Membahas Nostalgia Lewat Album Agterplaas Bersama The Adams
Kami berbincang dengan unit power pop ini mengenai proses bermusik hingga pendapat mereka tentang industri musik Tanah Air.
Words by Amelia Vindy
Memerlukan waktu 13 tahun bagi The Adams unit power pop asal Jakarta, untuk akhirnya merilis album ketiga mereka “Agterplaas” setelah “V2.05” di tahun 2006. Meskipun demikian, The Adams masih menjadi salah satu nama yang tidak lekang oleh waktu dan masih aktif meramaikan rangkaian acara-acara musik di ibukota. Setelah mempopulerkan lagu “Konservatif” lewat film “Janji Joni”, “Halo Beni” hingga “Hanya Kau” yang menjadi soundtrack anak muda di tahun 2000-an, kini The Adams mencoba untuk menjadikan memori sebagai narasi di album terbaru mereka.
Akhirnya menghitung hari menuju perilisan album baru ketiga The Adams, “Agterplaas” setelah album V2.05 di tahun 2003. Bagaimana perasaan kalian yang akhirnya sukses merampungkan album yang sebenarnya sudah direncanakan sejak sepuluh tahun lalu?
Saleh (S): Buat saya pribadi cukup puas meskipun sebenarnya kalau bahas dari segi audio, kami tidak akan pernah puas (tertawa). Puas dengan sound-nya, dengan ruang yang dibuat oleh suaranya, baik dari mixing dan mastering-nya hingga akhir hasilnya cukup bold, dan lebih kekinian. Mungkin akan sadar setelah kalian mendengarkan kembali album-album sebelumnya, karena album baru ini rasanya lebih detail namun juga lebih sederhana. Karena kalau kita lihat kembali, ambil contoh di album kedua, rasanya cukup kompleks, dalam arti komposisi di setiap lagu tuh backing-nya gila-gilaan, ibarat kata seperti baru bisa belajar bernyanyi.
Ario (A): Seperti orang baru belajar silat sih, semua jurus dikeluarkan. (tertawa)
S: Persis, sekarang di album ini personel kami sudah kembali lengkap, jadi kami pun ikut memikirkan hingga ke soal live performance-nya juga. Kami mencoba untuk memberi ruang-ruang untuk pendengar agar bisa berpikir. Karena sebenarnya ruang, jeda atau nada istirahat itu merupakan bagian dari musik, jadi perlu diapresiasi. Tetapi di samping kesederhanaan itu, kami juga sempat merasakan kesulitan sebagai yang memainkan lagu, mungkin karena keterbatasan skill. Di luar itu menurut saya ujung-ujungnya hanya karena kami belum terbiasa saja membawakan lagu-lagu tersebut secara live. Karena nantinya mau lagu sesulit apapun kalau sering kami bawa latihan pasti lama-lama akan terbiasa. Seperti Kiting contohnya, dulu tidak pernah bernyanyi, sekarang jadi malah mengisi vokal di satu lagu dan itu dia yang minta (tertawa).
Gigih (G): Itu bohong (tertawa).
S: Porsinya juga sekarang sudah dibagi-bagi, karena biasanya ‘Ario-minded’, dia yang bernyanyi terus atau jadi main vokal, sisanya jadi backing.
Kalau bahas dari segi audio, kami tidak akan pernah puas.
A: Sekarang semua sudah pada percaya diri buat nyanyi, meskipun ya segitu-gitu saja (tertawa).
S: Intinya kalau ditanya puas atau tidak, saya puas dengan hasil dari sekian lama ini. Tetapi saat kami sudah memasuki proses akhir dari produksi lagu, terkadang suka merasa ada kurang enak atau apa lah. Karena revisinya dari kami juga, jadinya “eh Yo kayanya nambah synthesizer deh atau apa” kemudian berujung jadi menambahkan lagu juga. Makin mendekati akhir, terus bertanya, “kita mau ngisi berapa nih? 10 lagu? Enggak, 11?” Eh jadi 12 dan lama-lama stoknya jadi banyak dan kami tahan dulu.
