Dunia Musik Underground bersama Glen Nanlohy
Berbincang dengannya mengenai musik underground dan pergulatannya dalam mengkurasi musik.
Words by Febrina Anindita
Kecintaan Glen Nanlohy dengan musik membawanya ke dunia DJ hingga menjadi Music Director di beberapa tempat di Jakarta. Whiteboard Journal berkesempatan berbincang dengannya mengenai musik underground dan pergulatannya dalam mengkurasi musik.
Seperti apa perkenalan Glen dengan musik?
Saya agak merasa aneh sebenarnya, karena saya tidak bisa main musik. Ayah saya pas muda main band, kakak dan adik-adik saya bisa main musik, sedangkan saya tidak. Saya ngomong saja fals, gimana mau main musik atau bernyanyi? (tertawa) Cuma saya memang senang dengar musik, dan di awal 90-an pas orang-orang mulai dengar house, saya berpikir, kok mereka dengar house ya? Ah tidak deh, saya mau dengar acid jazz saja.
Dapat referensinya dari mana? Apakah dari orang tua?
Tidak, bukan dari orang tua. Saya tidak ingat secara spesifik, saya dapat referensi dari mana. Pokoknya begitu sudah mulai dengar musik, saya mulai cari tahu acid jazz itu asalnya dari mana. Dulu juga saya langganan majalah DJ. Cuma, majalah DJ zaman dulu kan berbeda dengan sekarang ya. Maksudnya, tetap sama, tapi sekarang rangking 1 sampai 2100 isinya EDM semua (tertawa). Dulu bisa tiba-tiba rangking pertama lagu drum and bass, rangking kelima ada house, techno sampai IDM. Bukan EDM ya zaman dulu, tapi IDM. Dari situ saya tahu dan penasaran di mana cari dan beli musik acid jazz.
Zaman dulu belum download, kita harus beli. Waktu itu sekitar tahun 1994 lah, saya saja lupa beli musiknya gimana (tertawa). Tapi dulu saya sering pesan plat di Satellite Records (US), Mr. Bongo (UK), Hard To Find Records (UK). Saat beli musik kan yang penting ada sound bites-nya ya, karena kadang lagunya enak pas awal didengar, tapi ternyata enak sampai segitu saja, sisanya hancur.
Dulu saya kerjanya beli CD acid jazz banyak sekali sampai pernah saya kasih ke radio di bilangan Gandul, Cinere pas mereka baru bahas acid jazz. Itu saya kasih ke mereka satu tas CD dan suruh mereka download untuk diputar, karena saking banyaknya CD saya (tertawa).
Ini ada cerita lucu, waktu itu saya belum nge-DJ tapi ayah saya punya 3 turntable Technics SL – 1200MK2 masih di boks, tidak tahu beli buat apa. Lalu suatu hari teman saya telepon bilang kalau ada temannya mau numpang rekaman di rumah saya. Saya tanya, siapa namanya? Namanya Joyo, dia DJ. Oh terus mau ngapain? Kan saya punyanya CD. Ternyata dia datang bawa turntable dan mixer lengkap yang sama seperti punya ayah saya. Dari situ saya tahu dari dia tentang di mana dia beli plat serta referensinya. Sejak itu saya mulai diajak dan diajarin nge-DJ sama Joyo dan teman-teman saya juga.
Musik seperti apa yang mengubah hidup atau menginspirasi Glen untuk menyelami dunia musik, tidak sebatas sebagai pendengar?
Banyak sih ya. Karena saya pas sekolah dengar Pink Floyd, Rolling Stones, Eurogliders, dan lain-lain. Dulu kan tidak segmented per genre ya, jadi saya dengar rock, hip hop, dan segala macam. Jadi saya tidak pernah sampai di satu titik yang membuat saya terinspirasi untuk mendalami musik karena satu lagu.
Nah, dulu Joyo taruh turntable-nya di rumah saya buat saya pelajari. Sejak itu saya diajak main bareng, tapi masih sebatas fade in, fade out saja. Mulai dari disuruh turun dan diusir karena tidak mau pasang request lagu tuh pernah saya alami. Dulu masih bisa begitu kan, lebih baik saya pulang kalau ada yang request. Sekarang sih sudah tidak bisa (tertawa).
Di tahun 90-an, Glen dikenal sebagai DJ Glen di skena underground. Bagaimana awal mula Glen dengan dunia DJ?
