Resmi Disahkan, Mengapa UU TPKS Tidak Mencantumkan Pemerkosaan dan Aborsi?
RUU TPKS yang bertujuan untuk melawan pelecehan seksual akhirnya disahkan menjadi UU tapi DPR malah melupakan hal yang penting, yaitu tidak dicantumkannya pemerkosaan dan aborsi.
Teks: Jesslyn Sukamto
Foto: Mika Baumeister/Unsplash
Beberapa waktu lalu, Badan Legislasi DPR dan pemerintah resmi menyepakati Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). RUU TPKS merupakan payung hukum yang akan memberikan perlindungan komprehensif terhadap korban pelecehan seksual.
RUU TPKS yang disetujui oleh DPR akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Delapan dari sembilan fraksi dalam rapat tersebut sepakat RUU TPKS disahkan menjadi UU.
What a good news! Namun, things don’t always go our way — Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), mengeluarkan suaranya terhadap pasal pemerkosaan dan pemaksaan aborsi yang tidak diatur di dalam RUU TPKS tersebut.
Jadi, apa saja yang diatur? RUU TPKS mengatur enam elemen kunci untuk melawan pelecehan seksual, yaitu tindak pidana kekerasan seksual, sanksi dan tindakan, hukum acara pidana khusus mulai dari restitusi, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan pengadilan sampai pelaksanaan putusan.
RUU TPKS juga mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik untuk menanggulangi kekerasan digital, juga menyediakan sistem pelayanan terpadu untuk pencegahan, pemenuhan hak korban, dan pemantauan.
Mengapa pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak diatur?
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, alasan DPR dan pemerintah tidak memasukkan perkosaan dalam RUU TPKS karena hal tersebut dijanjikan akan diatur dalam RKUHP yang dibahas pada Juni 2022 nanti.
RUU TPKS juga tidak mengatur penunjukkan layanan kesehatan untuk korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, yaitu aborsi. Padahal, sudah ada diatur aborsi dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tetapi masih saja akses layanan aborsi masih sangat susah akibat stigmatisasi dan ketidakmauan beberapa dokter dan rumah sakit.
Oleh karenanya, korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan tentunya berada dalam kondisi yang sangat rentan, karena harus menjalani aborsi secara ilegal.
Aborsi ilegal bukan hanya memberi sebuah pengalaman yang pahit kepada korban, tetapi juga kemungkinan kriminalisasi karena dituduh membunuh bayinya, yang pastinya bisa memberi sebuah trauma yang tidak diinginkan siapapun. Kadang orang bisa lupa, aborsi itu merupakan bagian dari hak perempuan.
“Bagaimana mungkin RUU yang bicara tentang kekerasan seksual, tapi tidak berbicara pemerkosaan dan aborsi. Ini rohnya RUU TPKS menjadi hilang,” kata Dian Novita dari LBH Apik Jakarta kepada BBC Indonesia.
Dalam RUU KUHP sendiri, sebenarnya ada pasal pemerkosaan dan pencabulan, tetapi definisinya sangat samar. Di RUU KUHP, dijelaskan adanya pasal penetrasi alat kelamin, padahal kita tahu pemerkosaan tidak cuma soal penetrasi alat kelamin, tetapi juga paksaan untuk berhubungan seksual.
Walaupun ke depannya akan ada pengaturan pemerkosaan di RUU TPKS dan RUU KUHP, tidak akan menjadi masalah kalau kedua UU tersebut memiliki pasal yang mengandung unsur pemerkosaan dan aborsi.
“Menurut saya tidak akan ada redundant. Tidak masalah kalau pemerkosaan dan aborsi ada di RUU TPKS meskipun nanti akan diatur dalam RUU KUHP. RUU TPKS ini bukan soal hukuman lebih tinggi tapi bagaimana penanganan kasus untuk kepentingan korban,” jelas Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara.
Sejauh ini, pemerkosaan dan akses layanan aborsi sudah diusulkan ke DPR dan pemerintah untuk dimasukkan ke RUU TPKS. Kita sangat berharap hak-hak korban kekerasan seksual benar-benar diperhatikan dengan penambahan unsur-unsur tersebut, agar RUU TPKS bisa menjadi sebuah payung hukum yang dapat memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Kita tentu berharap hal ini bisa diterapkan dengan baik dan tidak hanya “bekerja” dalam lembaran kertas, karena yang terpenting adalah implementasinya—agar kasus kekerasan seksual berkurang secara signifikan dan memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.