A: Tidak boleh kelebihan stok, karena nanti jadi murah, di teori ekonomi begitu soalnya.
S: Selain itu, kami pun turut bekerja sama dengan salah satu seniman untuk mengerjakan boxset-nya. Bisa dibilang boxset ini adalah karya seni rupa yang nantinya para pembeli pun bisa memajangnya di rumah. Sekarang ini prosesnya sedang diproduksi, harapannya semoga agar selesai tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus. Tapi sebenarnya yang ada di kepala saya tuh lebih bagaimana nanti penampilan live-nya, konsentrasinya di situ.
A: Saya yakin pertanyaannya sudah terjawab semua nih sepertinya (tertawa). Kalau Ale kan jawabanya lebih filosofis, sedangkan saya sederhana. Dengan dirilisnya album ini nanti, saya merasa seperti bayar hutang karena terlalu sering ngomong mau mengeluarkan album baru. Takut dosa.
Pandu (P): Kalau saya sampai di tahap mastering sudah puas. Meskipun banyak maunya, tapi tetap bisa kami handle.
S: Dan juga mempercayakan sound dengan Ario. Kami percaya sama Ario seperti kami percaya dan menyerahkan segala perdokumentasian dengan Kiting, kecuali dia mengajak kami berdiskusi.
Selain terhambat karena kesibukan masing-masing personil, adakah faktor-faktor lainnya yang juga turut menghambat proses pengerjaan album ini?
A: Duit lah. Budget. Padahal kami buat studio dengan harapan bisa rekaman lebih murah, tapi ternyata tidak juga. Karena sebenarnya justru budget produksi paling besar ada di makanan atau food & beverage (tertawa). Intinya uang jadi salah satu faktor, makanya itu alasannya kenapa di 2 tahun belakangan kami sering manggung, itu karena kami sedang mengumpulkan uang. Karena produksinya tidak berhenti hanya pada rekaman saja, akhirnya dari sana kita jadi bisa sampai mengeluarkan boxset dan mengadakan launching yang ternyata memerlukan dana yang juga lumayan. Read in German here: https://www.casinostest.de
Mengingat sudah ada beberapa materi yang dipersiapkan sejak lama, adakah perubahan arahan musik selama prosesnya, atau memang telah disesuaikan dengan target kalian sejak pertama merencanakan album ketiga ini?
S: Disesuaikan semuanya, tidak ada target. Contoh pada prosesnya, lagu dibuat, ada demo, belum ada lirik, belum ada aransemen yang full, masih kering sekali, kemudian kami bawa latihan atau mainkan secara live, main bareng lalu mulai rekaman. Kemudian misalnya take drum, sebenarnya kan sudah ada guide-nya untuk satu lagu, tapi saya dan Ario atau dengan Pandu atau Pandu dan Ario, kami tidak akan mengikuti guide-nya (tertawa). Jadinya berkembang, setelah di take, kita dengarkan lalu “Wah sudah nih? Segitu aja?” Kiting ‘panas’, dicoba lagi deh dari awal, Kiting bilang “mau ngisi lagi di bagian ini, begini” gitu. Selalu ada saja yang kemudian diubah kembali atau justru dikembalikan ke awal setelah coba diubah (tertawa). Belum lagi kalau ada data hilang dan itu pun baru take drum, belum gitar dan bass.
A: Belum vokal, vokal juga bisa ganti backing.
S: Biasanya kalau sudah take, akan dikirim ke semua lalu semua mendengarkan lalu masing-masing akan “kira-kira kurang apa ya?”. Sebenarnya itu pun memancing kenakalan tiap personel juga.
A: Itu juga sebenarnya yang menjadi faktor tertundanya. Itu adalah kelemahan dan kelebihan rekaman di studio sendiri, jadi banyak maunya.
Meskipun butuh waktu yang lama untuk merampungkan album ketiga ini dan secara produksi juga aransemen jauh lebih kaya dan matang, tapi The Adams terlihat masih setia dengan formula lama seperti distorsi gitar, lirik sederhana, dan harmonisasi. Apa yang membuat kalian memilih untuk tetap mempertahankan hal tersebut?