(tertawa) Dulu saya, Eko, Rudy, Joyo, Andre biasa main di Kafe Roti di daerah Senayan, yang tempatnya kecil sekali. Jadi, kami bawa alat dan sound system sendiri. Nah, mereka semua sudah biasa nge-DJ kan, jadi saya selalu main pertama, mulai main jazz, drum and bass, sampai ambient, karena saya tidak bisa nge-mix.
Nah biasa main di party-party kecil, lalu diajak Anton (Wirjono) main di Bengkel. The original Bengkel Night Club yang muat 6000 orang. Itu gila sih. Itu tuh yang namanya gemetaran main di depan banyak orang tuh, ya itu. Kata Anton, “udah main aja.” Waduh itu tuh seram sih (tertawa).
Musik apa saja yang biasa Glen mainkan? Selalu variatif ya?
Iya sih. Dulu kan etosnya, “I play what I play”. Kalau tidak, ya saya stop. Dulu saya bisa main drum and bass, house, techno, suka-suka saja.
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menemukan karakter musik yang Glen mainkan?
Wah tidak tahu. Begitu saja sih, berkembang secara tidak langsung. Saya juga tidak sadar seperti apa karakter yang terbentuk. Bisa dibilang, kalau yang lain kan main keren-keren ya, kalau mainnya berantakan sih pasti Glen nih yang main. (tertawa)
Saat itu, Glen bersama beberapa teman juga membuat kolektif bernama Melting Pod. Apa latar belakang dibuatnya MeltingPod?
Oh, itu orang-orang tua tidak tahu diri (tertawa). Kami tidak ada kerjaan saja, tidak tahu mau apa. Kami berempat saat itu, isinya saya, Heru (Hatman), Anto (Polski) dan Ebby (Fabian Nusi). Iseng saja saat itu kami harus main di Jakarta Movement sekitar tahun 2003. Saat itu festivalnya kan berisi bermacam-macam genre, seperti melting pot. Oh ya sudah, kami buat saja nama MeltingPod, kalau pot kan biasa saja kan, jadi huruf belakangnya diganti dengan huruf “d” (tertawa).
Bagaimana kalian mempromosikan musik yang kalian buat, karena kalau mencari dokumentasi atau bahkan nama MeltingPod di Google pun tidak ada?
Iya memang tidak ada. (tertawa) Itu yang paling rajin buat dan upload mix biasannya Anto dan Ebby. Kami tidak pernah berniat untuk buat dokumentasi. Not in a million years (tertawa). Tapi sekarang seru, senang sih ya sekarang liat mapping DJ di Jakarta yang variatif. DJ sekarang banyak yang mengejutkan juga penampilannya ada yang keren, ada juga yang hancur. Seru untuk disimak sih sekarang.
Seperti apa iklim siklus dan progresi musik di skena underground waktu itu yang terlewatkan oleh generasi sekarang? Bagaimana skena musik underground dulu jika dibandingkan sekarang?
Mungkin party-party di Parkir Timur Senayan ya. Zaman rave dulu sih yang kalian lewatkan. Kalau zaman dulu ada Future10, DubContainer, House Life. Zamannya Ridwan belum pulang dari Amerika, Anton baru pulang, Hogi (Wirjono) masih di luar negeri, ada Fabi juga, lalu ada juga 1945, tapi yang early-nya dan ada Original Naro. Dulu itu rame.
Menurut saya, yang kalian lewatkan adalah rave yang benar-benar rave. Sekarang memang disebut rave tapi “festival.” Dulu, ada Jakarta Movement, Aquasonic, dan macam-macam party di warehouse benaran. Tidak tahu ya, sekarang kayanya orang-orang sudah tidak ada yang effort buat party di warehouse. Zaman dulu tidak ada area VIP, dulu itu rave berantakan, karena kami datang, mau sekeren apapun pasti akan berantakan. Sekarang sampai ada tenda VIP, sofa dan lain-lain. Sekarang itu lebih teratur, tapi bukan berarti dulu tidak teratur ya. Dulu kami datang untuk joget, berantakan, lalu pulang (tertawa).
Melihat passion Glen dalam mengolah musik, apa ideologi Glen dalam bermusik?
