Adriano Qalbi Bicara Tentang Podcast dan Perkembangannya Hari Ini
Tentang konsistensi dan kejujuran dalam menjadi seorang podcaster dengan Adriano Qalbi.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Kevina Graciela
Dikenal dari panggung stand up comedy, Adriano Qalbi dengan humor mengembangkan karyanya dalam bentuk podcast pada tahun 2016 bernama “Podcast Awal Minggu”. Konsisten menjalankan podcast di Indonesia hingga sekarang tren ini booming dan mulai dinikmati banyak orang, Adriano Qalbi dijuluki “Bapak Podcast Indonesia”. Kali ini Whiteboard Journal akan berbincang mengenai podcast dan perkembangannya juga konsistensi Adriano Qalbi dalam membuatnya.
Dijuluki sebagai “Bapak Podcast Indonesia”, apa yang membuat Anda akhirnya membuat podcast pada tahun 2016?
Lebih banyak faktor keadaan daripada faktor inspirasi atau ide. Sebelumnya, saya punya program TV sendiri, terus siaran di radio. Medium itu tidak ada lagi, terus saya pikir apa yang bisa saya lakukan secara konsisten. Tempat di mana saya bisa melatih jokes, juga maintain audiens juga. Kebetulan pas setahun itu saya lagi sering-seringnya mendengar podcast luar negeri, sebuah hal yang masih saya lakukan sampai sekarang. Bagi saya, audio itu magic-nya adalah kita bisa menikmatinya sambil melakukan hal lain. Ya sudah, akhirnya saya buat podcast saja dengan mencoba-mencoba mengulik sendiri. Yang tadinya setiap naskah harus diketik, sampai akhirnya saya cukup percaya diri untuk biarkan saja pikiran saya jalan dengan sendirinya, lalu punya audiens yang cukup untuk saya korespondensi. Dulu sempat mau ada jingle pembuka tapi akhirnya tidak jadi.
Dulu Anda memakai Soundcloud sebagai satu-satunya platform untuk upload “Podcast Awal Minggu” (PAM). Dengan adanya banyak platform sekarang, mulai dari Spotify, Apple Music sampai Inspigo, apakah ada perubahan audiens dengan munculnya banyaknya platform ini?
Kalau Inspigo kan dia buat platform sendiri. Kalau Agregator cuma Soundcloud dan Anchor. Nah Anchor tuh anak perusahaannya Spotify. Jadi dulu masalah dengan Soundcloud adalah saya merasa interaksinya bagus, analytics juga enak, tapi Soundcloud itu tidak bisa di-sync ke Spotify. Soundcloud cuma bisa sync ke Apple Podcast. Waktu itu masih niche banget, jadi cuma bisa mengambil di Soundcloud dan Apple Podcast. Nah Spotify masuk, itu besar banget audiensnya. Kalau di luar, artis-artis besar sana tahu bagaimana supaya Soundcloud bisa cross ke Spotify. Di sini nggak kejadian. Akhirnya Spotify buat sendiri – Anchor.
Akhirnya saya mulai buat dua program, dan sepertinya sebentar lagi Soundcloud-nya akan saya matikan karena audiensnya jauh lebih banyak di Spotify. Spotify banyak banget bawa audiens baru. Kalau Inspigo, saya cuma mengisi saja, Apple Podcast karena di-sync. Tapi sekarang dari Anchor. Soundcloud saya cuma maintain. Spotify banyak banget menarik pendengar baru, yang tadinya 5000-an sekarang bisa jadi 8000-an.
Anda merupakan salah satu podcaster yang tidak membawakan sebuah topik spesifik. Bagaimana Anda membuat konten menarik dibanding yang lain?
Sepertinya konsisten jauh lebih baik daripada buat yang bagus deh
Kenapa namanya “Podcast Awal Minggu” tuh juga sebetulnya, cambuk buat saya saja. Jadi tiap minggu, saya tuh buat sesuatu.
Sebenarnya harusnya yang baik sepertinya harus ada persiapan ya, seperti sebenarnya harus sampai melewati semua standar dan bisa “oh ini konten yang baik”. Tapi saya selalu berpikir sepertinya, sekarang ini konsistensi lebih penting daripada kualitas. Karena selalu ada pemikiran yang membuat kita malas untuk melanjutkan apa yang kita mulai. Selalu ada pemikiran, “Toh saya tidak merasa saya sepenting itu”.