A: Sebenarnya kita bukannya mempertahankan tetapi memang bisanya segitu saja (tertawa). Jujur saja ya, orang-orang mungkin berpikir kompleks bahwa The Adams begini atau begitu, sebenarnya ya sesederhana itu. Kami bisa buat pecahannya seperti ini, ya sudah kami coba buat lagi, atau kenapa masih dengan distorsi lagi? Karena kalau kami main clean tidak enak. Makanya akhirnya formulanya jadi terlihat begitu-begitu saja.
S: Dan selain itu, kami balik bertanya ke diri sendiri, bisanya apa? Menurut saya itu juga menjadi salah satu poin penting. Misalnya Pandu, bisanya melakukan apa? Main bass, dengan keadaan sedang bermain bass kira-kira bisa sambil bernyanyi tidak ya? Karena ini akan sedikit rumit, terus Pandu akan minta latihan dulu biasanya dan kalau ternyata bisa, oke berarti di take dan dari situ pun sudah kebayang nantinya saat manggung, “oh nanti akan ada vokal nih di situ.”
P: Diperhitungkannya sudah sampai sejauh itu.
A: Pemikiran bodohnya sih biar kalau dibawa ke live performance masuk akal tidak nih? Karena kami berkaca dari album kedua. Sebenarnya album kedua pun bisa dibawakan penuh dengan harmonisasi seperti itu, hanya saja terkadang kan ada faktor-faktor eksternal yang membuatnya jadi tidak bisa. Contohnya sedang manggung keluar kota dapat mic-nya hanya 3 buah, lalu bagaimana nih? Jadinya tidak semua bisa bernyanyi.
S: Sementara vokal tersebut merupakan bagian dari chord-nya jadi kalau tidak ada satu, mau tidak mau buat aransemen harmoni baru agar bisa mengcover kekurangan tersebut, setidaknya suasananya sama lah.
Adakah ketakutan dengan menggunakan formula yang sama, musik The Adams hanya akan diterima kembali oleh fans lama?
S: Kami tidak terlalu memikirkan itu. Paling tidak yang sekarang ada di pikirkan kami adalah kami punya unit musik namanya The Adams, ya kami tinggal bikin karyanya saja atau apa yang bisa kami buat.
A: Karena pada dasarnya semua seniman atau karya seni itu individualis, walaupun sebenarnya konsepnya kolaboratif seperti saat bikin musik atau lagu, jadi seharusnya kami tidak perlu memikirkan hal tersebut. Buat saya, kami justru harus memikirkan kami senang atau tidak dengan karyanya, lalu ketika dilempar ke publik, ya tinggal bagaimana mereka menanggapinya.
S: Betul, yang penting kami fun dan enjoy tidak menjalaninya. Bahkan saya sampai berpikiran setelah 13 tahun masa cuma mengeluarkan CD saja? Terus saya bilang ke anak-anak “nggak jadi rilis aja yuk, kita buat materi terus saja” saat akhir-akhir, karena saya merasa “sudah nih? Sampai sini aja?”.
Yang kami mau angkat di album ini adalah soal memori atau nostalgia.
A: Menurut saya itu bukan tugas dari musisi untuk memikirkan hal tersebut. Seperti sesederhana genre pun dulu setiap ditanya kami tidak pernah tahu apa aliran musik yang kami mainkan, hingga akhirnya David Tarigan yang kemudian mendeskripsikannya sebagai power pop. Setelah diberikan label itu pun kami kemudian bertanya-tanya “oh power pop ya? power pop tuh kaya gimana ya?” Akhirnya mencari-cari bareng Ale, oh ternyata begini ya ternyata musik kami.
S: Intinya kami kembalikan lagi ke fansnya, kalau di kami sebenarnya sudah senang semoga dengan kesenangan yang kami buat ini, bisa sampai ke teman-teman. Kalau kami sendiri sudah nyaman dan senang, baik dari apa yang kita hasilkan sampai ke pertunjukan langsungnya, selebihnya kami anggap bonus. Sebenarnya yang kami mau angkat di album ini adalah soal memori atau nostalgia. Jadi kalau tadi pertanyaan album ini akan diterima oleh fans lama saja menurut saya justru tidak juga, karena yang baru pun bisa saja kena dengan memori-memori apapun. Situasi, momen, peristiwa, atau bahkan apa yang terjadi dengan mereka hari ini.
