AMERTA: “Dari yang nggak serius dan jadi serius tuh memang banyak banget di kita.”
AMERTA sempat bertandang ke kantor kami untuk berbincang mengenai album terbarunya, Nodus Tollens, pendewasaan mereka sebagai sekawanan musisi lintas genre, sampai misi mereka untuk menantang kotak-kotak genre dengan warna khas mereka sendiri.
Words by Whiteboard Journal
Words: Garrin Faturrahman and Freya Anjani
Photo: Rajan Nausa
Di lanskap musik alternatif lokal yang terus berubah bentuk, dan di garis-garis imajiner yang sudah mulai uzur, hiduplah AMERTA sebagai unit yang mampu mengarungi dan menabrak batasan. Dibentuk secara organik oleh sekelompok teman-teman yang masing-masing membawa latar belakang musikalnya—dari technical death metal, shoegaze, sampai death rock—lima sekawan ini menghembuskan nyawa yang segar terhadap musicscape kita, salah satunya lewat rilisan terbarunya: Nodus Tollens, yang didedikasikan sebagai eksplorasi mereka di dalam pusaran absurditas hidup—seperti terma nodus tollens itu sendiri yang berarti “the realization that life no longer makes sense.”
Kami berkesempatan untuk melihat sisi organik AMERTA dalam wawancara—yang lebih terasa seperti sesi ngobrol—yang menceritakan proses kreatif mereka sebagai unit yang personelnya berasal dari band lintas genre, filosofi mereka tentang penerimaan dan pendewasaan, sampai kisah di balik lagu Chrisye yang di-cover di album terbarunya.
Pertama, selamat atas rilisan terbarunya.
Weits, terima kasih banyak!
Terima kasih banyak juga! Dulu teman-teman juga dengerin pakai speaker ruangan…
Anida: Pasti gara-gara Ricky.
*laughs*
Nodus Tollens kini mengeluarkan warna-warna yang menjauh dari hitam dan putih—kita melihat “Chevron” yang lebih major-sounding, sampai artwork album yang dominan warna biru dan merah sebagai latar. Menyambungkan ke istilah nodus tollens sendiri yang berarti realization that life does not make any sense anymore, perubahan warna ini lantas mengartikan penerimaan atau amarah?
Raja: Kalau gue pribadi sih, penerimaan. Gue sempat nulis juga di medsos. Kalau tadi, kan lo bilang soal warna bertolak belakang, mungkin ini refleksi aja. Setidaknya buat gue, tema besarnya soal kehidupan. Dulu gue berpikir hidup itu kayak hitam putih. Zaman masih muda, selalu harus punya posisi terhadap semua hal. Tapi setelah menjalani hidup, gue makin ngerti bahwa hidup itu absurd dan kayak spektrum—gak bisa hitam putih.
Lody: Dari obrolan dan musik, penerimaan ini juga udah terkondensasi. Amarahnya jadi lebih terarah, dibanding amarah yang meluap-luap tanpa arah. Sekarang, amarah itu dijadikan formula untuk menciptakan sesuatu, instead of marah aja. Itu yang gue tangkap dari dinamika teman-teman.
Nodus Tollens bisa dibilang adalah album yang terkonsep dengan penuh detail. Dari flow tracklist yang seamless dan seperti bercerita, sampai teknis dan kualitas live performance yang sangat orchestrated—in a good way! As a band, apakah kalian memang well-planned dan well-designed dalam semua proses dan dinamika ngeband?
Raja: Gue mungkin mewakili sebagai member awal. AMERTA ini terbentuk sangat organik. Gue dan Akbar nggak pernah berpikir sejauh ini. Tapi, gue merasa karena kita seumuran—late twenties, early thirties—dan ini band kedua atau ketiga buat kita, jadi ada proses kematangan dari pengalaman sebelumnya. Kalau soal well-orchestrated, kita memang concerned soal teknis sound dan visual manggung. Zaman sekarang, kalau cuma live doang tanpa pendukung, rasanya kurang. Soal persona, kita nggak pernah mikir sejauh itu. Anak-anak ini punya karakter beda-beda, dan semuanya organik—teman nongkrong yang saling tahu. Gak ada yang dibuat-buat.
