Mengenal Musik Pop dan Disko Indonesia bersama Diskoria
Kehadiran Diskoria dalam ranah musik Indonesia bisa dibilang suatu kejutan tersendiri.
Teks: Livina Veneralda
Foto: Norrm
Kehadiran Diskoria dalam ranah musik Indonesia bisa dibilang suatu kejutan tersendiri. Tidak banyak penggalian musik disko Indonesia yang berhasil sampai ke permukaan dan sukses menjadi sorotan masyarakat luas. Diskoria adalah salah satunya. Pilihannya untuk hanya menggunakan musik Indonesia di tengah maraknya penggunaan musik luar dalam skena disko juga menjadi daya tarik serta tantangan tersendiri. Berikut ini adalah interview pendek dengan Merdi Simanjuntak dan Fadli Aat yang tergabung dalam Diskoria, sehubungan dengan proses kreatif serta aktivitasnya dalam menghadirkan musik disko lokal di Indonesia.
Pada 2008, Anda melihat di salah satu klub di Jakarta sticker bertuliskan, “Dilarang memainkan lagu Indonesia.” Apakah ide Anda untuk memainkan lagu Indonesia mulanya berawal dari keresahan akan pudarnya lagu Indonesia dalam skena disko?
Merdi: Ya hal itu adalah salah satu alasannya. Adanya keinginan dari kami untuk mendengar lagu-lagu pop Indonesia yang bernuansa disko bisa diputar di skena musik dansa/disko di Indonesia. Selain supaya ada pilihan baru, rasanya ada yang mengganjal saja mendengar di setiap acara music awarding/talkshow selalu muncul slogan “musik Indonesia jadi tuan rumah di negaranya sendiri” padahal di skena musik dansanya yang mendominasi justru lagu luar terus (tertawa). Sekali-sekali beneran lah ada lagu Indonesianya diputar di klub supaya slogan itu beneran bisa “hidup”.
Aat: Itu memang menjadi salah satu alasannya, sampai kami akhirnya melihat langsung larangan tersebut, karena saat itu memang ada ke-“tabu- an” untuk tidak memainkan lagu Indonesia di level klub yang tidak tertulis.
Saya rasa pemicu di atas juga berbanding lurus dengan apa yang kami geluti jauh sebelum kami menemukan tulisan larangan tersebut, di satu sisi klub tidak menerima lagu Indonesia dengan melarang DJ untuk memutar lagu Indonesia, di sisi lain kami menemukan lagi dan lagi, lagu-lagu Indonesia yang kami rasa pantas untuk dimainkan di level klub saat kami berjalan mengoleksi piringan hitam dan rilisan Indonesia lainnya. Itu menjadi stimulan, hingga akhirnya kami membuat konsep untuk suatu saat akan memainkan full Indonesian disco set.
Banyak anggapan bahwa akan sulit bagi Diskoria untuk masuk klub regular. Apakah hal ini menjadi salah satu kekhawatiran Anda?
Merdi: Tidak sama sekali, karena kami memang tidak mengincar untuk main regular di klub dengan konsep yang kami usung. Kami inginnya hadir sebagai pilihan, mau trennya sedang naik ataupun turun. Kami sadar musik yang kami mainkan jika terlalu sering dipasang tanpa ada follow up sisi edukasinya, bisa jadi membosankan. Jadi kami memang sengaja untuk memilih tidak bermain di klub secara regular. Ketika nanti misalnya mayoritas orang sudah tidak melihat musik disko Indonesia lagi sebagai pilihan hiburan dansa mereka, kami akan tetap ada sebagai pilihan alternatif untuk mereka yang masih tertarik walaupun jumlahnya sedikit juga.
Aat: Itu merupakan tantangan dan bukanlah kekhawatiran bagi kami, karena kami berproses secara ‘fun’ jadi kami lebih berpikir bahwa ini merupakan tantangan saja bagi kami, untuk dapat menyajikan lagu-lagu Indonesia tersebut secara lebih proper dari segala sisi untuk dapat ditampilkan di level klub, baik secara pilihan lagu maupun secara kualitas sound dan lain lain.
Menurut Anda sebagai penggiat disko nasional sendiri, apakah usaha mengangkat disko nasional saat ini sudah sukses menarik minat masyarakat dan mendapat respon yang memuaskan?
Merdi: Respon yang kita rasa dari masyarakat saat ini bisa dibilang sangat baik, karena sekarang kami bisa tampil di banyak acara di banyak kota di Indonesia, dan kami sangat bersyukur akan hal tersebut. Memuaskan atau tidak itu relatif, karena namanya juga manusia, pasti ada aja target tambahan yang muncul seiring dengan perkembangan yang terjadi (tertawa).