Hadir dengan formasi baru, adakah perubahan yang The Adams rasakan dengan bergabungnya Pandu Fathoni sebagai personil baru? Dan juga sebaliknya mungkin? Mengingat Pandu pun punya beberapa proyek musik lain selain The Adams.
G: Sebenarnya tidak ada perubahan, kalau saya melihatnya mungkin lebih ke energinya saja ya. Karena kan dulu sempat kosong lama sekali, bahkan di grup chat kami pun sepi, jadi saya biasanya yang harus mengunjungi langsung ke tempat Ario, Ale atau Almarhumah. Lalu saat Apoy cabut, kebetulan saya bertemu dengan Pandu dan sempat nongkrong lama sama dengan dia.
P: Iya, kemudian saya bertanya “gimana Ting, The Adams?”
G: “Wah pas banget nih” saya bilang. Karena kalau mau tahu ya, grup chat itu hanya ramai ketika ada perayaan ulang tahun saat itu. Semuanya akan mengucapkan “selamat ulang tahun!”, sudah, kemudian sepi kembali, paling juga pada saat bulan puasa. Jadi kurang lebih setahun sekali lah ya ngumpulnya selama 13 tahun (tertawa). Akhirnya pas ketemu Pandu, saya buka obrolan di grup “eh ada Pandu nih, bisa kali latihan”. Ya sudah, setelah itu mulai latihan dan jalan lagi, pecahnya di acara Jaya Pub (2014).
P: Sebelum manggung, saat latihan pas banget ada Indra Ameng terus dia mengajak kita main.
S: Nah, sebenarnya Ameng pun bertanya ke saya dulu, “The Adams apa kabar?” sama seperti pertanyaan Pandu. Terus saya bilang “lagi latihan lagi nih, di bantu Pandu” terus Ameng menyuruh kita untuk main di Superbad.
G: Makanya saya merasa memang karena ada energi baru, yang tadinya santai dan sampai tidak tahu mau ngapain eh tiba-tiba bertemu Pandu, ya sudah bisa jalan lagi. Alhamdulillah.
P: Senang sekali rasanya, ikut dari tahun 2014 akhirnya bisa sampai di tahap mastering sekarang.
Lirik merupakan salah satu daya tarik yang dimiliki oleh The Adams dan sekali lagi di album baru ini hampir/semua materi menggunakan bahasa Indonesia. Seperti apa proses kreatif penulisan lirik The Adams? Adakah sosok atau sesuatu yang dijadikan inspirasi di balik lirik-lirik sederhana The Adams? Contohnya Cholil yang banyak terinspirasi dari pilihan kata-kata di koran misalnya pada penulisan liriknya.
A: Bicara soal musiknya dulu, The Adams kebanyakan proses berkaryanya dimulai dari buat musik, lirik bagian terakhir tapi tetap biasanya sudah ada melodi untuk bagian vokalnya. Berangkat dari situ kemudian kita observasi tema apa yang cocok atau main “round robin”. Jadi ditulis dulu sekilas, kemudian dibaca lalu saling tanya, “ini ngomongin apa ya?” kurang lebih begitu.
P: Kolase.
A: Dan untuk lirik di album baru, rata-rata hasil kolaborasi dari nulis bareng. Masing-masing menyumbang beberapa kata.
S: Metodenya sih lebih ke kolase, ada yang bawa per paragraf atau sudah jadi beberapa bait.
A: Tapi tetap kemudian ada perombakan-perombakan, karena kadang kali bertemu dengan kalimat atau kata-kata yang sudah bagus tetapi saat dinyanyikan kok jadinya tidak enak ya. Kemudian kami ganti kata lain, begitu.
S: Kami pun mengusahakan untuk tidak terlalu berat alias seringan mungkin.
A: Situs-situs “rima kata” sangat membantu pada pengerjaan penulisan lirik kami ya (tertawa).