Saya mau kasih tahu orang kalau musik itu ada banyak macamnya di luar zona mereka sendiri. Masalahnya sekarang, tergantung apakah orang-orang mau terima. Karena orang-orang di Bandung atau Yogyakarta itu datang ke acara dengan apresiasi tinggi dengan cara mendengarkan dan menyimak referensi musik dari DJ yang mereka tonton, bukan untuk request lagu.
Selain DJ, 3 tahun belakangan ini Glen menjadi Music Director (MD) di salah satu grup F&B di Jakarta. Apa yang membuat Glen tertarik untuk menjadi MD?
Karena pertama memang ada slot untuk jadi Music Director dan saya kenal orang-orang di perusahaan ini. Syukur juga mereka mempercayakan posisi ini kepada saya. Saya sudah kerja korporat 19 tahun dan memang “it’s about time” juga, menurut saya. Bos saya di kantor lama pun mengira saya midlife crisis, mereka takut saya salah ambil keputusan hanya karena bosan. Tapi saya tidak menyesal.
Tingkat kesulitannya di posisi ini berbeda. Dulu saya kerja sudah ada formatnya untuk menyikapi kesulitan yang sekiranya menimpa. Di sini saya berhadapan langsung dengan kecocokan musik dengan pengunjung. Efek dari pekerjaan ini direct dan tingkat stresnya kadang lebih tinggi dan rendah dari pekerjaan saya sebelumnya.
Seberapa besar peran Music Director dalam representasi sebuah restoran?
Tergantung. Seberapa besar restoran tersebut mempertimbangkan musik di restorannya. Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memilih lagu-lagu top 40 atau klasik saja untuk menjadi musik dalam restorannya. Itu tergantung seberapa besar concern mereka terhadap musik, karena mereka kan jual makanan dan minuman, jadi musik bukan faktor utama bagi mereka.
Seberapa besar peran Glen sebagai Music Director dalam menentukan kepuasan pengunjung yang datang ke restoran?
Lumayan ya. Petinggi di grup F&B tempat saya kerja semuanya suka musik. Jadi saya tidak bisa sembarangan pilih musik untuk tiap restoran, saya harus diskusi dengan mereka. Setelah ada ide yang disetujui, saya harus buat playlist untuk coba mood lagu di restoran selama beberapa hari. Kalau tidak cocok ya diganti playlist-nya. Tapi kami tidak menyimpang, misalnya tempat high-end atau steakhouse tapi kami pasang lagu rock and roll.
Jadi trial and error langung lewat pengunjung ya?
Iya, karena kami harus tahu juga kan. Saya harus diskusi dengan petinggi di kantor dan mendengar saran dan ide untuk diinterpretasikan ke dalam musik di tiap restoran. Saya juga banyak gagalnya waktu saya pikir playlist yang saya buat keren, ternyata saat saya putar, mereka tidak puas dan merasa ada yang kurang.
Bagaimana proses Music Director dalam mendapatkan posisi ini dalam sebuah restoran? Apakah kalian yang approach restoran atau sebaliknya?
Zaman sekarang, ada orang-orang yang bergerak di bidang; istilahnya, playlist. Misalnya mereka datang ke restoran dan menawarkan servis playlist yang dirasa cocok dengan restoran yang mereka approach. Jadi mereka tidak terikat sebagai Music Director. Jadi mereka “menjual playlist.” Jadi kalau tiba-tiba bos saya sekarang menemukan orang dengan playlist lebih cocok dengan restoran daripada playlist yang saya buat dan mau pakai mereka, ya itu mungkin saja.
Berarti saat mengembangkan karakter restoran, tidak bisa sebebas saat menjadi DJ ya?
Dulu saya tidak peduli dan bilang “my music is my music.” Tapi sekarang memang saya jadi bisa melihat bahwa banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, apalagi sebagai Music Director. Saya tidak bisa egois dan bilang, oh saya sukanya musik ini, saya cuma mau musik ini, dan lain-lain. Itu tidak bisa.
Seperti apa proses Music Director dalam mengembangkan karakter restoran yang akan direpresentasikan?
Saya coba buat sample dari 20 lagu dulu untuk diajukan ke bos. Kalau mereka setuju, baru saya buat playlist. Dan buat playlist itu pain in the ass. (tertawa) Saya tidak mau playlist yang saya buat ada lagu yang sama di playlist selanjutnya atau sebelumnya, dan itu jadi boomerang buat saya sendiri. Tidak seperti radio ya. Radio itu lebih gila karena mereka harus up-to-date, dan hal itu penting juga dalam membuat playlist. Saya pegang 13 restoran sendirian (tertawa) Tapi untungnya ada beberapa restoran double, jadi palylistnya sama juga. Kalau kami mau gampang pasti akan sama semua ya. Tapi, kami tidak mau orang menyamakan musik restoran 1 dengan yang lain karena berada di bawah satu grup.