Lody: Kalau gue, proses kreatifnya spontan. Semuanya ngambil proses kreatif dari sesuatu yang terjadi saat itu, tapi eksekusinya baru yang lumayan detail. Jadi kayak terbuka di awal terus mencoba untuk shape ke bawah. Jadi terkesan semuanya tuh orchestrated padahal enggak, padahal divergent-convergent.
Raja: Yang suka bikin caption, gimana? *points to Anida*
Anida: Kadang, dari bercandaan nongkrong bisa jadi sesuatu yang serius. Banyak yang mikir kita serius banget sebagai manusia dan band, padahal di luar itu… heh. Kelewat lawak, masing-masing.
Gue baca di press release soal proses pembuatan Nodus Tollens yang keroyokan. Pun kalian datang dari genre berbeda—dari technical death metal, shoegaze, sampai rock. Gimana cara kalian menyatukan semua itu?
Anida: Sebenernya nggak terpaku sama band sebelumnya. Influence kita luas, jadi bisa denger apa pun tanpa terpaku satu hal.
Raja: Peran produser juga penting, ya. Ricky meredam emosi personel dan meyakinkan kita untuk menjadi diri sendiri. Dia juga mendorong eksperimentasi, kayak clean vocal yang ditabrakkan sama musik metal atau synthesizer. Itu sesuatu yang nggak kepikiran sebelumnya, tapi jadi mungkin karena dorongan produser.
Kalau begitu, apa yang membedakan creative process di AMERTA dibandingkan dengan band masing-masing?
Anida: Kalau gue, kasarannya tuh gue mulai ngeband di sebuah band hardcore punk—hardcore punk tiga kunci, asal jong jong doang—sementara di AMERTA, bassline gue cukup rumit, dan menurut gue itu ada peran Ricky banget sih. Dia mendorong potensi gue untuk “dah, lu bisa kok,” terus ada dorongan untuk terus berlatih. Di AMERTA tuh jauh beda. Kalau dulu beneran terlalu simple, terus di band gue yang Sugarsting, si Manis juga secara bass mainnya simple banget. Sementara di sini, ada rasa tekanannya.
Techa: Kalau gue, mungkin sama kayak band yang sekarang. Prosesnya serupa ya, maksudnya ramunya juga bareng-bareng. Kadang musiknya dulu yang keluar, atau liriknya dulu—vice versa gitu. Hampir sama. Cuma, yang membedakan adalah di band satunya secara vokal tuh memang pakem dari deathrock post-punk rata-rata clean vocal. Dengan tone suara gue juga, itu udah ada di guidebook-nya. Tapi di AMERTA, yang tadi Raja bilang, lebih nabrakin musik. Mungkin orang lebih familiar sama teriakan-teriakan, dan itu jadi challenge yang menyenangkan buat gue untuk explore. Akhirnya, kita rame-rame eksplorasi dengan banyak proses ajaib. Plus, [karena] ada bang Ricky sih.
Lody: Gue sama sih sebenernya, prosesnya tuh generatif. Kita bawa badan aja, ngumpul, ada sedikit minuman atau apa. Terus coba bikin sesuatu. Tapi Raja sama Akbar biasanya udah punya blueprint yang dibawa waktu workshop. Proses memformulasikan itu biasanya terjadi pas nongkrong. Ada alat, ada workshop, tiba-tiba jadi lagu. Itu lumayan beda sama band gue sebelumnya atau sekarang. Generatif banget: coba-coba, kalau kepake ya lanjut, kalau enggak, ya udah.
Techa: Mau nambahin sedikit. Gue sama Anida tadi, ada bagian insecure-nya juga, kayak “ini bener gak ya masukin vokal dua?” Tapi karena proses ajaib itu, akhirnya jadi.