Jadi kalau misalnya saya siaran, rekaman podcast saya jelek, saya tidak tahu mau ngomong apa, saya tuh tidak percaya kalau ada orang yang bilang “Kenapa ya Adri begitu nganggap enteng sekali”. Saya tidak berpikir seperti itu, ya sudah biarkan saja, toh ini juga tidak penting. Orang kalau tidak suka, berhenti. Tapi, saya menuntaskan kewajiban saya saja. Kenapa namanya “Podcast Awal Minggu” tuh juga sebetulnya, cambuk buat saya saja. Jadi tiap minggu, saya harus buat sesuatu. Saya rasa kalau ditanya buat konten bagus seperti apa, yang baik tentu adalah dengan persiapan. Pemilihan topik, ada struktur untuk pembicaraan. Tapi memang saya kadang-kadang kurang disiplin di situ. Tapi setidaknya kalau tidak disiplin di situ, saya tetap disiplin secara konsistensi.
Saya interview orang, gagal sering, tapi kalau membahas yang ada di alam pikir saya tidak menarik, sepertinya saya belum pernah.
Dalam mempersiapkan sebuah materi atau topik pembicaraan setiap minggu, bagaimana proses kreatif yang biasa Anda lakukan ?
Kalau kalian dengar episode awal podcast saya, saya benar-benar mengetik itu kata per kata. Sekarang sih tidak seperti itu, sekarang sistemnya adalah ketika saat saya mendengar berita atau saya habis menemukan buku, musik, atau film yang menarik, saya berusaha ekstrak apa sih ini intinya dan saya mulai ceritakan saja. Sistem seperti ini baiknya adalah saya melakukannya dengan jujur. Saya banyak bicara tentang aktualisasi diri, lalu bagaimana berkesenian, atau paradoks hidup. Itu tuh topik yang sering banget keluar, seperti perbedaan dulu dan sekarang itu pasti saya sering sekali angkat. Tapi mungkin mainly memang keresahan saya ada di situ.
Kalau ada yang bertanya kontennya gimana, itu harus berangkat dari suatu tempat di diri kalian yang, “Oh ya sudah”. Saya sih belum pernah ya membahas sesuatu yang saya rasa, “Aduh ini apa ya”. Saya interview orang, gagal sering, tapi kalau membahas yang ada di alam pikir saya tidak menarik, sepertinya saya belum pernah. Sebisa mungkin ya bisa saya tarik ke personal level saya sih.
Berawal dari podcast, PAM kemudian shifting menjadi video di YouTube di channel Majelis Lucu Indonesia. Apa yang memutuskan untuk melakukan hal itu?
Sebetulnya tetap sama, karena saya mau tetap melebar audiensnya. Spotify tuh kecil banget ternyata. Spotify-nya kecil, podcast–nya jauh lebih kecil lagi. Saya tidak bisa monetized. Saya sudah lelah saja buat konten gratis. Paling tidak, bisa cover base yang sudah saya keluarkan. Selama setahun, dari tahun 2016 kan panjang banget. Dulu ada marketers masuk untuk nge-re-run konten saya. Saya bisa dapat income atau iklan adlibs. Tapi mereka kontrak setahun lho. Dari tahun 2017-2018 kemarin, saya tidak dapat apa-apa. Jadi saya harus cari cara untuk bagaimana caranya supaya ada yang melihat podcast saya. Lalu fasilitas di Anchor donation-nya belum aktif, jadi ya saya mau monetized aja. Di YouTube best bit-nya saja untuk memancing orang ke Spotify.
Bicara podcast, selain sebagai platform untuk membahas berbagai hal dengan bermacam pendekatan, menurut Anda apa yang membuat podcast kini menjadi platform yang mewadahi banyak orang?
Menurut saya, ini karena simplicity-nya. I think, yang membuat berubah banyak karena dulu saya siaran radio. Dulu orang tahu source lagu baru, lagu keren, lagu Top 40 dari radio. Semua kanalnya itu dari radio. Tapi sebelum itu, orang mendengarkan radio karena mengikuti pendengarnya dan pendengarnya punya pilihan musiknya sendiri. Ini tuh zaman dulu banget. Sampai akhirnya radio sukses dan boom banyak titipan sana sini, “Mainin lagu ini ya”. Mereka mulai kontrol musik baru yang bisa meledak dan chart-nya seperti apa di radio-radio. Di situlah announcer turun jadi cuma sebagai pengantar lagu.