S: Intinya benar kata Ario, kami gambarkan dulu kira-kira kalau kami dengar lagu ini tuh lagi bagaimana ya, suasananya seperti apa ya, jadi seperti ada scene di kepala kami. Dan scene ini bisa dituliskan, dan disitulah peran semua personel karena semua bisa ikut menyumbang. Biasanya kami tulis di satu kertas kemudian saling melanjutkan. Jadi persis, seperti kolase kalau membahas metode. Nyambung-menyambung atau menjahit kata, yang tiba-tiba bisa kami naik atau turunkan perbaitnya, yang awalnya pembuka jadi penutup atau sebaliknya atau ganti katanya karena tidak enak nyanyinya. Meskipun ada juga yang sudah full ditulis oleh Ario misalnya seperti lagu “Timur”, atau Pandu, tapi kalau ada yang kurang tepat kemudian diganti bareng-bareng, kurang lebih seperti itu prosesnya.
A: Atau membuat lagu pesanan, misalnya Ale ngasih saya lagu apa, kemudian saya diminta untuk membuat lagu seperti itu. Ya saya sanggupi untuk membuat lagu pesanan Ale.
G: Ahensi (tertawa).
S: Ada ahensi khusus bikin musik, mirip scoring gitu lah modelnya. Kita mencoba, kira-kira bisa tidak ya proses kreasinya seperti itu? “Yo bikin lagu yang kaya gini dong, flat tapi enak banget, bisa nggak?” Eh tidak tahunya besok jadi, hebat. Dan setelah kami dengarkan, saya langsung terbayang liriknya akan seperti apa. Setelah itu, saat saya mau pulang dari studio sekitar jam empat pagi, momennya sedang berada di jalan tol, saya langsung nyanyi-nyanyi sendiri di iringan lagu buatan Ario.
A: Yoi, setelah itu Ale langsung menghubungi saya, bilang mau ke rumah keesokan harinya karena dia sudah menulis sebagian lirik. Kalau tidak salah Ale sudah menyiapkan 2 kalimat, kemudian kita kerjakan kurang lebih dua putaran lagu untuk lirik “Dalam Doa”. Katanya Ale saat menulis lirik ini kepikiran ibunya, pokoknya jadi lah dalam semalam itu. Plus jadi satu lagu lagi (tertawa).
S: Intinya pada malam hari itu suasananya produktif. Makanya saya sering menyinggung, 13 tahun cuman rilis CD aja nih? (tertawa).
A: Padahal saya sempat mengusulkan untuk membuat album MP3 berisikan ratusan lagu (tertawa).
S: Terakhir kalau membicarakan soal proses kreasi lirik, sesederhana misalnya kita lagi jalan dengan kondisi yang sedang sangat lelah, harus menempuh perjalanan pulang yang terkadang treknya hanya lurus saja, di tambah sambil mendengarkan musik, pasti secara tidak langsung akan membawa kami ke sebuah situasi. Balik lagi kan ke memori, jadi seperti ada sejarah di belakang yang membuat kami jadi merasakan sesuatu. Misalnya dalam kasus lagu “Dalam Doa” saya sedang merindukan ibu saya karena kedua orang tua sudah tiada. Di luar itu, di kepala pun sudah terkonstruksi, seandainya saya membuat lagu yang seperti ini, lagu tersebut tidak hanya akan relate dengan kondisi saya tapi juga bisa buat orang lain, yang mungkin rindu dengan teman atau sahabat lamanya.
A: Kurang lebih seperti “Masa-Masa” dengan versi berbeda.
Apakah penggunaan bahasa mempengaruhi daya tarik atau ketenaran sebuah band? Kalau dalam kasus materi-materi The Adams seperti apa? Apa yang membuat The Adams memilih menggunakan bahasa Indonesia?
A: Sebenarnya tidak terpikirkan ya, bebas-bebas saja. Kenapa memilih menggunakan bahasa Indonesia karena kami sadar semua personel tidak fasih dengan bahasa Inggris. Meskipun sebenarnya ada satu lagu yang awalnya menggunakan bahasa Inggris, tapi kok rasanya tidak enak ya? Jadi saya pikir, ya sudah bahasa Indonesia saja lah.
