Jelajah Skena Bogor: Dari Punk Rock Hingga Surf Pop
Dari kemunculan unit punk rock Mary Ann di tahun 90-an hingga kesegaran terkini dari The Mentawais dengan surf pop ala 60-an.
Words by Whiteboard Journal
Teks: Ibrahim Soetomo
Cover: Anthony Kosasi
Bogor merupakan salah satu kota dengan skena musik yang khas. Kota ini memiliki masa kejayaannya di mana banyak band bermunculan dan dapat membentuk ekosistem musiknya tersendiri. Tak berhenti di situ, belakangan ini pun Bogor diwarnai dengan wajah-wajah baru yang menjanjikan. Untuk mengenal lebih dekat dengan musik Kota Hujan ini, kami merangkum beberapa hal penting di dalamnya. Berikut adalah perkembangan musik di Kota Bogor.
Keberagaman Musik 90-an
Keragaman musik di Bogor sudah mengakar semenjak akhir 1990-an. Jika Bogor lekat dengan musik punk, hardcore dan metal, maka hal ini dapat ditandai dengan kemunculan unit punk rock Mary Ann yang terbentuk pada akhir 1997 di bilangan Cisarua, Bogor. Adapun Revolt pada 1998 yang mengusung genre hardcore dalam musiknya. Di tahun yang sama, Not For Child hadir dengan menawarkan genre ska-punk dan rocksteady, hal ini sekaligus menandai eratnya musik ska dan reggae yang juga banyak digandrungi masa itu. Dari sisi metal pun muncul nama-nama seperti Gelgamesh, Bom Bom Car, Proceus Unthrodden, dan yang menarik adalah Silluet, grup dark metal yang memadukan unsur-unsur musik etnik Sunda ke dalam lagu-lagunya.
Walau sebagian besar didominasi oleh musik-musik keras, terdapat beberapa nama yang mengusung alunan Britpop, yaitu Brown Sugar yang dibentuk oleh Edo Wallad (The Safari) pada 1997. Kemudian, gitaris dari Brown Sugar, Adi, membentuk band bernama Piknik, yang merupakan salah satu pelopor Britpop di Bogor pada eranya, sebut saja salah satu lagunya, “Sinar,” yang sedikit banyak mencerminkan nuansa pop akhir 1990-an itu. Kehadiran Piknik ini menjadi embrio bagi geliat musik indie pop/rock dan Britpop di Bogor ke depannya.
Masa Keemasan Musik Bogor
Memasuki era 2000, musik-musik keras yang terlebih dahulu sudah mengakar terus hidup. Mary Ann, Revolt, Gretan, beserta unit punk/hardcore/metal lainnya banyak merilis baik EP ataupun album penuh di awal 2000-an. Namun, di sela-sela gerakan itu, The Jaka Sembung masuk ke dalam arus untuk memelopori rock n roll di Bogor. Merekalah yang menjadi pionir gerakan rock n roll dari segi musik maupun attitude-nya. Pada masa ini pula pop-punk begitu marak, beberapa sosoknya adalah Topi Jerami, My First Wet Dream (MFWD) dan Losing Friends. Sedangkan di sisi metal, terdapat Full of Envious (FOE) yang hadir di periode yang sama.
Musik-musik keras periode ini terangkum dalam album kompilasi “Putih dalam Abu” yang dirilis oleh ME Records pada 2006. Selain Topi Jerami, MFWD, atau FOE, kompilasi ini mengumpulkan Life Beyond Struggle, Frozen Kisses, hingga The Seven Troopers. Kompilasi ini menjadi penting karena merekam perkembangan pesat skena musik punk, metal dan hardcore di Bogor hingga pertengahan 2000-an.
