Bagaimana Jacob Collier Menciptakan Keajaiban Bebunyi
Jacob Collier mengakhiri Solo Asia Tour 2023 di JIEXPO Theater, Jakarta. Ia sekaligus mengumumkan album terbarunya, Djesse 4, yang akan rilis 29 Februari 2024.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Foto: Imam Wisaya Surataruna/12WIRED
Malam itu Jacob Collier hadir bersama grand piano, vocal harmonizer dan gitar akustik lima senar. Ia berlari kencang ke tengah-tengah panggung, menyapa Jakarta, lalu melakukan apa yang Freddie Mercury lakukan bersama para penontonnya di Live Aid 1985. Ia teriak, “Ooo!!!” Dan penonton membalasnya berlipat ganda, “Ooo!!!”. Beberapa kali, lalu Jacob dan penonton mengharmoni. Ia lekas duduk di hadapan piano, mengentak nada yang seketika kaya, bernyanyi: Little darling, I feel the ice is slowly melting. Little darling, it feels like years since it’s been clear. Jacob memulai konser tunggalnya dengan Here Comes the Sun.
Dari sini keajaiban mulai.
Jacob kembali ke Jakarta setelah tujuh setengah tahun lamanya. Konser terakhirnya adalah Jakarta International Java Jazz Festival 2016. Jacob kembali ke Jakarta untuk mengakhiri Solo Asia Tour 2023, setelah Mumbai, Delhi, Bengaluru dan Shanghai, juga setelah menuntaskan tur global panjang. Ia akan memulai tur berikutnya di April 2024.
Kita mengenal Jacob Collier sebagai seorang musisi multi-instrumentalis; seorang dengan berkah bermusik yang luar biasa. Lagu-lagunya sarat akan harmoni. Dan konser tunggal ini telah menyediakan keintiman dan kejutan improvisasi. Di konser ini Jacob menjelajahi musik seluas-luasnya, seolah-olah jumlah instrumen bukan batasan. Ia mengizinkan setiap nada dalam piano dan gitar bermain secara setara. Kita juga berkesempatan untuk lebih memerhatikan vokal dan nyanyian Jacob, yang sepanjang konser, menjelma kekupu bariton yang terbang tak terduga lalu hinggap di satu tangkai nada ke tangkai lainnya. Kita tak bisa menerkanya, hanya sadar, bahwa kelebat kekupu itu indah rupanya. Di Here Comes the Sun, kemudian lagu karangannya Hideaway, ia memainkan piano dengan perlahan dan lembut, namun juga lekas cepat dan sibuk.
Malam itu Jacob juga mengumumkan bahwa ia telah menyelesaikan proses mixing untuk albumnya mendatang: Djesse 4. Jacob telah merencanakan album berkonsep quadruple ini sejak 2018, dari Djesse 1, 2, dan 3. Sepanjang lima tahun itu ia bertumbuhkembang, tidak hanya sebagai musisi, tapi juga manusia. Ia telah berkolaborasi dengan banyak musisi lain. Ia telah menulis musik untuk orkestra dan kor, juga untuk musisi pop hingga rap. Dan belakangan ini ia juga mengajak penonton konsernya terlibat. Ia telah merekam ragam paduan suara sepanjang turnya untuk ia sertakan di Djesse 4.
Seperti apa, kira-kira, nuansa Djesse 4 mendatang? Ada petunjuk: Jika Djesse 2 adalah siang, dan Djesse 3 malam, maka Djesse 4 akan menandai hari baru. Sebuah siklus akan tercipta. Barangkali kita dapat mengandaikan suatu pagi tenteram. Saat wajah mencerah dan dada penuh akan udara dan angkasa. Single yang akan menjadi bagian album ini, Little Blue, mengilustrasikan suasana itu, dan ia bawakan lagu ini di konser tunggalnya.