G: “Masa-Masa” awalnya berbahasa Inggris.
A: Kami biasanya kalau buat guide selalu menggunakan bahasa Inggris, karena paling mudah sebenarnya.
S: Karena buku-buku yang kami baca berbahasa Inggris (tertawa).
Menggunakan bahasa Indonesia lebih ada tantangannya.
A: Karena bahasa Inggris itu patahan katanya lebih mudah, contohnya kalau “saya” bisa pakai “I” kalau kamu bisa pakai “you” jadi lebih sederhana. Tapi buat saya menggunakan bahasa Indonesia lebih ada tantangannya, terutama untuk membuat lirik dengan bahasa Indonesia yang tidak norak. Karena kalau bahasa Inggris, meskipun jika di artikan sebenarnya norak, tetap tidak demikian ketika didengar. Misalnya “I miss you”, “aku rindu kamu” atau “I love you”, “saya cinta kamu”, rasanya kalau menggunakan bahasa Inggris kemungkinan untuk ngelesnya lebih mudah. Makanya kenapa dengan bahasa Indonesia lebih menantang, karena kami juga dihadapkan dengan cara atau kemampuan kami mengolah kata untuk mengungkapkan suatu perasaan dengan tidak vulgar.
S: Selain itu bahasa Indonesia juga turut menghadirkan eksplorasi pemenggalan kata, contohnya seperti “se iya se ka ta”.
Itu kalau untuk kasus materi kalian, bagaimana dengan band-band lokal kebanyakan?
A: Ada kemungkinan seperti itu. Tergantung bandnya juga, kalau musiknya bagus, liriknya bagus, pasti bisa-bisa aja disukai banyak orang.
S: Misalnya kalian mendengarkan Sore, Efek Rumah Kaca (ERK) atau Bin Harlan deh. Mungkin ERK liriknya masih bisa kita temukan di buku atau koran, tapi tidak dengan lirik-lirik Bin Harlan. Menurut Bin Harlan musik itu bisa memperlihatkan perkembangan bahasa atau literasinya. Meskipun ada juga sebagian orang yang merasa kalau lirik itu ada standarisasinya. Contohnya seperti lagu “Pelantur”, orang-orang mikirnya The Adams membahas politik, padahal sebenarnya ini tentang obrolan di warung kopi.
A: Pada ngelantur dan debat merasa yang paling benar, padahal tidak ada makna sama sekali dari perdebatan tersebut, dan setelah balik ke rumah pun belum tentu kepikiran lagi (tertawa).
Sebagai band lama, apakah The Adams mengikuti perkembangan band-band baru hari ini? Dan bagaimana pendapat kalian tentang industri musik Tanah Air? Mengingat hari ini batasan antara major dan independent semakin melebur.
A: Band-band baru banyak yang bagus pasti. Tiap tahunnya musik dan teknologi selalu berkembang, tidak heran kalau juga mulai bermunculan alat-alat baru. Dulu di era klasik, sulit rasanya membuat musik seperti yang kita putar di turntable karena semua masih dikerjakan secara analog. Tapi sekarang kan sudah berbeda, kita pasti menemukan hal-hal baru. Dan kalau membahas soal orisinalitas, hari ini mah sudah tidak ada yang orisinil karena semua pasti terinfluence dengan yang lain. Sadar atau tidak, hal tersebut lah yang seringkali membuat kita membandingkan band yang satu dengan yang lainnya.
Misalnya kita ngomongin soal Barasuara, Scaller, The Panturas, Grrrl Gang, terus membahas soal industri atau independen, itu sama saja seperti membahas band lokal dan internasional yang sebenarnya pun sudah absurd bagi saya. Karena menurut saya, ketika kita menaruh lagu di platform streaming online, sudah otomatis jadi band internasional – menurut saya. Intinya sudah tidak ada batasan. Kalau membahas musik ya bahas musiknya saja, musik bagus ya musik bagus saja, tidak perlu “wah ini band major atau ini band independen.”
