Menjelajah Medium Baru untuk Berkarya bersama Popomangun
Kami berbincang dengan Popomangun tentang masa di mana semua orang bisa menjadi seniman, merchandise sebagai cara untuk terus berkarya dan tentang fenomena virtual exhibition.
Words by Sabrina Farizky
Foto: Popomangun
Saat kita memasuki tatanan dunia baru, kita dituntut untuk beradaptasi sembari mengeksplorasi ruang-ruang baru. Kami berbincang bersama Popomangun untuk melihat bagaimana ia sebagai seniman membiasakan diri dengan situasi sembari mengeksplorasi peluang yang ada. Tentang komentarnya mengenai merchandise sebagai medium berkarya hingga pandangannya tentang virtual exhibition.
Bagaimana situasi tahun lalu mempengaruhi karya/proses berkarya Popomangun?
Karena dari awal gue mulai berkarya dari keterbatasan dan minim dukungan dari orang dan lingkungan terdekat, maka gue terbiasa melakukan semuanya dengan modal internet, networking juga usaha.
Dengan begitu, kondisi yang kita jalani di tahun 2020 sedikit banyaknya nggak membatasi proses berkaryanya gue. Untungnya karena sudah hidup dari kondisi yang gue jelasin diawal tadi, modal untuk cepat beradaptasi tanpa sadar udah gue rasa dari awal berkarya. Mungkin cuma jadi lebih terbatas ruang gerak buat keluar rumah aja. Tapi sisanya masih aman terkendali, kita jadi total berkarya dari rumah dan dalam studio.
Kini banyak yang harus dibatasi, bagaimana Popomangun terus mengembangkan inspirasi untuk berkarya?
Inspirasi selalu aman selama waktu tidur cukup, koneksi yang cepat dan networking yang sudah gue bangun selama ini ada. Buat gue itu modal yang cukup untuk tetap berinteraksi dan terinspirasi. Gue rasa karena kita hidup di kota yang semuanya sudah jadi serba cepat, kesempatan kontemplasi di situasi sekarang buat gue jadi lebih banyak mendengar dan membuat sih ya.
Kini semakin banyak yang ingin total berkarya sebagai seniman, berdasar pengalaman, bagaimana Popomangun melihat cita-cita hidup sebagai seniman?
Sebenarnya yang harus ditelaah buat jadi lebih jelas di awal adalah kata “seniman”-nya dulu yang harus diartikan secara clear dan jelas. Dulu, konon katanya menjadi seniman nggak ada masa depannya, kenyataannya sekarang semakin banyak yang menggambar/melukis dan posting di media online. Itu nggak salah.
Tapi buat gue, pekerjaan apapun juga bisa dikatakan seniman dengan medium yang berbeda. Artinya semua orang bisa menjadi “seniman” di bidang, medium dan ruang lingkup mereka masing-masing dan nggak melulu harus di bidang seni rupa.
Sekarang banyak orang bisa jadi seniman/graphic designer dengan adanya informasi yang semakin mudah diakses sekaligus tools yang juga semakin mudah digunakan, bagaimana Popomangun melihat posisi seniman di situasi seperti demikian?
It’s good! Seperti yang gue bilang sebelumnya, sepertinya kita sepakat semua orang bisa jadi seniman di bidangnya masing-masing. Semua tergantung dari konsisten dan tanggung jawabnya aja sih. Apakah dengan menjadi “seniman”, kita bisa mempunyai dampak yang baik buat lingkungan? Buat gue menjadi seniman bukan cuma sebatas gelar atau pekerjaan, lebih dari itu ini bisa dibilang menjadi sifat atau nalar yang di alam bawah sadarnya bisa memberikan solusi alternatif atas semua masalah di sekitar.
Merchandise menjadi salah satu medium yang populer untuk berkarya, tapi banyak juga yang melihat bahwa karya seni yang utama adalah yang ada di galeri, bagaimana Popomangun melihat ini?
Gue sudah sadar dari awal gue start berkarya di tahun 2013 untuk melihat bahwa merchandise adalah medium yang sangat cocok untuk gue berkarya. Karena ada masanya waktu itu hampir semua teman-teman yang seangkatan dengan gue berlomba-lomba untuk menjadi seniman yang berkarya di galeri. Nggak ada yang salah, dan nggak ada yang lebih benar, karena sudah pada umumnya seperti itu.
Tapi pandangan gue saat itu lebih banyak mempertanyakan soal apakah seorang seniman berkarya hanya selalu di kanvas lalu berpameran di galeri? Nggak juga kan?
Buat gue dari ujung rambut sampai ujung kaki kita adalah “kanvas” yang sudah disediakan untuk kita berkarya dimana itu semua membutuhkan merchandise sebagai mediumnya. Coba sekarang lihat semua anatomi luar kita, semuanya ada merchandise-nya, kepala butuh topi kalau kepanasan, badan butuh baju untuk berlindung, dan seterusnya. Dan itu semua bisa jadi kanvas gue buat berkarya.
Kalau banyak dari mereka yang mau berpameran harus masuk ke galeri dulu, medium merchandise membuat gue bisa pameran (saat produk gue dipakai orang).
Apakah Popomangun melihat peluang bagi karya seni untuk bisa lebih dekat kembali dengan publik dalam hal pengalaman?
Yes, dengan gue membuat karya yang concern di merchandise dan banyak berkolaborasi dengan beberapa brand secara tidak langsung memberikan pengalaman kepada publik bahwa kini pilihan dalam berpakaian sudah begitu menariknya bahwa ada karya seni di dalam keseharian kalian. Yang menarik adalah melihatnya secara culture juga secara bisnis. Karena di sisi lain ini juga menjadi peran untuk teman-teman yang menjadikan merchandise salah satu medium alternatif untuk tetap berkarya.
Bagaimana melihat virtual exhibition sebagai platform untuk mengembangkan karya dengan pendekatan baru?Gue melihat dengan adanya virtual exhibition ini, kita jadi punya alternatif untuk tetap berkarya. Kita semua sedang mencari cara untuk tetap berkarya dan terus punya eksistensi di kondisi sekarang ini, yang seru virtual exhibition memberikan kita kesempatan. Dan segala usaha ini harus dirayakan.