Salah satu fenomena skena musik Bogor pada tahun 2000-an yang patut dicatat adalah street gigs. Street gigs di Bogor diadakan cukup frekuen dan diorganisir secara kolektif dan swadaya, mengingat tidak adanya venue khusus untuk menampung pergerakan musik keras di Bogor. Salah satu lokasi gigs yang terkenal adalah parkiran toko roti Bogor Permai di Jalan Jendral Sudirman, bilangan Bogor Tengah. Sebermula, gigs di Bogor Permai ini identik dengan musik dalam koridor punk rock, ska-punk, hingga hardcore. Namun pada perkembangannya, musik-musik lain seperti metal, grindcore, pop punk, post punk, bahkan pop juga pernah mendapatkan panggungnya. Band pop My Secret Identity adalah salah satu yang pernah tampil di sana. Selain Bogor Permai, kawasan Taman Topi di Jalan Kapten Muslihat merupakan tempat yang juga tak kalah populer, terkhususnya untuk pergerakan ska, reggae dan metal di Bogor.
Tak hanya punk, hardcore dan metal saja yang muncul di 2000-an. Di tengah skena yang terlebih dahulu mapan ini, musik dance, indie pop/rock, hingga elektronik menyeruak keluar permukaan. Salah satu notable band era ini adalah The Safari, sebuah band yang dibentuk oleh Edo Wallad setelah keluar dari The Motives (kuintet yang dulunya bernama Brown Sugar dan cikal bakal The Brandals).The Safari sempat mengalami beberapa pergantian generasi. Pada awalnya, band ini berisikan Edo, Aswin Siregar (Piknik) dan Putra. Kemudian, Denny Priawan dan Adri yang juga berasal dari Piknik ikut tergabung di dalamnya, hingga akhirnya formasi terakhir The Safari sejak 2005 hingga kini berisikan Edo sebagai vokalis, Norman Ahya (Normanoss) di gitar, Denny yang memegang bass, dan Adri di posisi drum.
Walau lebih terasosiasi dengan post-punk di awal kemunculannya, lagu “Disko di Rumah” merupakan ramuan dance dan punk apik yang memarkahi skena musik Indonesia awal 2000-an. Sempat vakum dari industri musik tidak melengahkan konsistensinya dalam menciptakan lagu, hal ini terlihat ketika The Safari meluncurkan EP, Demi Eksistensi, yang merupakan B Side dari album perdana Material Dansa Galau (2007), dan dirilis secara digital oleh Hujan! Rekords pada 2010. Selain The Safari, unit lain yang mengusung disco, dance atau electro-pop antara lain adalah duo dance punk/garage Douet Mauet’s yang berisikan Erie Treeanto (drum) dan Poppie Airil (vokal dan gitar; kini bassist Efek Rumah Kaca), serta unit electro-pop Overload Romance.
Satu lagi notable band indie rock jebolan Bogor adalah Reidvoltus. Kuartet yang dibentuk pada 2004 ini mengusung genre grunge/noise rock/lo-fi dalam musiknya. EP rilisan Hujan! Rekords pada 2010, Spilled Guts, penuh akan nuansa muram dan bising, mengingatkan kita pada musik indie rock 90-an layaknya The Pixies. Lagu “Painful Death by The Monster of Vowel” atau “Sounds from the Grotto” sangat mencerminkan nuansa itu. Reid Voltus, bersama Douet Mauet’s dan Liebe, telah meraih rekognisi nasional ketika terlibat dalam Evonica bus tour Jawa dan Bali pada 2007, bersamaan dengan beberapa band seperti Efek Rumah Kaca dan Dear Nancy. Reid Voltus kemudian vakum pada 2012, dan 3 tahun setelahnya merilis kompilasi “Reid Voltus: 2005-2012”. Kedua gitarisnya kemudian tergabung dalam notable band Bogor lain pada 2010; Idam bergabung ke The Kuda, dan Deni Taufiq menjalanan Sex Sux.
Jika kompilasi “Putih Dalam Abu” merekam kejayaan skena punk, hardcore dan metal di Bogor, geliat musik indie rock, indie pop, hingga Britpop Kota Hujan terangkum dalam kompilasi album “Shall We Go Now” yang dirilis oleh Berputar Records pada 2007. Kompilasi ini menampilkan band seperti Piknik, Reid Voltus, Douet Mauet’s, Simpathy for the Lady, Her Spring Holiday, Pink Glove hingga Daylight (kini Neal). Satu hal yang jelas, baik “Putih Dalam Abu” dan “Shall We Go Now” merupakan cerminan kejayaan skena musik Bogor 2000-an.