Raja: Kalau gue, ini pertama kalinya bikin musik dengan workshop yang panjang. Baru ngerti, “oh, ini tuh namanya workshop.” Sebelumnya, gue bikin lagu lebih ke jamming aja sama Akbar. Karena dulu bandnya death metal, lebih mentingin agresivitas dan technicality. Sekarang, udah gak gitu. Gue lebih fokus ke rasa: bikin demo, denger, edit lagi. Yang paling gue rasain bedanya sekarang tuh soal rasa. Kalau dulu, cukup mikir, “udaah, kenceng aja.”
Techa: Iya, workshop-nya panjang banget. Banyak momen kita dengerin bareng mas Ricky. Dia kasih masukan, “kayaknya bagian ini gak usah deh,” atau “ini kurang ini.”
Lody: Awalnya lagu udah jadi dulu secara jamming. Baru bang Ricky kasih masukan lebih.
Raja: Konsep awalnya gue sama Akbar tuh kayak semacam blueprint bang Ricky. Gue udah bikin banyak ide. Dulu gue simpen aja dalam pikiran dan hati (anjay). Terus pas udah ngumpul, tinggal main aja sih, tailoring-nya di situ.
Apa yang sebenarnya memantik creative direction ini? Kenapa sekarang lebih ke “rasa” dibanding technical?
Lody: Kita udah melewati fase agresif itu tadi. Kayaknya kita semua udah pernah ngerasain nge-cover lagu aneh-aneh. Sekarang, kita lebih dalam, mencoba hal yang belum pernah. Gue juga rasa ini faktor waktu dan kedewasaan. Prosesnya organik banget. Pas SMA, mungkin bikin lagu buat seneng-seneng. Sekarang, lebih kompleks karena ada pengalaman hidup.
Faktor pendewasaan itu justru bikin tone down, nggak sih?
Raja: Mungkin iya, tapi kita tetap eksplorasi. Gue rasa AMERTA itu dari awal memang pengen nabrak pakem-pakem yang ada. Musik metal biasanya hitam putih, abstrak-abstrak, tapi kita pengen punya sikap yang berbeda.
Anida: Melalui Nodus Tollens, kita menunjukkan agresivitas dengan cara kita sendiri. Gak harus “by the book,” kayak musik metal yang harus begini atau begitu. Kita melawan itu.
Album Nodus Tollens mulai dikerjakan per 2019—pre-pandemi! Dengan banyaknya peristiwa dan waktu yang dilewati, ada apa saja yang berubah sedari awal conception si album ini?
Akbar: Kalau dari Chevron (2022) yang sebelumnya, mungkin lebih terstruktur aja. Maksudnya, kita nggak langsung bikin lagu terus redis langsung, enggak. Jadi lebih kayak kita workshop dulu, terus dipikirin, “ini bisa diapain lagi ya?” Di situ peran bang Ricky juga besar, seperti, “ini kalau diginiin gimana?” Tapi tetap nggak mengesampingkan tes masing-masing. Kalau dari “Chevron” terakhir sih, udah lumayan seperti sekarang.
Anida: Kalau pre-pandemi kan masih yang instrumental, jauh banget dari Amerta sekarang. Secara struktur penulisan dan konsep, bahkan sudah jauh beda.
Akbar: Dulu tuh modalnya ya udah jadi, langsung rilis aja gitu.
Raja: Kalau gue pribadi, sekarang tuh gue merasa kita lebih solid aja. Masing-masing udah nemu formulanya. Masih ada suara individu, tapi masukan sekarang jadi lebih terbuka. Kolektivitas kita sudah semakin solid. Gue yakin ke depannya akan makin solid, terutama dalam creative process. Dulu, misalnya di band sebelumnya, gue mikir departemen musik itu gue, departemen perkusi itu Akbar. Jadi semua gue yang mikirin. Kalau sekarang, gue lebih fokus ke gitar aja.
Anida: Collective thinking, bro.
Raja: Iya, ini tuh band yang bener. Sekarang gue fokus gitar gue aja, Lody juga seperti itu. Tantangannya juga berbeda.
Akbar: Di band lama, kita belum pernah memasukkan frekuensi synthesizer. Itu pengalaman baru buat kita.
Raja: Secara teknis, positioning synthesizer itu gimana sih? Itu pengalaman yang baru buat gue.