S: Sebetulnya kalau mau berkaca ke tahun 2000-an, memang sudah tidak ada lagi sebutan-sebutan seperti itu. Sudah pernah dibahas kok sama Ade Paloh, Jimi Multhazam dan kawan-kawan, kita buat musik ya buat musik yang bagus saja, jadi sebenarnya hanya ada musik yang bagus dan tidak, selesai. Bahkan kalau di major label ada yang bagus ya bagus saja, jadi kita tidak bisa mengatakan kalau independen lebih bagus daripada musik major atau sebaliknya.
Ketika kita menaruh lagu di platform streaming online, sudah otomatis jadi band internasional.
A: Beda kalau kita bahas soal produksi, kalau dulu mungkin kita bisa membedakan mana band dari label besar dan dari label kecil. Saat manggung misalnya, wah itu sangat jumping sekali ya, bisa sangat terlihat mana yang ditangani oleh orang-orang pro dan yang DIY. Nah kalau sekarang hampir tidak bisa dibedakan, band-band independen banyak yang punya kualitas tidak kalah dengan band-band major hari ini. Kita ambil contoh seperti di panggung Soundrenaline, kita nonton Padi atau Sheila on 7, lalu nonton Barasuara, BurgerKill atau Seringai, hampir tidak ada bedanya. Bisa dibilang sekarang orang-orang DIY sudah banyak yang mengemuka karena sudah bisa belajar sendiri. Kalau dulu akses dan eksplorasi terbatas dan karena keterbatasan itu referensi kita pun jadi terbatas.
S: Misalnya kita sudah punya karakter musik sendiri nih, kemudian ada yang baru pulang dari luar negeri, bawa banyak piringan hitam langsung kita dengarkan bersama-sama. Misalnya mendengarkan band psikedelik, dari kesempatan seperti itulah biasanya baru dapat referensi baru. Terus biasanya yang pegang instrumen A langsung mengomentari instrumen A di lagu yang sedang kita dengarkan bersama-sama.
P: Seru lah nontonin band-band baru zaman sekarang.
A: Betul, karena sekarang pun mulai aware sampai ke teknis produksinya.
S: Termasuk variabelnya nih. Kalau di tahun 2000-an ada banyak sekali band tapi dari tiap band tersebut tidak ada yang alirannya sama. Terlepas dari tren yang memang pada saat itu mungkin enggan untuk sama dengan yang lainnya, misalnya band rock, pasti spesifik rock yang seperti apa.
A: Padahal mereka pun tidak mencoba untuk membuat sesuatu yang berbeda, saya yakin.
S: Nah sekarang, variabelnya jadi lebih banyak lagi, harusnya tahun 2000-an itu membawa pengaruh yang baik ya.
A: Saya rasa The Adams pun cukup beruntung karena terlahir di era tersebut.
Apa rencana selanjutnya setelah merilis album Agterplaas?
A: Tur sih, iya tidak? Eh tapi kalau kemauan dan rencananya sih banyak, tapi kan tidak ada yang tahu. Maunya sih tur dan bisa membawa album ini keliling Indonesia, kalau bisa keluar Indonesia ya, Alhamdulillah.
S: Betul, inginnya tur biar bisa ketemu banyak orang, pendengar dan network baru. Atau buat semacam screening video proses pembuatan album ini. Sebenarnya album ini seperti alibi untuk bisa berteman dengan banyak orang baru.
A: Sederhananya saya sudah bisa berkarya lagi, buat album, dan jadi momen pecah telor sekali. Maksudnya bermain musik bersama The Adams selalu menjadi alter ego saya, di saat di kehidupan nyatanya saya harus bekerja dan di sini lah ladang kesenangan saya. Misalnya ketika lagi dengerin lagu apa gitu, saya kemudian bilang sama diri saya sendiri harusnya bisa nih buat yang seperti ini, masa sih tidak mau buat juga? (tertawa). Intinya saya dan teman-teman sudah berkarya sedemikian mungkin sisanya bonus dan kita serahkan ke pendengar. Karena pada hakikatnya band ini diciptakan bukan untuk mencari nominal melainkan bersenang-senang.
S: Selama masih bisa bersenang-senang kenapa tidak.