Yang Kita Bisa Lakukan untuk Kawan Disabilitas: Belajar untuk Menghindari Ableisme
Sudah waktunya kita menerima edukasi mengenai prinsip ableimse, serta memahami mengapa prinsip ini suatu hal yang menggusarkan.
Teks: Hafiza Dina, Titania Celestine
Photo: via Max-Planck Gesellschaft
Setelah kejadian kontroversial dimana Menteri Sosial Indonesia memaksa seorang tunarungu berbicara di depan panggung yang disaksikan penonton secara live dan direkam oleh berbagai lembaga penyiar berita, sudah waktunya masyarakat Indonesia menerima edukasi mengenai prinsip ableimse, serta memahami mengapa kejadian ini suatu hal yang menggusarkan. Ketika kami tidak bisa memahami apa yang telah dihadapi seseorang selama hidupnya, it’s best to say nice things or say nothing at all.
Ableisme
Ableisme diartikan sebagai sifat diskriminatif dan social prejudice terhadap orang dengan disabilitas. Sifat ini sendiri didasari oleh kepercayaan bahwa seseorang yang memiliki kekurangan atau keterbatasan dapat ‘diperbaiki’. Sama halnya seperti rasisme dan seksisme, ableisme memandang lebih rendah suatu kelompok individu dan menganut pandangan yang penuh miskonsepsi, generalisasi, serta stereotypes.
Sikap-sikap yang dipandang sebagai ableisme diantaranya:
Bercanda tentang kekurangan seseorang yang ber-disabilitas
Menjadikan kekurangan seseorang titik kecaman atau perbandingan dengan orang lain. Dapat dikategorikan sebagai sifat ableis. Gurauan yang menurut kamu tidak serius, bisa saja menyakiti perasaan orang lain.
Berbicara kepada orang yang memiliki disabilitas selayaknya mereka anak kecil
Pola bicara yang sering digunakan orang untuk berdialog dengan orang ber-disabilitas seperti nada bicara tinggi dan kata-kata yang bersifat memanjakan dapat dipandang sebagai sifat ableis. Bicara dengan mereka selayaknya kamu berbicara dengan orang lain, it’s not that hard.
Berasumsi bahwa disabilitas hanya bisa berbentuk fisik
Sering terjadi asumsi bahwa disabilitas hanya sebatas kekurangan fisik. Nyatanya, disabilitas lain seperti halnya psikis dan mental juga ada. Kebanyakan sikap ini ditemukan pada lingkaran keluarga dan pertemanan.
Mempertanyakan disabilitas orang lain
Menyinggung hal yang mempertanyakan jika seorang yang memiliki disabilitas ‘palsu’, atau mempertanyakan ‘seberapa buruk’ disabilitas mereka merupakan sifat insentif dan ableis. Tentunya, kamu tidak harus menanyakan hal-hal tersebut, cukup mendengarkan dan memahami saja sudah cukup sebagai bentuk respect.
Pentingnya Berempati
Mungkin dalam hal ini, empati dapat dijadikan tempat bermula bagi masyarakat untuk menghindari sifat ableisme. Melalui empati, masyarakat harus dapat membayangkan dirinya dalam posisi masing-masing; banyakkanlah berfikir “jika itu saya, saya akan merasa…”.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari sifat ableis:
Hindari asumsi kebutuhan orang lain
Jika memang ingin membantu, sebaiknya bertanya dahulu. Selayaknya orang lain, belum tentu semua orang ingin dibantu. Berasumsi bahwa seorang yang memiliki disabilitas membutuhkan bantuan tanpa diminta sama halnya seperti merendahkan, dan mencerminkan asumsi bahwa mereka helpless tanpa bantuan.
Aksesibilitas bagi orang ber-disabilitas
Hal sekecil bangunan yang diberikan akses ramp untuk kursi roda, dan lift untuk mengakses lantai atas gedung sudah dapat dilihat sebagai bentuk sokongan bagi orang berdisabilitas. Hal ini dapat mencerminkan sikap peduli terhadap komunitas difabel.
Simpan sendiri pertanyaan dan komentar yang tidak penting
Jangan memaksakan kehendak dan prinsip hidupmu pada orang lain. Bayangkan jika kamu berada dalam posisi tersebut dan dipaksa untuk menganut prinsip hidup orang lain. Dengan memilih untuk diam, kalian sudah menunjukkan rasa hormat tersendiri.
Edukasi diri mengenai sifat ableis dan cara mengindarinya
Dengan akses media sosial dan jaringan internet, sudah selayaknya masyarakat Indonesia belajar untuk mencari informasi yang dapat dipergunakan untuk mendalami konsep ableisme dan menghindarinya.
Jika ragu akan sikap kamu terhadap seorang yang ber-disabilitas yang kamu kenal, jangan bertanya terhadapnya langsung mengenai perilaku kamu. Dikarenakan bias yang mereka miliki sebagai temanmu, mereka tentunya akan mengaku tidak tersinggung. Cobalah mencari wawasan lebih luas yang bersifat objektif melalui sumber informasi dan organisasi yang terpercaya.
Lakukan Langkah Nyata dengan Belajar
Setelah tindakan kontroversial Menteri Sosial pada perayaan Hari Disabilitas Internasional kemarin, banyak warganet yang menekankan urgensi pelajaran bahasa isyarat sebagai bentuk inklusivitas bagi kawan-kawan disabilitas. Nah, jika kamu ingin menunjukkan kepedulian pada kawan-kawan disabilitas, khususnya kawan-kawan tunarungu, belajar bahasa isyarat bisa menjadi bentuk langkah nyata!
Sebelum mulai belajar bahasa isyarat, yuk perhatikan beberapa hal berikut:
Alfabet dari A sampai Z adalah hal pertama yang wajib diketahui saat belajar bahasa Isyarat
Sama seperti belajar bahasa lainnya, fasih alfabet dalam bahasa isyarat is a must, alias, alfabet adalah bekal wajib sebelum kita loncat ke pelajaran kosa kata. Dengan alfabet, kita bisa menanyakan kata dalam bahasa isyarat yang ingin kita pelajari pada kawan-kawan tuli dengan cara mengeja tiap huruf dari kata tersebut.
Kita yang belajar pada kawan-kawan tuli, bukan sebaliknya
Bahasa isyarat, kan, pada dasarnya adalah bahasa ibu bagi kawan-kawan tuli, sehingga sangat salah jika dipersepsikan bahwa kawan-kawan tuli belajar bahasa isyarat dari orang yang tidak tuli.
Terdapat tiga level penguasaan bahasa isyarat
Ternyata, bahasa isyarat juga memiliki kompleksitas seperti bahasa-bahasa lainnya, lho. Level pertama adalah dasar dari penguasaan bahasa isyarat: alfabet dan kata-kata sederhana, dan dilanjutkan dengan sisi linguistik dari bahasa isyarat pada level kedua. Pada level ketiga adalah praktik untuk menerjemahkan dan menyampaikan kalimat dalam bahasa isyarat.
Bahasa isyarat bukan hanya untuk kawan-kawan tuli
Selama ini, masyarakat lebih sering mengasosiasikan bahasa isyarat dengan kawan-kawan tuli saja. Nyatanya gak juga, kok! Bahasa isyarat juga biasa digunakan oleh kawan-kawan lain yang terkendala dalam berkomunikasi secara lisan.