Dengan kedua tangannya, ia mengaba penonton untuk sedikit demi sedikit menaikkan nada, secara bergantian, lapis melapis, hingga terbentuk suatu katedral temporal yang dibangun menjulang dari ribuan suara manusia
“Little Blue, be my shelter, be my cradle, be my womb.” Little Blue adalah lagu yang hangat dan terang. Liriknya membangun dan mendukung, mirip dengan lirik lagu-lagu seperti Bridge Over Troubled Water. Malam itu ia bawakan lagu ini dengan gitar lima senarnya. Ia banyak memetik open string, sehingga ada kesan lepas dan lega. Seakan-akan dirasuki roh musik, ia lekas berimprovisasi dengan bermain gitar dengan tangan kiri, piano dengan tangan kanan, sembari lanjut bernyanyi. Kita hanya bisa terpukau. Hingga tiba saatnya penonton serempak bersenandung. Ini kali tak ada instrumen, hanya senandung. Jacob mengambil kesempatan ini untuk mengaba paduan suara. Dengan kedua tangannya, ia mengaba penonton untuk sedikit demi sedikit menaikkan nada, secara bergantian, lapis melapis, hingga terbentuk suatu katedral temporal yang dibangun menjulang dari ribuan suara manusia, yang membuat kita menjadi bagian dari keseluruhan besar; suatu pengalaman yang sama ketika memandangi langit luas, laut luas; ketika berjalan di bawah tajuk-tajuk pepohonan di Kebun Raya; suatu pengalaman yang merendahkan hati.
Jacob bicara soal percaya. Semenjak banyak mengadakan konser piano tunggal dan mengaba paduan suara, ia harus memercayai penontonnya dan begitupun sebaliknya. Malam itu, kepercayaan menjelma harmoni. Seberapapun saya terpukau oleh Jacob, saya juga terkesima mendengar orang-orang di kitaran saya, pada mereka yang duduk di atas dan bawah sana, karena telah berdendang, berteriak, memecah melodi, dan menjawab aba-aba dengan tepat. Seakan Jacob telah menggali kembali insting musik di tiap insan.
Jacob bilang bahwa ada aspek penyembuh dalam musik. Ketika kami di Whiteboard Journal berbincang dengannya di sore sebelum konsernya mulai, ia bercerita:
One thing I found traveling all over the world and play music in different places is just how grateful people are for a reason. I think my hope is that if you come to one of my shows, then you feel a sense of connection not just with other people, but actually, with yourself. I think nowadays, it’s very easy to go very far away from yourself. And I think lots of us, even me included, have moments when we think, ‘Who am I right now?’
Musik telah mengajari Jacob tentang kahuripan. Ia percaya bahwa musik dapat mengubah hidup seseorang selayaknya musik telah mengubah hidupnya. Ia berharap bahwa musiknya dapat membantu mengangkat semangat orang-orang di masa-masa yang penuh perpecahan, kesalahpahaman, kekerasan dan perjuangan ini; masa-masa yang menyakitkan hati. Musik boleh jadi terlihat trivial, tapi sesungguhnya sangat penting.
Jacob banyak membawakan lagu karangan musisi lain. Sebagian hadirin boleh jadi menyayangkannya. Memang benar, ia membawakan lagu populer dari Isn’t She Lovely, Can’t Take My Eyes Off You, Somebody to Love, hingga lagu sejuta umat, Fix You. Ada sebagian dari diri saya yang juga menyayangkan ini, semata-mata karena saya sangat menikmati lagu-lagu karangan Jacob sendiri. Dan pada konser ini Jacob membuktikan bahwa karangannya dapat pula dibawakan cukup dengan piano atau gitar, seperti versi unplugged dari sebuah lagu. Namun barangkali inilah cara Jacob menginterpretasi lagu-lagu pop selayaknya musisi jazz menginterpretasi standards. Bedanya, lagu-lagu pop lekat dengan kepribadian penyanyi atau bandnya, sedangkan standards memiliki kualitas yang lebih universal.
Brad Mehldau, pianis jazz yang menafsir The Beatles atau Radiohead, adalah orang yang membicarakan ini pada sebuah wawancara dengan Qobuz. Brad melihat bahwa seorang dapat menjadikan lagu orang lain serasa miliknya, bahkan lebih baik, setelah menyadari kekuatan inheren karya tersebut (Ia memberi contoh Gotta Get You Into My Life – The Beatles versi Earth, Wind & Fire). Saya yakin bahwa Jacob adalah orang yang menyadari kekuatan sebuah lagu pop yang ia cover. Ia setia, tapi juga tak menutup kemungkinan mengutak-atik dengan caranya sendiri. Ia memainkan dan mencampur berbagai corak musik untuk tiap lagu, dari klasik, jazz, R&B, hingga gospel.
Tiba saatnya Jacob mengakhiri konser dengan encore Moon River dan Blackbird. Dua buah lagu haru dengan lirik haru. Rasanya, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip lirik Moon River, yang ada kaitannya dengan kerinduan, penantian dan perpisahan: We’re after the same rainbow’s end / Waitin’ ‘round the bend / My huckleberry friend / Moon river and me.
Kita pulang membawa keajaiban masing-masing.