Peran Label sebagai Kolektif juga Platform
Kehadiran band-band di Bogor juga sangat didukung oleh peran label, yang juga banyak lahir di kotanya. Di saat skena musik di Bogor sedang jaya-jayanya, Hujan! Rekords hadir pada 2009 atas inisiatif –salah satunya– Gilang Nugraha. Hujan! merupakan netlabel yang menyebarkan musik secara gratis, online, dengan lisensi creative commons. Semenjak kehadirannya, Hujan! Rekords telah merilis A Curious Voynich, The Kuda, Merah Berdarah (duo hardcore-chiptune usungan Gilang Nugraha dan Rinjani Reza), Cause dan Texpack. Tak hanya itu, adapun Tromagnon Records yang telah merilis album My Secret Identity. Gurem Tapes yang telah merilis Water Sport (Deni Taufiq). Ada pula Hitam Kelam, Eternal Records, dan yang belakangan hadir adalah Tumbila Records.
Tak hanya merilis, label juga berperan sebagai platform dan kolektif yang mendukung pergerakan musik Bogor, terutama untuk memperkenalkan roster-nya pada khalayak luas di luar Bogor. Contoh terdekat terjadi di dua tahun ini. Pada 2017, Hujan! bersama Tromagnon bertindak sebagai kurator untuk menampilkan talenta-talenta dari Bogor dalam sebuah showcase bertajuk Ffest. Saat itu, band yang hadir memeriahkan acaranya adalah Life Cicla, The Jansen, Texpack, Cause dan Sugarkane. Kemudian, Februari lalu kedua label ini menggandeng Kick It Records untuk mengadakan Ffest Vol.2 dengan menampilkan Belantara, Heaven In, Mary Ann, Mery Celeste, Neal dan Rasvala. Praktik kolaboratif ini pun tidak tanggung-tanggung, pada Ffest Vol. 2, ketiga label/kurator juga menggandeng kolektif seni anyar Gerakan Seni Rupa Bogor untuk merespon setiap band melalui karya visual. Geliat ini tidak hanya skena semata, tapi juga gerakan yang penuh akan aksi kolaboratif pelaku kreatif di Bogor.
Kemunculan Wajah Baru
Kejayaan tidak berhenti di situ, karena talenta baru terus bermunculan dan musik terus berkembang. Salah satunya perkembangan ini berupa beberapa talenta lama yang merembuk menjadi bentuk baru. Seperti halnya The Kuda. Unit bising ini pada awalnya berisikan sang vokalis Adipati dari band surfpunk Wasweswos, gitaris Idam dari Reid Voltus dan Jamur dari band Britpop Sweet Sunday Holiday, dan Ahonk dari unit punk rock Luxitania. Semenjak kehadirannya, The Kuda merupakan salah satu unit yang produktif merilis, termasuk EP Mystery Torpedo, dua split album dengan unit surf punk Chile Gangrena Surf (2012) dan hardcore Prancis Night Stalker (2013), EP Duka Kuda (2014) dan album penuh Satu Aku Sejuta Kalian (2015). The Kuda-lah salah satu band yang kini banyak mendapatkan rekognisi luas.
Ragam musik di Bogor yang muncul setelah 2010 ditandai oleh hadirnya duo indie pop/lo-fi Sex Sux, proyek post-hardcore A Curious Voynich oleh Dito Buditrianto (Cause dan The Glans) dan Gustmar Helmy (Hate to Think dan Gravebehold), grup indie rock Texpack, unit bising Sugarkane, grup punk rock The Jansen dan grup indie rock Mery Celeste. Band-band ini hadir di waktu yang hampir bersamaan, dan menandakan gelombang baru yang muncul dari Bogor. Kesegaran lain akhir-akhir ini dihadirkan oleh The Mentawais yang mengusung nuansa surf pop 60-an dalam musiknya, dan tak kalah pula grup rock yang sangat anthemic dan energetik, Life Cicla. Kehadiran dua grup anyar ini seakan keluar dari koridor punk ataupun pop yang telah sejak lama menjadi identitas kota, dan membuktikan bahwa musik-musik dari Kota Hujan akan selalu menjanjikan.