So, i think the more personal dan lebih candid dan talkshow itu lebih enak diikuti, seperti kita mendengarkan teman ngobrol saja.
Announcer tuh sebagai pengantar lagu tuh annoying kan, tahu kan ngomong pakai smiley voice, joke-joke tanggung yang transisi ke lagu, dan orang bosan karena sudah ada platform lain yang menawarkan lagu-lagu terbaru, chart-chart baru seperti apa, so people don’t need to be in radio lagi. Oleh karena itu, sekarang penyiar harus balik lagi seperti dulu. Justru dilihat karena personality-nya. So,I think the more personal dan lebih candid dan talkshow itu lebih enak diikuti, seperti kita mendengarkan teman ngobrol saja. Begitu sih perbedaannya. Seperti misalnya layanan musik streaming tidak populer, mungkin podcast tidak populer, karena orang masih mencari lagu di radio, so medianya saja yang berubah.
Anda juga dikenal sebagai stand-up comedian, apakah ada suatu kesamaan yang Anda temukan dari stand up dan podcast? Pernah terpikir untuk melakukan podcast berisi stand-up comedy?
Actually, podcast saya itu me doing my jokes. Unpolished jokes.
Saya selalu berusaha push sampai saya tertawa atas perkataan saya.
Actually, podcast saya itu me doing my jokes. Unpolished jokes. Jadi saya dulu sering open mic, sekarang itu sudah susah, so podcast is how I train my jokes, it’s unpolished sometimes satu bit jadi 15 menit. If you listen to my podcast and you came to my show, you will see, “Oh I’ve heard it before, but now I see the polished version for that.” Dan di stand-up formatnya lebih padat. Di podcast, saya sedang mencari jalannya, makanya saya bisa panjangkan sampai 15 menit 20 menit. Saya selalu berusaha push sampai saya tertawa atas perkataan saya. Okay I should take a note dari sini lalu saya dengarkan lagi, lalu saya tulis lagi ,”Saya pikir jokes-nya bisa jadi seperti ini nih”. Jadi intinya isinya jokes-jokes saya.
Melihat perkembangan podcast di Indonesia 3 tahun ke belakang, bagaimana tanggapan Anda dengan perkembangannya?
Saya cukup happy-happy saja. Saya senang banyak yang beragam. Saya hanya berharap tidak terlalu banyak orang ingin jadi seperti saya. Karena saya bosan mendengar yang seperti saya, saya sering merasa lama-lama saya bisa dengar diri saya ada di situ. Kenapa sih kalian tidak mau cari jalannya sendiri. Itu sih yang paling menyebalkan. Kalau ada keluar yang formatnya unik saya sih selalu “Ahh.. kenapa saya tidak kepikiran yah”. Nah feeling yang seperti itu yang saya suka karena itu push saya untuk, “Oke gimana ya caranya, how I refresh this”. Gitu sih, melihat perkembangannya happy semakin ramai. Iya, karena I can’t do this alone.
Misalnya tadi saya bilang, monetizing. Monetizing menjadi menarik kalau pada saat pemakainya udah cukup dan meraup penonton yang cukup dan dari situlah proses monetizing terjadi. Saya tidak mungkin membuka keran dan langsung jadi sesuatu.
Apa rencana Anda ke depan?
I think in a couple of months, my stand up special is ready. Tungguin saja pengumumannya di mana. Datang saja ke show saya. First and foremost I am a stand-up comedian. So anything that I do, setiap saya akting, saya tidak ingin jadi aktor tapi saya ingin yang menonton saya di sana datang ke stand up. Kalau semua orang sudah bisa datang karena saya stand up saja, saya tidak perlu do any those stuff anymore. Karena yang paling menyenangkan buat saya adalah doing stand up. Podcast saya menikmatinya karena I can tell jokes, tapi kalau seperti film, akting kan saya tidak bisa, atau untuk menulis juga harus melibatkan banyak orang. Hanya di podcast dan stand up, tidak ada mengatur saya.