Akbar: Dulu mana ada yang bilang: “Yuk kita bikin nuansanya di sini.” Pokoknya… they started riffing.”
Lody: Tapi touch point penting setelah pandemi itu rekaman album. Di situ kita mulai mikirin frekuensi, seperti “oh, ini rada tabrakan.” Secara musikal, semuanya jadi lebih terkunci, latihan juga jadi lebih rapi.
Anida: Satu hal yang bikin proses rilis album panjang itu pas mixing. Semua instrumen dan vokal harus di-mixing, dan itu cukup rumit untuk nyari balancenya.
Lody: Iya, jadi kita nemu tengahnya.
Sekarang bisa di-argue kalau genre adalah konsep usang, yang bahkan dirasa bisa mengekang creative freedom seorang musisi. Kita juga melihat Deafheaven sampai the jazz-influenced Tomb Mold yang painted new colors to their sounds, both which were met with warm reception by critics. What’s your take on this sentiment?
Lody: Kalau gue argue genre sudah mati ya. Itu hanya kebutuhan untuk bikin playlist aja sih.
Techa: Karena fondasinya ada bentukannya secara umum, tapi setelah itu ya udah. Sekarang nggak harus saklek metal itu mesti gimana.
Raja: Kalau gue, ini masuk ke proses pendewasaan. Dulu kita kan main kurang jauh. Gue ngerasa genre udah usang, dan gue percaya hal yang baik selalu muncul karena keterbukaan. Kalau dulu ada istilah metal elit, itu menurut gue sempit banget. Sayang kalau sebagai pendengar atau musisi, lo membatasi diri dalam kolam yang sempit. Kuping orang sekarang makin luas, makin bisa menilai yang beda-beda.
Techa: Tapi kita nggak bisa memungkiri, mayoritas masih menganggap itu kotak-kotak semua.
Raja: Dalam observasi gue, AMERTA kan manggung di beberapa tempat, dan gue lihat penonton kita nggak cuma yang nonton metal doang, udah random gitu. Cita-cita gue pun AMERTA nggak cuma main di acara metal, tapi juga di acara-acara lain seperti We The Fest [misalnya]. Tapi gue jadi mau nanya, emang masih ada ya… orang-orang yang—sori, lo lahir tahun berapa?
Gue ‘98.
Raja: Oh, ya sama lah. Satu presiden. laughs Tapi maksudnya, dalam generasi kita emang masih ada ya orang yang mengkotak-kotakkan genre?
Menurut gue sih sebenernya udah nggak ada, dan kini pada percaya semuanya udah cross-genre gitu. Bahkan, in the media itself itu sebenarnya glorified banget.
Raja: Ini gue memposisikan gue sebagai pendengar musik ya, at the end of the day gue masih bisa ngerasain lo melakukan cross-genre itu untuk membuktikan sesuatu atau memang itu keluar apa adanya. Karena kerasa soalnya, yang beneran sama yang pretentious. Tapi kalau emang enak ya enak aja. Tapi ya mungkin itu subjektif sih.
Lody: Ya, tapi mungkin kalau genrenya melekat sama sebuah subkultur kayak black metal, kayaknya itu penting karena sakral. Kalau kita kan emang nggak melekat pada sebuah subkultur tertentu.
Anida: Kita muncul-muncul kayak apa nih nyebrang. Nggak kayak yang “KITA METAL!” gitu.
Akbar: Mungkin yang bikin musik udah nggak mikirin genre, tapi pendengarnya. Platformnya yang kadang ngasih algoritma sesuai genre. Jadi bingung juga sih sebenernya. Yang bikin musik sih udah nggak pengen kotak-kotakin gitu.
Betul sih, dan genres juga sekarang digunakan kayak marketing tool gitu.
Akbar: Nah, mungkin larinya ke situ. Itu jawaban yang benar.
Tapi gue pernah lihat di Spotify, ada daylist yang ada tema-tema gitu. Afternoon emo mix, apalah. Kalau misalnya kalian harus memilih nama itu, kalian mau apa?
Lody: Afterpunk Wednesday Evening, mungkin. *laughs*
Anida: Post-everything Gloomy Sunday.