Mungkin yang bisa digarisbawahi di sini, yang Diskoria lakukan adalah bentuk usaha untuk menarik minat masyarakat terhadap lagu Indonesia sebagai pilihan rekreasi di lantai dansa, bukan misi kebudayaan. Jadi berangkat dari situ, bahasa yang kita usung di sini adalah bahasa untuk pesta, karena kami sadar untuk bisa masuk ke anak muda sekarang tidak bisa langsung dengan konten yang terlalu serius, jadi kami memulainya dengan cara seperti ini.
Kenapa saya sebutkan soal kebudayaan, karena Diskoria juga beberapa kali dapat tanggapan negatif yang menganggap format presentasi ini tidak sesuai dengan budaya bangsa. Kalau saya pribadi pikir ini salah alamat, lagu yang kami mainkan kan lagu-lagu pop, bukan lagu kebangsaan atau lagu daerah. Dan ini satu-satunya cara yang kami tahu dan kami yakini, bahwa dengan kemasan seperti ini, anak muda yang tadinya berkiblat ke musik populer barat, perlahan-lahan mulai bisa “menengok” konten musik pop lokal.
Aat: Kami tidak akan pernah berpuas diri dengan pencapaian kami, namun sepanjang ini kami selalu bersyukur tanpa henti melihat apa yang kami coba sampaikan akhirnya tersampaikan kepada crowd kami dan pelaku musik di Indonesia pada umumnya, dimana akhirnya musik Indonesia dapat bersanding sejajar dengan musik dari luar Indonesia tanpa harus di-anak-tirikan di rumahnya sendiri seperti dulu.
Diskoria beberapa kali tampil bersama legenda musik Indonesia Fariz RM. apa yang ingin kalian sampaikan dengan kolaborasi penampilan lintas generasi?
Merdi: Kalau dengan beliau alasan utamanya lebih karena Diskoria ngefans aja sih, selebihnya kalau akhirnya masih bisa diterima sampai ke generasi yang lebih muda, buat saya itu adalah faktor “relevansi” beliau sebagai legenda musik Indonesia, dan kami sangat beruntung bisa bekerja sama dengan Fariz RM.
Aat: Kami berangkat sebagai fans kepada musisi musisi legendaris Indonesia, salah satunya Fariz RM, yang pertama kami pilih untuk berkolaborasi, yang ingin kami sampaikan adalah bahwa sebuah karya bagus harusnya tak pernah lekang oleh zaman dan dapat berkomunikasi dengan tiap generasi dan lepas dari segala status sosial. Karya-karya Fariz RM masihlah sangat relevan dengan kami dan bahkan generasi di bawah kami terbukti lewat berbagai apresiasi ketika kami berkolaborasi bersama beliau.
Bagaimana semangat musik Indonesia pada masa lalu mempengaruhi musik-musik yang Anda mainkan saat ini?
Merdi: Ya kalau saya sangat kena dengan estetika dan presentasi musik masa lalu, jadi kadang ketika kita mempresentasikan lagu-lagu tersebut, kita berusaha menyajikannya dengan sound yang serupa, desain flyer yang senada, dan juga banyak detail yang sejalan dengan apa yang dilakukan di masa lalu. Tentu begitu masuk ke dalam kemasan pendekatannya ada sedikit perbedaan, mengingat media yang ada sekarang sudah jauh berkembang, tapi sebisa mungkin kita buat basic-nya sejalan dengan apa yang ada di masa lalu.
Aat: Dulu ada kalanya musik Indonesia dapat membuat generasi muda saat itu bangga dengan musisi-musisi tanah airnya sendiri, terbukti dengan dibuatnya berbagai festival lomba cipta lagu remaja hingga pagelaran tari dan musik Indonesia yang membuat musik Indonesia pernah menjadi pilihan yang sejajar dengan musik dari barat pada zaman itu.
Apa tantangan terbesar dalam memainkan musik lokal di skena disko Indonesia?
Merdi: Menurut saya sustainability-nya, karena menurut saya kebanyakan orang di Indonesia (dan juga di banyak negara di dunia) masih susah membuka telinganya untuk musik-musik bagus yang memang tidak terdengar familiar, jadi PR utamanya bagaimana bisa menyajikan musik-musik yang “under the radar” tersebut supaya bisa diterima dan menjaga kelangsungan pergerakannya.
Aat: Tantangan terbesar mungkin adalah bagaimana perlahan mengedukasi crowd dengan lagu-lagu baru yang tak kalah dahsyatnya dengan lagu-lagu sebelumnya yang pernah kami sajikan, namun perlahan tapi pasti, crowd kami pun menerima lagu-lagu baru yang kami sajikan yang memang beberapa di antaranya bukanlah dari nama-nama besar musisi legendaris Indonesia. Kami berusaha “mengajak” crowd untuk lebih menggali lebih dalam lagi bersama kami.