Apa concern terpenting ketika Glen membuat playlist untuk tiap restoran?
Supaya orang nyaman saja. Musik yang saya buat itu untuk menemani orang makan dan mendorong orang agar betah di restoran. Dulu saya selalu tak ingin memasukkan lagu komersil yang ada di radio, sekarang walau masih selektif, saya harus tetap update referensi musik juga.
Bagaimana dengan eksklusivitas lagu yang ada di playlist Glen?
(Tertawa) Itu berarti gimmick kan. Kalau misalnya cuma buat 1 atau 2 restoran, memilih lagu selektif itu masih bisa. Tapi kalau dapat beberapa restoran, kita harus memperhatikan ambience dan kenyamanan orang serta kecocokan antara karakter restoran dan musik di playlist-nya. Kalau cuma pegang satu restoran, berarti musiknya banyak sekali kan, itu baru bisa bebas bereksperimen.
Apakah sebagai Music Director, Glen jadi membutuhkan riset mendalam ketika membuat playlist?
Iya. Paling cek Pitchfork dan Allmusic. Misalnya ketemu lagu keren tapi tidak cocok diputar di restoran manapun ya jangan dicoba juga. Kecuali ada yang bisa, ya dicoba dipasang di restoran untuk lihat reaksi pengunjung.
Jadi, saya berusaha update semua restoran tiap bulan dengan buat playlist untuk lunch, happy hour, dinner dan late. Nanti tiap bulan akan saya tambahkan 10 lagu baru, walau masih banyak yang dilewatkan juga sih, karena banyak sekali musik baru. (tertawa) Kalau restoran yang diurus cuma satu sih itu bisa foya-foya lagu. (tertawa)
Apa yang perlu diketahui orang mengenai profesi ini, karena tidak semua orang paham dengan peran Music Director?
Sama saja sih. Kita kerja harus berusaha. Musik harus dicari karena buat playlist itu susah (tertawa), pasti ada momen yang stuck mau pilih lagu, apalagi untuk playlist. Tapi jangan takut, tiap saat pasti banyak lagu baru keluar kok (tertawa). Dulu justru waktu saya belum jadi Music Director justru up-to-date sekali, setelah jadi Music Director justru banyak yang terlewat. (tertawa) Sering-sering ngobrol dengan DJ dan teman untuk dapat referensi juga, karena ternyata anak-anak sekarang yang umurnya setengah umur saya itu musiknya gila dan saya banyak dapat referensi dari mereka.
Menurut Glen, bagaimana dengan antusiasme DJ muda sekarang?
Saya pernah direkomendasikan teman untuk dengar Pujangga Rahseta (RHST) dan itu waktu saya dengar, gila, dia mainnya seru banget, sudah lama tidak dengar yang seperti itu. Itu kan seru ya rasanya. Sama seperti Dea (Aradea Barandana), anak itu dari dulu suka musik dan sering beli plat yang mahal-mahal banget. Jadi dia sekolah di London untuk sound engineering, lalu Todd Terje dan Prins Thomas kalau ke London pasti cuma mau menginap di rumahnya karena Dea suka masakkin mereka makanan enak. Bahkan saat saya bawa Todd Terje ke Bandung, dia minta Dea untuk ke Bandung (tertawa). Setelah Dea pulang, dia mengembangkan label dengan teman-temannya dan kemudian dia jadi resident DJ di Potato Head Bali bahkan diajak Gilles Peterson untuk main di Worldwide Festival. Seperti itu lah antusiasmenya.
Skena kita terlalu didominasi orang yang itu-itu aja, menurut saya. Tapi sekarang sudah beda ya. Pernah ada satu timeframe yang orang merasa capai karena orang yang main itu-itu saja, sementara ada anak-anak muda yang berbakat tapi mereka tidak pernah bisa “naik ke atas” entah kenapa
Apa proyek mendatang yang sedang Glen kerjakan?
Wah kalau disebut bisa tidak jadi (tertawa). Tunggu saja November akan ada festival musik, kalau tidak ada halangan (tertawa).