The Death of Influencers: Please Welcome, De-Influencers
Alih-alih promosikan produk ‘must have’, tren de-influencer yang kini ramai di Tiktok justru beri review jujur produk mana saja yang tak perlu dibeli.
Teks: Alissa Wiranova
Selebgram, selebtok, selebtwit, dan sederet seleb-seleb lainnya hanyalah merupakan istilah lain dari ‘influencer’–orang yang berperan memengaruhi audiens guna memasarkan suatu produk. Istilah semacam ‘must have products’ jadi tak asing lagi di telinga manusia masa kini: jimat sakti khas ucapan para influencer.
Menariknya, sejak Januari lalu, muncul tren baru di Tiktok yang sifatnya sangat kontradiktif dengan kehadiran para influencer ini. Tren yang dinamakan sebagai ‘de-influencing’ ini berisikan sekumpulan orang yang memilih untuk menceritakan ulasan jujurnya terhadap suatu produk, terutama yang sifatnya negatif. Dengan kata lain, bila influencer umumnya bicara soal mengapa kamu harus membeli suatu produk, maka de-influencer memberimu penjelasan agar tidak membeli suatu produk.
Charlotte Palermino, seorang CEO brand skincare Dieux asal Brooklyn menyatakan bahwa dirinya tak terkejut akan meledaknya tren de-influencer ini. “Constantly being sold to is tiring. Being told everything is a miracle product is tiring,” terangnya menjelaskan alasan di balik berkembangnya fenomena de-influencer ini.
Sementara itu, Alyssa Kromelis, seorang konsultan marketing dari Dallas yang sempat membuat video de-influencing viral di akun Tiktoknya ini mengaku bahwa pengalaman tak mengenakkan lah yang menjadi penyebab utama dirinya mengikuti tren ini.
“There’s a lot of stuff that I’ve purchased that is just total crap, so I thought I’d share it,” ucapnya. “I just wanted to help people save some money because I’m a penny-pincher myself.”
Meski para influencer diprediksi akan mendapat kerugian dari tren de-influencing ini, seorang seorang reporter bernama Jessica DeFino sendiri berpendapat bahwa dunia industri kecantikan tetap akan berdiri kokoh tanpa banyak terpengaruh oleh tren terbaru ini.
“There are so many beauty products precisely because there are so many that ‘don’t work’. That’s the thing about innovation and optimization: they require flawed and faulty products as a jumping-off point,” tukasnya.