Melalui Album “Room 25”, Noname Menceritakan Dunia Seorang Perempuan Kulit Hitam
Album yang kental dengan komposisi R&B, neo-soul, dan jazz-blues santai.
Teks: Winona Amabel
Foto: Noname
Menyebut Fatimah Nyeema Warner, nama di balik moniker Noname, sebagai salah satu wordsmith terpiawai dalam lanskap hip hop hari ini bukanlah pernyataan yang berlebihan. Tumbuh bersama dunia slam poetry di pusat kota Chicago, ia memiliki kekhasan rap Chicago melalui penekanan pada isu-isu sosial dengan cara penceritaan yang cerdas. Kemampuannya memainkan kata berpadu dengan flow rap yang disajikan terasa tepat jitu. Salah satu contohnya bisa didengar pada mixtape debut “Telefone” yang dikeluarkan 2016 lalu, berisi percakapan intim yang thought-provoking.
Dua tahun setelah “Telefone”, Noname merilis debut album bertajuk “Room 25”, tepatnya pada 14 September kemarin. Sama dengan mixtape debutnya, Noname bersikeras untuk tetap independen dengan merilisnya tanpa payung label apapun. Di album berisi 11 trek ini ia menghadirkan beberapa featuring seperti Adam Ness, Saba, Smino, Benjamin Earl Turner, hingga Phoelix yang sekaligus memproduseri album ini. Bersama Phoelix “Room 25” kental dengan komposisi R&B, neo-soul, dan jazz-blues santai, yang berpadu pas dengan flow rap hipnotik Noname.
“My pussy teachin’ ninth-grade English/My pussy wrote a thesis on colonialism”. Lirik lugas Noname pada trek introduksi “Self” ini mengisyaratkan bagaimana “Room 25” adalah refleksinya sebagai seorang perempuan kulit hitam, juga sebagai manusia sendiri. Dengan flow rap dan instrumental yang menghipnotis, Noname mengajak pendengar memasuki dunianya, membeberkan realitas keseharian seorang kulit hitam. Dari mulai soal kebebasan dan perbudakan pada “Prayer Song”, eksploitasi perempuan kulit hitam dalam film Hollywood dan lagu hip hop seperti pada “Blaxploitation”, hingga tentang refleksi percintaan dan seksualitasnya pada “Window”.
Salah satu trek menariknya adalah “no name” yang memang cocok menjadi penutup. Dengan melodi piano sederhana dan tanpa letupan spesial, trek ini merupakan puncak refleksi Noname tentang dirinya. Bagaimana ia menolak melabeli diri atau orang lain untuk mengotak-ngotakkan manusia. Selain membangun batas antara satu manusia dengan lainnya, label juga menjadi simbol status sosial yang menciptakan relasi kuasa tertentu, antara yang lebih tinggi dengan yang dianggap lebih rendah untuk ditindas. “No name for people to call small or colonize optimism/No name for inmate registries that they put me in prison”.
“Room 25” adalah album yang menghipnotis, seperti magnet, menarik pendengar ke dunia Noname. Tidak ada syllable dan kesempatan yang terbuang sia-sia tanpa arti karena flow-nya rapat dan mengalir. Dilantunkan dengan nada penyampaian halus, namun bukan untuk disalahartikan sebagai sekadar ‘manis’. Dalam lanskap hip hop yang seringkali dikonotasi sebagai dunia laki-laki penuh ego, Noname menunjukkan kekuatannya dengan cara feminin khas dirinya sendiri, tidak harus melebur ke dalam standar maskulinitas. Ia juga tidak mengeksploitasi isu sosial melalui slogan besar, sebaliknya memilih mengambil pendekatan sebagai pengamat, merefleksikan pada dirinya lalu menyajikan secara jujur, berbalut humor satir, dan sentimentalitas.