Lazzara sudah tak lagi lentik seperti yang biasa dulu kita lihat di videopimp. Tapi, di luar itu sebenarnya tak banyak yang berubah di panggung. Rasanya energi di panggung masih tak jauh berbeda dari saat keemasan mereka.
Adam Lazzara masih gemar melempar mic seperti di tahun 2002. Seolah ingin membuktikan bahwa mereka yang bilang gaya lempar-tangkap microphone sudah usang, salah besar adanya. Gestur-gestur teatrikalnya pun masih sama. Secara performa pun mereka prima, tarikan suara masih terjaga, isian personil lain masih di kualitas yang sama. Nolan menegaskan posisinya sebagai original member dengan presence-nya yang meski minim aksi namun kuat secara karisma. Nathan Cogan, gitaris additional – yang malam itu juga sesekali bermain piano – cukup mencuri perhatian dengan stage act-nya yang eksplosif dan isian backing vokalnya yang sepenuh hati.
Meski kualitas suara kurang prima, hampir semua pengunjung pulang dengan muka sumringah. Terhibur dengan bagaimana ternyata lagu-lagu seperti “What’s it Feel Like to be A Ghost”, “This Photograph is Proof” juga balada “New American Classic” terasa lebih magis saat dibawakan di panggung. Tuntas sudah mimpi untuk melihat dan mendengar secara langsung Lazzara menyanyikan lagu-lagu andalan sejak remaja.