Techa: Besok mau Senin gitu kan.
Anida: Itu jadi bercandaan kita juga sih, post-everything.
Lagu “Kala Surya Tenggelam” telah kalian mainkan kembali dalam warna Amerta. What spurred the decision to cover said song?
Akbar: Belakangan ini gue lagi suka denger lagu-lagu Indonesia gitu kan. Terus waktu itu lagi mau manggung di Paguyuban Crowd Surf, 2021. Belum ada Lody malah. Dan baru mulai main-main dengan synthesizer.
Anida: Hari itu kita dibantu teman untuk isi synth, sih.
Akbar: Sebenernya drive-nya karena stok lagu kurang. Terus yaudah, kita-kita semua mikir kayaknya cover lagu aja deh. Jadi yaudah, kita pilih lagu itu soalnya yang gue tangkep mood-nya sama.
Anida: Sebenernya respon kita pun masih ketawa-ketawa doang. Nggak ada yang serius, yaudah coba-coba.
Akbar: Dari yang nggak serius, tiba-tiba jadi serius. Nah, itulah AMERTA.
Raja: Mungkin drive-nya juga waktu kita bawain di event itu, mungkin salah satu event gede AMERTA awal-awal ya. Itu penuh dengan rasa keringet dingin. Tapi pas bawain lagu itu ternyata feedback orang-orang sangat berkesan. Nah, terus yaudah, kita pikir-pikir asik juga ya kalau kita bisa rilis. Jadi kita sering perform, lama-lama kita approach Musika untuk lisensinya. Jadi alasannya sebenernya simpel aja, dan gue nggak nyangka lagu ini begitu dimainin dengan gaya kita tuh jadi lebih gelap lagi.
Akbar: Waktu itu udah ngajak Lody, tapi waktu itu dia lagi ngurus albumnya sendiri.
Anida: Terus proses kita ngerjain di videonya pun cukup cepat ya. Jamming aja gitu.
Lagu ini sempat naik dan ramai kembali berkat Gadis Kretek (2023). Mengingat itu, kenapa AMERTA tetap mengedepankan itu sebagai single? Apakah tidak ada ketakutan seperti “it’s been done before?”
Anida: Sebenarnya kita membawakan itu jauh sebelum Gadis Kretek, jadi kita sempet mikir kayak yah kelamaan kita ngerilisnya. Jadi pas Gadis Kretek keluar tuh kaya, “lah, itu!”
Akbar: Video live-nya sebenernya kita udah duluan.
Anida: Kalau lihat-lihat komen warga tuh juga sering banyak yang bilang, “wah lagu Gadis Kretek, keinget AMERTA.” Jadi orang malah ingetnya kita.
Raja: Tapi ya kalau di sisi marketing malah menguntungkan AMERTA nggak, sih? Kita juga nge-cover itu sebelum itu. Intinya gitu sih.
Akbar: Kalau ditanya ragu apa nggak, gue pribadi sih nggak. Kayak yaudah, ini memang udah ada kok dan jauh versinya dari versi yang dibikin.
Raja: Dan gue ngerasa yang di-cover sama yang lain, misalnya D’Masiv gitu, ya mungkin punya kita ya memang paling beda.
Anida: Dan aransemennya tuh nggak beda jauh dari aslinya. Maksudnya, masih ada unsur yang sama. Sementara kita bener-bener ngerombak total.
Akbar: Dari yang nggak serius dan jadi serius tuh memang banyak banget di kita.
Anida: Mungkin 60–70% album kita isinya awalnya nggak serius.
Raja: Iya, semuanya datangnya dari bercandaan. Kita meromantisasi aja dari bentuk album ini.
Anida: Iya, makanya ada masanya waktu workshop itu susah karena pas rekaman vokal kita pake lirik ngasal bercanda gitu. Padahal Ricky udah suka sama pelafalannya. Jadi kita nyari lirik yang serius tuh kayak, “yaah, anjing.”
Oke! Kalau begitu, yaudah kita akhiri saja di sini. Terima kasih banyak!
A: Yay, woohoo! [CLAPS]