Melihat Kembali Konsep Kreatif dalam Bentuk Catatan
Bagaimana sticky notes fleksibel dalam membantu Jordan Marzuki, Felicia Budi dan Stephanie Larassati dalam meyempurnakan catatannya.
Words by Amelia Vindy
In partnership with 3M Indonesia
Cover: Bagas Adyaksa
Dokumentasi menjadi sebuah hal yang cukup krusial ketika membicarakan bukti perjalanan, dan coretan pada sebuah catatan bisa menjadi salah satu alat bantunya. Bukan hanya itu, catatan juga membantu kita mengingat kembali seperti apa proses yang telah kita lalui dan menjadikannya bahan koreksi untuk perjalanan selanjutnya. Berangkat dari hal tersebut, kami menanyakan seperti apa proses kreatif pembuatan karya dari 3 sosok berikut, yang kemudian mereka jelaskan melalui sebuah catatan.
Jordan Marzuki (Desainer Grafis)
Ragam eksplorasi medium yang lakukan oleh Jordan Marzuki membuatnya digandrungi dengan banyak sebutan, mulai dari desainer grafis, ilustrator, hingga sutradara. Namun di samping banyaknya medium yang ia tekuni, Jordan memiliki karakter visual yang kuat dan membuat kita dapat dengan mudah mengenali karya buatannya. Fiksi, fantasi dan pemilihan palet warna yang khas, kerap menjadi fokus yang ditonjolkan pada karyanya. Dan hal tersebut rupanya telah ia temukan sejak ia kecil dan saat ini Jordan tengah menyelesaikan sebuah proyek arsip yang akan menampilkan awal mula perjalanan visualnya.
“Proyek yang saya kerjakan adalah proyek buku arsip dari ilustrasi dan gambar saya semasa kecil. Sewaktu kecil, orang tua saya senantiasa menyimpan seluruh gambar saya hingga saat remaja dalam satu folder. Jika biasanya gambar anak kecil berupa pegunungan, sawah, dan pemandangan lainnya, berbeda dengan saya yang justru menggambar hal lain seperti science, perang, masa depan, seks, pop culture, kekerasan, politik, dan lain-lain. Buku ini juga berisi essay dari psikolog anak, yang akan menganalisa secara keseluruhan mengenai psikologi saya pada masa itu.”
Felicia Budi (Desainer)
Sustainable menjadi salah satu fokus utama yang Felicia Budi coba terapkan pada tiap koleksinya. Melalui brand fbudi, Felicia tidak hanya sekadar membuat pakaian namun juga memiliki misi untuk mendukung peran para pengrajin lokal yang turut terlibat pada pengerjaannya. Salah satu karyanya yang paling ikonik adalah koleksi “Persegi” yang menggunakan tyvek sebagai bahan dasar. Menggunakan bahan tersebut, Felicia menantang dirinya untuk melihat sejauh mana ia dapat bereksplorasi dengan bahan pakaian yang juga sempat populer di tahun 60-an. Lewat metode tersebut pula, Felicia mempertanyakan sepenting apakah estetika dan kenyamanan sehelai pakaian dibanding kain yang terbuang dalam proses pembuatannya.
“Saya bertanya pakaian macam apa yang dapat dibuat dengan nol/minim buangan kain? Pertanyaan ini kemudian menjadi panduan dalam eksplorasi rancangan pakaian. Namun tidak bisa sekadar meniadakan buangan kain, tetap saja rancangan harus dapat menarik hati dan berfungsi layaknya pakaian, nyaman dipakai beraktivitas. Dalam karya ini ada dialog antara buangan kain dengan estetika dan kenyamanan pakaian. ‘Minim buangan kain’ menjadi awal tantangan kreatif. Contoh: Ket: Skala dress – nol buangan kain; Jul dress – 15% buangan kain.”
Stephanie Larassati (Arsitek)
Koneksi emosional menjadi salah satu latar belakang yang Stephanie tekankan ketika membicarakan arsitektur. Karena baginya arsitektur tidak harus selalu membicarakan tentang bentuk atau gaya melainkan bagaimana sebuah ruang/bangunan juga dapat berinteraksi dengan publik dan lingkungannya. Contohnya seperti rancangan bioskop terbuka yang diberi nama Misbar Sabang. Rancangannya tersebut merupakan salah satu proyek Stephanie yang memiliki konsep unik dan sangat memorable. Melalui ruang publik, Stephanie memanfaatkan kegunaannya sebagai ruang temu, dengan menambahkan feature lain yang bisa memperluaskan kemungkinan yang dapat terjadi di lokasi tersebut. Selain itu, saat ini Stephanie tengah mempersiapkan firmanya sendiri bernama AT-LARS, yang sebelumnya tergabung bersama firma LARGO.
“Di proyek bioskop terbuka Misbar Sabang saya ingin menciptakan sebuah struktur yang di satu sisi bisa menjadi landmark baru dan modern bagi kota Sabang dan di sisi lain, mengoptimalkan kondisi taman kota existing sambil menawarkan pengalaman menonton yang unik. Untuk mencapai itu saya menempatkan sebuah kotak putih memanjang yang ‘melayang’ di atas taman dan terbuka terhadap taman di bawahnya. Dengan panjang 32 meter, kotak ini memperkuat koneksi antara taman dan laut. Tribun yang dapat menampung 120 orang menghubungkan pintu masuk Misbar Sabang di level atas dengan taman di level bawah. Dengan ini Misbar Sabang jadi bagian yang tidak terpisahkan dari taman kota Sabang.
Misbar Sabang tidak hanya sebuah bioskop terbuka, tetapi juga sebuah tempat budaya di mana masyarakat dan komunitas setempat dapat melakukan pertunjukkan, berinteraksi, bertukar pikiran dan bersantai.”
–
Melalui catatan 3 sosok kreatif di atas, kita dapat melihat seperti apa cara mereka mengabadikan buah pikiran yang akan diolah menjadi karya. Mulai dari sketsa, reminder hingga penjelasan detail, bisa kita temukan pada catatan tersebut. Di samping itu, terkadang tampilan sebuah catatan konon dapat menambah minat untuk kembali membukanya dan 3M Post-it® Sticky Notes bisa jadi salah satu alat bantunya. Kegunaan sticky notes juga dapat membantu para pengguna untuk meletakkannya secara fleksibel, sesuai dengan kebutuhan. Dan dengan berbagai varian bentuk dan warna, Post-it® Sticky Notes bisa menjadi salah satu alat tulis yang membuat tampilan dari catatan kalian terlihat lebih menarik. Temukan bagaimana produk 3M bermanfaat dalam #DiscoverScience di kehidupan sehari-hari di sini.